

TS
naimatunn5260
Diceraikan Karena Bukan wanita Karier Bab 7
Diceraikan Karena Bukan wanita Karier
Bab 7
Bertemu Mantan
Saat ini aku sudah tidak mau sibuk memikirkan hak atas penjualan rumah itu. Bahkan Mas Galih pun tidak bisa menunaikan keputusan pengadilan mengenai nafkah tiga juta untuk ketiga anaknya. Entah memang dilarang oleh Soraya, atau memang Mas Galih yang sudah tak peduli lagi dengan darah dagingnya.
Setelah proses perceraian kami, dia hanya memberi uang lima ratus ribu. Itu pun karena adikku Tania memberikan ancaman akan memviralkan soal nafkah ini. Mas Galih terpaksa memberi uang pada Tania saat tak sengaja bertemu di restoran dekat kantor Tania. Gadis itu memang sangat pandai menekan orang lain. Apalagi Tania sudah tahu persis dengan permasalahan yang membelitku. Dia yang sangat sayang dengan ketiga keponakannya tak terima melihat ayah mereka melenggang menikmati kehidupan barunya dengan Soraya tanpa memikirkan anak-anak sama sekali.
Aku bisa membayangkan bagaimana Tania mempermalukan pasangan itu di depan banyak orang. Wajah wanita yang merasa dirinya sangat terhormat itu pasti hancur tak berbentuk lagi. Tania berucap bahwa banyak orang yang mengabadikan peristiwa itu. Hanya saja memang hanya uang lima lembar ratusan yang bisa diberikan laki-laki itu. Dia beralasan bahwa tak memegang uang cash. Tania yang memang sedang diburu waktu tak punya pilihan lain. Dia menerima uang itu meski sangat tak puas.
Malam setelah kejadian itu, aku mendapatkan whatsapp penuh ancaman dari Bu Mirna, mantan mertuaku. Aku yakin anak dan menantu kesayangannya sudah melaporkan kejadian itu padanya.
[ Beri tahu adik urakanmu itu untuk tidak mempermalukan anak dan menantuku lagi. Apakah dia sama denganmu yang tak berot*k sama sekali? Beri tahu adikmu, siapa menantuku itu. Kuyakin dia akan beribu kali berpikir jika tahu siapa wanita yang dia permalukan hari ini!]
Begitulah bunyi whatsapp seorang nenek yang berbulan-bulan tak pernah mencari tahu bagaimana kabar ketiga cucunya.
[ Ibu. Bagaimana kabarmu sekarang? Apakah kau makin sehat setelah berhasil mengusirku dan anak-anak? Apa yang adikku lakukan sudah sepantasnya dia lakukan. Siapa tahu Mas Galih lupa dengan kewajibannya memberi nafkah! Sayangnya hanya lima ratus ribu yang mampu dia beri. Apakah uang hasil penjualan rumah sudah habis untuk liburan kalian sekeluarga ke Bali? ]
Tak ada balasan apapun dari wanita itu. Aku yakin dia tak bisa berkata apapun karena memang apa yang kusampaikan memang benar adanya. Dia tak bisa menyangkal karena aku memang mengantongi foto liburan mereka penuh dengan kebahagiaan terpancar dari wajah mereka. Wajah-wajah puas telah berhasil mewujudkan keinginan yang selama ini terpendam, meski ulah mereka membuat anak-anakku harus hidup tanpa ayah mereka.
Uang lima ratus ribu itu adalah pertama dan terakhir kali kudapatkan dari lelaki yang pernah membersamaiku selama enam tahun itu. Setelah itu sama seperti dahulu, tak pernah ada sokongan dana untuk membesarkan anak-anak yang sangat dia sayangi.
Bulan-bulan berikutnya tak pernah sekalipun Mas Galih menanyakan kabar anaknya. Aku cukup lega karena Zayn dan Ziyan tak lagi bertanya kapan ayahnya akan datang mengunjungi mereka. Sepertinya mereka sudah terbiasa tanpa sosok Ayahnya.
Mengingat berapa kerasnya hati Mas Galih dan keluarganya, aku putuskan berhenti menggugat apapun pada mereka. Percuma, manusia yang tak punya hati itu justru dengan santainya posting momen jalan-jalan mereka di medsos. Tak perlu mencari tahu, karena ada saja orang yang tiba-tiba memberi informasi tersebut.
Serapi apapun dia menutupi kegiatan foya-foya mereka, sepertinya Tuhan memberikan celah padaku untuk terus mengetahui tanpa susah payah.
Biarkan, toh usahaku sudah cukup lumayan. Pesanan datang bertubi-tubi. Makin lama makin banyak yang tahu bagaimana cita rasa ayam bakarku. Teman-teman pun membantu mempromosikan jualanku hingga makin banyak pesanan datang. Rasa lelah karena meracik bumbu dan tubuhku yang beraroma asap tak lagi kupedulikan. Ketika susu si kembar dan diapers si kecil sudah bertumpuk-tumpuk maka disitulah aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Mereka juag bisa dengan mudah menikmati makanan yang mereka inginkan. Bahkan sesekali kuajak mereka bermain di wahana permainan sebuah swalayan.
Aku tak ingin mereka kehilangan keceriaan di masa anak-anak mereka. Sebisa mungkin aku harus memberikan kenangan indah dan menghapus trauma mereka terutama kembar yang terkadang mempertanyakan apa yang terjadi pada malam itu. Malam dimana kami diusir dan keluar rumah saat cuaca sangat dingin.
Terkadang aku marah pada keadaan. Mengapa di saat aku susah payah menghapus ingatan buruk mereka di malam itu dan di sisi lain ayah mereka menghabiskan hari-harinya tanpa dosa bergelung kemewahan.
Aku tak akan menyerah pada nasib. Tanganku sudah kekar mengangkat belasan kilo ayam. Bahkan keluar masuk pasar di jalanan becek rela kulakukan demi mendapatkan ayam yang sehat dan segar. Karena tentu saja ayam yang berkualitas membuat cita rasa ayam bakarku makin nikmat.
Pesanan demi pesanan berdatangan. Bahkan aku punya langganan kantor kecamatan dan puskesmas untuk menyediakan makan siang mereka tiga kali dalam seminggu. Terkadang mereka pun ada acara-acara mendadak yang membutuhkan konsumsi berat.
Belum lagi beberapa kali aku bekerja sama dengan pemilik graha yang sering disewa untuk acara pernikahan. Mereka mendapat rekomendasi dari orang-orang yang menggunakan gedung tersebut. Aku benar-benar mengalami kebanjiran pesanan di luar ekspektasiku.
Aku bersyukur dengan semua ini. Mudah-mudahan rejeki untuk anak-anakku makin mengalir lewat usaha ini. Atas rekomendasi dari ibu, aku merekrut satu orang untuk membantu menangani pesanan. Aku menerima saran tersebut karena memang aku tak mampu menjalankan semuanya sendirian.
"Jangan ngoyo, kalau capek jangan maksa diambil. Tubuh punya batas maksimal. Jangan sampai sakit. Anak-anak butuh kamu," ucap Ayah padaku. Aku sering mendapati ayah yang sedang menonton televisi hingga larut saat selesai dari kegiatanku di dapur. Entah kebiasaannya sejak kapan, aku sendiri terkadang heran. Seingatku dia bukan orang yang sering begadang.
Aku yang sedang meracik sambal pelengkap ayam bakar menoleh sambil tersenyum. Wajah teduh itu tersenyum, meski kilat matanya tak bisa berbohong. Ada rasa sedih yang susah payah dia sembunyikan.
"Siap, Pak Bos. Mumpung lagi semangat dan orderan mengalir terus, nggak boleh nolak rejeki. Lagian sudah dibantu Mbak Mi. Tenang, Vinda tahu batas kemampuan sendiri, kok." Aku kembali fokus dengan pekerjaan di depanku. Pesanan 50 box paket ayam bakar ini akan diambil oleh pelanggan jam sepuluh nanti. Sebuah acara perpisahan untuk seorang guru SMA yang purna tugas.
"Ayah nggak ke pasar?"
"Nggak. Hari ini Ayah mau libur dulu. Zayn dan Ziyan minta dibuatkan kolam ikan di belakang. Di pasar Ayah minta Anto yang handle," jawab Ayah sambil berlalu. Mas Anto adalah anak dari Bibik Ratri, adik kandung ayah. Dia sudah dianggap anak sendiri oleh orang tuaku karena ayahnya meninggal saat dia masih kecil.
Kudengar beliau memanggil kedua anak kembarku. Zayn dan Ziyan berseru senang saat Mbah Kung mereka mengabulkan keinginan mereka. Lahan yang cukup luas di belakang rumah merupakan tempat yang nyaman untuk bermain anak-anak. Apalagi jika kolam ikan yang diinginkan mereka berdua dikabulkan oleh Mbah mereka.
***
Aku mendorong troli dan melewati display susu di sebuah swalayan. Kuambil dua karton susu UHT untuk si kembar. Kualihkan langkah ke arah makanan bayi untuk Zoya. Beberapa dus pasta khusus untuk bayi kupindahkan ke troli di depanku. Aneka puff juga kuambil, mengingat gigi Zoya yang mulai tumbuh membuatnya sedang aktif-aktifnya menggigit sesuatu.
Langkahku terhenti saat melihat sejoli mantan pasangan selingkuh itu tengah asyik bercanda sambil memilih snack ringan. Hatiku berdesir saat melihat barang belanjaan mereka yang kebanyakan bukan bahan makanan pokok. Hanya makanan-makanan ringan yang tentunya kalah penting dengan kebutuhan anak-anak.
Kutegakkan tubuhku agar tak terlihat menyedihkan. Tak ada lagi duka yang harus diingat. Aku hanya butuh mental yang kuat agar tak terpancing emosi melihat ketidakadilan di sini. Aku berjalan dan pura-pura tak melihat mereka disini.
"Wah… bisa belanja banyak juga ya?!" tanya Soraya dengan wajah meremehkan. Pakaian dan riasan yang dia kenakan terlalu 'niat' hanya dipakai untuk berbelanja. Suaranya yang kencang membuat beberapa pengunjung mulai memperhatikan kami. Tak ada niat untuk membalas kalimatnya. Aku tetap sibuk dengan pilihan yang ada di depanku.
"Jangan bilang minta uang ke suamiku!" imbuhnya dengan pongah.
Uang suamiku? Aku menghembuskan napas dengan kasar. Aku jengah, apalagi mulai terdengar kasak kusuk di belakangku.
"Uang suamimu? Memangnya cukup untuk membeli kebutuhan anak-anaknya? Bukankah selama ini dia bilang uang gajinya kamu kuasai hingga tak ada sisa?" Pertanyaanku membuat wajah Soraya pucat. Mas Galih terlihat menahan malu. Istrinya yang cantik masih kurang cerdas berhadapan denganku. Bahkan dengan mudahnya dia mempermalukan diri sendiri.
"Apa kau bilang?"
Wajah cantik itu menampilkan mata yang hampir mencolot keluar. Aku tak peduli jika kalimatku akan membuat banyak pasang mata tertuju pada kami. Lagi pula Soraya dulu yang memulainya. Aku hanya menanggapi apa yang wanita itu lakukan.
"Tenang. Tak perlu kuminta nafkah anak-anak pada suamimu itu. Aku tahu berapa gaji pegawai negeri yang istrinya adalah pemuja kemewahan. Aku tak akan menjatuhkan harga diri demi uang tak seberapa itu. Bahkan uang penjualan rumah tak ada yang masuk ke rekeningku sama sekali. Kalau tidak salah… kau gunakan juga untuk membeli kado motor mewah untuk istri barumu. Atau...pergi berlibur satu keluarga ke Pulau Bali? Menginap di hotel mewah yang semakin menguatkan anggapan orang bahwa kalian adalah keluarga bahagia dengan harta berlimpah? Menghabiskan waktu di tepi pantai tanpa memikirkan uang apa yang kalian gunakan? Rumah yang kalian jual itu hasil kerja keras kami berdua. Dan kalian menolak memberi bagian untukku. Apakah seluruh keluarga terhormat memiliki tingkah seperti kalian?" Mas Galih membelalakkan mata. Mungkin dia tak percaya aku mengetahui semua itu. Bahkan dengan rinci menyebutkan agenda mereka di Pulau Dewata.
"Jangan ngarang. Aku beli sendiri dari uang tunjangan sertifikasiku. Aku punya penghasilan yang cukup besar, tak perlu mengemis pada suamiku untuk membelikan sebuah motor. Memangnya kamu! Dan soal liburan kami ke Pulau Bali, itu adalah hadiah dari mertuaku. Ini adalah bentuk rasa syukurnya karena mendapatkan menantu yang selama ini mereka inginkan!"
"Wah…Wah… Bagaimana kalau orang-orang tahu bahwa statusmu waktu itu hanya status palsu? Jadi kamu membeli motor itu sendiri menggunakan uangmu, tetapi kau katakan bahwa itu hadiah dari suamimu. Biar apa? Biar semua orang tau, kalau suami hasil malingmu itu perhatian dan sayang padamu? Menyedihkan sekali hidupmu.
Dan soal kado dari mertuamu, coba telusuri dengan baik. Darimana uang yang dia gunakan itu. Apakah murni uang mereka, atau uang hak anak-anakku!" Soraya meremas troli di depannya. Mas Galih menatap nyalang, bersiap memuntahkan amarah jika tak ingat dimana dia sekarang.
"Cukup, Vin!" Mas Galih akhirnya bersuara. Kutatap wajah yang selalu kukasihi beberapa waktu lalu. Rahangnya mengeras, menyiratkan kemarahan yang amat besar. Jika dulu aku begitu takut saat dia menampilkan emosi seperti ini, kini justru aku menyukainya. Aku ingin tahu sebesar apa nyalinya ribut denganku di depan umum.
"Kau keterlaluan, Vinda!" teriak laki-laki itu.
"Tak perlu berteriak. Tadinya aku tak ada niat untuk mengusik kalian. Bahkan dengan berbesar hati aku tak ingin membuat keributan karena pasti kalianlah yang akan berada di posisi memalukan. Hanya saja istri barumu ini tak bisa diam. Mulutnya tak bisa dikondisikan dengan benar. Rasanya dia tak punya malu barang secuil pun, hingga berniat mempermalukanku padahal sekujur tubuhnya penuh dengan b*rok menjijikkan."
"Vinda. Aku minta maaf, tolong segera pergi dari sini!" Kalimat Mas Galih melemah. Ucapan permohonan maafnya membuat istrinya bereaksi keras.
"Mas.Kok minta maaf, dia yang salah kok minta maaf!" ujar Soraya sambil merajuk. Menjijikkan sekali tingkahnya.
"Lihatlah. Bagaimana wanita yang menyebut dirinya berkelas bahkan tak punya rasa malu sama sekali." Aku mendecih sinis. Kudorong troli hingga tepat persis di sampingnya.
"Belum juga hamil, Soraya? Kukira kalian cepat-cepat mendepakku karena kamu sudah terlanjur hamil. Ternyata belum ya?" Pertanyaanku sukses membuat mereka terdiam. Makin banyak orang yang mendekati kami. Tak kubiarkan aku menjalani peran yang menyedihkan lagi sekarang.
"Kudoakan lekas hamil, kudoakan pula kamu tak perlu merasakan sakitnya terusir sambil mendekap bayi tiga bulan di pelukanmu!"
Nama Pena : Yuli Zaynomi
KBMApp, Joylada, Goodnovel
https://read.kbm.id/book/detail/fe3a...e-292d28ea128b
Bab 7
Bertemu Mantan
Saat ini aku sudah tidak mau sibuk memikirkan hak atas penjualan rumah itu. Bahkan Mas Galih pun tidak bisa menunaikan keputusan pengadilan mengenai nafkah tiga juta untuk ketiga anaknya. Entah memang dilarang oleh Soraya, atau memang Mas Galih yang sudah tak peduli lagi dengan darah dagingnya.
Setelah proses perceraian kami, dia hanya memberi uang lima ratus ribu. Itu pun karena adikku Tania memberikan ancaman akan memviralkan soal nafkah ini. Mas Galih terpaksa memberi uang pada Tania saat tak sengaja bertemu di restoran dekat kantor Tania. Gadis itu memang sangat pandai menekan orang lain. Apalagi Tania sudah tahu persis dengan permasalahan yang membelitku. Dia yang sangat sayang dengan ketiga keponakannya tak terima melihat ayah mereka melenggang menikmati kehidupan barunya dengan Soraya tanpa memikirkan anak-anak sama sekali.
Aku bisa membayangkan bagaimana Tania mempermalukan pasangan itu di depan banyak orang. Wajah wanita yang merasa dirinya sangat terhormat itu pasti hancur tak berbentuk lagi. Tania berucap bahwa banyak orang yang mengabadikan peristiwa itu. Hanya saja memang hanya uang lima lembar ratusan yang bisa diberikan laki-laki itu. Dia beralasan bahwa tak memegang uang cash. Tania yang memang sedang diburu waktu tak punya pilihan lain. Dia menerima uang itu meski sangat tak puas.
Malam setelah kejadian itu, aku mendapatkan whatsapp penuh ancaman dari Bu Mirna, mantan mertuaku. Aku yakin anak dan menantu kesayangannya sudah melaporkan kejadian itu padanya.
[ Beri tahu adik urakanmu itu untuk tidak mempermalukan anak dan menantuku lagi. Apakah dia sama denganmu yang tak berot*k sama sekali? Beri tahu adikmu, siapa menantuku itu. Kuyakin dia akan beribu kali berpikir jika tahu siapa wanita yang dia permalukan hari ini!]
Begitulah bunyi whatsapp seorang nenek yang berbulan-bulan tak pernah mencari tahu bagaimana kabar ketiga cucunya.
[ Ibu. Bagaimana kabarmu sekarang? Apakah kau makin sehat setelah berhasil mengusirku dan anak-anak? Apa yang adikku lakukan sudah sepantasnya dia lakukan. Siapa tahu Mas Galih lupa dengan kewajibannya memberi nafkah! Sayangnya hanya lima ratus ribu yang mampu dia beri. Apakah uang hasil penjualan rumah sudah habis untuk liburan kalian sekeluarga ke Bali? ]
Tak ada balasan apapun dari wanita itu. Aku yakin dia tak bisa berkata apapun karena memang apa yang kusampaikan memang benar adanya. Dia tak bisa menyangkal karena aku memang mengantongi foto liburan mereka penuh dengan kebahagiaan terpancar dari wajah mereka. Wajah-wajah puas telah berhasil mewujudkan keinginan yang selama ini terpendam, meski ulah mereka membuat anak-anakku harus hidup tanpa ayah mereka.
Uang lima ratus ribu itu adalah pertama dan terakhir kali kudapatkan dari lelaki yang pernah membersamaiku selama enam tahun itu. Setelah itu sama seperti dahulu, tak pernah ada sokongan dana untuk membesarkan anak-anak yang sangat dia sayangi.
Bulan-bulan berikutnya tak pernah sekalipun Mas Galih menanyakan kabar anaknya. Aku cukup lega karena Zayn dan Ziyan tak lagi bertanya kapan ayahnya akan datang mengunjungi mereka. Sepertinya mereka sudah terbiasa tanpa sosok Ayahnya.
Mengingat berapa kerasnya hati Mas Galih dan keluarganya, aku putuskan berhenti menggugat apapun pada mereka. Percuma, manusia yang tak punya hati itu justru dengan santainya posting momen jalan-jalan mereka di medsos. Tak perlu mencari tahu, karena ada saja orang yang tiba-tiba memberi informasi tersebut.
Serapi apapun dia menutupi kegiatan foya-foya mereka, sepertinya Tuhan memberikan celah padaku untuk terus mengetahui tanpa susah payah.
Biarkan, toh usahaku sudah cukup lumayan. Pesanan datang bertubi-tubi. Makin lama makin banyak yang tahu bagaimana cita rasa ayam bakarku. Teman-teman pun membantu mempromosikan jualanku hingga makin banyak pesanan datang. Rasa lelah karena meracik bumbu dan tubuhku yang beraroma asap tak lagi kupedulikan. Ketika susu si kembar dan diapers si kecil sudah bertumpuk-tumpuk maka disitulah aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Mereka juag bisa dengan mudah menikmati makanan yang mereka inginkan. Bahkan sesekali kuajak mereka bermain di wahana permainan sebuah swalayan.
Aku tak ingin mereka kehilangan keceriaan di masa anak-anak mereka. Sebisa mungkin aku harus memberikan kenangan indah dan menghapus trauma mereka terutama kembar yang terkadang mempertanyakan apa yang terjadi pada malam itu. Malam dimana kami diusir dan keluar rumah saat cuaca sangat dingin.
Terkadang aku marah pada keadaan. Mengapa di saat aku susah payah menghapus ingatan buruk mereka di malam itu dan di sisi lain ayah mereka menghabiskan hari-harinya tanpa dosa bergelung kemewahan.
Aku tak akan menyerah pada nasib. Tanganku sudah kekar mengangkat belasan kilo ayam. Bahkan keluar masuk pasar di jalanan becek rela kulakukan demi mendapatkan ayam yang sehat dan segar. Karena tentu saja ayam yang berkualitas membuat cita rasa ayam bakarku makin nikmat.
Pesanan demi pesanan berdatangan. Bahkan aku punya langganan kantor kecamatan dan puskesmas untuk menyediakan makan siang mereka tiga kali dalam seminggu. Terkadang mereka pun ada acara-acara mendadak yang membutuhkan konsumsi berat.
Belum lagi beberapa kali aku bekerja sama dengan pemilik graha yang sering disewa untuk acara pernikahan. Mereka mendapat rekomendasi dari orang-orang yang menggunakan gedung tersebut. Aku benar-benar mengalami kebanjiran pesanan di luar ekspektasiku.
Aku bersyukur dengan semua ini. Mudah-mudahan rejeki untuk anak-anakku makin mengalir lewat usaha ini. Atas rekomendasi dari ibu, aku merekrut satu orang untuk membantu menangani pesanan. Aku menerima saran tersebut karena memang aku tak mampu menjalankan semuanya sendirian.
"Jangan ngoyo, kalau capek jangan maksa diambil. Tubuh punya batas maksimal. Jangan sampai sakit. Anak-anak butuh kamu," ucap Ayah padaku. Aku sering mendapati ayah yang sedang menonton televisi hingga larut saat selesai dari kegiatanku di dapur. Entah kebiasaannya sejak kapan, aku sendiri terkadang heran. Seingatku dia bukan orang yang sering begadang.
Aku yang sedang meracik sambal pelengkap ayam bakar menoleh sambil tersenyum. Wajah teduh itu tersenyum, meski kilat matanya tak bisa berbohong. Ada rasa sedih yang susah payah dia sembunyikan.
"Siap, Pak Bos. Mumpung lagi semangat dan orderan mengalir terus, nggak boleh nolak rejeki. Lagian sudah dibantu Mbak Mi. Tenang, Vinda tahu batas kemampuan sendiri, kok." Aku kembali fokus dengan pekerjaan di depanku. Pesanan 50 box paket ayam bakar ini akan diambil oleh pelanggan jam sepuluh nanti. Sebuah acara perpisahan untuk seorang guru SMA yang purna tugas.
"Ayah nggak ke pasar?"
"Nggak. Hari ini Ayah mau libur dulu. Zayn dan Ziyan minta dibuatkan kolam ikan di belakang. Di pasar Ayah minta Anto yang handle," jawab Ayah sambil berlalu. Mas Anto adalah anak dari Bibik Ratri, adik kandung ayah. Dia sudah dianggap anak sendiri oleh orang tuaku karena ayahnya meninggal saat dia masih kecil.
Kudengar beliau memanggil kedua anak kembarku. Zayn dan Ziyan berseru senang saat Mbah Kung mereka mengabulkan keinginan mereka. Lahan yang cukup luas di belakang rumah merupakan tempat yang nyaman untuk bermain anak-anak. Apalagi jika kolam ikan yang diinginkan mereka berdua dikabulkan oleh Mbah mereka.
***
Aku mendorong troli dan melewati display susu di sebuah swalayan. Kuambil dua karton susu UHT untuk si kembar. Kualihkan langkah ke arah makanan bayi untuk Zoya. Beberapa dus pasta khusus untuk bayi kupindahkan ke troli di depanku. Aneka puff juga kuambil, mengingat gigi Zoya yang mulai tumbuh membuatnya sedang aktif-aktifnya menggigit sesuatu.
Langkahku terhenti saat melihat sejoli mantan pasangan selingkuh itu tengah asyik bercanda sambil memilih snack ringan. Hatiku berdesir saat melihat barang belanjaan mereka yang kebanyakan bukan bahan makanan pokok. Hanya makanan-makanan ringan yang tentunya kalah penting dengan kebutuhan anak-anak.
Kutegakkan tubuhku agar tak terlihat menyedihkan. Tak ada lagi duka yang harus diingat. Aku hanya butuh mental yang kuat agar tak terpancing emosi melihat ketidakadilan di sini. Aku berjalan dan pura-pura tak melihat mereka disini.
"Wah… bisa belanja banyak juga ya?!" tanya Soraya dengan wajah meremehkan. Pakaian dan riasan yang dia kenakan terlalu 'niat' hanya dipakai untuk berbelanja. Suaranya yang kencang membuat beberapa pengunjung mulai memperhatikan kami. Tak ada niat untuk membalas kalimatnya. Aku tetap sibuk dengan pilihan yang ada di depanku.
"Jangan bilang minta uang ke suamiku!" imbuhnya dengan pongah.
Uang suamiku? Aku menghembuskan napas dengan kasar. Aku jengah, apalagi mulai terdengar kasak kusuk di belakangku.
"Uang suamimu? Memangnya cukup untuk membeli kebutuhan anak-anaknya? Bukankah selama ini dia bilang uang gajinya kamu kuasai hingga tak ada sisa?" Pertanyaanku membuat wajah Soraya pucat. Mas Galih terlihat menahan malu. Istrinya yang cantik masih kurang cerdas berhadapan denganku. Bahkan dengan mudahnya dia mempermalukan diri sendiri.
"Apa kau bilang?"
Wajah cantik itu menampilkan mata yang hampir mencolot keluar. Aku tak peduli jika kalimatku akan membuat banyak pasang mata tertuju pada kami. Lagi pula Soraya dulu yang memulainya. Aku hanya menanggapi apa yang wanita itu lakukan.
"Tenang. Tak perlu kuminta nafkah anak-anak pada suamimu itu. Aku tahu berapa gaji pegawai negeri yang istrinya adalah pemuja kemewahan. Aku tak akan menjatuhkan harga diri demi uang tak seberapa itu. Bahkan uang penjualan rumah tak ada yang masuk ke rekeningku sama sekali. Kalau tidak salah… kau gunakan juga untuk membeli kado motor mewah untuk istri barumu. Atau...pergi berlibur satu keluarga ke Pulau Bali? Menginap di hotel mewah yang semakin menguatkan anggapan orang bahwa kalian adalah keluarga bahagia dengan harta berlimpah? Menghabiskan waktu di tepi pantai tanpa memikirkan uang apa yang kalian gunakan? Rumah yang kalian jual itu hasil kerja keras kami berdua. Dan kalian menolak memberi bagian untukku. Apakah seluruh keluarga terhormat memiliki tingkah seperti kalian?" Mas Galih membelalakkan mata. Mungkin dia tak percaya aku mengetahui semua itu. Bahkan dengan rinci menyebutkan agenda mereka di Pulau Dewata.
"Jangan ngarang. Aku beli sendiri dari uang tunjangan sertifikasiku. Aku punya penghasilan yang cukup besar, tak perlu mengemis pada suamiku untuk membelikan sebuah motor. Memangnya kamu! Dan soal liburan kami ke Pulau Bali, itu adalah hadiah dari mertuaku. Ini adalah bentuk rasa syukurnya karena mendapatkan menantu yang selama ini mereka inginkan!"
"Wah…Wah… Bagaimana kalau orang-orang tahu bahwa statusmu waktu itu hanya status palsu? Jadi kamu membeli motor itu sendiri menggunakan uangmu, tetapi kau katakan bahwa itu hadiah dari suamimu. Biar apa? Biar semua orang tau, kalau suami hasil malingmu itu perhatian dan sayang padamu? Menyedihkan sekali hidupmu.
Dan soal kado dari mertuamu, coba telusuri dengan baik. Darimana uang yang dia gunakan itu. Apakah murni uang mereka, atau uang hak anak-anakku!" Soraya meremas troli di depannya. Mas Galih menatap nyalang, bersiap memuntahkan amarah jika tak ingat dimana dia sekarang.
"Cukup, Vin!" Mas Galih akhirnya bersuara. Kutatap wajah yang selalu kukasihi beberapa waktu lalu. Rahangnya mengeras, menyiratkan kemarahan yang amat besar. Jika dulu aku begitu takut saat dia menampilkan emosi seperti ini, kini justru aku menyukainya. Aku ingin tahu sebesar apa nyalinya ribut denganku di depan umum.
"Kau keterlaluan, Vinda!" teriak laki-laki itu.
"Tak perlu berteriak. Tadinya aku tak ada niat untuk mengusik kalian. Bahkan dengan berbesar hati aku tak ingin membuat keributan karena pasti kalianlah yang akan berada di posisi memalukan. Hanya saja istri barumu ini tak bisa diam. Mulutnya tak bisa dikondisikan dengan benar. Rasanya dia tak punya malu barang secuil pun, hingga berniat mempermalukanku padahal sekujur tubuhnya penuh dengan b*rok menjijikkan."
"Vinda. Aku minta maaf, tolong segera pergi dari sini!" Kalimat Mas Galih melemah. Ucapan permohonan maafnya membuat istrinya bereaksi keras.
"Mas.Kok minta maaf, dia yang salah kok minta maaf!" ujar Soraya sambil merajuk. Menjijikkan sekali tingkahnya.
"Lihatlah. Bagaimana wanita yang menyebut dirinya berkelas bahkan tak punya rasa malu sama sekali." Aku mendecih sinis. Kudorong troli hingga tepat persis di sampingnya.
"Belum juga hamil, Soraya? Kukira kalian cepat-cepat mendepakku karena kamu sudah terlanjur hamil. Ternyata belum ya?" Pertanyaanku sukses membuat mereka terdiam. Makin banyak orang yang mendekati kami. Tak kubiarkan aku menjalani peran yang menyedihkan lagi sekarang.
"Kudoakan lekas hamil, kudoakan pula kamu tak perlu merasakan sakitnya terusir sambil mendekap bayi tiga bulan di pelukanmu!"
Nama Pena : Yuli Zaynomi
KBMApp, Joylada, Goodnovel
https://read.kbm.id/book/detail/fe3a...e-292d28ea128b
0
613
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan