Kaskus

Entertainment

kasihudinAvatar border
TS
kasihudin
Berebut Jadi Tuhan
Bacaan untuk memperingati hari sumpah pemuda besok 28 Oktober 2022
Bersatu kita teguh,bercerai kita runtuh
Berebut Jadi Tuhan
PERBEDAAN adalah sebuah keniscayaan. "Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (Al-Quran)."

Setiap anak manusia yang lahir ke muka bumi adalah unik. Keunikan tersebut kemudian melahirkan apa yang kemudian disebut sebagai identitas.

Kita tidak pernah mengajukan penawaran kepada Tuhan untuk terlahir dari suku bangsa manapun, bahkan juga dari seorang ibu yang mana.

Mengenal orang dan suku bangsa lainnya tidak saja hanya sebatas nama dan adat budayanya, namun lebih dari itu ialah dapat memahami esensi dari perbedaan tersebut, yaitu kesadaran pluralitas.

Kesadaran pluralitas inilah yang kemudian para pemuda mengidentifikasi diri sebagai Jong Java, Jong Soematra, Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten, Jong Batak Bond, Jong Celebes, Pemoeda Kaum Betawi, dan Perhimpoenan Peladjar Indonesia membuat kesepakatan melalui penyatuan visi dengan satu komitmen yang dikenal dengan Sumpah Pemuda.

Dalam Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928, para pemuda berkomitmen bahwa Kami Putra dan Putri Indonesia Mengaku bertumpah darah yang satu Tanah Indonesia, Berbangsa yang satu Bangsa Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan Bahasa Indonesia (Suryanegara, 2017).

Maka hendaknya kita juga belajar meneguhkan semangat mereka dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara dalam konteks kekinian dan selamanya.

Mengapa semangat para pemuda 1928 tersebut menjadi penting untuk terus kita pupuk dan tumbuh suburkan?

Tentu tidak terlepas dari pertimbangan geografis-kosmologis dan sosio-antropologis sekaligus.

Indonesia menjadi negara demokrasi paling plural dengan potensi “perbedaan” terbesar di muka bumi, terdiri dari 1.340 suku dan lebih dari 1.158 bahasa daerah (Suharto, 2019), yang tersebar di hampir semua pulau yang berjumlah tidak kurang dari 17.508 (Suari dkk., 2017).

Potensi perbedaan tersebut menjadi karunia tersendiri sekaligus menjadi potensi konflik yang membahayakan ketika kita sebagai bangsa keliru mengelolanya.

Dalam banyak konteks kehidupan sosial apakah dalam masyarakat organisasi atau dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, menyisakan berbagai catatan penting untuk menjadi bahan renungan kita sebagai sebuah negara bangsa yang majemuk.

Entah mengapa saat ini kehidupan bermasyarakat dan berbangsa kita seperti sangat terkotak-kotak. Perbedaan suku dan lingkungan tempat tinggal bahkan lembaga pendidikan sekalipun sering menjadi sekat-sekat kehidupan bermasyarakat yang kemudian memicu terjadinya konflik yang dalam banyak kasus menimbulkan korban jiwa.

Perbedaan pandangan dan sikap seolah-olah menjadi sesuatu yang haram. Kita sering dipaksa menjadi seseorang yang tidak boleh berbeda.

Padahal ketika kita berada dalam ruang publik atau berada dalam alam demokrasi, perbedaan adalah sebuah keniscayaan dan ianya menjadi ruh demokrasi itu sendiri.

Ruang publik dan kebebasan

Tindakan (dan ucapan) hanya akan terjadi dan hanya bisa dipahami, dalam masyarakat (ruang publik). Ruang Publik adalah dunia bersama tempat di mana manusia saling berbagi, saling memahami, saling mendengarkan dan melihat sekaligus didengarkan dan dilihat (Fahruddin, 2020).

Ruang publik adalah ruang antara, ruang yang mempertautkan berbagai kepentingan manusia-manusia yang duduk mengitarinya, saling memandang dan saling mendengarkan.

Seperti meja yang ditempatkan di antara mereka yang duduk mengitarinya. Jika meja itu hilang, maka hilanglah kebersamaan itu.

Kebersamaan terbentuk ketika masing-masing individu memberikan ruang kebebasan berpikir dan bertindak yang tentu saja harus bertanggungjawab atas tindakannya tersebut.

Kebebasan akan hilang manakala terjadi dua hal, Pertama, isolasi radikal, di mana semua orang tidak lagi saling memberikan persetujuan.

Kasus seperti ini terjadi, misalnya dalam pemerintahan tiranis, atau dalam masyarakat anarkis masing-masing punya kehendaknya.

Kedua, dalam “masyarakat massa” atau “histeria massa”, di mana kita melihat semua orang tiba-tiba bertingkah seolah-olah mereka adalah anggota dari satu keluarga, masing-masing menggandakan dan melestarikan perspektif orang di sekitarnya.

Fanatisme berlebihan atas kelompok dan golongannya secara berlebihan tanpa critical thinking, tidak ada visi.

Ciri ruang publik yang sehat manakala masyarakat memiliki kesadaran pluralitas. Pluralitas manusia terletak dalam kesamaannya, yaitu bahwa mereka tidak sama.

Sementara kebebasannya terimplikasi dari hakikatnya sebagai manusia yang bertindak, karena bertindak berarti memulai, mencipta, dan memulai berarti melakukan pilihan-pilihan; itu adalah kebebasan.

Dalam On Revolution, Hannah Arendt membedakan kebebasan politik dari kebebasan personal (Arendt, 2006).

Bagi Arendt, kebebasan politik adalah kebebasan warisan pemikir seperti Aristoteles, dan praktik polis di Yunani kuno, dan itulah yang sebenarnya dinamakan kebebasan.

Kebebasan jenis ini, sekarang ini, dipahami sebagai kebebasan positif, yaitu kebebasan untuk melakukan apa pun dan menjadi apa pun berdasarkan otonomi seseorang.

Sementara, kebebasan personal adalah, dalam kacamata Arendt, kebebasan yang dipahami dalam politik modern. Kebebasan demikian berada di luar politik.

Dalam paham sekarang ini, kebebasan itu dinamakan sebagai kebebasan negatif, yaitu kebebasan dari apa pun dan siapa pun yang menjadi penghalang bagi pemenuhan sesuatu atau diri.

Kebebasan yang sejati adalah bebas untuk, ketika seseorang masih berkutat dengan bebas dari maka sejatinya belum merdeka.

Pertanyaannya adalah apakah kemudian sebagai bangsa kita sudah sungguh-sungguh bebas untuk melakukan apapun atau masih dibayangi dengan kapitalisme global dan kekuatan asing lainnya yang mengendalikan kebijakan-kebijakan dalam negeri?

Kebebasan menjadi pilar utama demokrasi. Ketika dalam praktik berdemokrasi masih kita dapati ada orang atau kelompok tertentu mendominasi kebenaran dan memaksakan kebenaran yang diyakininya kepada orang lain, maka sesungguhnya demokrasi sudah mati.

Bahkan yang memprihatinkan kemudian adalah ketika ada komunitas keagamaan yang begitu bersemangat melakukan takfirisasi (mengkafirkan yang lain) dan menganggap sesat bagi yang tidak sejalan, maka sejatinya mereka sudah mengambil otoritas Tuhan. Ya, banyak orang dan barangkali golongan hari ini sudah pada berebut jadi Tuhan.

Atau setidaknya kita dalam banyak hal sudah terjebak dan bahkan menjebakkan diri bertindak laiknya malaikat pencatat amal bagi orang lain.

Idealnya kita disibukkan dengan muhasabah atau introspeksi diri, bukan justru kepo menilai dan menghakimi yang bukan menjadi kewenangan dan otoritasnya.

Semangat kebersamaan dan kebebasan yang digelorakan oleh para Pemuda 94 tahun yang lalu hendaknya harus kita pupuk terus menerus agar menjadi energi positif untuk mewujudkan masyarakat adil makmur yang bermartabat dan disegani dalam dunia global internasional.

Sudah saatnya kita berpikir untuk kemajuan bangsa dan tidak menjebakkan diri ke dalam kubangan sentimen mayoritas minoritas atau politik belah bambu yang berusaha untuk membelah rakyat.

Masyarakat sudah cukup lelah menghadapi berbagai beban kehidupan, janganlah dihadapkan dengan persoalan-persoalan politik rendahan dengan membuat polarisasi di tengah masyarakat dengan politik identitas dan semacamnya.

Pluralitas dan keberagaman identitas merupakan keniscayaan. Yang perlu kita lakukan bersama adalah saling menghormati apapun keputusan politik yang diambil oleh pemilik otoritas.

Tidak elok saling menilai antarkompetitor, fokuslah dengan apa keunggulan masing-masing karena menurut hemat saya anak bangsa negeri ini sudah semakin cerdas dan hendaknya marilah kita bangun dan hadapi tahun politik ke depan dengan politik yang beradab.

Berbeda adalah keniscayaan, ada Jong Java, Jong Soematra, Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten, Jong Batak Bond, Jong Celebes, Pemoeda Kaum Betawi dan Perhimpoenan Peladjar Indonesia. Karena keberagaman itulah lahir Indonesia.

Dan hendaknya Indonesia harus kita rawat menjadi negara bangsa yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darahnya dengan semangat keadilan tanpa diskriminasi dan tirani dan intimidasi oleh kelompok tertentu atas yang lain, apalagi dilakukan oleh negara–dan semoga tidak akan terjadi– yang mestinya menjadi pelindung dan pemersatu bagi segenap anak bangsa.

©2022 PT. Kompas Cyber Media

https://www.google.com/url?q=https:/...DrbcsWOp-r7xF.

Hasil dari sumpah pemuda adalah bersatunya anak bangsa untuk melawan dan mengusir penjajah dari Indonesia dengan berbagai macam taktik

Indonesia tidak akan menjadi seperti sekarang ini tanpa adanya jasa dari para pejuang yang berusaha membebaskan penduduk Indonesia dari penjajah. Sayangnya, para pejuang kini kurang dihargai dan diperhatikan akibat kemajuan zaman.

Untuk bisa lebih menghargai para pejuang kemerdekaan, berikut jadiBerita berikan beberapa strategi perang yang dilakukan oleh para pejuang kita, sehingga membuat para penjajah bertekuk lutut.

1. Gerilya

Gerilyawan (Kaskus)
Bisa dibilang ini adalah strategi paling terkenal dalam sejarah perang Indonesia dan sering digunakan oleh para pejuang kita. Strategi ini adalah strategi perang dimana para pejuang dan pasukannya pada awalnya sembunyi di dalam hutan sambil menanti musuh, dan ketika musuh atau penjajah datang, langsunglah para para pejuang kita menyerang secara tiba-tiba ke kubu penjajah. Strategi ini selalu dipakai oleh pejuang di seluruh daerah di Indonesia mengingat daerah Indonesia dahulu banyak hutan, serta pejuang kita yang kalah unggul dari segi jumlah orang dan amunisi membuat strategi ini sangat efektif menumpas penjajah daripada perang secara terang-terangan.

2. Benteng Stelsel

Hendrik Merkus de Kock, pelopor Benteng Stelsel (Wikipedia)
Sebenarnya ini adalah strategi perang buatan Jenderal De Kock (Belanda) yang diterapkan pada Perang Diponegoro, namun diadopsi para pejuang pada Perang Padri. Secara garis besar, strategi ini adalah strategi mengepung musuh dengan cara membangun benteng dan jalan atau jembatan di tiap kawasan yang sudah dikuasai pejuang. Benteng yang dibangun jelas untuk mempersulit lawan masuk ke teritori kita, sedangkan jalan penghubung untuk memudahkan mobilisasi pasukan dan komunikasi antara benteng-benteng pertahanan. Namun strategi ini bagaikan pedang bermata dua. Kelebihan dari strategi ini adalah perang lebih cepat selesai dan teritori aman dari serangan musuh, namun kekurangannya adalah butuh pekerja dan waktu banyak untuk membangun bentengnya.

3. Devide et Impera (Adu Domba)

Adu domba (Kaskus)
Strategi yang pernah dipakai Belanda untuk memecah-belah Indonesia ini justru lebih efektif digunakan oleh para pejuang Indonesia. Saat itu para pejuang Indonesia berhasil mengadu domba pimpinan internal VOC (organisasi bentukan Belanda), yang mengakibatkan runtuhnya organisasi tersebut. Ini membuktikan bahwa Indonesia bisa bersatu meskipun terdiri dari berbagai macam suku, ras dan agama.

4. Puputan

Puputan Jagaraga (Dearryk)
Strategi Puputan diterapkan pasukan Bali dalam perang Puputan Jagaraga (dipimpin Ketut Jelantik) dan Puputan Margarana (dipimpin Ngurah Rai) saat lawan Belanda. Puputan sendiri berarti perang sampai mati. Jagaraga dan Margarana adalah tempat terjadinya kedua perang di Bali. Bali pada masa Ngurah Rai sempat diajak Belanda gabung dan jadi negara bonekanya, karena saat itu wilayah Indonesia hanya Jawa, Madura, dan Sumatera akibat buruknya diplomasi Sutan Sjahrir yang membuat wilayah Indonesia makin kecil. Namun Ngurah Rai menolak, dan memilih untuk perang dengan Belanda. Nyali para pejuang Indonesia yang rela mati demi kemerdekaan membuat ciut pasukan Belanda.

5. Bumi hangus

Bumi hangus (Kaskus)
Tentunya kamu sudah tak asing lagi dengan lagu “Halo Halo Bandung”. Lagu itu dibuat untuk mengenang Bandung yang dibakar habis oleh penduduknya sendiri. Hal ini dilakukan agar Belanda tidak mendapatkan amunisi dari gudang senjata dan wilayah Bandung. Yang mempelopori strategi ini adalah Muhammad Toha, dengan cara mengevakuasi penduduk Bandung terlebih dulu, baru kemudian kota Bandung dibakar. Tak berhenti disitu saja, Toha dan Ramdan (anggota Barisan Rakyat Indonesia) rela mati bunuh diri di gudang senjata sekutu dengan meledakkan dinamit.

6. Sapit urang

Strategi yang satu ini diterapkan oleh Jenderal Sudirman. Sapit Urang sendiri artinya adalah Capit Udang. Strategi sapit urang adalah suatu strategi dimana satu kumpulan pasukan memancing lawan ke arah mereka, dan lawan langsung dikepung dari 2 arah belakang (kiri dan kanan) lawan oleh pasukan yang lain hingga posisinya benar-benar terkepung. Mudahnya, strategi ini membuat pasukan kita mendapat keuntungan, karena pasukan musuh yang hanya satu pasukan dikepung oleh pasukan kita yang berjumlah 3 kali lipatnya. Strategi perang ini merupakan warisan dari kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan terbesar di Indonesia yang memiliki wilayah kekuasaan dari seluruh Indonesia, hingga Filipina.

https://jadiberita.com/91253/mengena...kuk-lutut.html
bociluraAvatar border
amekachiAvatar border
jlampAvatar border
jlamp dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.3K
5
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan