Kaskus

Entertainment

cangkeman.netAvatar border
TS
cangkeman.net
Jaka Tingkir Cuma Ngombe Dawet, Kenapa Dipikir Sampai Mumet?
Jaka Tingkir Cuma Ngombe Dawet, Kenapa Dipikir Sampai Mumet?

Cangkeman.net - Masyarakat Indonesia memang hobi memperdebatkan fenomena-fenomena yang sedang muncul di media publik. Beberapa minggu terakhir, kita diributkan oleh Pesulap Merah vs Gus Syamsudin, kasus Ferdy Sambo, sampai kontroversi lagu Jaka Tingkir Ngombe Dawet. Namun, di sini saya tidak akan membahas dua kasus pertama, karena yang membuat saya menarik adalah kontroversi lagu Jaka Tingkir Ngombe Dawet. Ya, lagu yang hampir dinyanyikan oleh penyanyi cilik Farel di hadapan Presiden Jokowi pada peringatan HUT RI ke-77 lalu.

Lagu Jaka Tingkir Ngombe Dawet belakangan sedang ramai diperbincangkan karena mencatut nama seorang tokoh besar dalam sejarah Nusantara, yaitu Jaka Tingkir. Lagu ini viral menghiasi beranda Youtube, Tiktok, Reels, dan berbagai platform media sosial lainnya yang biasanya menggunakan lagu tersebut sebagai backsound dari konten video. Beberapa komentar muncul bahwasanya lagu tersebut tidak etis, karena membawa nama tokoh Jaka Tingkir sebagai nyanyian dangdut yang identik dengan slengean dan urakan.

Setelah viralnya kontroversi lagu tersebut, penulis lagu Jaka Tingkir, Ronald Dwi Febrianzah menyampaikan permohonan maaf melalui channel Youtube Tama Halu 008. Dirinya mengaku bahwa tidak ada niatan untuk merendahkan sosok Jaka Tingkir. Semua ini semata-mata ketidaktahuannya sosok di balik nama Jaka Tingkir yang ternyata dihormati bagi masyarakat Jawa. Kemudian dengan inisiatif, Ronald mengganti nama Jaka tingkir pada lagu tersebut menjadi Mbah Amer Ngombe Dawet.

Sejarah Singkat Sosok Jaka Tingkir
Sebelum kita membahas lagu tersebut, perlu lah untuk mengetahui siapa sosok di balik nama Jaka Tingkir tersebut. Sulistiani dalam tulisannya yang berjudul Siapa Jaka Tingkir yang diunggah Historia.id pada tanggal 22 Agustus 2022, menyebutkan bahwa ada literatur klasik yang menggunakan judul Jaka Tingkir, yaitu Babad Jaka Tingkir. Namun, penyebutan nama Jaka Tingkir hanya sebatas pada judul belaka, karena dalam isinya bahkan tidak ditemui sama sekali penyebutan Jaka Tingkir sebagai tokoh.

Sedang dalam Babad Jaka Tingkir yang sudah dialihbahasakan oleh Moelyono Sastronaryatmo menceritakan bahwa Ki Ageng Pengging mempunyai putera bernama Mas Karebet. Setelah Ki Ageng Pengging wafat karena dibunuh, Mas Karebet diasuh oleh bibinya, Nyai Ageng Tingkir. Dari situ bisa diindikasikan bahwa Mas Karebet mendapatkan julukan ‘Jaka Tingkir’ berasal dari keluarga yang mengasuhnya.

Lain lagi menurut JJ. Meinsma dalam Babad Tanah Djawi: Javaanse Rijkskroniek, setelah ayah Mas Karebet dibunuh, ia kemudian diasuh oleh sahabat ayahnya yang berada di desa Tingkir. Sehingga ia besar dengan nama Jaka Tingkir, yang berarti pemuda dari desa Tingkir. Jaka Tingkir kemudian besar dengan berguru kepada Ki Ageng Sela dan Sunan Kalijaga. Setelah dirasa mendapatkan cukup ilmu, Jaka Tingkir disarankan gurunya untuk bekerja di Demak, yang dalam hal ini ia menjadi pengawal pribadi raja.

Jaka Tingkir sempat diusir dari istana karena telah membunuh calon pengawal baru. Namun, akhirnya ia mendapatkan posisinya kembali di kemudian waktu atas jasanya menghentikan kerbau yang mengamuk di kerajaan. H.J. de Graaf, seorang peneliti Belanda menerangkan bahwa kemudian Jaka Tingkir menikah dengan putri ke-5 Sultan Trenggana dan menjadi bupati di daerah Pajang. Singkat cerita, atas kecerdikannya Jaka Tingkir kemudian bisa menjadi penguasa Demak menggantikan Sultan Trenggana pada abad 16 M. dan memindahkan pusat pemerintahannya ke Pajang.

Dawet, Kuliner Nusantara Sejak
Dawet merupakan kuliner khas Jawa Tengah yang terbuat dari tepung beras dan dibentuk adonan lonjong dengan warna hijau. Dawet mempunyai tekstur kenyal yang disajikan dengan seduhan santan dan gula aren. Sampai saat ini, kuliner dawet sudah menyebar ke berbagai daerah-daerah di Indonesia. Namun, siapa sangka ternyata dawet memiliki sejarah yang erat kaitannya dengan asal mula berdirinya Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Dalam situs resmi Pemerintah Kabupaten Pati menerangkan bahwa dawet berhubungan dengan sosok cikal bakal sejarah Kabupaten Pati, yaitu Raden Kembang Jaya. Diceritakan bahwa Kembang Jaya berambisi untuk menyatukan tiga kadipaten yang telah berseteru dan berperang sebelumnya, yaitu Paranggaruda, Carangsoka dan Majasemi.

Singkat cerita, Raden Kembang Jaya bersama Raden Soponyono ingin meluaskan wilayah kekuasaannya dengan membabad hutan Kemiri yang dihuni oleh binatang buas dan makhluk halus. Namun atas kesaktian mereka berdua, semua hambatan tersebut bisa ditaklukkan. Esok harinya, Raden Kembang Jaya dan Raden Soponyono bertemu dengan seseorang yang sedang membawa gentong berisi air. Lantas Raden Kembang Jaya bertanya kepada orang tersebut, siapa namanya dan apa yang ia bawa.

Seseorang yang membawa gentong tersebut bernama Ki Saloka yang sedang menjajakan minuman dawet yang dibawa di dalam gentongnya. Kemudian Raden Kembang Jaya penasaran dan ingin merasakan minuman tersebut. Setelah mencobanya, Raden Kembang Jaya terkesan dengan rasa dari minuman dawet tersebut. Ki Saloka menjelaskan bahwa minuman dawet berasal dari pati aren yang dicampuri dengan kuah santan kelapa dan gula aren. Lantas Raden Kembang Jaya terinspirasi bahwa kelak ketika ia telah berhasil membuka hutan Kemiri, daerah ini akan dinamakan Pati-Pesantenan. Dan pada tahun 1323, Pati-Pesantenan resmi berdiri sebagai kadipaten. Kemudian kadipaten ini berkembang dan menjadi Kabupaten Pati seperti yang kita kena pada hari ini.

Menengahi Perdebatan Lagu Jaka Tingkir Ngombe Dawet
Dari penjelasan sejarah singkat tersebut, kita tahu bahwa kuliner dawet sudah ada sejak abad ke-14 M., sedang Jaka Tingkir memerintah Pajang pada abad ke-16 M. Jadi jika mempertimbangkan sisi historis, sangat memungkinkan jika Jaka Tingkir benar-benar pernah minum dawet untuk meredakan dahaganya. Sehingga lagu Jaka Tingkir Ngombe Dawet sah-sah saja dan tidak mengandung unsur merendahkan Jaka Tingkir sebagai seorang pemimpin Kerajaan Pajang, toh dawet juga merupakan kuliner Nusantara. Apakah tidak boleh seorang raja meminum minuman rakyat seperti dawet.

Selain itu ,lagu tersebut juga memberikan banyak pesan bagi para pendengar, salah satunya pada lirik “ojo dipikir garai mumet”. Bukankah itu merupakan pesan positif untuk para pendengar agar jangan memikirkan masalah terlalu dalam agar tidak menyebabkan pusing/stres. Lantas di mana sisi merendahkannya. Apakah karena diiringi irama dangdut koplo yang identik dengan slengean dan urakan. Loh, yang slengean dan urakan itukan penontonnya yang jejogetan tanpa aturan yang menimbulkan kerusuhan. Lantas, apa hanya karena ulah sebagian kecil penontonnya yang ngawur menjadikan irama dandut koplo sebagai irama yang tidak etis? Tentunya tidak. Yang tidak etis biarlah mereka yang jejogetan ngawur tanpa aturan, tidak pada lagunya.

Namun, kenyataannya memang lagu tersebut ‘gagal’ untuk diperdengarkan kepada masyarakat Indonesia. Karena setelah munculnya lagu tersebut bukan pesannya yang tersampaikan, malah marai mumet untuk diperdebatkan. Padahal Jaka Tingkir cuma ngombe dawet, kenapa dipikir sampai mumet? Kecuali kalau lagunya berjudul Jaka Tingkir Ngombe Boba, baru kita pikir sampai mumet.


Tulisan ini ditulis oleh Mohammad Sirojul Akbar di Cangkeman pada tanggal 2 oktober 2022
0
1K
6
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan