muthialaqilahAvatar border
TS
muthialaqilah
Menggapai Secercah Harapan Di Kamp Holocaust


Rezim Nazi Jerman berhasil menorehkan sejarah kelam kemanusiaan. Catatan hitam kekuasaan yang disalahgunakan dilukis dengan tinta darah nyawa-nyawa tak bersalah. Kamp-kamp konsentrasi dibangun menjadi tempat tinggal para tahanan menelan penderitaan tanpa kebebasan. Mereka adalah manusia-manusia yang hanya tersisa kulit dan tulang di balik kain compang-camping berlubang-lubang. Kaki mereka hancur sebab sudah terlalu lama berdiri di atas salju musim dingin. Jatah makanan dalam sehari tak mampu mengenyangkan perut-perut kosong yang kelaparan. Penyakit-penyakit menggerogoti dan penyiksaan verbal maupun non-verbal diterima tanpa bisa diprediksi. 

        Namun, cukup mencengangkan ketika masih ada beberapa nyawa yang selamat ketika Perang Dunia II, terutama mereka yang menjadi tahanan di kamp-kamp konsentrasi. Tidak pernah ada yang meragukan kejahatan para capo penjaga kamp. Kebengisan mereka adalah titel yang sudah melekat dengan sangat kuat. Para tahanan terserang secara mental dan fisik. Umumnya, para tahanan tidak sanggup bertahan lagi karena harapan untuk kembali berbahagia seolah sirna. Kaum Yahudi adalah penganut agama yang bertuhan. Akan tetapi, sebagian dari mereka memilih melemparkan diri secara sukarela ke pagar berkawat bervoltase tinggi atau mati gantung diri. Mereka seolah sudah tidak memiliki harapan apa-apa, kosong melompong tanpa tujuan. Sedangkan Victor Frankl, seorang psikiater sukses pada masanya, berhasil selamat hidup-hidup dari kamp konsentrasi dengan sebuah keyakinan yang tidak dimiliki oleh rata-rata tahanan lainnya. Yakni keyakinan akan harapan.

Terbang sejenak ke masa modern sekarang ini, kita mengetahui bahwa Avicii—seorang musisi yang mengusung genre electro house dan berhasil menyabet Grammy Award melukai diri dengan pecahan kaca sampai tak bernyawa. Marylin Monroe, icon kecantikan era 50-an mengalami overdosis pil tidur hingga tubuhnya terbaring di dalam kubur. Kurt Cobain, raja metallica populer yang mengakhiri hidup dengan menembak kepalanya. Yoo Jo-Eun, pemeran drama Korea terkenal menulis surat wasiatnya dengan berkata, "Saya menjalani kehidupan yang bahagia yang tidak pantas saya dapatkan." Bahkan Dale Carnegie yang merupakan seorang penulis yang telah memotivasi jutaan orang mengakhiri hidupnya dengan cara yang sama. 

Padahal jika ditelaah lebih dalam, para public figure tersebut memiliki kualitas hidup eksternal yang sempurna. Harta, tahta, popularitas, dan kesuksesan sudah nampak secara gamblang di hadapan seluruh media dan layar kaca. Mereka semua telah menghasilkan karya yang luar biasa. Mereka telah meraih pencapaian-pencapaian yang didambakan banyak orang. As if they already have everything. Para artis dengan limpahan dollarnya dicintai penggemar dan Carnegie yang dipuja para pecinta self-development karena pemikirannya. Mereka nampaknya masih pantas menaruh harapan besar akan masa depan. Ada banyak kesempatan yang terlihat dan sangat bisa untuk terus dicapai tanpa henti. 

Lalu pertanyaannya, bagaimana dengan sisi kelam dunia pada tahun 1933, dimana para tahanan Holocaust meraung secara emosional dan bernafas seolah tak ada masa depan apapun dihadapan mereka. Hidup para tahanan berwarna abu-abu, persis seperti asap yang mengepul dari cerobong pembakar mayat di Auschwitz. Tidak mudah bagi mereka membayangkan kemudahan setelah kesulitan di balik penjara. Mereka tak pernah seratus persen yakin bahwa keluarga tercinta masih ada dan bernyawa, dan yang tersisa hanyalah diri mereka sendiri. Maka dari itu, berkaca dari para artis international sukses yang ternyata tak mustahil mengakhiri hidupnya, tentu akan lebih mudah bagi para tahanan Holocaust untuk melakukan aksi bunuh diri di tempat paling mengerikan dalam sejarah. 

Waktu-waktu tersulit selama 24 jam keseharian di kamp konsentrasi selalu berakhir dalam memikirkan makanan. Sebab kekurangan gizi yang dialami para sandera adalah derita utamanya. Kondisi para tahanan yang primitif membuat mereka tidak memikirkan apapun selain tetap bertahan hidup. Dan hampir semua individu telah bersikap apatis terhadap kekerasan apapun yang disaksikan. Artinya, mereka kehilangan perasaan sentimental.  Obrolan paling menyenangkan di lokasi kamp pun hanya terdominasi oleh bayangan makanan lezat yang bisa melapangkan kondisi psikologis sementara. Tetapi, hal itu bisa sangat berbahaya bagi tubuh. Sebab kenyataannya adalah hidangan yang menjadi asupan nutrisi mereka hanya sebatas sedikit ons roti dan bubur cair dengan kalori yang rendah. Sirine yang berbunyi setiap pagi—yang membangunkan mereka dari tidur nyenyak karena kelelahan—tidak lebih baik dari dinginnya udara kamp dan sepatu kekecilan bertali kawat yang mereka pakai selama hampir tiga tahun. Minimnya sanitasi di tenda, kurang tidur dan kelaparan menjadi faktor kondisi mental para tawanan lebih cepat marah.


Mengharapkan Fortuna Curstulum 

Menelaah kepada situasi "lari atau tetap tinggal" di kamp mampu memberikan gambaran bahwa Fortuna Curstulum terasa menjauhi para korban pembunuhan sistematis di Eropa tersebut. Mereka hanya sebatas mengandai-andai bilamana keberuntungan tiba-tiba datang. Seperti mengambil kue fortune tapi yang didapatkan hanyalah ramalan buruk yang hadir secara bertubi-tubi. Sebelum tidur, para tahanan seringkali berdoa kepada Tuhan dalam cara agama Yahudi mereka. Ada secercah harapan dengan meminta kebebasan. Sebagian besar dari mereka masih menunggu keajaiban dari Tuhannya ketika kepercayaan sebagian yang lain telah kosong melompong. Viktor Frankl mendukung fakta ini dengan berkata bahwa manusia bisa melestarikan sisa-sisa kebebasan spiritual, kebebasan berpikir mereka. Meskipun mereka dalam kondisi mental dan fisik yang sangat tertekan.

Di samping menebak apa yang akan terjadi selanjutnya, para tawanan takut untuk membuat keputusan, apapun bentuknya. Ketakutan itu muncul akibat kepercayaan bahwa nasib mereka murni dikendalikan oleh takdir. Mereka meyakini dengan tidak berusaha apapun, nasib akan mengantar jalannya sendiri—termasuk menunggu keberuntungan yang memihak daripada harus mengambil risiko yang belum tentu sebanding dengan kebahagiaan yang diidam-idamkan. Itulah sebabnya mengapa beberapa tawanan kamp konsentrasi ada yang memilih untuk terus tenggelam dalam harapan untuk bisa pulang ke rumah di kampung halaman, atau malah memutuskan untuk 'berpulang ke tempat tinggal asal' dengan cara mereka sendiri. 


Resilience dan SelfS E N S O Rpassion di Kamp Holocaust

Usaha bertahan diri di kamp konsentrasi dengan segala keputusasaan dan penderitaan berhasil mengusung pesan kuat tentang menggenggam erat sebuah harapan. Dari tawanan-tawanan Auschwitz, Maidanek, Dachau, dan Treblinka kita bisa merumuskan wujud kekuatan dari resilience dan selfS E N S O Rpassion yang saling berkaitan satu sama lain. 

Resilience adalah suatu usaha seseorang sehingga mampu beradaptasi dengan baik terhadap keadaan yang menekan. Menurut Rutter (2006), Resilience dapat dipahami sebagai kemampuan untuk bangkit kembali setelah mengalami kesulitan, untuk melanjutkan kehidupan dengan harapan akan menjadi lebih baik. Reivich dan Satte berkata bahwa individu mampu bangkit dari trauma yang mereka hadapi apabila memiliki resiliensi yang baik. Lebih lanjut mereka memaparkan ada 7 aspek kemampuan yang dapat membentuk resiliensi; (1) pengaturan emosi, (2) kontrol terhadap impuls, (3) optimisme, (4) kemampuan menganalisis masalah, (5) empati, (6) efikasi diri, dan (7) pencapaian mengambil hikmah dari kemalangan yang menimpa. Resiliensi bermanfaat untuk mengurangi tingkat distres psikologis seseorang dan menjadikan individu tangguh dalam menghadapi berbagai masalah.

SelfS E N S O Rpassion juga sangat berkolerasi dengan ketahanan para tawanan di kamp konsentrasi. SelfS E N S O Rpassion dapat diartikan sebagai belas kasih diri. Berasal dari bahasa Yunani patein yang berarti menderita, menjalani, atau mengalami. Belas kasih diri berbeda dengan self-pity, yakni ketika seorang tawanan merasa musibah yang dialami merupakan keadaan paling berat dibandingkan tawanan di kamp-kamp konsentrasi yang lainnya. Padahal, semua korban Holocaust tersiksa oleh hal yang sama, bahkan penyiksaan di kamp wilayah Eropa lain bisa lebih parah. Gilbert dan Procter (2006) mengartikan selfS E N S O Rpassion lebih kepada sikap menenangkan diri ketika mengalami keadaan yang kurang baik atau keadaan yang tidak diinginkan. 

Neff (2003) memaparkan ada tiga aspek selfS E N S O Rpassion, di antaranya : 

1. Self-kindess vs Self-judgment

Kemampuan individu untuk memahami dan menerima diri apa adanya serta tidak menyakiti diri sendiri—termasuk tidak melakukan tindakan bunuh diri bagi tawanan kamp konsentrasi. Mereka yang mengakhiri hidup di kamp rata-rata malah terfokus kepada Self-judgement, yaitu menyalahkan diri sendiri atas apa yang sudah terjadi. 

2. Common humanity vs Isolation

Common humanity adalah kesadaran bahwa kesulitan, kegagalan, dan tantangan merupakan bagian dari kehidupan seluruh manusia, bukan hanya diri sendiri. Sedangkan isolation adalah pandangan sempit mengenai penderitaan dan hanya berfokus pada ketidaksempurnaan diri.

3. Mindfulness vs Overidentification

Mindfulness adalah melihat sesuatu secara jelas, apa adanya, tidak ditambah-tambahi atau dikurangi. Termasuk bisa mengontrol respon diri dan tidak meluapkan reaksi berlebihan yang dapat menyebabkan stress dan depresi. Seperti Viktor Frankl yang mengetahui kejadian buruk di kamp sesuai dengan yang terjadi sebenarnya. Sehingga, ia tidak mengalami overidentification yang merupakan kebalikan dari definisi mindfulness


Masih Ada Tawanan Yang Selamat 

Kita mendapat sedikit gambaran bahwa para tawanan yang berhasil selamat dari penyiksaan dan genosida Holocaust adalah mereka yang memiliki harapan hidup lebih tinggi dibanding tawanan lainnya. Mereka yakin masih ada secercah belas kasih dari Tuhan berupa kesempatan untuk hidup di dunia. Mereka tidak hanya sebatas memohon dan berpasrah sepenuhnya pada takdir. Akan tetapi, para survivor adalah mereka yang paham betul akan pertahanan resilience dan memiliki toleransi yang besar terhadap selfS E N S O Rpassion. Tentu kedua hal tersebut berpengaruh besar untuk menentukan kondisi mental individu saat dihadapi berbagai tekanan yang ada. 

Selain pengaruh ketangguhan diri setiap individu, Viktor Frankl—seorang survivor kamp Holocaust paling terkenal—memaparkan ada faktor utama lain yang menyebabkan beberapa tahanan berhasil selamat. Kejadian-kejadian tragis yang ia alami, saksikan, dan menjadi  bagian paling berkesan dalam hidupnya itu telah ia paparkan dalam bukunya yang berjudul, "Man's Search For Meaning." Ia menciptakan karya tulisan yang berisi tentang betapa getirnya kehidupan kamp konsentrasi. Ia pun menjelaskan keberhasilannya untuk bertahan hidup; dengan menjaga teguh keimanan yang diyakininya, memiliki harapan akan adanya perubahan, selalu mengingat dengan penuh kecintaan istri dan kedua orang tuanya yang juga ditahan, dan sebisa mungkin selalu membantu sesama tahanan dengan bekal ilmu psikoterapi yang dikuasai.

Menyimak kembali pengalaman Frankl di kamp konsentrasi, ia telah menyaksikan adanya dua perbedaan kelompok tahanan. Yang pertama adalah tawanan yang bertingkah laku seperti swine (babi); serakah, mementingkan diri sendiri, tidak mau berkorban, dan hilang tanggung jawab terhadap diri sendiri maupun orang lain. Tidak jarang mereka turut melakukan kekerasan terhadap tahanan yang lainnya, bahkan mungkin bisa jauh lebih brutal daripada capo penjaga kamp konsentrasi. Pada umumnya, mereka kehilangan pengendalian diri yang didasari moral karena disebabkan oleh munculnya dorongan-dorongan dasar seperti makanan dan seks yang tidak terpenuhi, kehampaan, dan ketidakbermaknaan hidup mereka. 

Di samping itu, ada golongan lain yang masih memihak kepada kesucian diri. Frankl menyebutnya sebagai pihak berperilaku saint (orang suci). Dalam puncak penderitaan, hati mereka masih terketuk membantu sesama tahanan, seperti memberi sedikit jatah makanan yang dimiliki, memberi penghiburan berupa humor dan empati, merawat orang-orang yang sakit, dan mengantarkan doa bagi para tahanan yang sedang sekarat menghadapi ajalnya. 

Belajar dari para saint di kamp konsentrasi Nazi, setidaknya beberapa hal yang bisa dipetik dari kisah tersebut. Mereka terbuka mengubah sikap karena sadar betul bahwa situasi dan kondisi yang diderita besar kemungkinannya tidak bisa diubah lagi. Mereka cenderung ikhlas di tengah fakta yang tidak mungkin dihindarkan. Ini bukanlah sikap fatalistik, melainkan justru mereka telah mengamalkan sikap positif agar tidak terhanyut dalam nasib dan terus menjaga utuh harapan akan kehidupan yang berubah sewaktu-waktu. Mereka tidak bersikap egois dan tetap beretika terhadap tawanan lain, bahkan masih mempertahankan sifat kemanusiaan yang mulia. Dan yang paling utama adalah berhasil menemukan makna hidup dan mengembangkan harapan yang bermakna. Mereka memiliki harapan dan mempercayai bahwa ada hikmah tersembunyi yang disimpan Tuhan di dalam tenda kumuh di kamp Holocaust. Para saint memandang penderitaan bukan semata-mata sebagai halangan, hambatan, rintangan, dan ujian yang tidak ada artinya. Melainkan mereka menganggap hal tersebut mampu menjadi peluang untuk lebih melangitkan harapan pada Tuhan atas keselamatan, mendoakan keluarga yang entah berada dimana, dan menjadi kesempatan untuk menebarkan kasih sayang kepada para tahanan yang bernasib serupa.

Viktor Frankl sangat tertarik dengan bahasan akan menciptakan harapan hidup dan menemukan makna penderitaan yang dicari. Menurutnya, hidup selalu memiliki arti dalam setiap situasi, bahkan dalam kepedihan sekalipun. Makna hidup bisa dirasakan melalui pesan-pesan tersembunyi pada keterbatasan, kebahagiaan yang terasa hampir sirna, pikiran, perasaan, karyabakti, dan setiap kejadian buruk yang ditakdirkan. Makna hidup yang ditemukan mampu membangun harapan tinggi akan masa depan. Harapan tersebut bersifat tidak terbatas. Sebab, manusia memiliki kemampuan untuk mengambil sikap terhadap peristiwa tragis yang sulit dielakkan. Viktor Frankl menuturkan bahwa jika kita tidak bisa mengubah keadaan, maka kita masih berpeluang untuk menentukan sikap yang akan ditampilkan. Salah satunya adalah tetap bersikap optimis dan berpegang teguh terhadap harapan hidup yang dimiliki. 

Keahlian Viktor Frankl dalam mengajarkan harapan dan makna hidup telah mengantarkannya untuk menciptakan salah satu aliran psikologi modern bernama Logoterapi. Menurut bahasa, Logoterapi berasal dari kata Logos dalam bahasa Yunani yang berarti makna (meaning) dan juga ruhani (spirituality), sedangkan terapi berarti penyembuhan. Logoterapi digambarkan secara umum sebagai corak psikiatri/psikologi yang mengakui adanya dimensi keruhanian pada manusia selain aspek fisiologis. Viktor Frankl beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi terbesar untuk berpegang teguh pada harapan yang akan terwujud di masa depan. Logoterapi bukan hanya sebatas metode psikoterapi praktis, tapi ia pun merupakan aliran yang juga membahas filsafat manusia, teori kepribadian, teori psikopatologi, dan metode pengembangan diri menuju kualitas hidup yang lebih baik. Saat ini logoterapi telah membawa pengaruh besar terhadap dunia psikologi, latihan pengembangan kepribadian, teologi, pendidikan, dan rehabilitasi. Logoterapi telah teruji kebenarannya dalam kamp konsentrasi yang diyakini berperan sebagai labolatorium hidup.


Pesan Yang Sangat Berharga 

Dari tragedi Shoah ini kita bisa menyimpulkan bahwa di tempat pembantaian terkejam sekalipun masih ada secercah harapan hidup—meski sangat tipis dan tidak sebanyak harapan orang-orang yang sudah merdeka kala itu. Namun, tipis-tebalnya harapan bergantung pada persepsi setiap individu. Apalagi jika didasarkan dengan sisi teologis bahwa rahmat Tuhan niscaya meliputi segalanya. Sang Pencipta adalah Ia Yang Maha Menyayangi lagi Menguji hamba-hamba-Nya. Ia menunjukkan kasih sayang-Nya melalui ujian yang diberikan pada mereka yang kuat menjalaninya.

Oleh karena itu, Holocaust mengajarkan kita untuk senantiasa memiliki harapan hidup dan menemukan kebermaknaan dalam hidup. Kedua poin tersebut merupakan kunci paling penting untuk bertahan di setiap kondisi. Harapan dan makna hidup menjadi persoalan yang patut diperhatikan dalam eksistensi manusia. Konsep mempertahankan harapan yang utuh perlu pengkajian mendalam untuk mengoperasionalkannya. Melalui kebermaknaan hidup, kita akan terhindar dari eksistensi-hampa (meaninglessness), karena orientasi intrinsik yang gagal ditemukan berpotensi mengundang kecemasan, keputusasaan, dan bahkan tindakan untuk mengakhiri hidup.  Namun sebaliknya, jika kita memperjuangkan harapan, maka kita akan mendapatkan pengalaman transendensi-diri yang akan memunculkan emosi positif sebab adanya kecocokan pemenuhan batiniah. Dimensi inilah yang menyebabkan manusia dihadirkan Tuhan sebagai pejuang tanpa henti. 

Seperti Viktor Frankl yang menilai bahasa kebermaknaan hidup bukanlah kreasi manusia yang bisa berubah, tapi merupakan suatu realitas objektif dirinya. Hanya ada satu kebermaknaan hidup untuk setiap situasi yang terjadi, dan tragedilah yang menjadikannya sejati. 

In memoriam, the Jewish prisoners of the Holocaust adversity. May God bless their souls through the pain they were facing. Amen.








Daftar Pustaka

Buku

Frankl, Viktor. (2022). Man's Search For Meaning. (Ed.13). Noura Publisher. 

Maurus, J. (2018). Coping With Depression. (Ed. 2). Bright Publisher.

Adams, Sony. (2019). Berdamai Dengan Takdir. (Ed.1). Psikologi Corner. 


Jurnal 

Djumhana Bastaman, Hanna. (1998). Adakah Harapan Di Tanah Tipis Harapan. Psikologika, Nomor 5 Tahun III, 18 halaman. Missasi, Vallahatullah. Dwi Cahya Izzati, Indah. (2019). Faktor-Faktor 

        Yang Memengaruhi Resiliensi. Prosiding Seminar Nasional Magister  Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, 8 Agustus, 441 halaman.

Bagas Karinda, Fahada. (2020). Belas Kasih Diri (Self Compassion) Pada Mahasiswa. Cognicia Universitas Muhammadiyah Malang, Vol. 8 No.2, 252 halaman.
Diubah oleh muthialaqilah 14-02-2023 02:07
0
58
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan