

TS
naimatunn5260
Larasati
Larasati
Bab 2
Jarak dari desa ke kota, memakan waktu kurang lebih enam jam. Faiz menyetir sendiri mobilnya. Laras hanya diam duduk disampingnya.
Sedikit lagi mereka akan memasuki jalan aspal. Entah seperti apa perasaan Laras sekarang, satu sisi ia senang karena lepas dari keluarga paman dan bibinya yang toxic, namun masih cemas bagaimana hidupnya nanti dengan Faiz.
Bahkan mereka baru bertemu tapi sudah di ikat dengan hubungan sakral yang bernama pernikahan.
Baru beberapa meter melewati jalanan aspal, tiba-tiba Laras mual, perutnya seperti di aduk-aduk.
Faiz yang merasa istrinya itu sedang menahan sesuatu. Segera menepikan mobilnya, dengan sigap ia turun, lalu membukakan pintu untuk Laras dari luar.
"Cepat turun!" perintah Faiz.
Laras mengikutinya.
Hoek hoek!
Lalu keluarlah muntahan dari mulutnya. Faiz, sedikit menjauh. Ia mengambil air minum di dalam mobil lalu memberikannya pada Laras. Segera air itu diminum.
"Kamu mabok?"
Laras mengangguk.
"Kenapa tidak bilang?" Faiz kesal sekali. Perempuan ini hanya membuang waktu saja. Harusnya tadi dia bilang, jadi Faiz bisa membelikannya obat anti mabok.
"Maaf!" Hanya itu jawaban Laras. Dia hanya menunduk tak berani menatap pria tinggi dihadapannya itu.
Faiz berdiri tidak tenang sambil bercakak pinggang. Lalu matanya menatap keseberang jalan seperti mencari sesuatu. Ada kios kecil disana.
"Tunggu disini!" ucapnya ketus.
Laras hanya mengangguk, muntah tadi membuatnya jadi lemas tidak bertenaga. Dia hanya menatap punggung suaminya yang sudah berjalan diseberang.
Lima menit kemudian, Faiz datang membawa kresek, lalu diserahkan pada Laras.
"Ini minum, dan ini oleskan di leher dan di perut!" Pria itu menyodorkan bungkus plastik itu pada wanita yang sudah berstatus sebagai istrinya itu.
Obat anti mabuk dan minyak angin. Laras segera meminumnya, namun untuk minyak angin, hanya dileher saja, di perut Laras tidak berani karena banyak orang yang lalu lalang dijalan itu.
Faiz jengkel, namun cepat mengerti. "Di mobil saja di olesi!" katanya. Faiz masuk kedalam mobil dan di ikuti oleh Laras.
Di mobil dengan susah payah, akhirnya Laras bisa mengoleskan minyak angin keperutnya dengan menutupi dengan kain lain agar tak terlihat oleh Faiz.
"Masih mual?"
Laras menggeleng.
"Dibawa tidur aja, biar jangan muntah lagi. Mau sampai jam berapa lagi kita, kalau Kamu muntah lagi?" gerutu Faiz.
Laras hanya diam dan merasa bersalah. Dia mencoba memejamkan matanya.
Faiz yang biasa membawa mobil dengan kecepatan tinggi, kini menguranginya karena takut Laras mabok lagi.
Sudah setengah perjalanan, Laras rupanya sudah tertidur, barulah Faiz menambah kecepatannya.
Disebuah rumah makan Faiz menghentikan mobilnya. Di tatapnya Laras yang mulai bergerak, mungkin terasa kalau mobil sudah berhenti.
Dia mengucek matanya, lalu menatap keluar. "Apa sudah sampai?" tanyanya pelan.
"Belum, kita makan dulu disini!" Faiz membuka safety beltnya.
Laras pun bersiap hendak turun. Dia merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.
Faiz sudah diluar. Laras pun membuka pintu mobil, terlihat sandal jepit hitam yang sudah mulai usang menapak ditanah, dan itu terlihat oleh Faiz.
Tubuh ringkih itu telah turun sempurna, jangan lupakan baju yang dikenakan Laras, baju kaos merah lengan pendek yang lehernya sudah keriting dan rok plisket warna hitam yang nyaris sama warna dengan sendal usang.
Faiz mendesah. Masak iya dia jalan dengan perempuan modelan Laras. Bagai langit dan bumi, dengan dirinya yang memakai celana jeans biru di padu dengan baju kaos putih bertuliskan Kenzo di dadanya serta sepatu berwarna putih yang harganya saja mencapai angka tiga puluh digit.
Lumayan banyak yang makan, dan dari kalangan atas juga, terlihat dari mobil yang terparkir di halaman rumah makan itu.
Faiz tetap melangkah masuk, sedangkan Laras ragu-ragu. Dia menelisik penampilannya yang jauh dari kata layak berada ditempat bagus seperti ini.
Faiz berdecak, dia mundur lalu menarik tangan Laras untuk masuk. Laras yang tidak siap itupun hampir terjatuh.
Mereka duduk berhadapan, banyak pasang mata yang melihat mereka. Bagai pangeran dan upik abu tentunya. Dilihat-lihat Laras sebenarnya cantik, hanya karena tidak terawat hingga kecantikan itu tidak tampak.
Faiz melahap makanannya dengan cepat. Dia sudah tidak nyaman diperhatikan oleh orang-orang. Melihat Laras yang lamban, membuat Faiz hampir emosi lagi.
Sudah jadi pusat perhatian, tapi makannya seperti siput. Faiz memelototi Laras ketika wanita itu menoleh sambil mulutnya bergerak mengatakan cepat.
Tak terbayang nanti kedepannya. Baru beberapa jam saja, Faiz harus banyak sabar menghadapinya gimana kalau selamanya.
"Aku sudah kenyang!" Laras berucap pelan.
Faiz langsung menatap nasi dihadapan wanita desa itu. Masih banyak, bahkan ia makan hanya sedikit lalu katanya kenyang.
"Ya sudah, tunggu di mobil sana?" perintah Faiz. Dia sendiri beranjak menuju kasir untuk membayarnya.
"Pembantu baru, Mas?" Entah iseng atau kepo, sang kasir bertanya.
Faiz tidak menjawab, tak penting pikirnya.
"Dapat dari mana itu, Mas, kucel amat?" tambah sang kasir lagi.
"Bukan urusanmu!" ucap Faiz, begitu mendapat kembalian uangnya. Sang kasir kaget karena Faiz tampak marah.
Dia menyusul Laras, gadis itu sudah duduk di mobil. Faiz naik, dia memakai sabuk pengamannya, sedangkan Laras ia tidak peduli.
"Olesin lagi minyak angin ke tubuhmu!" perintahnya lagi. Tanpa menjawab Laras melakukannya.
Tinggal tiga jam lagi perjalanan. Faiz menyuruh Laras lagi untuk tidur, biar dia bisa ngebut.
Laras berusaha memejamkan matanya, namun tidak bisa tidur karena dia memang tidak mengantuk.
Hoek
Ckiiiitttt
Sotak Faiz menghentikan kendaraan roda empatnya, untung jalanan lagi sepi, dan itu membuat Laras terbentur dastboard mobil.
Sudah pusing karena mabok ditambah lagi pusing kejedut.
"Ayo turun!" Faiz sudah membuka pintu dari luar. Laras masih memegang keningnya yang sakit.
Dia pun turun, namun tidak muntah. Faiz bersandar di mobil menunggu Laras mengeluarkan isi perutnya.
"Tidak jadi muntah?" tanyanya. Laras sudah akan masuk kemobil dia menatap Faiz dan menggeleng.
"Yasudah, naik cepat, minum lagi obatnya!" Rasanya Faiz sudah seperti orang tua yang mengurus anak kecil.
Sisa perjalanan cukup aman, meski tak tertidur, Laras tidak mabok lagi. Faiz menyuruhnya menghirup aroma minyak angin yang dibelinya tadi. Meski terlambat. Pikirnya.
Mobil memasuki pagar yang telah terbuka, sebuah rumah mewah terpampang nyata di depan mata. Biasanya Laras hanya melihat ini di televisi saja namun kali ini berbeda. Di kampungnya saja tak ada rumah yang semewah ini. Paling besar rumah Wito pria yang menyukainya alias anak kepala desa.
Laras semakin minder jadinya. Dia takut-takut untuk turun. Sedangkan Faiz sudah berada diluar. Dia berdecak tak menemukan Laras dibelakangnya.
Faiz kembali kemobil, lantas membuka pintunya. "Sudah sampai, ayo turun!" Faiz menahan kesal setiap melihat wanita kampung yang sudah dinikahinya itu.
Laras akhirnya turun dia menenteng tas kain yang resletingnya saja sudah rusak, lalu diganti dengan peniti agar menutup isinya.
Diruang tamu sudah ada wanita paruh baya yang cantik, dengan gaun sepanjang betis menghiasi tubuhnya. Wanita itu Liliana, mamanya Faiz.
Dia sudah tahu bahwa putranya akan segera sampai. Untuk itulah ia menunggunya.
"Astaga Faiz!" kata pertama yang terucap dari bibir wanita itu.
Sumpah dia jijik melihat penampilan wanita yang dibawa putranya, dan jangan lupakan bahwa itu adalah menantunya, menantu keluarga Rajasa tentunya.
Tatapannya sangat menusuk hingga membuat Laras tidak nyaman dan bergeser ke belakang suaminya.
"Marni!" tangannya meriap kearah asisten rumah tangganya yang berdiri tidak jauh darinya.
"Iya Nya!"
"Bawa dia kebelakang, tempatkan dikamar pembantu!"
Tanpa bertanya Marni segera mengajak Laras menuju kebelakang. Laras pun mengikuti saja. Tak ada lagi suara antara Faiz dan mamanya. Mereka hanya memperhatikan dua orang yang sudah semakin menjauh dari tempat mereka sekarang.
Liliana mendesah setelah kembali duduk di sofa.
"Faiz, mama mau bicara!" tegur Liliana saat Faiz hendak berlalu meninggalkannya.
Faiz terpaksa berbalik. Dia paling tidak bisa melawan mamanya.
"Iz, kenapa bisa?" Liliana masih tak menyangka bisa-bisanya putranya itu berselera melihat wanita modelan pembantu begitu. Ah bukan, pembantunya masih lebih baik dari pada wanita itu. Lebih mirip pemulung tepatnya.
"Mama percaya?" Faiz justru balik bertanya.
Liliana menggedikkan bahunya. Entahlah, antara percaya atau tidak. Bisa sajakan putranya itu sedang terdesak dan terpaksa, meskipun dia tahu Faiz bukanlah tipe seperti itu.
"Semua terjadi begitu cepat, Ma. Niat Faiz hanya ingin menolong tapi malah kecolong." Faiz pun belum bisa berpikir jernih.
Dia menyesali, kenapa dia peduli melihat gadis itu. Harusnya Faiz memanggil Rojak atau mencari orang lain malam itu, namun rasa tidak teganya itu mamaksanya agar segera menolong gadis itu.
"Ya sudahlah Iz, mau gimana lagi? Kamu nggak keberatan kan dia mama jadikan pembantu? Ya, hitung-hitung pengganti Siti. Kasihan juga Bik Marni sering kewalahan sendiri."
"Terserah mama saja, mama yang berkuasa dirumah ini!" Sungguh mengejutkan jawaban Faiz.
Faiz yang sudah merasa lelah itupun pergi kekamar. Tinggal Liliana sendiri yang sedang merencanakan sesuatu lalu tersenyum jahat.
Penulis : Nury
https://www.id.joylada.com/story/632...0de9fb9fc21749
Bab 2
Jarak dari desa ke kota, memakan waktu kurang lebih enam jam. Faiz menyetir sendiri mobilnya. Laras hanya diam duduk disampingnya.
Sedikit lagi mereka akan memasuki jalan aspal. Entah seperti apa perasaan Laras sekarang, satu sisi ia senang karena lepas dari keluarga paman dan bibinya yang toxic, namun masih cemas bagaimana hidupnya nanti dengan Faiz.
Bahkan mereka baru bertemu tapi sudah di ikat dengan hubungan sakral yang bernama pernikahan.
Baru beberapa meter melewati jalanan aspal, tiba-tiba Laras mual, perutnya seperti di aduk-aduk.
Faiz yang merasa istrinya itu sedang menahan sesuatu. Segera menepikan mobilnya, dengan sigap ia turun, lalu membukakan pintu untuk Laras dari luar.
"Cepat turun!" perintah Faiz.
Laras mengikutinya.
Hoek hoek!
Lalu keluarlah muntahan dari mulutnya. Faiz, sedikit menjauh. Ia mengambil air minum di dalam mobil lalu memberikannya pada Laras. Segera air itu diminum.
"Kamu mabok?"
Laras mengangguk.
"Kenapa tidak bilang?" Faiz kesal sekali. Perempuan ini hanya membuang waktu saja. Harusnya tadi dia bilang, jadi Faiz bisa membelikannya obat anti mabok.
"Maaf!" Hanya itu jawaban Laras. Dia hanya menunduk tak berani menatap pria tinggi dihadapannya itu.
Faiz berdiri tidak tenang sambil bercakak pinggang. Lalu matanya menatap keseberang jalan seperti mencari sesuatu. Ada kios kecil disana.
"Tunggu disini!" ucapnya ketus.
Laras hanya mengangguk, muntah tadi membuatnya jadi lemas tidak bertenaga. Dia hanya menatap punggung suaminya yang sudah berjalan diseberang.
Lima menit kemudian, Faiz datang membawa kresek, lalu diserahkan pada Laras.
"Ini minum, dan ini oleskan di leher dan di perut!" Pria itu menyodorkan bungkus plastik itu pada wanita yang sudah berstatus sebagai istrinya itu.
Obat anti mabuk dan minyak angin. Laras segera meminumnya, namun untuk minyak angin, hanya dileher saja, di perut Laras tidak berani karena banyak orang yang lalu lalang dijalan itu.
Faiz jengkel, namun cepat mengerti. "Di mobil saja di olesi!" katanya. Faiz masuk kedalam mobil dan di ikuti oleh Laras.
Di mobil dengan susah payah, akhirnya Laras bisa mengoleskan minyak angin keperutnya dengan menutupi dengan kain lain agar tak terlihat oleh Faiz.
"Masih mual?"
Laras menggeleng.
"Dibawa tidur aja, biar jangan muntah lagi. Mau sampai jam berapa lagi kita, kalau Kamu muntah lagi?" gerutu Faiz.
Laras hanya diam dan merasa bersalah. Dia mencoba memejamkan matanya.
Faiz yang biasa membawa mobil dengan kecepatan tinggi, kini menguranginya karena takut Laras mabok lagi.
Sudah setengah perjalanan, Laras rupanya sudah tertidur, barulah Faiz menambah kecepatannya.
Disebuah rumah makan Faiz menghentikan mobilnya. Di tatapnya Laras yang mulai bergerak, mungkin terasa kalau mobil sudah berhenti.
Dia mengucek matanya, lalu menatap keluar. "Apa sudah sampai?" tanyanya pelan.
"Belum, kita makan dulu disini!" Faiz membuka safety beltnya.
Laras pun bersiap hendak turun. Dia merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.
Faiz sudah diluar. Laras pun membuka pintu mobil, terlihat sandal jepit hitam yang sudah mulai usang menapak ditanah, dan itu terlihat oleh Faiz.
Tubuh ringkih itu telah turun sempurna, jangan lupakan baju yang dikenakan Laras, baju kaos merah lengan pendek yang lehernya sudah keriting dan rok plisket warna hitam yang nyaris sama warna dengan sendal usang.
Faiz mendesah. Masak iya dia jalan dengan perempuan modelan Laras. Bagai langit dan bumi, dengan dirinya yang memakai celana jeans biru di padu dengan baju kaos putih bertuliskan Kenzo di dadanya serta sepatu berwarna putih yang harganya saja mencapai angka tiga puluh digit.
Lumayan banyak yang makan, dan dari kalangan atas juga, terlihat dari mobil yang terparkir di halaman rumah makan itu.
Faiz tetap melangkah masuk, sedangkan Laras ragu-ragu. Dia menelisik penampilannya yang jauh dari kata layak berada ditempat bagus seperti ini.
Faiz berdecak, dia mundur lalu menarik tangan Laras untuk masuk. Laras yang tidak siap itupun hampir terjatuh.
Mereka duduk berhadapan, banyak pasang mata yang melihat mereka. Bagai pangeran dan upik abu tentunya. Dilihat-lihat Laras sebenarnya cantik, hanya karena tidak terawat hingga kecantikan itu tidak tampak.
Faiz melahap makanannya dengan cepat. Dia sudah tidak nyaman diperhatikan oleh orang-orang. Melihat Laras yang lamban, membuat Faiz hampir emosi lagi.
Sudah jadi pusat perhatian, tapi makannya seperti siput. Faiz memelototi Laras ketika wanita itu menoleh sambil mulutnya bergerak mengatakan cepat.
Tak terbayang nanti kedepannya. Baru beberapa jam saja, Faiz harus banyak sabar menghadapinya gimana kalau selamanya.
"Aku sudah kenyang!" Laras berucap pelan.
Faiz langsung menatap nasi dihadapan wanita desa itu. Masih banyak, bahkan ia makan hanya sedikit lalu katanya kenyang.
"Ya sudah, tunggu di mobil sana?" perintah Faiz. Dia sendiri beranjak menuju kasir untuk membayarnya.
"Pembantu baru, Mas?" Entah iseng atau kepo, sang kasir bertanya.
Faiz tidak menjawab, tak penting pikirnya.
"Dapat dari mana itu, Mas, kucel amat?" tambah sang kasir lagi.
"Bukan urusanmu!" ucap Faiz, begitu mendapat kembalian uangnya. Sang kasir kaget karena Faiz tampak marah.
Dia menyusul Laras, gadis itu sudah duduk di mobil. Faiz naik, dia memakai sabuk pengamannya, sedangkan Laras ia tidak peduli.
"Olesin lagi minyak angin ke tubuhmu!" perintahnya lagi. Tanpa menjawab Laras melakukannya.
Tinggal tiga jam lagi perjalanan. Faiz menyuruh Laras lagi untuk tidur, biar dia bisa ngebut.
Laras berusaha memejamkan matanya, namun tidak bisa tidur karena dia memang tidak mengantuk.
Hoek
Ckiiiitttt
Sotak Faiz menghentikan kendaraan roda empatnya, untung jalanan lagi sepi, dan itu membuat Laras terbentur dastboard mobil.
Sudah pusing karena mabok ditambah lagi pusing kejedut.
"Ayo turun!" Faiz sudah membuka pintu dari luar. Laras masih memegang keningnya yang sakit.
Dia pun turun, namun tidak muntah. Faiz bersandar di mobil menunggu Laras mengeluarkan isi perutnya.
"Tidak jadi muntah?" tanyanya. Laras sudah akan masuk kemobil dia menatap Faiz dan menggeleng.
"Yasudah, naik cepat, minum lagi obatnya!" Rasanya Faiz sudah seperti orang tua yang mengurus anak kecil.
Sisa perjalanan cukup aman, meski tak tertidur, Laras tidak mabok lagi. Faiz menyuruhnya menghirup aroma minyak angin yang dibelinya tadi. Meski terlambat. Pikirnya.
Mobil memasuki pagar yang telah terbuka, sebuah rumah mewah terpampang nyata di depan mata. Biasanya Laras hanya melihat ini di televisi saja namun kali ini berbeda. Di kampungnya saja tak ada rumah yang semewah ini. Paling besar rumah Wito pria yang menyukainya alias anak kepala desa.
Laras semakin minder jadinya. Dia takut-takut untuk turun. Sedangkan Faiz sudah berada diluar. Dia berdecak tak menemukan Laras dibelakangnya.
Faiz kembali kemobil, lantas membuka pintunya. "Sudah sampai, ayo turun!" Faiz menahan kesal setiap melihat wanita kampung yang sudah dinikahinya itu.
Laras akhirnya turun dia menenteng tas kain yang resletingnya saja sudah rusak, lalu diganti dengan peniti agar menutup isinya.
Diruang tamu sudah ada wanita paruh baya yang cantik, dengan gaun sepanjang betis menghiasi tubuhnya. Wanita itu Liliana, mamanya Faiz.
Dia sudah tahu bahwa putranya akan segera sampai. Untuk itulah ia menunggunya.
"Astaga Faiz!" kata pertama yang terucap dari bibir wanita itu.
Sumpah dia jijik melihat penampilan wanita yang dibawa putranya, dan jangan lupakan bahwa itu adalah menantunya, menantu keluarga Rajasa tentunya.
Tatapannya sangat menusuk hingga membuat Laras tidak nyaman dan bergeser ke belakang suaminya.
"Marni!" tangannya meriap kearah asisten rumah tangganya yang berdiri tidak jauh darinya.
"Iya Nya!"
"Bawa dia kebelakang, tempatkan dikamar pembantu!"
Tanpa bertanya Marni segera mengajak Laras menuju kebelakang. Laras pun mengikuti saja. Tak ada lagi suara antara Faiz dan mamanya. Mereka hanya memperhatikan dua orang yang sudah semakin menjauh dari tempat mereka sekarang.
Liliana mendesah setelah kembali duduk di sofa.
"Faiz, mama mau bicara!" tegur Liliana saat Faiz hendak berlalu meninggalkannya.
Faiz terpaksa berbalik. Dia paling tidak bisa melawan mamanya.
"Iz, kenapa bisa?" Liliana masih tak menyangka bisa-bisanya putranya itu berselera melihat wanita modelan pembantu begitu. Ah bukan, pembantunya masih lebih baik dari pada wanita itu. Lebih mirip pemulung tepatnya.
"Mama percaya?" Faiz justru balik bertanya.
Liliana menggedikkan bahunya. Entahlah, antara percaya atau tidak. Bisa sajakan putranya itu sedang terdesak dan terpaksa, meskipun dia tahu Faiz bukanlah tipe seperti itu.
"Semua terjadi begitu cepat, Ma. Niat Faiz hanya ingin menolong tapi malah kecolong." Faiz pun belum bisa berpikir jernih.
Dia menyesali, kenapa dia peduli melihat gadis itu. Harusnya Faiz memanggil Rojak atau mencari orang lain malam itu, namun rasa tidak teganya itu mamaksanya agar segera menolong gadis itu.
"Ya sudahlah Iz, mau gimana lagi? Kamu nggak keberatan kan dia mama jadikan pembantu? Ya, hitung-hitung pengganti Siti. Kasihan juga Bik Marni sering kewalahan sendiri."
"Terserah mama saja, mama yang berkuasa dirumah ini!" Sungguh mengejutkan jawaban Faiz.
Faiz yang sudah merasa lelah itupun pergi kekamar. Tinggal Liliana sendiri yang sedang merencanakan sesuatu lalu tersenyum jahat.
Penulis : Nury
https://www.id.joylada.com/story/632...0de9fb9fc21749
0
693
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan