amekachiAvatar border
TS
amekachi
Tentara era Revolusi Naik Pangkat Tanpa Prosedur, Tak Dihormati Anak Buah


Tentara era Revolusi Naik Pangkat Tanpa Prosedur, Tak Dihormati Anak Buah
Serangan Umum 1 Maret 1949. http://www.jagatreview.com/

Di awal pertumbuhannya, Angkatan Perang Republik Indonesia royal memberikan pangkat.


Medan di masa revolusi. Nagabonar, mantan tukang copet diangkat menjadi jenderal oleh sekelompok pemuda. Sebagai pimpinan tertinggi, dia lantas memberi 'pangkat kilat' kepada rekan-rekan terdekatnya. Lukman diberikan pangkat mayor, Murad yang tukang kopi mendapat pangkat kolonel dan Barjo bekas guru yang dipecat karena sering membolos, dikasihnya pangkat letnan kolonel.


Kisah yang dinukil dari film Nagabonar (1987) ternyata bukan rekaan penulis Asrul Sani semata. Di masa Perang Kemerdekaan (1945-1949), pemberian pangkat tanpa prosedur merupakan suatu hal yang memang sudah lazim dalam dunia ketentaraan.

Menurut Soedari (95), pemberian pangkat biasanya didasari faktor kesenioran dan kejunioran seorang prajurit. Faktor kedekatan dan balas budi juga kerap menjadi penentu.

"Cara memberikannya juga tidak harus lewat suatu upacara resmi. Komandan cukup menepuk bahu kita sambil bilang: mulai hari ini kamu pangkatnya anu ya...Jadilah," ungkap eks anggota telik sandi gerilyawan Republik di palagan Bandung Selatan itu.

Memang tak ada yang tak mungkin dalam suasana revolusi. Ketika menjadi kaum pemanggul senjata dianggap sebagai puncak dari pengabdian terhadap nusa dan bangsa, maka para pentolan grup-grup pemuda berlomba untuk mengangkat dirinya sendiri sebagai 'yang terhebat', termasuk dalam soal kepangkatan.

"Sesudah proklamasi, negara yang tak bermatapencaharian (kecuali dengan terus mencetak uang), memelihara lebih dari setengah juta tentara dan lasykar serta 60 jenderal," ungkap A.H. Nasution dalam TNI: Tentara Nasional Indonesia Jilid 1.

Di Kementerian Pertahanan dan Markas Besar Tentara di Yogyakarta saja ditempatkan sekitar selusin jenderal ditambah setengah lusin jenderal politik dari Pepolit (Pendidikan Politik Tentara, bentukan Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin) seperti Jenderal Mayor Sukono Dojopratiknjo, Jenderal Mayor Wiyono, Jenderal Mayor Anwar Tjokroaminito serta jenderal-jenderal Angkatan Laut dan Angkatan Udara seperti Laksamana Nazir, Laksamana Atmadji, Laksamana Pardi, Komodor Suryadarma dan Komodor Zulkarnaen.

Membludaknya jumlah jenderal menyebabkan banyaknya petinggi-petinggi tentara seolah tanpa pekerjaan jelas. Sebagai upaya untuk menjadikan mereka 'sibuk', maka MBT (Markas Besar Tentara) di Yogyakarta menciptakan 'tugas-tugas istimewa'. Seperti mengurus beras, mengurus kina, menangani opium, mengurus tawanan perang, mengurus kereta api dan mengurus istana negara.

Tak Dihormati Anak Buah
Di tingkat bawah, pengangkatan dan penaikan pangkat 'secara semena-mena' itu malah menimbulkan kebingungan berujung rasa tidak hormat. Wajar jika kemudian tercipta jurang menganga antara atasan dengan bawahan.

Para komandan dari kesatuan-kesatuan kecil yang langsung berhadapan dengan musuh di garis depan menjadi kecewa dan kesal dengan situasi tersebut. Terlebih para jenderal itu bisa dengan seenaknya mengangkat pangkat seseorang yang disukai.

A.H, Nasution membuat satu contoh kasus. Tersebutlah seorang sersan mayor yang berhasil mendapatkan beberapa ban mobil (yang kala itu merupakan barang langka) lalu memberikannya kepada seorang jenderal. Sebagai bentuk rasa terimakasih, sang jenderal lalu menaikan pangkat si sersan mayor menjadi mayor. Suatu loncatan kenaikan pangkat yang mungkin tak akan pernah terjadi lagi di zaman sekarang.

"Orang-orang yang kemarin sore dikenal sebagai anggota tentara yang memiliki tugas 'kurang berarti', sekonyong-konyong muncul di Yogyakarta selaku letnan kolonel atau kolonel," ujar Nasution.

Kondisi ini menyebabkan para prajurit di bawah tidak lagi memiliki rasa hormat dan kepercayaan kepada 'para pemilik bintang gemeralapan' itu. Jika berpapasan di jalan, alih-alih memberikan salut secara militer, para prajurit lebih memilih untuk pura-pura tidak melihat atau melengos begitu saja.

"Karena kami tahu mereka tidak berjuang seperti kami yang mempertaruhkan nyawa di front pertempuran," ujar Soedarja (95), salah seorang eks prajurit Siliwangi yang bertugas di Sumedang.

Tradisi pemberian pangkat dan pengangkatan jabatan secara semena-mena itu diadopsi pula oleh lembaga-lembaga kelasykaran yang saat itu tumbuh bak jamur di musim hujan. Bahkan obral pangkat dibuat lebih murah lagi oleh mereka.

Seorang jago atau jawara yang memimpin puluhan orang dalam satu badan lasykar, maka dengan semena-mena akan menyatakan diri sebagai 'komandan resimen A' atau 'komandan divisi B'. Di kalangan lasykar proses pengangkatan perwira dan jenderal malah cenderung lebih 'kacau' lagi.

Situasi itu berlangsung sampai perang berakhir. Ketika TNI berubah menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), pangkat-pangkat mulai dibenahi. Ironisnya, banyak anggota TNI yang sudah berpangkat malah kalah bersaing dengan eks anggota KNIL yang dileburkan ke APRIS.

Maka muncullah masalah baru: kecemburuan yang kadang dimunculkan dalam aksi pemberontakan seperti yang terjadi dalam kasus Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.


https://www.google.com/url?q=https:/...2INSEpcSYve6gT
0
114
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan