pollinggAvatar border
TS
pollingg
Ada Dengan Edelweiss
Ada Dengan Edelweiss

Grace merangkai bunga di tangannya, sedari tadi pembeli memang hilir-mudik mengunjungi toko bunganya, lonceng di pintu tokonya berbunyi, Grace berdiri di depan meja kasir, seorang pria berperawakan jangkung memakai topi gelap berdiri di hadapannya.

Pria bermanik kelam itu sesekali menilik arloji di tangan kanannya sepertinya pria ini begitu sibuk hingga enggan membuang-buang waktu walau hanya sedetik saja.

“Ada—”

“Bunga apa saja yang kau punya?” pria itu keburu memotong sapaan Grace, membuat pipi gadis itu merona malu sekaligus kesal.

“Mawar, melati, lili, dandelion, dan edelweis. Sebenarnya, masih banyak lagi jenisnya namun kami kehabisan stok bunga hari ini, pesanan membludak. Aku tidak tahu, di luar sana ada apa—”

“Aku mau edelweis, satu buket untuk istriku. Antarkan lima belas menit lagi.” Pria itu kembali memotong ucapan Grace.

Tanpa bersuara lagi, ia meletakkan beberapa lembar uang dan kertas berisi alamatnya—meninggalkan Grace yang masih sebal karena temperamen buruk si pria bertopi.

“Darwis ... tampaknya kau tidak bisa mengerti artinya sabar dan menunggu!” gumam Grace setelah membaca kertas tersebut.

***

Sesuai permintaan laki-laki dingin itu, Grace tiba pada alamat yang dituju; tak kurang dari lima belas menit. Ia sedikit kagum dengan interior rumah yang tampak menyatu dengan alam, di luar ia disuguhi dengan air mancur buatan yang dibuat ornamen bunga edelweis, di bawahnya diberi lily pad hingga tampak seperti nyata.

Begitu pun dengan pagar rumah yang terbuat dari kayu akar tanaman jati, sepertinya ... pria itu pecinta flora.

Saat bel ditekan, Darwis segera keluar. Mengisyaratkan dengan mata agar Grace mengikuti langkahnya, lagi-lagi pemandangan luar biasa yang didapatinya; sebuah ruang tamu yang tak biasa, di atasnya terpasang atap yang bisa terbuka otomatis bila pengunjung memasukinya.

Ada kursi taman pengganti sofa, dan lantai yang dipasang bebatuan alam, adapula kolam berukuran sedang yang berada di sudut ruangan. Sisanya dihiasi oleh bunga yang begitu indah dan wangi.

“Istriku belum juga bangun dari tidurnya, aku akan memberikan bunga ini. Pasti ia akan langsung terbangun,” sorot mata pria itu melunak ketika menyebut sang istri, tampak sekali jika ia menyimpan rasa cinta yang dalam.

Grace pun mengikuti langkah Darwis, mereka memasuki sebuah kamar. Grace memandang ke arah wanita yang masih setia terpejam di sana—namun, bukan di atas ranjang, ia tertidur di atas peti.

“Istrimu ... meninggal?” seketika Darwis si dingin itu melunak bagai ikan kehilangan durinya; lembek.

“Aku sungguh tidak tahu, bagaimana membangunkan dia. Katanya, edelweis adalah bunga keabadian, kau tadi melihatnya ‘kan, hampir seluruh perabotan rumah ini identik dengan edelweis. Kata istriku, jika kita menyimpan bunga itu cinta dan nyawa akan abadi.”

Mereka berdua dalam keheningan yang lama, lalu tiba saatnya Grace buka suara. “Tuan, pantaskah dipertanyakan kembali apatah manusia itu kekal? Sementara Anda sudah jelas mengetahui, jika kekal hanyalah milik Tuhan? Kita tidak bisa terpaku dengan makna suatu benda—entah itu bunga, benda antik.

Bunga adalah bunga, tugas mereka adalah memperindah, menyeimbangkan alam dengan mahkota mereka. Soal keabadian ini ... edelweis memang bunga dengan sejuta rahasia ia mampu hidup bertahan lama, tapi suatu hari edelweis akan mati juga.” Darwis terpaku dengan ucapan Grace, lalu dipandanginya jasad mendiang istrinya yang masih utuh.

“Kelak, jika memang saatnya tubuh kita berpisah, gema cinta akan tetap membersamaimu dalam istana kita. Edelweis akan menyimpannya.”

Suara mendiang istrinya terdengar lembut di telinga, meruntuhkannya pada kenyataan jika yang abadi hanyalah memori. Grace memutuskan keluar, mungkin laki-laki itu memang butuh ruang untuk mengenang kisahnya yang sangat filosofis seperti edelweis.
0
66
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan