- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
UU Narkotika Minim Kajian Kesehatan dan Antropologi
TS
dragonroar
UU Narkotika Minim Kajian Kesehatan dan Antropologi
Jumat, 28 Oktober 2022 | 07:14 WIB
UU Narkotika Minim Kajian Kesehatan dan Antropologi

UU Narkotika Minim Kajian Kesehatan dan Antropologi.
POJOKBANDUNG.com, BANDUNG – Revisi Undang-undang Narkotika dinilai sejumlah pihak masih sangat mengedepankan persoalan hukum, namun mengesampingkan sudut pandang keilmuan lain seperti antropologi dan kesehatan dalam kajiannya.
Dokter Spesialis Kejiwaan, dr Benny Ardjil mengatakan, pembahasan dan pembentukan regulasi tentang narkotika hingga saat ini minim pendekatan kesehatan. “Ibaratnya sayur, masih kurang garam,” ujar Benny dalam diskusi bertajuk “Perspektif Antropologi dan Kedokteran Adiksi untuk UU Narkotika” yang digelar oleh Indonesia Tanpa Stigma, bersama AJI Bandung dan Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) di Hotel Best Western, Jalan Merdeka, Kota Bandung, Rabu (26/10) lalu.
Benny mencontohkan satu hal penting yang luput dalam Undang-undang Narkotika no.35 tahun 2009, yaitu definisi pulih atau recovery. Sementara definisi tentang pecandu, narkotika, rehabilitasi semuanya tercantum dalam undang-undang tersebut. Padahal menurutnya pulih merupakan ujung dari proses penanganan para pecandu zat-zat adiktif tersebut.
“Pulih atau recovery bukan sembuh, tidak dibahas sama sekali. Kan harusnya ada input, proses, terus output, nah outputnya ini masih luput,” katanya.
Ia menjelaskan kata pulih lebih tepat daripada sembuh, sebab adiksi itu merupakan penyakit kronis yang tidak kenal kata sembuh. Di berbagai organisasi atau lembaga di dunia hal ini sudah sering dibahas bahkan sejak tahun 2005 silam.
Jika hanya berfokus pada rehabilitasi, sambung Benny, pemulihan hanya sampai pada proses yang dinilai kurang efektif. Dalam Uu Narkotika no. 35 tahun 2009, definisi rehabilitasi dibagi menjadi dua yaitu rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
“Rehabilitasi itu juga kan kurang efektif, adiksi ini penyakit kronis seperti diabetes misalnya, apakah kita pernah menyebut orang sembuh dari diabetes, kan tidak. Kita hanya menyebut pulih karena penyakit itu masih ada,” terangnya.
Selain itu, salah satu yang membuat rehabilitasi tidak efektif adalah prosesnya yang hanya memakan waktu beberapa bulan saja, dan menjauhkan para pengguna narkoba dari lingkungan sosial. Akibatnya, pasca rehabilitasi kemungkinan kembali memakai narkoba sangat besar.
Ia mencontohkan, seorang pecandu berusia 23 tahun yang ditangkap dan direhabilitasi selama tiga bulan lamanya, dijauhkan dari lingkungannya. Sementara, orang itu menjadi pecandu akibat kultur adiksi yang terbangun di lingkungannya, menyeret dan menyentuh narkoba sejak usia 14 tahun.
“Tiga bulan rehabilitasi dibanding 9 tahun memakai, inikan tidak ada artinya,” ujarnya. “Padahal pecandu itu tidak muncul dari ruang hampa. Ada kultur yang menyeret. Jadi semestinya para pecandu ini diberi ruang yang dikemas sebagai antitesa atas kultur adiksi, bukan malah dijauhkan dari lingkungan sosial,” jelasnya.
Tidak cukup pada soal kesehatan, Koordinator Wilayah Jawa-Bali AAI Inang Winarso memaparkan pula keluputan pemerintah dalam menafsir permasalahan narkotika dalam sudut pandang tradisi budaya Indonesia yang beragam.
Inang berpendapat, jika konteks budaya dimasukkan dalam kajian UU Narkotika, terdapat beberapa jenis zat yang bisa digunakan dalam hal-hal baik, salah satunya ganja.
“Di sejumlah daerah di kita (Indonesia), terdapat tradisi-tradisi tertentu yang mengenal zat-zat adiksi yang dianggap berbahaya bagi kesehatan dan moral tapi itu digunakan dalam misalnya kepentingan upacara, spiritual, bahkan kesehatan,” ungkapnya.
Misalnya saja, sambung Inang, ganja di Aceh, atau beberapa daerah di Sumatra atau wilayah timur Indonesia yang mengenal dan memiliki tradisi produksi dan konsumsi minuman beralkohol. Namun regulasi dan utilitasnya sesuai kebutuhan tradisi, oleh karenanya, tidak menimbulkan hal-hal yang berbahaya.
“Sebenarnya sama saja seperti pisau, jika digunakan dalam proses memasak itu akan positif, tapi kalau digunakan untuk menikam orang ya berbahaya,” imbuhnya.
Sebab itu, menurut Inang, yang perlu dipahami dalam menghadirkan regulasi atau undang-undang adalah bagaimana mengatur perilaku manusianya, bukan melarang zatnya. (sir)
https://bandung.pojoksatu.id/read/20...n-antropologi/
UU Narkotika Minim Kajian Kesehatan dan Antropologi

UU Narkotika Minim Kajian Kesehatan dan Antropologi.
POJOKBANDUNG.com, BANDUNG – Revisi Undang-undang Narkotika dinilai sejumlah pihak masih sangat mengedepankan persoalan hukum, namun mengesampingkan sudut pandang keilmuan lain seperti antropologi dan kesehatan dalam kajiannya.
Dokter Spesialis Kejiwaan, dr Benny Ardjil mengatakan, pembahasan dan pembentukan regulasi tentang narkotika hingga saat ini minim pendekatan kesehatan. “Ibaratnya sayur, masih kurang garam,” ujar Benny dalam diskusi bertajuk “Perspektif Antropologi dan Kedokteran Adiksi untuk UU Narkotika” yang digelar oleh Indonesia Tanpa Stigma, bersama AJI Bandung dan Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) di Hotel Best Western, Jalan Merdeka, Kota Bandung, Rabu (26/10) lalu.
Benny mencontohkan satu hal penting yang luput dalam Undang-undang Narkotika no.35 tahun 2009, yaitu definisi pulih atau recovery. Sementara definisi tentang pecandu, narkotika, rehabilitasi semuanya tercantum dalam undang-undang tersebut. Padahal menurutnya pulih merupakan ujung dari proses penanganan para pecandu zat-zat adiktif tersebut.
“Pulih atau recovery bukan sembuh, tidak dibahas sama sekali. Kan harusnya ada input, proses, terus output, nah outputnya ini masih luput,” katanya.
Ia menjelaskan kata pulih lebih tepat daripada sembuh, sebab adiksi itu merupakan penyakit kronis yang tidak kenal kata sembuh. Di berbagai organisasi atau lembaga di dunia hal ini sudah sering dibahas bahkan sejak tahun 2005 silam.
Jika hanya berfokus pada rehabilitasi, sambung Benny, pemulihan hanya sampai pada proses yang dinilai kurang efektif. Dalam Uu Narkotika no. 35 tahun 2009, definisi rehabilitasi dibagi menjadi dua yaitu rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
“Rehabilitasi itu juga kan kurang efektif, adiksi ini penyakit kronis seperti diabetes misalnya, apakah kita pernah menyebut orang sembuh dari diabetes, kan tidak. Kita hanya menyebut pulih karena penyakit itu masih ada,” terangnya.
Selain itu, salah satu yang membuat rehabilitasi tidak efektif adalah prosesnya yang hanya memakan waktu beberapa bulan saja, dan menjauhkan para pengguna narkoba dari lingkungan sosial. Akibatnya, pasca rehabilitasi kemungkinan kembali memakai narkoba sangat besar.
Ia mencontohkan, seorang pecandu berusia 23 tahun yang ditangkap dan direhabilitasi selama tiga bulan lamanya, dijauhkan dari lingkungannya. Sementara, orang itu menjadi pecandu akibat kultur adiksi yang terbangun di lingkungannya, menyeret dan menyentuh narkoba sejak usia 14 tahun.
“Tiga bulan rehabilitasi dibanding 9 tahun memakai, inikan tidak ada artinya,” ujarnya. “Padahal pecandu itu tidak muncul dari ruang hampa. Ada kultur yang menyeret. Jadi semestinya para pecandu ini diberi ruang yang dikemas sebagai antitesa atas kultur adiksi, bukan malah dijauhkan dari lingkungan sosial,” jelasnya.
Tidak cukup pada soal kesehatan, Koordinator Wilayah Jawa-Bali AAI Inang Winarso memaparkan pula keluputan pemerintah dalam menafsir permasalahan narkotika dalam sudut pandang tradisi budaya Indonesia yang beragam.
Inang berpendapat, jika konteks budaya dimasukkan dalam kajian UU Narkotika, terdapat beberapa jenis zat yang bisa digunakan dalam hal-hal baik, salah satunya ganja.
“Di sejumlah daerah di kita (Indonesia), terdapat tradisi-tradisi tertentu yang mengenal zat-zat adiksi yang dianggap berbahaya bagi kesehatan dan moral tapi itu digunakan dalam misalnya kepentingan upacara, spiritual, bahkan kesehatan,” ungkapnya.
Misalnya saja, sambung Inang, ganja di Aceh, atau beberapa daerah di Sumatra atau wilayah timur Indonesia yang mengenal dan memiliki tradisi produksi dan konsumsi minuman beralkohol. Namun regulasi dan utilitasnya sesuai kebutuhan tradisi, oleh karenanya, tidak menimbulkan hal-hal yang berbahaya.
“Sebenarnya sama saja seperti pisau, jika digunakan dalam proses memasak itu akan positif, tapi kalau digunakan untuk menikam orang ya berbahaya,” imbuhnya.
Sebab itu, menurut Inang, yang perlu dipahami dalam menghadirkan regulasi atau undang-undang adalah bagaimana mengatur perilaku manusianya, bukan melarang zatnya. (sir)
https://bandung.pojoksatu.id/read/20...n-antropologi/
muhamad.hanif.2 memberi reputasi
1
533
1
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan