- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita Luar Negeri
Bukan Amerika, China yang Harusnya Dikhawatirkan Indonesia


TS
4574587568
Bukan Amerika, China yang Harusnya Dikhawatirkan Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia - Kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat yang agresif dan cepat memukul perekonomian negara-negara di dunia, terutama negara berkembang.
Pasalnya, kebijakan Federal Reserve yang menaikkan suku bunganya sebanyak 300 basis points (bps) sepanjang tahun ini membuat likuiditas dolar global mengering.
Kondisi ini diikuti dengan naiknya yield atau imbal hasil US Treasury (obligasi AS) yang memicu untuk melakukan flight-to-quality.
Sementara itu, Bank Dunia telah mengingatkan bahwa dunia akan mengalami resesi tahun depan. Resesi akan datang melalui negara-negara maju seperti, Amerika Serikat (AS), China, Inggris dan kawasan Eropa.
"Tiga ekonomi terbesar dunia-Amerika Serikat, China, dan kawasan Eropa- telah melambat tajam," ungkap Bank Dunia dalam sebuah studi baru, dikutip Jumat (16/9/2022).
Tentunya resesi yang dialami tiga raksasa ekonomi dunia tersebut akan berdampak kepada banyak negara di dunia.
Namun, bagi ekonomi Indonesia, bukan resesi AS atau Eropa yang dikhawatirkan. Justru, resesi di China yang akan berdampak lebih besar bagi Indonesia.
Ekonom Senior Chatib Basri menilai situasi China saat ini sangat berat karena negara ini mengadopsi kebijakan zero-Covid. Meskipun secara politis, China ingin mempertahankan statusnya sebagai negara yang berhasil menghadapi Covid-19.
"Dulu dibilang, contoh keberhasilan negara yang menghadapi Covid ya, China. Karena zero-covid, Wuhan sebentar aja orang udah pesta. China gak mau mengubah itu, karena kalau tidak begitu dia sama strateginya dengan negara-negara lain yang open policy, rely on vaccine," kata Chatib dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, dikutip Senin (10/10/2022).
Ketika kebijakan zero-Covid dijalankan, kemudian lockdown, pasti ekonominya tertekan. Kemudian, Chatib melihat neraca keuangan perusahaan di China juga terdampak akibat adanya bencana Evergrande.
Di sisi lain, China pasti akan terpapar tekanan global saat ini. Tiga faktor ini yang menurut Chatib berat bagi China.
Dia mengaku efek ekonomii China yang tertekan dapat berdampak besar bagi ekonomi Indonesia.
"Saya itu sebetulnya, lebih khawatir dengan (dampak) ekonomi China, dibandingkan dengan ekonomi AS terhadap kita karena kalau China kena itu ekspor kita (Indonesia) kena beneran," kata Chatib.
Bisa dibayangkan, lanjutnya, ekspor yang dibanggakan Indonesia seperti, nikel dan besi baja akan turun.
"Kalau China slowdown, dia enggak perlu besi baja. Buat apa besi baja kan?"
Saat ini, Chatib menyampaikan bahwa ekonomi China tengah menuju 'new normal'. Menurutnya, China tidak bisa tumbuh double digit ke depannya.
"Mungkin long term growth-nya di sekitar 4%, jauh, (tapi) itu yang harus diantisipasi. Saya gak bicara tahun ini, tapi long term growth-nya bisa ke arah sana," ungkapnya.
Oleh karena itu, dia menilai Indonesia harus bisa melakukan diversifikasi perdagangan. Selain itu, Indonesia bisa mengandalkan investasi ke depannya. Chatib berharap Indonesia bisa menjadi basis production network.
Saat pandemi, relokasi industri sebenarnya mendapatkan momen tepat karena banyak manufaktur yang tidak bisa berproduksi di China.
"Cuma issue kita, orang tidak mau masuk karena ketidakpastian dan macam-macam itu kan. Jadi itu yang jadi soalnya," pungkas Chatib.
sumber


kampret.strez memberi reputasi
1
463
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan