- Beranda
- Komunitas
- FiksiMu FiksiKu
Tamu Tak Terduga


TS
hollapod
Tamu Tak Terduga

Sekumpulan dandelion menjadi penanda antara aku dan kamu yang sempat menjalin cerita sewaktu kecil. Kamu yang berbadan tambun, berkacamata tebal, dan berkulit sawo matang menangis tergugu bukan karena nilai ulangan harianmu yang bertuliskan angka nol merah. Melainkan hanya karena layang-layang lepas tertiup sepoi angin di tanah lapang itu.
Kamu tidak berhenti menangis kecuali aku yang membujuk dan membelai lembut rambut hitammu yang saat itu masih tipis karena dicukur guru. Kamu pun tenang, lalu aku mengeluarkan permen gula-gula agar kamu kembali ceria. Namun, tidak dengan sekarang saat nama dan wajahmu memenuhi layar televisi atau media massa cetak di penjuru nusantara. Mungkin, kamu tak mengingatnya; kenangan kesederhanaan itu masih melekat erat di kehidupanmu—kehidupan bocah laki-laki di desa terpencil yang jauh dari teknologi paling mutakhir. Waktu itu, listrik belum masuk desa membuat kami hanya memiliki damar kecil sebagai penerangan.
Kamu yang sewaktu kecil selalu meledekku dengan panggilan ‘si dekil’ karena pakaian kucelku yang berganti setiap dua hari sekali, mengatakan aku memiliki kutu di rambut yang ternyata hanyalah kotoran daun yang melekat. Aku merindu, saat-saat kamu mengayuh sepeda ontel di mana aku yang berada di depan, berburu bersama waktu karena takut hujan mengguyur seragam kita berdua.
Saat kamu bermain bola di tengah lapangan sewaktu SMA, namamu mulai terkenal. Wajahmu sudah berubah, lebih manis tanpa kacamata, alismu menebal dan rambutmu sudah sempurna untuk seukuran laki-laki remaja. Mungkin pula, waktu kamu sudah terang-terangan mengenalkan gadismu di hadapanku, kamu takkan pernah tahu tentang aku yang diam-diam menangis bersama hujan. Di mana semut-semut merah itu mengetahui atas terlukanya hati turunan Hawa karena ketidakkepekaan perasaanmu.
“Kemuning, bawakan kopinya,” suara wanita berumur separuh abad itu membuatku kembali ke realita untuk saat ini.
Aku yang tengah menyapu terhenti, membawakan nampan berisi kopi-kopi pesanan para pemuda yang tiap harinya mampir ke warung ibu. Lalu, entah bagaimana bisa pandanganku menatap bayangan kamu di sana tersenyum dengan mengunyah gorengan serta kaki diangkat di atas meja. Tergelak bersama pemuda-pemuda desa lainnya.
“Kemuning, kudengar Samosir sudah sukses di sana!” kata Bambang—laki-laki yang bekerja sebagai penambang yang kini asyik mencomot combro buatanku.
Aku tersenyum tipis, merasakan kerinduan itu yang kian membuncah. Kemudian, suara radio yang terputar, terdengar suara laki-lakimu yang sudah dewasa menanggapi tentang bagaimana keadaan NKRI masa kini. Aku tersenyum, kamu menjawabnya tegas tanpa keraguan.
Suara bel milik Pak Wisnu—si tukang pos desa terdengar nyaring, aku segera keluar dari warung dan menerima sebuah amplop warna cokelat. Ketika kutanyakan siapa pengirimnya Pak Wisnu hanya mengangkat bahu dan segera pamit undur diri. “Dari siapa Kemuning?” tanya ibu.
Lekaslah aku membuka surat itu, mendapati undangan pernikahan yang dapat kupastikan itu adalah namamu; Samosir. Aku menangis tergugu, hilang sudah harapanku untuk bersanding dengan kamu. Ibu menangkup tubuhku yang hampir luruh ke tanah, “Kamu kenapa?” aku mengernyit, apa tulisan itu masih kurang jelas baginya. Putrimu ini akan ditinggal nikah ibu!
“Samosir bakal menikah, Bu. Kemuning bakal dilupakan!” rengekku layaknya anak kecil yang bakal kehilangan mainan kesukaannya. “Walah, kalau baca yang lengkap dong sama nama calon istrinya!” kata ibu yang langsung membuatku menutup telinga, tak sanggup mendengar.
“Samosir sudah menemukan orang lain!” ucapku dengan suara parau khas orang menangis.
“Dan orang lain itu adalah Kemuning Samudra Fillail.” suara itu....
Aku mendongak, mendapati laki-laki berjas warna hitam berdiri menjulang tinggi di hadapanku. Lalu, aku merebut undangan itu dari tangan ibu membaca nama yang tertera di undangan pernikahan itu.
Astaga! Aku menutup mulut tidak percaya, aku tersenyum bahagia menatapnya tulisan bertinta emas di mana namaku dan namanya terukir terukir.
Kamu tidak berhenti menangis kecuali aku yang membujuk dan membelai lembut rambut hitammu yang saat itu masih tipis karena dicukur guru. Kamu pun tenang, lalu aku mengeluarkan permen gula-gula agar kamu kembali ceria. Namun, tidak dengan sekarang saat nama dan wajahmu memenuhi layar televisi atau media massa cetak di penjuru nusantara. Mungkin, kamu tak mengingatnya; kenangan kesederhanaan itu masih melekat erat di kehidupanmu—kehidupan bocah laki-laki di desa terpencil yang jauh dari teknologi paling mutakhir. Waktu itu, listrik belum masuk desa membuat kami hanya memiliki damar kecil sebagai penerangan.
Kamu yang sewaktu kecil selalu meledekku dengan panggilan ‘si dekil’ karena pakaian kucelku yang berganti setiap dua hari sekali, mengatakan aku memiliki kutu di rambut yang ternyata hanyalah kotoran daun yang melekat. Aku merindu, saat-saat kamu mengayuh sepeda ontel di mana aku yang berada di depan, berburu bersama waktu karena takut hujan mengguyur seragam kita berdua.
Saat kamu bermain bola di tengah lapangan sewaktu SMA, namamu mulai terkenal. Wajahmu sudah berubah, lebih manis tanpa kacamata, alismu menebal dan rambutmu sudah sempurna untuk seukuran laki-laki remaja. Mungkin pula, waktu kamu sudah terang-terangan mengenalkan gadismu di hadapanku, kamu takkan pernah tahu tentang aku yang diam-diam menangis bersama hujan. Di mana semut-semut merah itu mengetahui atas terlukanya hati turunan Hawa karena ketidakkepekaan perasaanmu.
“Kemuning, bawakan kopinya,” suara wanita berumur separuh abad itu membuatku kembali ke realita untuk saat ini.
Aku yang tengah menyapu terhenti, membawakan nampan berisi kopi-kopi pesanan para pemuda yang tiap harinya mampir ke warung ibu. Lalu, entah bagaimana bisa pandanganku menatap bayangan kamu di sana tersenyum dengan mengunyah gorengan serta kaki diangkat di atas meja. Tergelak bersama pemuda-pemuda desa lainnya.
“Kemuning, kudengar Samosir sudah sukses di sana!” kata Bambang—laki-laki yang bekerja sebagai penambang yang kini asyik mencomot combro buatanku.
Aku tersenyum tipis, merasakan kerinduan itu yang kian membuncah. Kemudian, suara radio yang terputar, terdengar suara laki-lakimu yang sudah dewasa menanggapi tentang bagaimana keadaan NKRI masa kini. Aku tersenyum, kamu menjawabnya tegas tanpa keraguan.
Suara bel milik Pak Wisnu—si tukang pos desa terdengar nyaring, aku segera keluar dari warung dan menerima sebuah amplop warna cokelat. Ketika kutanyakan siapa pengirimnya Pak Wisnu hanya mengangkat bahu dan segera pamit undur diri. “Dari siapa Kemuning?” tanya ibu.
Lekaslah aku membuka surat itu, mendapati undangan pernikahan yang dapat kupastikan itu adalah namamu; Samosir. Aku menangis tergugu, hilang sudah harapanku untuk bersanding dengan kamu. Ibu menangkup tubuhku yang hampir luruh ke tanah, “Kamu kenapa?” aku mengernyit, apa tulisan itu masih kurang jelas baginya. Putrimu ini akan ditinggal nikah ibu!
“Samosir bakal menikah, Bu. Kemuning bakal dilupakan!” rengekku layaknya anak kecil yang bakal kehilangan mainan kesukaannya. “Walah, kalau baca yang lengkap dong sama nama calon istrinya!” kata ibu yang langsung membuatku menutup telinga, tak sanggup mendengar.
“Samosir sudah menemukan orang lain!” ucapku dengan suara parau khas orang menangis.
“Dan orang lain itu adalah Kemuning Samudra Fillail.” suara itu....
Aku mendongak, mendapati laki-laki berjas warna hitam berdiri menjulang tinggi di hadapanku. Lalu, aku merebut undangan itu dari tangan ibu membaca nama yang tertera di undangan pernikahan itu.
Astaga! Aku menutup mulut tidak percaya, aku tersenyum bahagia menatapnya tulisan bertinta emas di mana namaku dan namanya terukir terukir.
Diubah oleh hollapod 31-12-2022 15:08
0
117.5K
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan