Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

anasaufarazi810Avatar border
TS
anasaufarazi810
Malam Mencekam Pasar Terbengkalai
Sebuah pasar temaram dengan bangunan tertutup, seluruh ruas-ruas toko hening, gelaran-gelaran triplek kotor, tenda-tenda pengemis, memenuhi nafas kesenduan di sana.

Arnita berjalan diam-diam melewati barisan ruko tertutup mengikuti ayunan lampu-lampu piring di atasnya. Tibalah tubuh itu mandeg mengambil jam transistor, pedalaman arloji berfungsi baik, kelancaraan energi mampu olehkan jiwa baru.

Lia berdiri di sebelah pundak Arnita, mereka berdua membicarakan koordinat pusat, menyusul dari belakang mereka Marry, Shenna, Paulette, Melissa, dan satu buah topi terjatuh dari: Perissa.

Arnita mengibas-ngibas topi kotornya ke bawah, memerintah Lia melakukan penguncian wilayah, biasanya mereka gunakan ini sebagai garis konfirmasi. Yang telah dikomando sebagai daratan kekuasaan komuni.

Lia mengangguk, melanjutkan sorongan tubuh ke depan, barisan wanita lain mengikutinya, di tengah itu, Lia membariskan perempuan-perempuan muda ke sudut-sudut toko kosong. Mulai dari Marry berjalan ke bahu pelataran Timur bersama Shenna, selanjutnya Barat Paulette, Perissa, dan Selatan dibarengi konfigurasi energi Lia dan Melissa. Arnita berada di pusat sentral, gadis itu melonggarkan pinggang, mengangkat dua belah tangan tinggi, mengucapkan mantra, melingkarkan putaran tangan ke udara, sebesit kilat melesit ke tengah-tengah mereka, dan cahaya itu masuk ke dalam arloji kalung pada jas mereka masing-masing.

Lia datangi Arnita dahulu, sekarang aman, kita gerak kepung, musuh berada mudah di luar cosmis, jadi kita lebih luas menyelami kawah pasar.

Arnita mengangguk serius dan menatap tajam ke depan, diikuti gadis-gadis lain mereka mencari keberadaan wanita itu. Dempetan-dempetan tembok rapuh melindungi lapangan, jauh ke depan muncul toko-toko tutup. Sepanjang bahu jalan nampak koran-koran tertiup riang dari selasar pertokoan, jalanan begitu sepi.

Makin mendekat muncul suara perempuan berteriak, seakan mengaum hingga langit, gema itu cukup terasa, terutama Arnita berlalu lebih dulu melintasi kekosongan jalanan pasar.

Tibalah mereka ke tengah-tengah jalan pertokoan, beberapa ratus meter jauhnya, telah muncul kelima pria tua menyeret-nyeret wanita muda, gadis itu berambut sebahu, berbaju lebar serupa sekian penampilan menor belakang. Muncul sepasang sepatu di tengah jalanan sepi itu, sebatang sigar diapit telunjuk runcing, menuju ke bawah celananya muncul iringan di kiri-kanan tubuhnya, perempuan-perempuan parlente.

Arnita buang rokok jauh-jauh ke depan, nyala cerutu menjilat kencang robekan koran. Para preman itu kaget bukan main, mereka menatap tidak percaya, jauh di tengah jalanan berjejer ketujuh perempuan berjas hijau tanah dengan topi beranyam rotan, gadis paling depan menunduk meringis. Arnita beranikan tubuhnya maju duluan. Karena itulah misi mereka di malam penyesatan ini.

“Aku perintahkan lepaskan wanita itu!” suara Arnita nyalang, benar-benar kencang, membikin semua orang ketika itu terpekik, mereka heran, ada wanita bersuara lebar seperti itu. Pastilah pita suaranya berkualitas setara Billboard.

Satu komplot bandit maju menuding golok ke tengah hening itu. “Tidak ada urusan ya, tidak boleh kau campuri kami!”

“Nah,” Arnita masih melipat kedua tangan. “Kalau itu maumu, kenapa mesti repot begitu? Pastinya. Perempuan itu pun tidak minta kau urusi. Lepaslah dia, jangan seperti manusia pedalaman, orang-orang goa, akan bersorak lihat kalian lebih idiot dari mereka!” tatapnya melotot.

“Kau bawa pasukan?” tawa lelaki itu sesaat. “Justru kubawa kalian ke tempat tidur kami. Kalian sangat menarik sekali, jarang kulihat ada perempuan semenarik ini, kulitmu terbuat dari madu surga. Biar kami cicipi.”

“Mulutmu ingin cepat-cepat kutiup mercon.”

“Sebul ciumanmu ke pipiku ini, manis.” Preman kedua mendampingi rajanya.

“Tidak ada sudi!” Arnita meludah ke bawah. “Itu ludahku. Jilatlah, kalau kau ingin bayangkan tubuhku telanjang dan menari di atas wajah idiotmu.”

“Omongmu membuatku mau mati.”

“Mudah, tarik parangmu, tebaslah lehermu seperti babi jantan,”

“Kotor!” preman tua itu mengambil parang dan berlari tak tentu arah, entah dia tega atau memang sudah gila?

Arnita dengan tenang membolak-balik putaran tubuhnya serupa tarian boneka kotak musik. Lelaki itu belum berhenti berulah. Preman tua terus memutar-mutar parang. Tiba-tiba Arnita tersandung parit, celananya terperosok comberan. Preman itu berjalan tenang-tenang ke hadapan wajah ketakutan Arnita, gadis itu merintih menahan sayatan celananya.

Sementara Marry tertawa-tawa begitu pun Lia, Shenna, Paulette, Melissa, Perissa, betul, mereka bebarengan mengetawai Arnita. Tanpa sadar jangkauan parang telah berada di puncak kepalanya. Arnita menangis menjadi-jadi memohon ampun, namun sayang, kecepatan parang telah membelah kepalanya, darah merembes membasahi jas hijau tanah Arnita.

Preman lelaki itu menurunkan sebilah parang, hidung besar itu tidak henti mengkos-mengkos, dada rompinya naik-turun. Dia ingat gadis muda yang baru dibunuhnya, sangat membuat hatinya makin mati, kini dia harus melarikan tubuh sejauh mungkin dari polisi.

Sementara mayat Arnita masih teronggok seperti tèr dipinggiran parit, sang preman terbahak-bahak, entah darimana lucunya kengerian itu, orang waras pastilah mereka lari ke telepon umum memberitahu polisi, bahwa baru terjadi pembunuhan atau setidaknya melapurkan badan keamanan wilayah.

Preman tua berbalik punggung, meluruskan airmukanya ke seberang, dikejauhan dia mendengar teriakan-teriakan. Pikirnya, keenam gadis paling aneh itu akan lari terbirit-birit melihat kejadian busuk itu. Nyatanya tidak. Ketika preman tua menengok lebih jauh, wajahnya mendelik, kedua kuping miliknya bergidik. Nampak di pinggir selokan barisan perempuan berjas hijau itu terus tertawa, dan mengolok-olok mayat temannya, sementara itu preman tua makin dirundung ketakutan.

Benarkah mereka masih waras atau sepenuhnya gendeng? Itulah sebesit kecekaman kepalanya.

Preman itu justru melarikan diri ke posisi sandera. Tidak lama, siulan mulut-mulut terasa memanggil-manggil ke telinganya. Preman tua yang justru balik ditakuti, memaksa seluruh tubuhnya berbalik cepat-cepat. Jauh di seberang parit, mayat itu bergerak-gerak, padahal sudah jelas sekali, dia yakin, yakin sedalam-dalamnya, perempuan berjas itu telah dihabisi parang saktinya. Namun, keliru. Mayat itu mengubah posisi punggung, beranjak naik, darah masih menetes tiada henti dari kepala pecahnya, teriakan-teriakan tawa keenam wanita iblis itu masih menguasai kesunyian.

Preman itu beringsut jatuh ke tanah, tubuhnya bergetar luar biasa, seluruh dahinya merembes keringat, udara dingin menembusi jaket lusuhnya, belum lagi depan matanya sekarang: mayat gadis itu sedang bangkit, menyongsong semua tubuh penuh luka-luka miliknya, dan berakhir tubuh berdarah-darah itu berjalan ke tengah-tengah pasar dingin penuh senyap itu.

Preman tua terpakukan di atas tanah. Tubuhnya menjorog dengan wajahnya membeliak menyaksikan wanita itu terus memelintir leher, menekan-nekan kedua rahangnya. Tidak lama kepala itu terlepas sepenuhnya, kedua tangan perempuan berjas lusuh itu, mencengkam leher miliknya, mencabut paksa jasad kepala mati itu. Kepalanya buntung kemudian menjunjung tinggi-tinggi diiringi lolongan anjing di lapangan seberang.

Preman tua menjerit, seakan seribu waria menaiki tubuhnya. Arnita melempar kepalanya ke tengah-tengah kekagetan preman itu dan bangkai kepala itu terbang, menyala seluruh matanya dengan lidah menjulur panjang, mengejar semua preman-preman itu dan mereka lari tiada kendali. Tidak satu pun selamat dari kepala itu. Ketiga bandit itu tersangkut kawat-kawat tembok yang menutup batas pertokoan dengan dusun, mereka beramai-ramai menaiki dinding kawat.

Preman tua mengayunkan parang terakhir menuju kepala mengerikan itu dan parang patah ke tanah. Melihat demikian preman tua melarikan dirinya menuju telepon umum, membuka bingkai kaca, berlindung ke dalam sana. Sesaat suasana damai dan hening seperti surga tercipta bawah neraka.

Preman tua bernafas lega kemudian hendak membuka pintu. Ketika itu sebuah parang jatuh menebang lehernya. Seluruh tubuh besar itu terhuyung-huyung menahan darah, kedua lehernya mengucur darah. Pria tua kekar itu tertukik hantam keranjang sampah dari rotan. Seluruh tubuhnya ambruk ke dalam tong sampah, seluruh sampah busuk memenuhi wajahnya. Preman itu tewas.

Sayup-sayup tawa berlanjut kembali. Arnita tetap berdiri di tengah kiri-kanan toko. Sementara preman itu terkejut bukan main, gadis berjas hijau tanah tadi tidak mati rupanya, seluruh baju miliknya begitu pun celana sampai sepatunya bahkan sekujur wajah itu masih tertawa: meremehkan.

Preman tua itu sepenuhnya terbangun, dan mendapati dirinya tidak terluka sama-sekali. Entah bagaimana asalnya, semua hanya mimpi atau mereka bukan gadis sembarangan?

“Siapa kau?!” tanya preman itu menuding telunjuk kosong.

“Aku masih mau main denganmu.”

“Tidak!” preman tua bangkit mendekati semua kawannya, lari mendahului seluruh pasukan itu, dan hiraplah kelima bandit dari sana, sedangkan perempuan sandera juga lenyap.

Arnita kebingungan dan menidurkan semua punggung kotornya ke tengah-tengah jalanan pasar. Datanglah Marry mendekatinya. Menyusul Lia duduk-duduk di depan sepatu Arnita kemudian Shenna bersila di pinggir selokan menyusul kembali Paulette, Perissa, Melissa mengikuti contohnya. Beginilah malam panjang kembali dilalui anggota komuni.

Lia memulai percakapan di puncak sembilan malam lewat itu. “Kau terlalu bernafsu,” katanya. “Habis itu wilayah preman akan mengalami kematian.”

“Tidak,” Arnita duduk melujurkan dua lutut ke depan, menyingsing rambut pendeknya, mencopot topinya ke pelukan perut. “Amanda merengek sehabis ini.”

“Belikan dia eskrim!” seru Marry.

“Atau sekaleng bir beruang?” susul Paulette.

“Baik.” Arnita mendirikan semua punggung jasnya. “Aku telah tepati janjiku malam ini. Tugas kulakukan, setidaknya preman itu buang hajat usai ini.”

“Apa akan kau berikan?” tanya Lia.

“Ikutlah.” Arnita berjalan merentangkan kedua tangan, tubuh itu berdiri riang ke tengah-tengah rel kereta api, jauh di belakangnya menyusul keenam gadis berjalan beruntun penuhi rel kosong, dan hening itu hingga terjadilah malam paling tidak pernah dilupakan ketujuh. Phantom’s.
Jakarta September 1986. Cerita karya pribadi.

Malam Mencekam Pasar Terbengkalai
Diubah oleh anasaufarazi810 03-02-2023 13:40
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
461
0
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan