rizeelAvatar border
TS
rizeel
Akhir Sebuah Dendam
Annyeong,
Cek ombak dulu, Gan. Udah lama gak nongol 🤭



Ketika hati tertutup oleh kabut hitam, maka semua hal terlihat halal untuk dihempaskan.

***


Senja di sore ini amat cantik, seperti suasana hati kala bersama dengan dia yang wajahnya mirip cinta pertamaku. Saat ini kami sedang berada di pinggir pantai, menikmati deruan ombak yang lembut disertai angin kencang membelai indah rambut hitamku.

Kulihat Reza sedang asyik mengejar air yang berlari ke tengah laut, dengan sesekali menengok ke belakang. Aku tahu ia mengajakku bergabung dengannya, bermain air dan pasir di pantai pasti sangat menyenangkan.

“Ellaaa! Ayo!” teriaknya dari kejauhan. Aku menggeleng pelan, entah Reza melihatku atau tidak.

Lelaki tinggi dengan balutan kemeja santai dan celana panjang yang dilipat sebatas betis itu kini berlari kembali ke bibir pantai. Reza bukan pacarku. Dia adalah teman yang belum lama kukenal, tetapi sudah merasa seakrab sahabat lama.

***


Satu bulan berlalu, Reza menepati janjinya untuk mengajakku pergi ke tempat yang dia tentukan. Duduk di atas boncengan motor harley teryata nyaman juga. Aku perkirakan, sepertinya kami sudah melewati hampir satu jam perjalanan. Kulihat Reza mengendarai motornya masuk ke tempat pengisian bensin.

“Istirahat dulu, ya. Barang kali lo mau ke toilet,” ucap Reza yang terlihat sedang membuka helm.

Aku mengangguk-angguk sambil melihat sebuah plang bertuliskan toilet di depan motor Reza. “Oke, gue ke toilet dulu, ya.”

Aku turun dari motor dan membuka helm. Tunggu, kenapa helm ini susah sekali dibuka. Aku mencobanya sekali lagi. Tetap tidak bisa. Akhirnya aku melirik ke arah Reza.

“Enggak bisa, ya.” Lelaki itu malah cengengesan.

“Gini, nih.” Dia mempraktekan cara membuka helmnya padaku. Ternyata ada tombol yang harus ditekan sebelum membuka tali helmnya.

“Yaelah pantesan enggak bisa,” ucapku lirih.

Reza melepaskan helm dari kepalaku dan menaruhnya di atas motor. “Sana, gih. Gue mau sebat dulu.”

Aku bergegas masuk ke toilet, tanpa menghiraukan perkataan Reza. Aku mengambil tisu basah dari dalam tas. Mengelap wajah yang terasa menebal karena debu yang menempel. Menatap cermin sejenak, seakan melihat bayangan Reza dan segala keusilannya. ”Astaga! Apa yang gue pikirin?”

Aku bergegas membersihkan diri dan ke luar dari toilet. Di luar, Reza masih bercinta dengan sebatang rokok di tangannya. Satu minus untuk wajah tampannya, aku tak suka lelaki perokok. Aku pun memutuskan duduk di atas motor Reza.

“La, lo bawa minum lagi?” tanya Reza tanpa beranjak dari tempatnya duduk.

“Bawa, dong!” seruku menjawab pertanyaannya.

Kebiasaan yang mendarah daging. Aku tidak akan lupa membawa air minum sendiri dari rumah, ke mana pun aku pergi. Mungkin aneh bagi remaja seusiaku, tapi itu tidak masalah selagi aku tak menyusahkan mereka.

“Yuk, lanjut!” ajak Reza yang sudah selesai dengan rokoknya.

“Masih jauh?” tanyaku.

“Bentar lagi sampe, kok. Masalahnya di sana gak bakal boleh ngerokok. Makannya gue berhenti dulu.”

“Oh,” sahutku singkat.

Motor pun kembali melaju diantara kendaraan lain yang berlalu lalang. Aku kembali merasakan kenyamanan motor harley yang seakan tiada tanding. Kurang dari 15 menit kami sudah sampai di tempat tujuan. Reza memarkirkan motornya di samping gerbang besi yang begitu besar. Sekilas aku membaca tulisan di atasnya. “Hutan buru?”

“Yap! Kita bakal berburu di sini.”

“Are you sure?” Reza berjalan tanpa menanggapi kebingunganku.

Kaki ini melangkah begitu saja mengikuti lelaki di depanku. Kami masuk ke sebuah ruangan yang cukup besar. Di dalam, Reza tampak berbicara dengan seseorang, kemudian dia mulai menarikku untuk kembali mengikuti langkahnya. Ternyata ini adalah tempat persenjataan, terlihat begitu banyak senapan yang tepajang di dinding.

“Gue juga harus bawa senapan ini?” tanyaku saat Reza tiba-tiba saja memberikan sebuah senapan yang cukup berat.

“Iya,” jawab Reza santai.

“Za, lo gila? Ini berat kali,” ucapku yang merasa kesulitan membawa satu senapan.

“Yaudah, kalo gitu bawa satu aja. Lo bisa coba senapan yang gue bawa nanti.” Senapan di tanganku akhirnya diambil alih oleh pria berkulit hitam dengan tubuh kekar yang terlihat mengerikan.

Aku mengikuti saja apa yang Reza katakan. Kami pun mulai berjalan ke luar dari tempat itu, dan melangkah memasuki hutan. Aku mulai tidak nyaman dengan situasi ini. Saat ini kami baru saja memasuki kawasan hutan yang pepohonannya cukup tinggi dan rimbun. Netra ini tak henti-hentinya melihat sekitar, takut kalau-kalau ada ular atau binatang buas yang datang. “Za, kita enggak pakai guide? Ini hutan, loh, Za.”

“Siapa yang bilang ini mall, Ella?” tanyanya dengan nada bercanda.

Aku hanya diam tanpa kata sambil berusaha mensejajarkan langkah. “Gue udah biasa, kok, ke sini. Biasanya kalo lagi suntuk gue suka ke sini.”

“Terus sekarang lo lagi suntuk?” tanyaku.

“Dikit.”

Aku tak tagi melanjutkan percakapan. Berjalan dalam diam, hanya itu yang kami lakukan dalam sepersekian menit. “Oh, ya. Gue boleh nanya sesuatu?”

“Tanya apa?” sahutku masih tetap berjalan mengikuti Reza.

“Lo putus sama Diki, tuh, karena apa, sih?”

Agak kaget mendengar pertanyaannya, tapi aku tidak masalah dengan itu. “Ya, karena kami enggak cocok mungkin.”

“Kok, mungkin?”

“Yaa .... Kan, Diki sendiri yang mutusin gue.”

Aku terkejut melihat Reza yang berhenti tiba-tiba. Seketika aku merasakan kepanikan, dengan setengah berbisik aku sembunyi di belakang Reza. “Kenapa, Za? Jangan-jangan di sini ada binatang buas, ya?”

“Enggak mungkin,” jawab Reza.

“Well, well, well. Pangeran kesiangan kenapa bawa Tuan Putrinya ke sini?” suara itu tepat di belakang kami, dan aku mengenalinya.

“Diki?” Aku terperangah melihat keberadaan Diki dengan beberapa orang anggota geng-nya.

“Gue suruh lo bawa dia ke markas gue, Za. Kenapa lo bawa ke sini?” Diki tampak menahan amarah, aku sendiri tidak mengerti dengan situasi ini.

“Apa maksudnya, Za?” tanyaku pada Reza yag mulai melangkah dan membiarkan aku berada di belakangnya.

“Oh, sekarang lo mau jadi pahlawannya? Suka lo sama dia?”

“Kenapa kalo gue suka sama dia?”

Bukan. Bukan seperti ini pernyataan cinta yang aku inginkan. Kenapa situasinya seakan memanas? Apa yang mau dilakukan oleh Diki dan geng-nya? Kenapa juga Reza seolah ada andil dengan semua ini? Aku semakin tak mengerti dengan situasiku saat ini.

“Anj*ng, lo!” Kulihat Diki mengarahkan senapannya pada Reza. Awalnya kupikir itu hanya ancaman saja, tapi ternyata, dia benar-benar menarik pelatuknya.

“Reza awas!”

Suara senapan terdengar jelas di telingaku, bahkan aku merasakan sakit tepat di dada. Meraba bagian yang sakit, dan mendapati darah segar mengalir begitu deras. Aku masih bisa berdiri, melihat wajah panik Reza dan Diki secara bergantian.

“Gu–gue enggak tau. A–apa yang bi–kin lo begitu ma–rah. Tapi gue min–ta maaf ....” Aku tak sanggup lagi meneruskan kata demi kata, bahkan tak mampu lagi berdiri di hadapan mereka.

“Ella!” Seruan samar itu masih terdengar, tetapi tidak terlihat.

***


Aku melihat sekeliling, dinding putih itu terlihat dingin. Selang infus yang tertancap di tanganku, menandakan bahwa diri ini tengah berada di rumah sakit. Perlahan mencoba duduk dan bersandar, netra ini sekilas melihat trailer berita tentang pembunuhan. Hal terakhir yang teringat adalah tubuhku yang terkena tembakan dari senapan Diki.

Di balik kejadian itu, aku menyadari sesuatu. Sebelum putus dari Diki aku pernah begitu kesal padanya, sampai-sampai aku tak sengaja mempermalukan dia di depan banyak orang. Mungkin Diki sengaja ingin membalaskan perlakuanku, tetapi apa andil Reza atas hal ini? Apa mungkin dia sebagai alat untuk balas dendam?

Seorang dokter masuk dan mengecek kondisiku, wajahnya terlihat senang seakan mendapat sebuah mukjizat. “Saya tidak menyangka kamu bisa selamat. Kamu sempat koma selama satu minggu, bahkan jantungmu sempat tak berdetak beberapa hari lalu.”

Satu minggu? Itu bukan waktu yang sebentar. “Siapa yang menemani saya selama berada di sini?”

“Bibimu, dan ... seorang laki-laki.”

“Di mana mereka sekarang?”

“Bibimu sebentar lagi mungkin datang. Tapi laki-laki itu ....”

Suara televisi memutus perkataan dokter itu. Aku terpaku dengan isi trailer berita yang barusan tertangkap oleh netra ini. “Reza Perdana, mahasiswa asal Jakarta mengaku telah menghilangkan delapan nyawa secara tragis. Diketahui motiv pelaku adalah karena adanya dendam pada salah satu korban.”

The end
Diubah oleh rizeel 16-12-2022 13:21
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
357
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan