Quote:
“Maaf, aku terbawa emosi tadi,” ucapku lebih dulu.
“Ya, aku juga sama,” balasnya. “Kalau kupikir-pikir, membunuh orang akan terlalu beresiko. Aku harus membuatnya seperti kecelakaan.”
“Kau masih membahas itu?!”
Anehnya, aku tak yakin kalau dia bercanda.
“Sejak lulus Sma, seperti apa Claudia?” Aku mencoba mengalihkan topik. Siapa yang jamin Elicia tak akan mempengaruhiku dengan topik itu lagi.
“Sama seperti biasa,” jawabnya datar. “Hanya bosan, cuma itu. Seperti itulah wanita, kalau kau tidak memberinya kejutan secara teratur, cintanya akan pudar.”
“Yeah, kurasa itu juga berlaku untuk pria.”
Elicia melotot, siap menusukku dengan ujung sendok, namun kembali menurunkan tangannya.
“Kau ada benarnya. Aku terlalu sibuk untuk berkencan, dia akhirnya bosan dan menggunakannya untuk bertemu Claudia. Hikmahnya di sini, kalau kau tak punya waktu untuk berkencan, jangan pernah berpacaran.”
Serempak kami menghembuskan napas berat. Di luar sana kedua orang yang menjadi subjek pengawasan kami sudah berdiri dari kursinya dan bersiap meninggalkan kafe. Aku berniat untuk mengekor mereka, tapi untuk apa? Semua ini sudah tak ada gunanya lagi.
Claudia meninggalkanku, dan itu bukan salah siapa-siapa. Hubungan kami tak lebih dari sekedar cerita lama yang terlalu sakit untuk dibuka lagi. Sudah cukup, ya, sudah cukup. Biarlah aku mengenang Claudia yang aku kenal semasa Smp dan Sma di dalam hatiku. Claudia yang saat ini sudah tak ada hubungannya denganku.
“Ini benar-benar hari yang membuat depresi,” keluhku sembari bersandar di kursi. Di depanku Elicia sudah mulai menangis lagi.
“Aku benar-benar mencintainya,” bisiknya sendu, “kenapa dia pergi? Kenapa tidak bicarakan jika ada yang tidak pas denganku?”
“Sudahlah Elicia,” aku mengulurkan beberapa lembar tisu lagi ke arahnya, “akhir yang tragis kadang tidak menuntut penjelasan. Nasib buruk selalu berkeliaran di mana-mana, dan seseorang harus menerimanya. Dalam kasus ini, kita berdua yang harus menanggung sedihnya.”
Aku sebenarnya ingin mengucapkan kata penghiburan, tetapi aku tidak dalam kondisi yang cocok untuk mengatakannya. Mungkin setelah menangis dua atau tiga malam lagi baru aku bisa menemui Elicia dan menghiburnya. Sekarang aku hanya ingin pulang dan meratapi betapa bodohnya diriku ini.
“Aku jadi lebih paham perasaan karakter utama di novelmu.” Elicia mengangkat kepalanya, matanya berkaca-kaca. “Tak bisa hidup tanpa belahan hatinya, mungkin aku terikat kutukan semacam itu. Sayangnya cuma aku yang terikat, yang satunya tidak.”
“Itu artinya takdirmu adalah mati sendirian, tak ada yang bersedia mati penuh kebahagiaan bersamamu.”
Aku mengerti, aku juga bersimpati. Aku dan Elicia berteman akrab dulu, dan sekarang pun sama. Aku tak tega melihatnya begitu depresi seperti ini. Jika aku meninggalkannya begitu saja bukan tidak mungkin dia akan langsung bunuh diri.
Tapi apa yang bisa aku lakukan? Pengetahuanku hanya tentang tragedi, aku tak tahu cara membuat seseorang bahagia.
“Kau mau lanjut mengekor dua orang itu?” tanyaku pelan, tak yakin apakah aku ingin mendengar jawabannya. Dan di luar dugaan, Elicia mengangguk. Bahkan seluruh air mata itu masih belum cukup untuknya. Dia masih ingin terus mengejar penderitaan yang pasti akan membunuhnya.
“Sudahlah Elicia, kau hanya… oh ayolah, ini terlalu menyedihkan untuk dilanjutkan.”
“Kalau begitu ikut denganku.” Dia mencengkram lenganku kuat sekali. Matanya yang sedari tadi basah oleh air mata kini berapi-api penuh tekad yang tak jelas untuk apa. “Ikuti aku. Ayo… lakukan sesuatu yang tak akan membuat kita sedih.”
Dan seperti itulah ceritanya. Aku tak begitu ingin menceritakan detailnya karena aku juga tak paham apa yang otakku pikirkan saat itu. Aku hanya memikirkan dua hal, mengobati patah hatiku dan mencegah Elicia melakukan hal bodoh. Bisa dibilang aku berhasil, dalam prosesnya kami benar-benar melupakan segala masalah yang menimpa kami berdua. Kami tak peduli perasaan masing-masing, tak peduli logika dan juga norma. Kami hanya… mencoba melarikan diri.
Singkat kata, kami menghabiskan semalaman di Love Hotel.
***
Ahh ya... seperti itu kejadiannya. Ini mungkin kejadian terindah sekaligus paling mengerikan yang terjadi padaku selama beberapa tahun ini. Kira-kira apa yang akan Elicia lakukan setelah terbangun? Membunuhku? Semoga saja tidak. Sayangnya harapanku tidak didukung alasan yang kuat. Akan lebih baik jika aku langsung pergi, tapi tindakan itu bisa saja membuat batinnya semakin tersiksa.
Dan sebelum aku mengambil keputusan, Elicia mulai bergerak. Aku menutup mata, pasrah menerima apa yang akan terjadi.
Namun ternyata tak terjadi apa-apa. Elicia hanya bangkit dan duduk tanpa mengucapkan apa pun. Jarinya menekan noda-noda darah di seprei.
Noda itu membuatku terkejut. Awalnya aku mengira dia sudah bukan gadis lagi, bagaimanapun dia pacaran selama lima tahun dan umurnya sudah jauh di atas umur rata-rata perempuan kehilangan keperawanan di negeri ini. Apa jangan-jangan dia dicampakkan karena tidak mau diajak macam-macam?
“Mungkin karena aku menolak seks, dia mencampakkanku,” ujar Elicia tiba-tiba. “Sekarang aku malah melakukannya denganmu. Apa menurutmu ini balas dendam yang cukup keras?”
“Ehh… tidak. Aku bahkan ragu pria itu masih peduli denganmu.”
“…. Begitu.”
Baiklah, ini waktunya untuk menjadi pria sejati. Pria sejati selalu bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
“Kita berdua dicampakkan dengan begitu tragis,” kataku tanpa menatapnya. “Jadi, sebagai sesama orang buangan, apa kau mau jadi pacarku?”
“….”
“Ini memang aneh, apalagi karna aku yang bilang, tapi kita bisa saling menghibur. Mari jalin hubungan baru dan lupakan tentang para tukang selingkuh itu.”
“Kau ngomong apa sih?”
“Emm… apa itu artinya tidak?”
“Tidak seharusnya kita diam saja.” Dia mencengkram bahuku dengan mata yang kembali berapi-api. “Apa kau senang dicampakkan begini? Tidak, Gemini. Sama sekali tidak. Di saat seperti ini kita tidak seharusnya melupakan, kita harus belas dendam. Mari buat mereka menyesal telah dilahirkan.”
Dan ini adalah awal dari kisah yang pasti akan jadi tragedi. Sekarang, setelah melihat sejauh apa kepribadian Elicia berubah, aku jadi semakin yakin cerita ini tak akan berjalan bahagia.
Apakah cerita ini akan berakhir seperti Pisces yang mana semua orang akhirnya mati? Entahlah, kemungkinannya sama sekali bukan nol.
Dan meski aku tahu tentang itu, aku akan tetap menulis kisah ini hingga akhir. Apakah kami akan menangis? Apakah kami akan mati? Atau mungkin sesuatu yang lebih buruk? Apa pun itu aku akan menceritakan semuanya, karena aku adalah penulis cerita tragedi.