- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Akibat Malpraktek


TS
naimatunn5260
Akibat Malpraktek
Akibat Malpraktek
Ada saat di mana otak manusia dipaksa berpikir untuk memecahkan masalah, tak peduli engkau berpengalaman atau tidak.
Hari masih pagi, tetapi Kak Ef sudah membuat keonaran dan mengganggu kantukku. Puskesmas masih lengang, baru ada satu dua orang yang datang. Termasuk makhluk bernama Efrida Siregar ini.
“May, Abang yang semalam ganteng kali, ya.”
Suara Kak Ef sekaligus tabokannya di lengan tidak membuatku bergeming apalagi membuka mata. Badanku justru semakin melorot pada sandaran kursi ruang poli kebidanan di Puskesmas tempat kami bekerja.
“Damay!”
“Heem.”
Malas betul aku menjawab. Kelopak mata seperti direkatkan oleh lem kayu dan enggan terbuka. Pasien semalam yang melahirkan anak pertama, rewelnya luar biasa. Membuatku nyaris tidak bisa tidur barang sekejap saja.
Sementara setiap Sabtu pagi, seluruh petugas dari semua Puskesmas Pembantu harus setor wajah ke Puskesmas Induk untuk berkoordinasi dan melakukan lokakarya mini.
“Keluarga pasien yang semalam kau bantuin titip salam.” Kak Ef tetap gigih mengajakku berbicara.
“Keluarga pasien yang mana?” Aku menjawab masih dengan mata terpejam.
“Yang burung pipit anaknya kejepit retsleling itu.”
“Heleh!”
“Seriusnya aku ini, May.”
“Biarin aja, sih, Kak. Jangan diladeni serius.”
“Ganteng kali loh. Rugi ga diladenin.”
“Suami orang, Kak Ef. Plis, deh. Laki-laki beristri, bawa anaknya berobat kok sempat-sempatnya cuci mata dan titip salam.” Aku menjawab sewot masih tetap dengan mata tertutup. Aku justru semakin mengeratkan kedua tangan untuk bersidekap. Pagi yang masih dipeluk dingin sebenarnya saat yang paling nikmat bergelung di bawah selimut, setelah semalaman berjaga.
Semilir angin yang dikirim dari punggungan bukit di depan Puskesmas, seakan-akan meniup-niup mata dan merayu agar tidak terbuka. Namun, pasien Puskesmas Induk biasanya ramai pada setiap Sabtu pagi seperti ini, membuatku tidak punya pilihan.
Mereka sengaja berobat atau kontrol sekalian mampir ke pasar yang hanya ada tiap pekan. Entah periksa kandungan, ulangan KB, imunisasi anaknya, atau berobat jalan.
“Damayanti! Cobak buka mata kau dulu. Denger, ya. Dia itu duda, anak Haji Somad yang baru pindah beberapa bulan yang lalu. Kabarnya, istrinya meninggal saat melahirkan anak pertama. Nah, anaknya itu yang semalam kau bantu.”
“Ya, biarin, sih, Kak. Udah takdir dia.” Aku masih tidak peduli.
“Tentara, May. Komandan pulak. Tak ngecesnya kau?” Kak Ef semakin menggebu-gebu. Seperti selebriti yang bersemangat promo produk endorse terbaru.
Aku terbatuk seketika, membuka mata dan menegakkan badan. Apa katanya, tentara?
“Nah, kan? Bangun makanya. Pagi-pagi ngantuk kek orang kena anemia aja.”
“Aku nolong partus semalam, Kak,” kilahku membela diri.
“Pantes.”
“Tentara Kakak bilang?"
“Iya!” Mata seniorku itu berbinar-binar selaksa kejora di pagi buta.
“Nehi!”
“What?! Mau pilih yang kayak apa lagi, May? Jangan terlalu pilih-pilihlah. Nanti terpilih pulak pokok tebu.”
Kini, mata perempuan tiga puluh lima tahunan di depanku ini melotot.
Laki-laki itu, semalam datang ke Instalasi Gawat Darurat Puskesmas dengan wajah tegang. Putranya menangis histeris dalam gendongan.
“Kenapa, Pak?”
Aku yang jaga malam terpaksa melayaninya, sebab belum ada karyawan lain yang datang. Mas Gun yang bertugas jaga sore terpaksa pulang cepat. Ia menitipkan IGD kepadaku dengan alasan harus mengantarkan ibunya kondangan.
“Anu, Mbak.” Napas laki-laki itu tersengal.
Pria dewasa dengan potongan rambut cepak, mengenakan celana jeans, dan kaus T-shirt putih itu tampak kebingungan hendak menerangkan keluhannya.
Melihat putranya yang menangis dan berteriak histeris, aku tidak mungkin menunggu penjelasan sang papa yang terlihat belum pengalaman. Pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan bocah itu.
“Sini, Sayang. Sama Tante, ya?”
Kuraih ia dari pelukan papanya dan membaringkan di meja pemeriksaan. Perlakuanku membuat bocah berusia sekitar empat tahun itu semakin menangis kencang.
Pertanyaanku terjawab seketika. Ternyata, komandan kecil si bocah terjepit retsleting di bagian ujungnya. Apes bener nasibku malam ini.
Mas Gun sudah pulang, padahal belum ada sebiji pun teman yang datang. Padahal aku harus melakukan tindakan yang bukan merupakan area bidan. Menjadi petugas di daerah terpencil dituntut harus paham semua hal yang terkadang bukan menjadi wewenang.
No! aku tidak ingin mengambil resiko. Sementara, melihat bocah malang yang semakin menangis keras itu tentu saja membuatku semakin tidak tega.
Aku harus gimana?
Otakku berputar cepat. Bagaimana menyelamatkan pasien ini secepatnya tanpa harus melakukan tindakan sirkumsisi alias sunat. Sebab jika begitu, ia harus semakin lama kesakitan. Menunggu Dokter Mulyadi atau perawat laki-laki yang biasa melakukan tindakan sirkumsisi datang, akan membuat bocah itu makin merana.
“Harus disunat ya, Mbak?” tanya si Papa cemas.
“Em … anu … sebentar. Tolong jaga putranya sebentar, ya, Pak.”
Aku berlari ke ruang utama Puskesmas Induk dan berputar-putar kebingungan. Sungguh, menjadi bidan junior yang minim pengalaman dan harus segera diterjunkan ke lapangan itu, sehoror ditagih utang di tanggal tua. Menegangkan.
Aku sering mendapatkan kasus tidak terduga. Hal-hal yang tidak kudapatkan di bangku kuliah. Tidak ada mata kuliah dengan judul ‘Tindakan Kegawatdaruratan Preputium yang Terjepit Retsleting.’
Maka ketika mengalaminya, seketika otak diserbu kebingungan.
Jangan dibayangkan, tinggal telepon dan petugas yang berkompeten akan datang. Tidak semudah itu. Tahun 2000-an, yang nge-hits kala itu adalah wartel. Hape kentang baru ada di kota-kota besar saja.
Tiba-tiba, mataku tertuju pada tulisan di atas salah satu pintu. ‘Poli Gigi.’ Di dalam salah satu etalase di ruangan itu, ada botol kaca berisi cairan Etil Chloride yang biasa digunakan sebagai obat anestesi lokal. Cairan yang digunakan dengan cara disemprotkan. Anestesi yang biasa dipakai untuk anak-anak yang akan cabut gigi.
Orang bilang, saat seorang pesepakbola cedera di lapangan, juga disemprot dengan obat ini untuk mengurangi nyeri.
Tidak tahu bisikan dari mana, aku melangkah ke ruang Poli Gigi dan mengambil obat semprot itu. Kemudian, terbirit-birit berlari kembali ke IGD. Masih sayup terdengar lengking tangis bocah malang yang komandan kecilnya disandera retsleting celana.
Aku berdiri di samping bocah itu dengan napas masih dengan tersengal. Nekat kusemprotkan cairan dalam botol kaca bening itu pada kapas, mengibas-kibaskan sesaat, lalu mengompreskan ke kulit berwarna pucat yang entah sudah berapa lama menderita.
“Tolong dipegangin ya, Pak,” pintaku pada sang Papa.
“Dikit, ya, Sayang. Tante kompres ini dulu biar sakitnya ilang,” bujukku menenangkan. Sementara dalam hati aku berdoa, semoga ide konyol ini bekerja.
Sesaat, bocah itu meronta saat sensasi dingin mengenai kulitnya, tetapi beberapa detik kemudian ia mulai tenang. Lalu, setelah beberapa saat, dengan mengumpulkan keberanian, kutarik perlahan ke arah bawah retsleting iseng itu tanpa perlawanan si bocah.
Ajaib! Bocah malang itu tidak berteriak sama sekali. Sandera pun telah lepas dari ancaman.
Lelaki yang awalnya tegang itu kini terdengar menarik napas lega dan mengucapkan terima kasih berkali-kali.
“Mbaknya hebat, kayak dukun. Simsalabim, selesai.”
Heh? Pujian macam apa itu? Sembarangan. Aku melirik ke arah laki-laki itu sambil membenarkan celana anaknya, sementara ia tersenyum sekilas dengan sedikit anggukan. Berarti ia tidak sedang bercanda. Namun sungguh, kata-katanya membuatku sedikit keki.
Duuh! Mimpi apa semalam? Kepanikanku dihargai dengan pujian demikian. Dukun.
“Kirain saya tadi langsung disunat."
"Bukan bidang saya, Pak."
"Syukurlah. Ditangani bukan ahlinya kadang bagus juga. Kasian, Kenzou."
Hei, apa? Nggak profesional gitu maksudnya? Aku makin gemas.
“Oh, namanya Kenzou?” Kuangkat bocah itu dari pembaringan, membuatnya berdiri di atas meja tindakan, sehingga ia sejajar dengan tinggi badanku.
Tadi saking paniknya, aku melakukan tindakan dengan mengabaikan menanyakan biodata pasien terlebih dahulu.
Pipi bakpao Kenzou bersemu merah. Ia mengangguk. Lalu, tanpa dinyana, bocah menggemaskan itu memelukku sambil berbisik, “Makasih, Tante.”
Aku melotot dan kaku sesaat.
So sweet sekali bocah ini. Awal malam yang membuatku meleleh. Semacam pisang cokelat yang lumer di mulut. Legit. Aku diam beberapa saat, sementara sang Papa tersenyum dengan tatap mata yang nyaris tidak teralihkan. Membuatku salah tingkah.
Malam tadi kupikir, ia laki-laki beristri. Ternyata Kak Ef membawa kabar lain.
“Tuh, kan, bengong kau!” Kak Ef kembali menepuk lenganku. Menginterupsi kilasan peristiwa malam tadi yang kembali berkelindan di kepala.
“Terima nggak, nih, salamnya?” Kak Ef kembali menggoda.
“No!” jawabku serius.
“Kenapa, sih, May? Masih belum move on juga dari mantan kau itu?”
“Ga gitu juga, Kak. Tapi kenapa harus tentara lagi?”
**
Sudah tamat di kbm app
https://read.kbm.id/book/detail/b01d...7-025b59914bd1
Ada saat di mana otak manusia dipaksa berpikir untuk memecahkan masalah, tak peduli engkau berpengalaman atau tidak.
Hari masih pagi, tetapi Kak Ef sudah membuat keonaran dan mengganggu kantukku. Puskesmas masih lengang, baru ada satu dua orang yang datang. Termasuk makhluk bernama Efrida Siregar ini.
“May, Abang yang semalam ganteng kali, ya.”
Suara Kak Ef sekaligus tabokannya di lengan tidak membuatku bergeming apalagi membuka mata. Badanku justru semakin melorot pada sandaran kursi ruang poli kebidanan di Puskesmas tempat kami bekerja.
“Damay!”
“Heem.”
Malas betul aku menjawab. Kelopak mata seperti direkatkan oleh lem kayu dan enggan terbuka. Pasien semalam yang melahirkan anak pertama, rewelnya luar biasa. Membuatku nyaris tidak bisa tidur barang sekejap saja.
Sementara setiap Sabtu pagi, seluruh petugas dari semua Puskesmas Pembantu harus setor wajah ke Puskesmas Induk untuk berkoordinasi dan melakukan lokakarya mini.
“Keluarga pasien yang semalam kau bantuin titip salam.” Kak Ef tetap gigih mengajakku berbicara.
“Keluarga pasien yang mana?” Aku menjawab masih dengan mata terpejam.
“Yang burung pipit anaknya kejepit retsleling itu.”
“Heleh!”
“Seriusnya aku ini, May.”
“Biarin aja, sih, Kak. Jangan diladeni serius.”
“Ganteng kali loh. Rugi ga diladenin.”
“Suami orang, Kak Ef. Plis, deh. Laki-laki beristri, bawa anaknya berobat kok sempat-sempatnya cuci mata dan titip salam.” Aku menjawab sewot masih tetap dengan mata tertutup. Aku justru semakin mengeratkan kedua tangan untuk bersidekap. Pagi yang masih dipeluk dingin sebenarnya saat yang paling nikmat bergelung di bawah selimut, setelah semalaman berjaga.
Semilir angin yang dikirim dari punggungan bukit di depan Puskesmas, seakan-akan meniup-niup mata dan merayu agar tidak terbuka. Namun, pasien Puskesmas Induk biasanya ramai pada setiap Sabtu pagi seperti ini, membuatku tidak punya pilihan.
Mereka sengaja berobat atau kontrol sekalian mampir ke pasar yang hanya ada tiap pekan. Entah periksa kandungan, ulangan KB, imunisasi anaknya, atau berobat jalan.
“Damayanti! Cobak buka mata kau dulu. Denger, ya. Dia itu duda, anak Haji Somad yang baru pindah beberapa bulan yang lalu. Kabarnya, istrinya meninggal saat melahirkan anak pertama. Nah, anaknya itu yang semalam kau bantu.”
“Ya, biarin, sih, Kak. Udah takdir dia.” Aku masih tidak peduli.
“Tentara, May. Komandan pulak. Tak ngecesnya kau?” Kak Ef semakin menggebu-gebu. Seperti selebriti yang bersemangat promo produk endorse terbaru.
Aku terbatuk seketika, membuka mata dan menegakkan badan. Apa katanya, tentara?
“Nah, kan? Bangun makanya. Pagi-pagi ngantuk kek orang kena anemia aja.”
“Aku nolong partus semalam, Kak,” kilahku membela diri.
“Pantes.”
“Tentara Kakak bilang?"
“Iya!” Mata seniorku itu berbinar-binar selaksa kejora di pagi buta.
“Nehi!”
“What?! Mau pilih yang kayak apa lagi, May? Jangan terlalu pilih-pilihlah. Nanti terpilih pulak pokok tebu.”
Kini, mata perempuan tiga puluh lima tahunan di depanku ini melotot.
Laki-laki itu, semalam datang ke Instalasi Gawat Darurat Puskesmas dengan wajah tegang. Putranya menangis histeris dalam gendongan.
“Kenapa, Pak?”
Aku yang jaga malam terpaksa melayaninya, sebab belum ada karyawan lain yang datang. Mas Gun yang bertugas jaga sore terpaksa pulang cepat. Ia menitipkan IGD kepadaku dengan alasan harus mengantarkan ibunya kondangan.
“Anu, Mbak.” Napas laki-laki itu tersengal.
Pria dewasa dengan potongan rambut cepak, mengenakan celana jeans, dan kaus T-shirt putih itu tampak kebingungan hendak menerangkan keluhannya.
Melihat putranya yang menangis dan berteriak histeris, aku tidak mungkin menunggu penjelasan sang papa yang terlihat belum pengalaman. Pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan bocah itu.
“Sini, Sayang. Sama Tante, ya?”
Kuraih ia dari pelukan papanya dan membaringkan di meja pemeriksaan. Perlakuanku membuat bocah berusia sekitar empat tahun itu semakin menangis kencang.
Pertanyaanku terjawab seketika. Ternyata, komandan kecil si bocah terjepit retsleting di bagian ujungnya. Apes bener nasibku malam ini.
Mas Gun sudah pulang, padahal belum ada sebiji pun teman yang datang. Padahal aku harus melakukan tindakan yang bukan merupakan area bidan. Menjadi petugas di daerah terpencil dituntut harus paham semua hal yang terkadang bukan menjadi wewenang.
No! aku tidak ingin mengambil resiko. Sementara, melihat bocah malang yang semakin menangis keras itu tentu saja membuatku semakin tidak tega.
Aku harus gimana?
Otakku berputar cepat. Bagaimana menyelamatkan pasien ini secepatnya tanpa harus melakukan tindakan sirkumsisi alias sunat. Sebab jika begitu, ia harus semakin lama kesakitan. Menunggu Dokter Mulyadi atau perawat laki-laki yang biasa melakukan tindakan sirkumsisi datang, akan membuat bocah itu makin merana.
“Harus disunat ya, Mbak?” tanya si Papa cemas.
“Em … anu … sebentar. Tolong jaga putranya sebentar, ya, Pak.”
Aku berlari ke ruang utama Puskesmas Induk dan berputar-putar kebingungan. Sungguh, menjadi bidan junior yang minim pengalaman dan harus segera diterjunkan ke lapangan itu, sehoror ditagih utang di tanggal tua. Menegangkan.
Aku sering mendapatkan kasus tidak terduga. Hal-hal yang tidak kudapatkan di bangku kuliah. Tidak ada mata kuliah dengan judul ‘Tindakan Kegawatdaruratan Preputium yang Terjepit Retsleting.’
Maka ketika mengalaminya, seketika otak diserbu kebingungan.
Jangan dibayangkan, tinggal telepon dan petugas yang berkompeten akan datang. Tidak semudah itu. Tahun 2000-an, yang nge-hits kala itu adalah wartel. Hape kentang baru ada di kota-kota besar saja.
Tiba-tiba, mataku tertuju pada tulisan di atas salah satu pintu. ‘Poli Gigi.’ Di dalam salah satu etalase di ruangan itu, ada botol kaca berisi cairan Etil Chloride yang biasa digunakan sebagai obat anestesi lokal. Cairan yang digunakan dengan cara disemprotkan. Anestesi yang biasa dipakai untuk anak-anak yang akan cabut gigi.
Orang bilang, saat seorang pesepakbola cedera di lapangan, juga disemprot dengan obat ini untuk mengurangi nyeri.
Tidak tahu bisikan dari mana, aku melangkah ke ruang Poli Gigi dan mengambil obat semprot itu. Kemudian, terbirit-birit berlari kembali ke IGD. Masih sayup terdengar lengking tangis bocah malang yang komandan kecilnya disandera retsleting celana.
Aku berdiri di samping bocah itu dengan napas masih dengan tersengal. Nekat kusemprotkan cairan dalam botol kaca bening itu pada kapas, mengibas-kibaskan sesaat, lalu mengompreskan ke kulit berwarna pucat yang entah sudah berapa lama menderita.
“Tolong dipegangin ya, Pak,” pintaku pada sang Papa.
“Dikit, ya, Sayang. Tante kompres ini dulu biar sakitnya ilang,” bujukku menenangkan. Sementara dalam hati aku berdoa, semoga ide konyol ini bekerja.
Sesaat, bocah itu meronta saat sensasi dingin mengenai kulitnya, tetapi beberapa detik kemudian ia mulai tenang. Lalu, setelah beberapa saat, dengan mengumpulkan keberanian, kutarik perlahan ke arah bawah retsleting iseng itu tanpa perlawanan si bocah.
Ajaib! Bocah malang itu tidak berteriak sama sekali. Sandera pun telah lepas dari ancaman.
Lelaki yang awalnya tegang itu kini terdengar menarik napas lega dan mengucapkan terima kasih berkali-kali.
“Mbaknya hebat, kayak dukun. Simsalabim, selesai.”
Heh? Pujian macam apa itu? Sembarangan. Aku melirik ke arah laki-laki itu sambil membenarkan celana anaknya, sementara ia tersenyum sekilas dengan sedikit anggukan. Berarti ia tidak sedang bercanda. Namun sungguh, kata-katanya membuatku sedikit keki.
Duuh! Mimpi apa semalam? Kepanikanku dihargai dengan pujian demikian. Dukun.
“Kirain saya tadi langsung disunat."
"Bukan bidang saya, Pak."
"Syukurlah. Ditangani bukan ahlinya kadang bagus juga. Kasian, Kenzou."
Hei, apa? Nggak profesional gitu maksudnya? Aku makin gemas.
“Oh, namanya Kenzou?” Kuangkat bocah itu dari pembaringan, membuatnya berdiri di atas meja tindakan, sehingga ia sejajar dengan tinggi badanku.
Tadi saking paniknya, aku melakukan tindakan dengan mengabaikan menanyakan biodata pasien terlebih dahulu.
Pipi bakpao Kenzou bersemu merah. Ia mengangguk. Lalu, tanpa dinyana, bocah menggemaskan itu memelukku sambil berbisik, “Makasih, Tante.”
Aku melotot dan kaku sesaat.
So sweet sekali bocah ini. Awal malam yang membuatku meleleh. Semacam pisang cokelat yang lumer di mulut. Legit. Aku diam beberapa saat, sementara sang Papa tersenyum dengan tatap mata yang nyaris tidak teralihkan. Membuatku salah tingkah.
Malam tadi kupikir, ia laki-laki beristri. Ternyata Kak Ef membawa kabar lain.
“Tuh, kan, bengong kau!” Kak Ef kembali menepuk lenganku. Menginterupsi kilasan peristiwa malam tadi yang kembali berkelindan di kepala.
“Terima nggak, nih, salamnya?” Kak Ef kembali menggoda.
“No!” jawabku serius.
“Kenapa, sih, May? Masih belum move on juga dari mantan kau itu?”
“Ga gitu juga, Kak. Tapi kenapa harus tentara lagi?”
**
Sudah tamat di kbm app
https://read.kbm.id/book/detail/b01d...7-025b59914bd1


bukhorigan memberi reputasi
1
465
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan