Jakarta, CNBC Indonesia - B
adan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mengungkapkan aset kripto telah berkontribusi sebesar Rp246,45 miliar pada pajak fintech tahun 2022 yang sebesar Rp 456,49 miliar. Sehingga, sebesar 53,99% perolehan pajak fintech 2022 berasal dari aset kripto.
Hal ini berhasil dicapai di kalah jumlah investor dan tren transaksi kripto tengah menurun. Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) Bappebti Tirta Karma Senjaya menyebut jumlah investor kripto di Indonesia pada pertengahan tahun 2022 sampai awal tahun 2023 mencapai 16,9 juta. Jumlah ini tidak naik secara signifikan bila dibandingkan dengan tahun periode sebelumnya.
Sementara itu, total nilai transaksi aset kripto juga anjlok dari tahun 2021. Total transaksi aset kripto sebesar Rp859,4 triliun di tahun 2021, sementara di tahun 2022 sebesar Rp306,4 triliun. Maka dari itu, aset kripto menjadi penting dan perlu ekosistem serta regulasi pengawasan perdagangan yang baik.
Baca: Diguncang Sikap Hawkish The Fed, Bitcoin-Ethereum cs Drop!
"Kita akan selalu terus lengkapi sehingga nanti ketika kita melakukan tindak lanjut dari Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan P2SK kepada Otoritas Jasa Keuangan," ujar Tirta saat dalam webinar Perlindungan Konsumen Aset Kripto pada UU PPSK pada Senin (27/02/2023).
Untuk itu, Tirta menyampaikan bahwa pihaknya tengah mempersiapkan transisi pengawasan kripto kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Saat ini, Bappebti tengah merancang sebuah sistem pengawasan yang ketat untuk aset kripto guna menciptakan keamanan dari sisi ekosistem kripto.
Ada beberapa syarat dan ketentuan terkait sistem entitas perdagangan fisik aset kripto. Antara lain, pengamanan open application programming interface, server atau cloud yang memiliki cadangan dan ditempatkan di Indonesia, serta ISO 27001.
link
Segitu gan nilainya
Hati-hati juga kalau nyimpen di luar ya gan
Quote:
Kejar Pengemplang Pajak di LN, DJP Pakai Jaringan 'Misterius'
Jakarta, CNBC Indonesia - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mendapatkan kewenangan baru melalui Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 untuk penerapan perjanjian internasional di bidang perpajakan yang lebih luas.
Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama mengatakan, sebelum adanya PP Nomor 55 Tahun 2022 sebagai turunan dari Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ketentuan terkait ini hanya mencakup persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) saja.
"Yang kami atur sebetulnya perluasan dari ketentuan dalam UU sebelumnya yang mengatur penghindaran pajak berganda saja," ucap Mekar dalam webinar MUC Consulting, Kamis (16/2/2023).
Baca:Nih 5 Senjata DJP, Pengemplang Pajak Tak Bisa Lagi Kabur!
Dengan PP yang baru ini perjanjian atau kesepakatan perpajakan secara bilateral dan multilateral meliputi penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba, pertukaran informasi perpajakan, bantuan penagihan pajak, dan kerja sama lainnya.
"Di bagian terakhir ini, kerja sama perpajakan lainnya, itu bagian yang kami munculkan sebagai antisipasi terhadap pilar 1 dan pilar 2 (Proposal OECD)," tutur Mekar.
Adapun jenis-jenis perjanjian atau kesepakatan perjanjian internasional itu, seperti konvensi multilateral dan bilateral atau persetujuan lainnya, konvensi tentang bantuan administratif bersama di bidang perpajakan, persetujuan pertukaran informasi, hingga kesepakatan mengatasi tantangan pemajakan akibat digitalisasi ekonomi dan penggerusan basis pemajakan.
Terkait pertukaran informasi, diatur secara khusus pengaturan wewenang Dirjen Pajak untuk melaksanakan pertukaran informasi untuk tujuan perpajakan dengan otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra.
"Dan juga wewenang untuk meminta informasi kepada wajib pajak atau pihak lain dalam rangka pertukaran informasi. Ini terkait dengan data finansial, rekening-rekening keuangan perbankan," ucap Mekar.
Baca

uit Korban Indosurya Dibawa Kabur ke Negara Surga Pajak Ini
Selain itu, wewenang Dirjen Pajak melaksanakan perjanjian atau kesepakatan di bidang perpajakan ini meliputi wewenang untuk mengatasi tantangan pemajakan akibat dari digitalisasi ekonomi, penggerusan basis pemajakan, dan penggeseran laba lainnya.
Menurut Mekar, ini sebetulnya juga tercakup pilar satu terkait tantangan akibat digitalisasi ekonomi, di mana perusahaan multinasional yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam perjanjian atau kesepakatan dianggap memenuhi kewajiban pajak subjektif dan objektif sehingga dikenakan pajak di Indonesia.
"Kemudian untuk pilar duanya pengaturannya meliputi untuk mengatasi tantangan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba lainnya, grup perusahaan multinasional yang tercakup dalam perjanjian atau kesepakatan pilar dua dapat dikenai pajak minimum global di Indonesia berdasarkan perjanjian atau kesepakatan," ungkap Mekar.
link