Kaskus

Story

ryanmallay2000Avatar border
TS
ryanmallay2000
Penantian panjang yang berakhir indah
Setelah mengumpulkan keberanian, aku mencoba untuk mengutarakan niatku kepada orang tua untuk melamar kekasih yang aku cintai.

"Alah lamak tempe dari randang, di waang yo!", kata kasar keluar dari ayahku dengan berang ketika aku mengatakan akan menikahi kekasihku yang bukan orang minang. Dengan kalimat "Lebih enak tempe dari pada rendang" suatu isyarat ketidaksetujuannya orang tuaku.

"Dek lamo hiduik di rantau, randang dinanti indak datang juo, tempe to makan tiok hari, bukan manuka cigak jo baruak bukan pulo mancari rancak jo buruak, tapi mancari penyaman hati", akupun berkilah. Kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia "Karena lama hidup diperantauan, rendang yang ditunggu tidak datang-datang, saya makan tempe tiap hari. Bukan menukar monyet dengan kera bukan mencari yang cantik atau buruk tapi saya mencari yang dapat menyamankan hati saya". 

Perdebatan sengit antara aku dan ayah membuat ayah murka dan akupun diusir dari rumah. Keinginan orang tuaku, aku menikah dengan sesama bersuku minang karena kalau pria minang menikah dengan wanita diluar suku minang, anaknya tidak akan dapat suku yang disebutkan dibelakang nama. sedangkan kalau wanita bersuku minang boleh saja menikah dengan pria diluar minang karena anaknya tetap memiliki suku. aturan adat ini memang suku seorang anak diambil dari suku ibunya.

sedangkan aku anak laki-laki satu-satunya dari keluargaku, wajar saja mereka berharap aku menikah dengan wanita minang walaupun kata Koto yang merupakan suku dibelakang namaku juga kelak tidak melekat pada anakku karena sudah tentu nama suku ibunya yang melekat dan aku juga tidak diijinkan menikah dengan sama-sama suku Koto. 

Terkadang aku ingin protes aturan ini, tetapi ini adalah adat yang menjadi warisan yang harus aku pedomani walau tidak sesuai dengan hati. Apalagi pikiranku yang sudah dikontaminasi dengan modernisasi tetapi lupa adat itu tidak mengenal modernisasi, mengikutinya bukan berarti kolot mengingkarinya juga bukanlah pembelot. Semua tergantung kepada pribadi masing-masing dan aku memilih untuk berasimilasi namun sayangnya orang tuaku tak sejalan denganku. 

Untuk memperjuangkan cintaku, aku kembali berusaha meyakinkan kepada orang tua tentang hukum pernikahan berdasar ajaran agama dan tidak ada larangan menikah dengan berlainan suku. Segala argumen dan rayuan aku luncurkan hingga akhirnya akupun mendapat kata iya, namun ketika aku mengutarakan bahwa kekasihku berbeda keyakinan, kembali beliau murka.

"Seumua hiduik, waang kan bazino", katanya dengan nada keras menentang hubunganku dan beranggapan kalau nanti aku menikah sama dengan berzina seumur hidup. Aku hanya terdiam dan tidak lagi bisa membantah bila pertimbangannya agama, tetapi hati belum juga menyerah.

"Aku sudah jelaskan kepada orang tuaku, kalau perbedaan suku saja, mereka akhirnya mau menerimamu sebagai menantu, tetapi perbedaan keyakinan yang tidak dapat mereka terima", aku menjelaskan kepada kekasihku.

Dia terdiam dengan lesu setelah mendengar penjelasanku. Kami sering berdiskusi tentang ajaran agama kami masing-masing yang dapat aku simpulkan ajaran agama kami tidak ada yang salah, hanya cara beribadah kami yang berbeda. Tetapi perbedaan ini yang susah untuk disatukan. Kami sama-sama taat beribadah.

Aku sering mengantarkannya ke gereja pada hari Minggu sebelum kami jalan-jalan. Diapun sering mengantarkanku ke mesjid kalau tiba waktu sholat bahkan kalau bulan ramadhan, dia sering mengirim makanan untuk buka puasa. Semua kami lakukan karena cinta.

"Chek in, yuk?", tawarku pada sore itu setelah kami sama-sama bingung untuk mendapatkan restu orang tua. Maksudku kalau aku hamili dia, pasti kedua orang tua akan terpaksa merestui.

Daripada pusing memikirkan permohonan restu, lebih baik aku nikmati hidup ini dengan bahagia. Walau aku sadari perbuatan ini tidaklah dibenarkan dalam ajaran agama manapun. Seperti kena candu, perbuatan itu sering kami lakukan di hotel yang sama dan kamar yang sama pula.

Sekian lama kami melakukan dosa itu, terkadang terbesit dari hati kecilku yang menegur bahwa percuma taat beribadah tetapi rajin pula bermaksiat. Kembali aku mencoba untuk meminta restu karena setahuku dosa zina akan terampuni kalau aku nikahi walau harus mendapat cambuk.

"Keluar kamu dari sini selamanya", demikianlah murka ayahku ketika kami sama-sama meminta restu. Bukan solusi yang kami dapati tetapi caci maki dan kamipun diusir. Aku tidak lagi diakui bagian dari keluarga itu.

Mungkin benar cinta itu buta, setelah terusir aku tidak pernah mundur, aku tetap mencintainya dan akupun mengajaknya untuk meminta restu orang tuanya. kalaupun nanti kami diusir, aku akan tetap bersamanya.

"Yang jelas, kita sudah berusaha meminta restu, kalau kita diusir, ya sudah kita hidup bersama saja", kataku meyakinkannya.

"Keluar kamu, jangan pernah dekati anak saya lagi", bentak ayahnya tanda tidak merestui kami. prediksi kami salah, bukan kami diusir malah dia dipingit dan selang beberapa hari aku dengar dia dinikahkan oleh orang tuanya dengan pria lain.

Rasa patah hati yang sangat mendalam aku rasakan. Mulai saat itu aku sudah tidak percaya lagi dengan kata cinta. Cinta yang aku agungkan ternyata fatamorgana dan aku tidak lagi percaya cinta itu dari Tuhan, nyatanya orang tua yang beri dia kepada yang lain.

Kehidupan asmaraku melalang buana dari satu wanita ke wanita lain. Aku melampiaskan semua nafsu di kamar yang sama dengan niat sampai aku menemukan wanita yang seperti dia. 

Aku bekerja sama dengan pihak hotel yang kebetulan milik temanku sendiri. Kamar 305 itu menjadi private room yang hanya aku saja yang boleh menginap disana. Hampir setiap weekend aku menginap dikamar itu.

Walaupun kenangan bersamanya tidak bisa lekang dalam benakku, tetapi aku tetap berusaha mencari penggantinya karena sudah tidak mungkin ia aku miliki.

Belasan tahun telah berlalu, pada suatu hari, aku melihat seseorang duduk di kursi yang aku pesankan kepada manajemen hotel sebagai kursi kenangan yang tidak boleh diubah dan untuk aku reservasi selamanya.

"Pak, kenapa ada orang lain yang duduk disana?", kataku kepada petugas hotel.
"Maaf Pak, biar saya usir", jawabnya.

Selang beberapa waktu petugas itu melaporkan kalau wanita itu tidak mau pergi dari kursi kenanganku tersebut. "Besok kamu pasang tulisan Reservasi yang besar-besar biar semua tahu kalau kursi itu hanya milik saya sendiri", kataku dengan marah dan akupun kembali ke kamar karena emosi yang sulit dikendalikan pasti akan terjadi keributan kalau aku teruskan.

Keesokannya aku kembali ke taman untuk duduk dikursi itu, kembali lagi wanita yang kemarin menduduki kursi itu lagi. kembali lagi petugas taman itu aku marahi dan dia aku suruh usir namun wanita itu tidak juga mau pergi, terpaksa aku yang harus atasi.

"Selamat pagi, Bu!", aku menyapanya dengan nada tinggi dari arah belakang.
Karena dia tidak menoleh dan membalas sapaanku, kalau aku semakin emosi sudah tentu akan terjadi pertengkaran dan aku tidak mau bertengkar dengan wanita.
"Maaf Bu, kursi ini sudah direservasi, mohon maaf, ibu bisa mencari kursi lainnya", kataku dengan agak sedikit sopan. Diapun mau menoleh.
"Maaf, Pak. Silakan Bapak cari kursi yang lain, saya juga punya hak duduk disini', jawabnya dengan ketus.

Emosiku tidak lagi terkendali, ingin aku tampar saja wanita yang mau mengambil kursi kenanganku itu. Aku melangkah kedepannya untuk meluapkan emosiku tetapi tiba-tiba dia memelukku dan sudah tentu aku tepis.
"Maaf Bu, Ibu siapa?" aku membentaknya.
"Maaf Pak, kalau saya lancang, saya sangka Bapak adalah pacar saya yang dulu duduk bersama saya disini", jawabnya. Spontan aku teringat dengan pacarku, tapi apakah benar dia? Ireen ku bukan muslimah, wanita ini berjilbab.
"Ireeen,...", aku  memanggil namanya tetapi dia sudah terlanjur berlari. 

Aku ke resepsionist meminta data wanita itu, ternyata benar dia adalah Iren yang selama ini aku nantikan di kamar 305. Tidak mau membuang waktu, akupun mencari kamarnya.

"Tok-Tok,.." aku menggedor pintu kamarnya tetapi tidak ada balasan. 
"Ireen, aku mohon maaf, mohon buka pintu!", aku mencoba meminta maaf tapi sia-sia. mungkin dia marah kejadian tadi ditaman.
"Baiklah, kalau kamu masih marah, aku maklum. Kalau sudah tidak marah lagi aku tunggu di kamar 305", kataku, seperti dulu kalau dia marah pasti aku biarkan dia menyendiri nanti kalau sudah reda pasti kembali kepelukanku, semoga dia mengingatnya dan aku kembali kekamarku.

"Tok-tok", Pintu kamarku ada yang mengetuk, sudah aku pastikan pasti dia.
Aku membuka pintu dan langsung memeluknya. Perasaan rindu tidak terbendung tanganku erat memeluknya dan tidak ingin melepaskannya lagi. Kami saling melepaskan rindu. Dan entah siapa yang memulai perbuatan hina itu kembali terjadi.

Aku merasa sangat menyesali masa lalu setelah mendengar kisah dia yang disia-siakan oleh suaminya. Suaminya telah meninggal dunia dua tahun yang lalu karena over dosisi. Kisah hidup kami sama-sama menderita, dia disiksa oleh suaminya yang kerap melakukan KDRT sedangkan aku tersiksa oleh perasaanku sendiri.

Sore harinya, kami duduk dikursi yang sempat menjadi sengketa itu. Aku jelaskan semua yang akulakukan karena ingin mengabadikan kenangan dan berharap bertemu dengan dia lagi disini. ternyata Tuhan mengabulkan doaku.


"Maafin aku, aku tidak tahu kamu yang duduk disini tadi pagi", kataku.
"Aku juga tidak mengira kamu melakukan ide gila ini sampai membeli kamar dan kursi ini', jawabnya..
"Gimana aku tahu, sekarang kamu berjilbab", kataku.

Dia bercerita panjang tentang kisahnya menjadi muslimah. 
"Maukah engkau menikah denganku?", tanpa membuang kesempatan, aku langsung melamarnya karena dia sudah tidak milik siapa-siapa lagi dan sudah tidak ada lagi penghalang bagi kami untuk mendapat restu. Dia jawab dengan pelukkan, dan aku sudah mengerti artinya.

Kamipun menikah dan hidup dengan bahagia. Aku percaya Tuhan tidak pernah salah memberi cinta.





bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
375
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan