Kaskus

Hobby

naimatunn5260Avatar border
TS
naimatunn5260
PENYESALAN SEORANG MANTAN
PENYESALAN SEORANG MANTAN

Part 1. Kulayani kau, asal kau berikan semua uangmu padaku.

POV. Satria

"Ayolah, Shin ...." Aku merengek seperti anak kecil yang ingin meminta uang jajan kepada ibunya.

"Ogah!"

Dia mencebikkan bibirnya. Jawaban yang padat dan lugas pun, terdengar begitu jelas, menyapa indera pendengaranku. Tidak sedikit pun dia melihat ke arahku. Matanya sibuk menatap benda pipih yang ada di hadapannya, dengan senyum yang senantiasa tersungging di bibirnya.

"Masak kamu tega sih, Sin. Aku besok pagi mau nyebrang ke Sumatra, selama dua Minggu, loh."

Aku kembali mengajukan negosiasi. Siapa tahu istri yang begitu kucintai itu akan luluh hatinya, dan mau melakukan kewajibannya.

"Bodo amat. Gue nggak peduli! Lu mau pergi ke mana, bukan urusan gue! Salah siapa, kerja kok cuma sopir!"

Lagi-lagi, jawaban yang kudapatkan tidak lain hanyalah jawaban yang mengiris hati. Setega itu dia terhadapku, padahal aku sudah berusaha menjadi suami yang baik hati. Apa pun keinginannya, asal aku mampu pasti aku penuhi.

"Sopir kan juga halal, Sin," jawabku.

"Tapi gue malu. Masak iya, Sinta yang cantik jelita, suaminya cuma sopir! Sopir tronton, lagi! Malu-maluin aja!"

Aku memilih diam, jika dia sudah membawa-bawa pekerjaanku. Pekerjaan yang konon, katanya adalah hanya pekerjaan rendahan.

"Ya sudah kalau kamu tidak mau. Aku mau tidur dulu."

Aku merebahkan tubuhku tepat di sampingnya. Namun karena dia masih sibuk dengan ponselnya, aku pun menjadi sulit untuk memejamkan mata.

Apalagi, h*srat yang tidak terpenuhi ini, sungguh sangat menyiksa hati.

"Kamu lagi lihat apaan?" Aku bertanya, karena penasaran. Dari tadi bahkan jarinya sibuk mengotak-atik layar ponselnya.

Karena dia hanya diam tanpa jawaban, aku pun mengulurkan tanganku, ingin meraih benda pipih yang telah mengalihkan dunianya itu.

"Apaan sih, Satria?!"

Dengan nada yang ketus dan sewot, dia kembali merebut ponsel yang tadi sudah sempat berada di tanganku.

"Aku tu lagi ngerjain pekerjaan kantor. Kamu curigaan banget, deh. Bikin aku tambah sebel!" Lagi-lagi dia berbicara dengan nada setengah membentak, membuat dada ini merasa sedikit tersentak.

"Ngerjain kerjaan kantor, kenapa nggak pakai laptop? Kenapa pakai ponsel?" Aku masih bertanya. Lebih tepatnya, sedikit ngeyel.

"Tuh kan, kalau dibilangin, adanya cuma rasa tidak percaya! Aku pakai ponsel karena biar simpel dipegang saja. Nanti kalau sudah selesai, juga aku pindah ke laptop. Kamu kalau nggak tahu apa-apa, mendingan diam saja! Jangan banyak bicara. Aku lagi pusing. Salah input data sedikit saja, bisa fatal akibatnya. Kamu mau, aku dipecat dari pekerjaanku?!"

Mata itu menatap tajam ke arahku. Tidak sedikit pun kulihat binar cintanya untukku.

Kemudian aku kembali diam. Ada rasa sangsi dalam hatiku. Mana mungkin, dia sedang mengerjakan pekerjaan kantor, tapi bibirnya terus saja tidak bisa menahan senyuman, kala berhadapan dengan ponsel yang ada dalam genggaman. Apa jangan-jangan, dia punya selingkuhan?

Jika memang dia sedang mengerjakan pekerjaan kantor, seharusnya dia memasang wajah yang serius. Bukan malah tersenyum-senyum terus.

Apalagi, kini ponselnya itu justru diposisikan membelakangi wajahku. Aku yakin, dia sengaja, agar aku tidak bisa melihat aktifitasnya.

"Jangan lihat-lihat. Ntar matanya juling!" Lagi, dia menghardikku.

Aku hanya bisa mengusap dada, untuk menetralisir rasa sesak yang ada. Sesak karena ditolak, juga sesak karena selalu dibentak.

Kucoba tuk memejamkan mata. Besok pagi buta aku harus berangkat bekerja.

Aku bekerja di sebuah perusahaan. Namun bukan sebagai staf kantoran. Seragam kerjaku bukan jas dan dasi.

Aku hanya bekerja sebagai sopir. Ya, hanya itu keahlianku.

Di perusahaan itu, aku menjadi seorang sopir kontainer. Truk besar dengan dua belas roda, dengan muatan yang sangat berat.

Gajiku tidak besar, tidak sebesar pekerjaan dan resiko yang harus kutanggung. Aku hanya mendapatkan gaji sebesar satu setengah kali upah minimum regional, ditambah uang makan yang setara dengan upah minimum regional. Jadi totalnya, setiap bulan aku mendapatkan gaji kotor sebesar dua setengah kali UMR. Namun Jika atasanku sedang berbaik hati, maka aku masih diberikan uang tambahan, yang biasanya kubagi dengan dua kernet yang biasa menemaniku.

Sedangkan istriku, Sinta, bekerja sebagai staf administrasi, entah jabatannya sebagai apa. Gajinya berapa, aku juga tidak pernah bertanya. Kami bekerja di sebuah perusahaan yang sama. Hanya saja, pekerjaanku mengharuskan aku untuk selalu ke luar pulau, mengantarkan barang perusahaan ke pulau seberang.

*****

Aku dan Sinta, sudah berpacaran sejak tujuh tahun sebelum pernikahan. Kami bersekolah di SMA yang sama. Kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi yang sama juga, meskipun berbeda jurusan.

Aku sudah terlanjur cinta dengan Sinta, namun sayangnya orang tuaku tidak menyetujuinya.

Ayahku ingin, aku mengambil jenjang S2, setelah aku mendapatkan gelar sarjana. Namun Sinta terus saja mendesakku, agar aku segera menikahinya. Dia selalu bilang bahwa dia ingin menikah muda.

Sementara, orang tuaku tidak setuju, atas hubunganku dengan Sinta. Tapi saat kutanyakan alasannya, mereka tidak bisa memberikan kejelasan.

Usut punya usut, dari kabar burung yang kudengar, katanya ibuku tidak setuju dengan hubunganku dengan Sinta, karena konon, dulu ayahku pernah menjalin hubungan dengan ibunya Sinta, sebelum akhirnya mereka sama-sama menikah dengan orang lain.

Entahlah. Aku tidak tahu pasti, tentang kebenaran berita itu.

Padahal, jika dipikir dengan jernih, alasan itu sangat tidak masuk akal. Toh yang menjalin hubungan, yang ingin menjalani hidup, adalah aku dan Sinta. Bukan mereka. Tapi orang tuaku, keduanya tetap keras kepala.

Akhirnya, Sinta pun memberikan ide, supaya aku menginap di rumahnya.

Karena begitu besar cintaku pada kekasihku, aku pun menyetujui idenya itu. Aku tidak lagi berfikir panjang. Yang ada di dalam pikiranku, hanya bagaimana caranya supaya aku bisa menikahi Sinta, karena aku juga merasa takut, jika aku terus mengulur waktu, maka Sinta akan memutuskan cintaku.

Malam itu, aku benar-benar nekat, tidur di rumahnya. Tidur satu kamar dengannya.

Dan malam itu juga, kami digerebek warga. Orang tuaku dipanggil, untuk datang ke kampung sebelah, ke rumah orangtuanya Sinta.

Ayahku murka. Ibu menangis tiada hentinya. Mereka semua kecewa, mereka semua terluka.

Hingga akhirnya, aku pun dinikahkan dengan Sinta, dengan pernikahan yang ala kadarnya. Padahal Sinta maunya menikah dengan acara yang besar dan meriah, mengingat aku adalah anak lurah.

Tapi Ayah tidak setuju. Jangankan menikah dengan acara resepsi yang besar. Bahkan, sebelum menikah pun Ayah sudah bilang, bahwa setelah menikah aku harus pergi dari rumah.

Aku harus mandiri. Berdiri di atas kakiku sendiri, tanpa fasilitas apa pun dari orang tuaku.

Mobil, motor, dan ijasah sarjanaku pun tidak boleh dibawa.

Aku benar-benar keluar dari rumah, dengan hanya membawa pakaian saja.

Kemudian aku mencari pekerjaan dengan modal nekat, tanpa ijazah apa-apa.

Untungnya ada temanku yang baik hati, mendaftarkan aku pada perusahaan yang konon sedang membuka lowongan.

Karena perusahaan itu dalam kondisi terdesak, aku pun langsung diterima, setelah melakukan tes drive.

Paginya, aku langsung bekerja, mengantarkan barang ke pulau Sumatera. Saat itu, Sinta masih tinggal bersama orang tuanya.

Setelah pulang dari Sumatera, aku menggunakan sisa uang makanku untuk mencari kontrakan. Aku pun mengajak Sinta untuk tinggal di kontrakan itu.

"Apa? Kamu mengajakku untuk tinggal di sini? Di tempat seperti ini? Kenapa kita tidak tinggal di rumah orang tuamu, yang megah itu? Bukankah rumah orang tuamu tidak cuma satu?!"

Aku masih ingat dengan jelas, bagaimana wajah Sinta yang tampak begitu kecewa, saat aku mengajaknya tinggal di sebuah kontrakan yang sederhana.

"Maaf, ya, Shin? Aku mau belajar mandiri. Aku akan mengajakmu hidup benar-benar dari nol, dan menafkahimu dengan keringatku sendiri."

Sinta ternganga, mendengar kalimat yang meluncur dari bibirku. Dia mungkin saja heran, dengan keadaan yang tidak sesuai dengan yang dia bayangkan.

Aku sengaja tidak bilang, bahwa orang tuaku telah mengusirku. Aku takut Sinta akan pergi juga dari sisiku.

Tujuh tahun bersama Sinta, telah berhasil membuatku menjadi budak cinta. Aku tidak bisa membayangkan, jika aku harus kehilangan dia.

"Satria, kenapa kamu pakai gengsi, sih? Harusnya kamu tu minta sama ayahmu, satu rumah yang di perempatan itu. Minta juga, satu minimarketnya, satu pom bensinnya, satu kos-kosan yang seratus pintu itu ...."

Sinta berbicara dengan lemas, ketika aku mulai mengajaknya masuk ke ruang tamu yang hanya terdiri dari satu setel meja kursi itu.

"Terus, kamu sekarang kerja apaan?" tanya Sinta lagi.

"Aku bekerja di sebuah perusahaan. Kamu jangan khawatir. Aku akan berusaha untuk mencukupi kebutuhanmu, semampuku."

Ya, aku tidak bohong. Aku memang bekerja di sebuah perusahaan. Hanya saja, aku belum siap untuk berterus terang, bahwa di perusahaan itu, aku hanyalah seorang sopir. Aku tidak mau Sinta syok dan semakin ilfil.

Malang tidak dapat ditolak. Ternyata, aku bekerja di perusahaan yang sama, dengan Sinta. Sinta pun sebelumnya juga tidak pernah bilang, karena dia juga baru beberapa hari bekerja di situ.

Setelah Sinta tahu, bahwa aku hanyalah bekerja sebagai sopir, dia pun mengamuk. Dia semakin cuek dan ogah-ogahan melayaniku. Padahal status kami masih pengantin baru.

Puk!

Sebuah tepukan yang keras di lengan bagian atasku, menyadarkanku dari lamunan di masa laluku. Masa tiga bulan yang lalu, ketika awal cinta kami bersatu dengan ikatan yang namanya pernikahan. Pernikahan yang tanpa restu dari orang tuaku.

"Katanya mau tidur, kok masih melek saja, dari tadi? Cepetan, tidur. Bukannya besok mau berangkat subuh, ya?" ucap istriku.

Bagaimana aku bisa tidur? Sementara ha*ratku tidak juga tersalur.

Tiga hari di rumah, aku sama sekali belum mendapatkan jatah. Padahal sebelumnya aku juga baru saja ke luar pulau selama dua Minggu. Sebelum keluar pulau, istriku juga tidak memberikan jatah kepadaku, dengan alasan sedang datang bulan. Itu artinya, sudah sekitar sebulan, aku tidak mendapatkan jatah itu. Padahal kami masih pengantin baru. Pengantin lain, mungkin masih menikmati masa-masa bulan madu.

Jika tidak mengingat karena aku sangat mencintainya, rasanya aku sudah tidak tahan, menjalani pernikahan yang tidak sehat ini.

"Sudahlah, cepat tidur. Jangan menungguku. Aku masih banyak kerjaan. Jangan berharap yang tidak-tidak! Aku capek, kerja seharian!" ucapnya lagi.

"Apa tidak bisa, dikerjakan besok? Ini sudah waktunya tidur," jawabku.

"Dikerjakan besok pagi, bagaimana? Pekerjaan kita itu berbeda. Kerjaku itu pakai otak. Bukan cuma sopir, seperti kamu!"

Dia berbicara dengan menekan kata 'sopir'. Ya, dia memang tidak suka dengan pekerjaanku. Namun apalah daya. Aku tidak bisa mencari pekerjaan yang lainnya. Mau membuka usaha pun, modalnya juga tidak ada.

"Kamu jangan khawatir. Nanti jika aku sudah berhasil mengumpulkan uang, aku akan membuka usaha," hiburku.

"Usaha apa? Kang cilok? Kang bubur? Atau Kang bakso? No no no. Malu-maluin saja. Gue ogah, punya suami begituan. Nyesel gue nikah sama elu. Jika saja gue tahu, elu tu diusir sama orang tua lu tanpa dikasih apa-apa, gue nggak bakal mau nikah sama elu!"

"Maaf. Maafkan aku. Aku janji. Aku akan berusaha mencari pekerjaan yang lebih baik lagi. Aku akan berusaha untuk membahagiakan kamu ...."

Aku merengkuh tubuh itu. Kudekap dia di dalam pelukanku. Namun dia justru berusaha meronta dengan sekuat tenaga. Padahal aku sudah begitu sangat merindukannya.

Dia bahkan sempat menyikut dadaku. Untung saja, pekerjaanku yang berat, dan sering ikut bongkar muat barang-barang yang berat, sedikit banyak berpengaruh pada kekuatan otot-otot di tubuhku. Sehingga, aku sama sekali tidak merasa sakit, ketika dadaku disikut olehnya.

"Jangan memaksaku!"

Kini dia bahkan sudah menggigit lenganku. Meninggalkan bekas gigitan yang berwarna kemerahan.

Aku pun akhirnya melepaskan, dengan rasa yang tidak karuan.

Dia pun kemudian membuka lemari dengan sedikit kasar.

Kulihat, dia mulai berganti pakaian, dengan baju tidur yang tipis dan kurang bahan.

Aku menatapnya, sambil menelan saliva, seiring dengan langkah gemulainya, yang kian mendekat ke arahku.

"Aku akan melayanimu, tapi berikan semua uangmu padaku!"

Link
https://read.kbm.id/book/detail/4b45...9-ed55342f2408
0
1K
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan