Pertama. Niat menikah atau menjalin hubungan serius di awal sudah salah. Entah itu pacaran atau apa lah, yang di dalamnya berpotensi ada istilah selingkuh muncul.
Niat yang bagaimana itu? Misal nih, niat utama pacaran biar bisa mendapat keuntungan atau kepuasan, memang sih, gak bisa dipungkiri, semua orang berpacaran pasti tujuannya ya itu. Tapi, lebih dari itu, harus ada yang diprioritaskan lagi dari itu. Membangun keluarga yang bahagia dan membahagiakan pasangan, memiliki anak yang sehat, dan pintar. 
Membangun peradaban kecil di dalam rumah tangga yang dapat memberikan kontribusi positif bagi diri sendiri, pasangan, anak, dan sekitarnya. Baik secara moral maupun kontribusi positif secara nyata dalam lingkungan. Saat niat besar seperti ini sudah ditanamkan, seseorang akan terus berhati-hati dan mawas diri terhadap diri dan lingkungan. Menjaga diri, menjaga keluarga, menjaga lingkungan.

Kedua. Kebutuhan yang tidak terpenuhi. Seseorang akan melakukan perselingkuhan saat pelaku dan pasangan selingkuhannya memiliki motif yang sama. Katakanlah si A dan B menikah, dan si B ini selingkuh dengan si C. Perselingkuhan itu terjadi karena apa yang dirasakan si B dengan si A ada yang kurang. Akhirnya, dengan kemungkinan cara yang sangat banyak, dia bertemu dengan C. Si C juga begitu, tidak menemukan apa yang dia cari dari pasangan, atau kalau si C sedang jomblo, dia memang ingin mendapatkan sesuatu dari si B yang belum pernah dia dapatkan. Entah si C ini dikibuli atau memang tahu kalau si B ini sudah berkeluarga, pada intinya, keduanya saling membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing.
Entah itu materi, ataupun kebutuhan biologis. Akhirnya, terjadilah perselingkuhan.

Satu lagi, aku paling benci dengan kalimat, "...saat itu aku khilaf". Woi, selingkuh perasaan apalagi berlanjut dalam tindakan bercocok tanam, itu lho secara sadar, bukan khilaf.

Semua tulisan ini, selain berita ibu mertua dan menantu selingkuh, adalah opini pribadi. Jadi, sangat debatable.