

TS
naimatunn5260
Video Viral Di Pesta Pernikahan Suamiku (Bab 3)
VIDEO VIRAL DI PESTA PERNIKAHAN SUAMIKU
Part 3.
Rumput tetangga lebih menggoda.
POV. Abi
[Mas, aku sudah tidak kuat ....]
Sebuah pesan masuk, di aplikasi berlogo gagang telpon berwarna hijau. Pesan dari Reina, istrinya Pak Arman, rekan kerja sekantorku.
Pak Arman adalah atasanku. Namun semenjak dia sakit-sakitan, dia sudah tidak bisa lagi bekerja. Dan aku adalah salah satu rekan kerjanya yang paling sering menjenguknya.
Menjenguk ketika dia dirawat di rumah sakit, juga menjenguk ketika dia menjalani rawat jalan di rumah.
Setiap menjenguk Pak Arman, otomatis aku akan bertemu dengan istrinya. Istrinya yang selalu berpenampilan cantik dan seksi layaknya selebriti.
Karena seringnya aku menjenguk Pak Arman, aku pun menjadi akrab dengan istrinya. Dia menjadi sering mengungkapkan keluh kesahnya kepadaku. Dan aku pun tidak bisa untuk tidak membalasnya, jika perempuan cantik itu sudah mengirimkan pesan-pesannya.
[Tidak kuat bagaimana, maksudnya?]
Sambil menengok ke kanan dan ke kiri, aku membalas pesannya. Aku takut istriku akan mengetahuinya.
Ya, meskipun aku dan Reina tidak sedang terlibat perselingkuhan, tetap saja ada kekhawatiran, saat aku dan dia sedang berbalas chat seperti ini. Aku takut istriku akan salah paham dan menuduh yang bukan-bukan.
[Bebanku terlalu berat.] Sebuah emotikon menangis banjir air mata, pun menyertai kalimat yang ditulisnya.
[Sabar, semua akan indah pada waktunya.]
Begitulah kalimat yang sering kutuliskan, setiap kali dia mulai berkeluh kesah tentang suaminya.
[Bagaimana mau indah? Sedang suamiku sudah tidak mampu memberikan nafkah. Aku wanita normal, Mas ....]
Deg. Apa maksudnya coba, dia berkata seperti itu. Apakah itu artinya, dia mau meminta nafkah dariku?
Apakah yang dikatakan itu adalah semacam lampu hijau untukku?
[Maksudnya bagaimana?] Aku bertanya, karena takut salah sangka.
[Kamu memang tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu?] Dia justru balik bertanya. Membuat aku kian gemas saja.
[Aku takut salah menafsirkan.] balasku.
[Kita sudah sama-sama dewasa. Sudah sama-sama berumah tangga. Tentunya kamu tahu, apa maksudku.] balasnya kemudian.
[Berceritalah kepadaku. Tumpahkan segala perasaanmu. Aku siap mendengarnya.]
[Kamu tahu kan, Mas. Suamiku itu sudah tua. Apalagi sekarang sudah sakit-sakitan. Sebelum sakit-sakitan pun, bahkan nafkahku sering terabaikan. Aku masih muda, Mas. Tidak munafik, aku butuh ....]
Ya, aku semakin paham. Dia memang masih muda, seumuran dengan istriku. Mungkin usianya baru sekitar dua puluh lima tahun. Sementara, suaminya sudah tujuh puluh tahun. Aku mengerti.
*****
Witing tresno jalaran seka kulina. Mungkin itu adalah pepatah yang paling cocok untuk menggambarkan keadaan kami berdua. Semenjak saat itu, dia sering bercerita tentang banyak hal. Bahkan, tidak segan-segan, dia juga bercerita tentang hubungan ranjangnya dengan suaminya itu kepadaku.
Aku yang semula tidak begitu mengenalnya, kemudian mulai bersimpati, melihat bagaimana dia merawat suaminya. Dan karena seringnya kami bertemu, akhirnya diam-diam aku pun mengaguminya.
Mengagumi cara berpikirnya yang terkesan cerdas dan terbuka. Mengagumi penampilannya yang selalu tampak segar dipandang mata.
Dia terlihat begitu sempurna sebagai seorang istri. Pandai dalam hal merawat diri, dan juga pandai merawat suami.
Diam-diam, aku bahkan mulai membanding-bandingkan dengan istriku yang ada di rumah.
Istriku memang cantik, namun istrinya Pak Arman terlihat jauh lebih cetar. Mungkin karena istriku yang selalu berpakaian longgar, sedangkan istrinya Pak Arman selalu berpakaian ketat dan seksi, dengan belahan dada yang begitu rendah.
Sebagai laki-laki normal, tentu saja aku sering membayangkannya. Membayangkan, jika aku memiliki Reina.
Pepatah tentang rumput tetangga lebih hijau, kini mulai ada di pikiranku. Istriku yang dulu tampak cantik sempurna, kini telah mulai kalah pesonanya, dibanding dengan istri atasanku.
Apalagi dengan melihat keadaannya yang memprihatinkan seperti ini. Aku menjadi semakin bersimpati.
Dia sungguh-sungguh wanita yang mandiri. Berbeda dengan istriku, yang apa-apa selalu meminta tolong kepadaku.
*****
[Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un. Telah berpulang rejan kerja kita Pak Arman Maulana Yusuf, karena sakit yang dideritanya. Semoga almarhum Husnul khatimah, mendapatkan tempat yang terbaik di sisinya. Keluarga yang ditinggalkan, semoga diberikan kesabaran.]
Baru saja aku membaca sebuah chat yang masuk di wa grup kantor, tiba-tiba ponselku berdering.
Sebuah kontak bernama Pak Arman, memanggilku. Ya, semenjak suaminya sakit, memang istrinya selalu menggunakan ponsel suaminya itu, untuk menghubungiku.
Lekas aku mengangkatnya. Satu detik kemudian, sudah terdengar suara tangis seorang perempuan.
"Mas, suamiku sudah meninggal ...."
"Tenang, kamu tenang, ya? Aku akan segera datang." Aku menenangkannya dengan gusar.
Istriku yang tampak curiga, kubiarkan saja. Alasan anak yang sedang sakit, tidak mampu menghalangi niatku untuk mendatangi perempuan yang sedang berduka itu.
Bagiku, saat ini Reina sangatlah penting. Bagaimanapun juga, suaminya adalah dulu atasanku.
Kulajukan mobilku menembus hujan yang turun dengan deras. Jangankan hujan biasa. Bahkan jika ada hujan badai atau hujan batu pun, aku pasti akan menembusnya, demi bisa sampai ke sana secepatnya.
Seperempat jam kemudian, aku sudah sampai ke rumah duka. Jenasah sudah disemayamkan. Istrinya duduk di sampingnya, larut dalam tangisan.
Perempuan yang hebat. Perempuan yang kuat. Setelah beberapa bulan merawat suaminya dengan begitu telatennya, saat suaminya meninggal, dia masih saja merasa berduka dan begitu kehilangan. Bukan malah merasa lega karena sudah tidak ada beban.
Lekas, aku duduk di sampingnya. Ikut melafalkan doa-doa. Beberapa orang mulai berdatangan. Ucapan belasungkawa pun terucap dari rekan-rekannya.
Hingga akhirnya ada kejadian yang terlihat begitu menyedihkan. Perempuan itu pingsan berkali-kali.
Melihat keadaan yang sangat menyedihkan seperti itu, aku pun memutuskan untuk tetap berada di sini.
Apalagi jika melihat anaknya yang masih kecil. Sungguh, aku merasa tidak tega. Anak yang seumuran dengan Raya, namun sudah menjadi yatim, ditinggal mati oleh ayahnya.
Anaknya terus-terusan menangis, sementara mamanya terbaring tidak sadarkan diri.
Mau tidak mau, akulah yang menenangkan anak itu. Menggendongnya sepanjang malam hingga pagi.
Pagi-pagi sekali, Anjani sudah menelponku, menanyakan tentang kepulanganku. Kujawab saja, bahwa jenasah belum dikebumikan, dan aku belum bisa pulang.
Namun tidak berselang lama kemudian, dia justru melakukan panggilan video.
Aku yang sedang menggendong sambil menyuapi Dita anaknya Pak Arman, pun langsung mengangkat panggilan video itu.
Ternyata Raya yang menelpon. Raya terlihat sangat marah. Dan telpon pun langsung dimatikan.
Sudahlah, biar saja. Hanya anak kecil. Nanti bisa kubujuk dengan membelikan boneka baru.
Setelah itu, telpon pun kembali berdering. Namun kubiarkan saja. Aku khawatir, jika Raya mengadu kepada mamanya, dan kemudian istriku itu akan mengomeliku, aku akan malu. Masih ada banyak orang di sini.
Kuteruskan saja kegiatanku menyuapi anak kecil itu, tanpa kuhiraukan suara dering ponselku.
Hingga akhirnya jenazah pun dibawa ke pemakaman, dan dikebumikan.
Saat pemakaman itulah, Reina kembali pingsan. Sehingga dia harus dipapah, dan kemudian dimasukkan ke dalam mobil. Melihatnya, aku semakin merasa tidak tega. Kasihan sekali, dia.
Usai jenazah dikebumikan, para pelayat pun kemudian pulang ke rumah masing-masing.
Sementara, aku justru masih merasa ragu. Ingin langsung pulang, aku tidak tega dengan anak istrinya Pak Arman, sementara jika ingin tetap di rumah mereka, aku takut akan timbul fitnah. Entahlah. Biar saja nanti aku melihat situasi dan kondisi.
Masih dalam gendonganku, aku kembali membawa Dita pulang ke rumahnya.
Rumah sudah sepi, karena semua pelayat sudah pergi. Hanya menyisakan aku, Reina, Dita, dan juga adiknya Reina, yang baru saja datang dari luar kota.
"Dita, Om pulang dulu, ya?" Aku menurunkan anak kecil itu dari gendonganku.
"Jangan pulang, Om. Dita mau sama Om ...." Anak kecil itu mengerjabkan matanya, membuat aku menjadi lebih tidak tega.
Akhirnya aku mengulur waktuku. Mengajaknya bermain di teras depan. Kuajak dia bermain boneka, hingga anak itu kembali ceria, dan tidak lagi menanyakan papanya.
Anak itu kini terlihat begitu ceria. Dia terlihat begitu nyaman bersamaku. Tidak mau lepas dari pangkuanku.
"Maaf, Mas, jika anakku merepotkanmu ...."
Perempuan yang matanya tampak sembab itu, menatap dengan rasa bersalah ke arahku.
"Oh, tidak kok. Tidak apa-apa. Tidak merepotkan sama sekali," jawabku.
"Terimakasih banyak, Mas. Aku tidak tahu lagi, jika tidak ada Mas Abi. Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya harus berterimakasih kepada Mas Abi. Semenjak Mas Arman sakit, Mas Abi lah, yang paling rajin menengoknya ...." Perempuan itu kembali menangis.
"Sudah, jangan dipikirkan. Aku ikhlas melakukannya ...."
"Aku tidak tahu, bagaimana caranya membalas budi baikmu, Mas ...." Lelehan air matanya terlihat semakin deras.
"Aku tidak meminta balasan apa-apa. Pak Arman adalah atasan yang baik. Setelah beliau meninggal pun, aku ingin tetap menjalin silaturahmi kepada kalian. Kamu jangan pernah berfikir bahwa kamu itu merepotkan. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Sudah jangan menangis. Tataplah hidupmu ke depan. Bersemangatlah. Suatu hari nanti, kebahagiaan itu pasti akan datang." Aku menghiburnya.
Dia pun kemudian masuk ke dalam. Sementara aku masih bermain boneka bersama anaknya.
Saat aku dan anak kecil itu sedang sibuk bermain-main, tiba-tiba saja aku mendengar ada suara teriakan dari dalam.
Spontan, aku pun segera berlari ke arah datangnya suara.
"Mbak Reina kakinya terkena air panas!" teriak adiknya.
Aku melihat, Reina sudah berpegangan pada meja. Dia sepertinya tidak bisa lagi berdiri dengan tegak.
"Kamu kenapa bisa terkena air panas?" tanyaku penasaran.
"Aku rencananya mau membuatkan kopi untuk Mas Abi." Dia menundukkan wajahnya.
"Ya Allah, kenapa kamu repot-repot?" Aku mendadak merasa bersalah.
"Dina, tolong kamu belikan obat untuk Mbak. Ada apotik di perempatan sebelah sana."
"Apotiknya di mana, Mbak? Aku tidak tahu daerah sini," jawab adiknya.
"Kamu ajaklah Dita. Dita sudah tahu tempatnya. Nanti kalau apotik yang sebelah barat tutup, kamu pergilah ke apotik sebelah utara. Anggap saja jalan-jalan sambil momong. Ini uangnya. Jajanlah sepuasnya!" Reina memberikan beberapa lembar uang merah kepada adiknya.
Adiknya yang dipanggil Dina itu kemudian langsung bergegas ke luar dari rumah, mengajak keponakannya.
Sementara aku hanya bisa terpaku, menatap Reina yang terlihat kesakitan.
"Mas, aku tidak bisa berjalan ...." keluh perempuan cantik itu.
"Terus, aku harus bagaimana?" tanyaku bingung.
"Tolong, bantu aku sampai ke kamar. Aku mau ganti pakaian yang lebih nyaman. Yang ini sudah basah, terkena air panas ...." Dia berbicara dengan begitu lirih, seperti orang yang tidak berdaya.
"Lihatlah yang terkena air panas ...." Dia menatapku dengan tatapan memelas.
Kemudian dia menyibak pakaian panjangnya, dan tampaklah ....
Bersambung ....
Penulis : EnikY
https://read.kbm.id/book/detail/ecaf...e-292d28ea128b
Part 3.
Rumput tetangga lebih menggoda.
POV. Abi
[Mas, aku sudah tidak kuat ....]
Sebuah pesan masuk, di aplikasi berlogo gagang telpon berwarna hijau. Pesan dari Reina, istrinya Pak Arman, rekan kerja sekantorku.
Pak Arman adalah atasanku. Namun semenjak dia sakit-sakitan, dia sudah tidak bisa lagi bekerja. Dan aku adalah salah satu rekan kerjanya yang paling sering menjenguknya.
Menjenguk ketika dia dirawat di rumah sakit, juga menjenguk ketika dia menjalani rawat jalan di rumah.
Setiap menjenguk Pak Arman, otomatis aku akan bertemu dengan istrinya. Istrinya yang selalu berpenampilan cantik dan seksi layaknya selebriti.
Karena seringnya aku menjenguk Pak Arman, aku pun menjadi akrab dengan istrinya. Dia menjadi sering mengungkapkan keluh kesahnya kepadaku. Dan aku pun tidak bisa untuk tidak membalasnya, jika perempuan cantik itu sudah mengirimkan pesan-pesannya.
[Tidak kuat bagaimana, maksudnya?]
Sambil menengok ke kanan dan ke kiri, aku membalas pesannya. Aku takut istriku akan mengetahuinya.
Ya, meskipun aku dan Reina tidak sedang terlibat perselingkuhan, tetap saja ada kekhawatiran, saat aku dan dia sedang berbalas chat seperti ini. Aku takut istriku akan salah paham dan menuduh yang bukan-bukan.
[Bebanku terlalu berat.] Sebuah emotikon menangis banjir air mata, pun menyertai kalimat yang ditulisnya.
[Sabar, semua akan indah pada waktunya.]
Begitulah kalimat yang sering kutuliskan, setiap kali dia mulai berkeluh kesah tentang suaminya.
[Bagaimana mau indah? Sedang suamiku sudah tidak mampu memberikan nafkah. Aku wanita normal, Mas ....]
Deg. Apa maksudnya coba, dia berkata seperti itu. Apakah itu artinya, dia mau meminta nafkah dariku?
Apakah yang dikatakan itu adalah semacam lampu hijau untukku?
[Maksudnya bagaimana?] Aku bertanya, karena takut salah sangka.
[Kamu memang tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu?] Dia justru balik bertanya. Membuat aku kian gemas saja.
[Aku takut salah menafsirkan.] balasku.
[Kita sudah sama-sama dewasa. Sudah sama-sama berumah tangga. Tentunya kamu tahu, apa maksudku.] balasnya kemudian.
[Berceritalah kepadaku. Tumpahkan segala perasaanmu. Aku siap mendengarnya.]
[Kamu tahu kan, Mas. Suamiku itu sudah tua. Apalagi sekarang sudah sakit-sakitan. Sebelum sakit-sakitan pun, bahkan nafkahku sering terabaikan. Aku masih muda, Mas. Tidak munafik, aku butuh ....]
Ya, aku semakin paham. Dia memang masih muda, seumuran dengan istriku. Mungkin usianya baru sekitar dua puluh lima tahun. Sementara, suaminya sudah tujuh puluh tahun. Aku mengerti.
*****
Witing tresno jalaran seka kulina. Mungkin itu adalah pepatah yang paling cocok untuk menggambarkan keadaan kami berdua. Semenjak saat itu, dia sering bercerita tentang banyak hal. Bahkan, tidak segan-segan, dia juga bercerita tentang hubungan ranjangnya dengan suaminya itu kepadaku.
Aku yang semula tidak begitu mengenalnya, kemudian mulai bersimpati, melihat bagaimana dia merawat suaminya. Dan karena seringnya kami bertemu, akhirnya diam-diam aku pun mengaguminya.
Mengagumi cara berpikirnya yang terkesan cerdas dan terbuka. Mengagumi penampilannya yang selalu tampak segar dipandang mata.
Dia terlihat begitu sempurna sebagai seorang istri. Pandai dalam hal merawat diri, dan juga pandai merawat suami.
Diam-diam, aku bahkan mulai membanding-bandingkan dengan istriku yang ada di rumah.
Istriku memang cantik, namun istrinya Pak Arman terlihat jauh lebih cetar. Mungkin karena istriku yang selalu berpakaian longgar, sedangkan istrinya Pak Arman selalu berpakaian ketat dan seksi, dengan belahan dada yang begitu rendah.
Sebagai laki-laki normal, tentu saja aku sering membayangkannya. Membayangkan, jika aku memiliki Reina.
Pepatah tentang rumput tetangga lebih hijau, kini mulai ada di pikiranku. Istriku yang dulu tampak cantik sempurna, kini telah mulai kalah pesonanya, dibanding dengan istri atasanku.
Apalagi dengan melihat keadaannya yang memprihatinkan seperti ini. Aku menjadi semakin bersimpati.
Dia sungguh-sungguh wanita yang mandiri. Berbeda dengan istriku, yang apa-apa selalu meminta tolong kepadaku.
*****
[Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un. Telah berpulang rejan kerja kita Pak Arman Maulana Yusuf, karena sakit yang dideritanya. Semoga almarhum Husnul khatimah, mendapatkan tempat yang terbaik di sisinya. Keluarga yang ditinggalkan, semoga diberikan kesabaran.]
Baru saja aku membaca sebuah chat yang masuk di wa grup kantor, tiba-tiba ponselku berdering.
Sebuah kontak bernama Pak Arman, memanggilku. Ya, semenjak suaminya sakit, memang istrinya selalu menggunakan ponsel suaminya itu, untuk menghubungiku.
Lekas aku mengangkatnya. Satu detik kemudian, sudah terdengar suara tangis seorang perempuan.
"Mas, suamiku sudah meninggal ...."
"Tenang, kamu tenang, ya? Aku akan segera datang." Aku menenangkannya dengan gusar.
Istriku yang tampak curiga, kubiarkan saja. Alasan anak yang sedang sakit, tidak mampu menghalangi niatku untuk mendatangi perempuan yang sedang berduka itu.
Bagiku, saat ini Reina sangatlah penting. Bagaimanapun juga, suaminya adalah dulu atasanku.
Kulajukan mobilku menembus hujan yang turun dengan deras. Jangankan hujan biasa. Bahkan jika ada hujan badai atau hujan batu pun, aku pasti akan menembusnya, demi bisa sampai ke sana secepatnya.
Seperempat jam kemudian, aku sudah sampai ke rumah duka. Jenasah sudah disemayamkan. Istrinya duduk di sampingnya, larut dalam tangisan.
Perempuan yang hebat. Perempuan yang kuat. Setelah beberapa bulan merawat suaminya dengan begitu telatennya, saat suaminya meninggal, dia masih saja merasa berduka dan begitu kehilangan. Bukan malah merasa lega karena sudah tidak ada beban.
Lekas, aku duduk di sampingnya. Ikut melafalkan doa-doa. Beberapa orang mulai berdatangan. Ucapan belasungkawa pun terucap dari rekan-rekannya.
Hingga akhirnya ada kejadian yang terlihat begitu menyedihkan. Perempuan itu pingsan berkali-kali.
Melihat keadaan yang sangat menyedihkan seperti itu, aku pun memutuskan untuk tetap berada di sini.
Apalagi jika melihat anaknya yang masih kecil. Sungguh, aku merasa tidak tega. Anak yang seumuran dengan Raya, namun sudah menjadi yatim, ditinggal mati oleh ayahnya.
Anaknya terus-terusan menangis, sementara mamanya terbaring tidak sadarkan diri.
Mau tidak mau, akulah yang menenangkan anak itu. Menggendongnya sepanjang malam hingga pagi.
Pagi-pagi sekali, Anjani sudah menelponku, menanyakan tentang kepulanganku. Kujawab saja, bahwa jenasah belum dikebumikan, dan aku belum bisa pulang.
Namun tidak berselang lama kemudian, dia justru melakukan panggilan video.
Aku yang sedang menggendong sambil menyuapi Dita anaknya Pak Arman, pun langsung mengangkat panggilan video itu.
Ternyata Raya yang menelpon. Raya terlihat sangat marah. Dan telpon pun langsung dimatikan.
Sudahlah, biar saja. Hanya anak kecil. Nanti bisa kubujuk dengan membelikan boneka baru.
Setelah itu, telpon pun kembali berdering. Namun kubiarkan saja. Aku khawatir, jika Raya mengadu kepada mamanya, dan kemudian istriku itu akan mengomeliku, aku akan malu. Masih ada banyak orang di sini.
Kuteruskan saja kegiatanku menyuapi anak kecil itu, tanpa kuhiraukan suara dering ponselku.
Hingga akhirnya jenazah pun dibawa ke pemakaman, dan dikebumikan.
Saat pemakaman itulah, Reina kembali pingsan. Sehingga dia harus dipapah, dan kemudian dimasukkan ke dalam mobil. Melihatnya, aku semakin merasa tidak tega. Kasihan sekali, dia.
Usai jenazah dikebumikan, para pelayat pun kemudian pulang ke rumah masing-masing.
Sementara, aku justru masih merasa ragu. Ingin langsung pulang, aku tidak tega dengan anak istrinya Pak Arman, sementara jika ingin tetap di rumah mereka, aku takut akan timbul fitnah. Entahlah. Biar saja nanti aku melihat situasi dan kondisi.
Masih dalam gendonganku, aku kembali membawa Dita pulang ke rumahnya.
Rumah sudah sepi, karena semua pelayat sudah pergi. Hanya menyisakan aku, Reina, Dita, dan juga adiknya Reina, yang baru saja datang dari luar kota.
"Dita, Om pulang dulu, ya?" Aku menurunkan anak kecil itu dari gendonganku.
"Jangan pulang, Om. Dita mau sama Om ...." Anak kecil itu mengerjabkan matanya, membuat aku menjadi lebih tidak tega.
Akhirnya aku mengulur waktuku. Mengajaknya bermain di teras depan. Kuajak dia bermain boneka, hingga anak itu kembali ceria, dan tidak lagi menanyakan papanya.
Anak itu kini terlihat begitu ceria. Dia terlihat begitu nyaman bersamaku. Tidak mau lepas dari pangkuanku.
"Maaf, Mas, jika anakku merepotkanmu ...."
Perempuan yang matanya tampak sembab itu, menatap dengan rasa bersalah ke arahku.
"Oh, tidak kok. Tidak apa-apa. Tidak merepotkan sama sekali," jawabku.
"Terimakasih banyak, Mas. Aku tidak tahu lagi, jika tidak ada Mas Abi. Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya harus berterimakasih kepada Mas Abi. Semenjak Mas Arman sakit, Mas Abi lah, yang paling rajin menengoknya ...." Perempuan itu kembali menangis.
"Sudah, jangan dipikirkan. Aku ikhlas melakukannya ...."
"Aku tidak tahu, bagaimana caranya membalas budi baikmu, Mas ...." Lelehan air matanya terlihat semakin deras.
"Aku tidak meminta balasan apa-apa. Pak Arman adalah atasan yang baik. Setelah beliau meninggal pun, aku ingin tetap menjalin silaturahmi kepada kalian. Kamu jangan pernah berfikir bahwa kamu itu merepotkan. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Sudah jangan menangis. Tataplah hidupmu ke depan. Bersemangatlah. Suatu hari nanti, kebahagiaan itu pasti akan datang." Aku menghiburnya.
Dia pun kemudian masuk ke dalam. Sementara aku masih bermain boneka bersama anaknya.
Saat aku dan anak kecil itu sedang sibuk bermain-main, tiba-tiba saja aku mendengar ada suara teriakan dari dalam.
Spontan, aku pun segera berlari ke arah datangnya suara.
"Mbak Reina kakinya terkena air panas!" teriak adiknya.
Aku melihat, Reina sudah berpegangan pada meja. Dia sepertinya tidak bisa lagi berdiri dengan tegak.
"Kamu kenapa bisa terkena air panas?" tanyaku penasaran.
"Aku rencananya mau membuatkan kopi untuk Mas Abi." Dia menundukkan wajahnya.
"Ya Allah, kenapa kamu repot-repot?" Aku mendadak merasa bersalah.
"Dina, tolong kamu belikan obat untuk Mbak. Ada apotik di perempatan sebelah sana."
"Apotiknya di mana, Mbak? Aku tidak tahu daerah sini," jawab adiknya.
"Kamu ajaklah Dita. Dita sudah tahu tempatnya. Nanti kalau apotik yang sebelah barat tutup, kamu pergilah ke apotik sebelah utara. Anggap saja jalan-jalan sambil momong. Ini uangnya. Jajanlah sepuasnya!" Reina memberikan beberapa lembar uang merah kepada adiknya.
Adiknya yang dipanggil Dina itu kemudian langsung bergegas ke luar dari rumah, mengajak keponakannya.
Sementara aku hanya bisa terpaku, menatap Reina yang terlihat kesakitan.
"Mas, aku tidak bisa berjalan ...." keluh perempuan cantik itu.
"Terus, aku harus bagaimana?" tanyaku bingung.
"Tolong, bantu aku sampai ke kamar. Aku mau ganti pakaian yang lebih nyaman. Yang ini sudah basah, terkena air panas ...." Dia berbicara dengan begitu lirih, seperti orang yang tidak berdaya.
"Lihatlah yang terkena air panas ...." Dia menatapku dengan tatapan memelas.
Kemudian dia menyibak pakaian panjangnya, dan tampaklah ....
Bersambung ....
Penulis : EnikY
https://read.kbm.id/book/detail/ecaf...e-292d28ea128b
0
382
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan