KOMUNITAS
KASKUS
51
244
https://www.kaskus.co.id/thread/632ab03a8df080068a3351ce/bulan-purnama

Bulan Purnama

Bulan Purnama


Bab 1 – Bulan Temaram


Malam itu aku kembali merenung seperti biasanya. Sepoi angin yang menembus celah dedaunan, memelukku dengan lembut. Cahaya bulan mulai temaram, seolah mengabaikanku. Di seberang jalan tampak beberapa pemuda bercanda tawa. Mereka terseok-seok sembari menggenggam botol minuman keras. Anjing di pekarangan sebelah terus menggonggong berlagak mengusirku.

“Ya ampun”, gumamku dengan lirih.

Aku pun turun dari atap, melewati jendela dan masuk kembali ke dalam kamarku. Jika banyak yang bertanya-tanya? Sudah sewajarnya tiap insan manusia memiliki tempat favorit untuk menyendiri; bagiku atap rumah adalah bilik paling nyaman untuk menenangkan hati yang gundah.

Kupandang jam kuno yang menempel di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan lewat dua puluh dua menit. Sebelum beranjak tidur kulihat sejenak layar ponselku, hanya untuk menambah rasa kesal.

“Udah tidur mungkin ya?” hiburku dalam hati.

Sudah tiga hari ini Lisa, pacarku, tidak membalas pesanku. Bahkan notifikasi untuk menunjukkan ‘sudah dibaca’ pun dia matikan. Memang aku mungkin sedikit keterlaluan saat pergi tanpa pamit dengannya. Dia selalu mengabaikanku, seolah aku tidak ada.

Kami sempat bertengkar lantaran hal yang sebenarnya cukup sepele. Tempo hari lalu kami sudah berencana untuk makan malam bersama di sebuah restoran baru. Namun karena desakan pekerjaan, aku harus lembur hingga terlambat satu jam. Menunggu selama itu bagaikan setahun, atau bahkan sewindu di pikirannya. Saat datang menjemput, dia sudah mengenakan piyama dan menatapku dengan sinis. Walaupun sudah kurayu dengan beribu kalimat, dia tetap enggan untuk beranjak dan mulai berceloteh bagaikan pemuka agama.

Dengan jujur kuutarakan segala alasanku namun tetap saja melewati kedua daun telinganya. Akibat terlalu lelah, aku pun ikut terbawa emosi. Kami sempat adu mulut hingga akhirnya kuputuskan untuk segera pergi dari teras rumahnya tanpa sepatah kata pun. Setelah malam itu, Lisa seolah sudah tak peduli lagi.

“Dag dag dag,” tiba-tiba terdengar suara yang hampir membuat dada ini meledak.

“Anjing! Siapa sih!” timpalku.

Beberapa hari terakhir sering terdengar suara-suara aneh. Terkadang seperti langkah kaki sedang berlari. Kemarin juga ada seseorang yang mengetuk pintu, namun setelah kubuka, tidak ada siapa pun. Ingin rasanya aku pindah, tapi sayang sekali kamar lain sudah terisi penuh.

Kos yang kutinggali ini memang terkenal murah dan juga aman. Selain itu para penghuni juga cuek, justru sebagai nilai tambah menurutku. Letak kamarku ada di lantai tiga, lantai paling atas. Akses menuju ke atap sangat mudah, hanya keluar dari jendela dan memanjat pagar balkon kecil. Hanya ada empat kamar di lantai ini, dengan dua kamar saling berhadapan yang terpisah oleh tangga menuju ke bawah.

Kamar sebelahku dihuni oleh seorang mahasiswa bernama Roni yang jarang pulang. Dia kerap disibukkan dengan kehidupan kampusnya karena mengikuti organisasi. Dua kamar di seberang ditinggali oleh pekerja swasta bernama Rama dan Ipul. Mereka teman sekantor dan sangat suka bermain game online sampai larut.

Walaupun jantung ini masih berlomba, aku tetap berpikir jernih. Mungkin saja ada anak kos lain yang iseng. Kuabaikan bunyi tadi dan memejamkan mata. Berharap hari esok akan sedikit lebih baik dari hari ini.


***


Bersambung...



Quote:


profile-picture
profile-picture
profile-picture
bukhorigan dan 10 lainnya memberi reputasi
Diubah oleh baccu
Halaman 1 dari 2

Bab 2 – Senyum Tipis

Bab 2 – Senyum Tipis


Gonggongan anjing yang memecah gendang telinga, membangunkanku pagi ini. Terlihat surya menyingsing menembus jendela kaca yang memecah dengan silau. Jam dinding memperlihatkan pukul enam lebih dua puluh tiga menit. Dengan sigap beranjak dari ranjang lalu menuju kamar mandi. Kuputar kran dan membilas wajahku. Pagi ini air begitu dingin, sedingin hatiku yang diacuhkan oleh Lisa. Aku mandi dengan cepat agar bisa sarapan dulu sebelum pergi ke kantor. Sebagai seorang pria berusia 27 tahun, sebenarnya aku cukup lumayan. Wajahku terlihat sepuluh tahun lebih muda, bahkan sering dikira anak SMA. Aku memiliki tinggi sekitar 170 cm, dengan berat badan yang ideal.

Aku berkenalan dengan Lisa sekitar 2 tahun lalu di sebuah kolam renang lokal. Saat aku sedang rehat di area kantin, datang seorang wanita cantik bersama dua orang temannya. Aku masih ingat sekali dia mengenakan kemeja putih, rambutnya yang hitam kecokelatan diikat ke belakang. Aku menatapnya dengan tajam karena penasaran, yang entah disengaja atau tidak, dia juga memandang ke arahku. Kami saling mencuri pandang dan pada akhirnya dia berjalan ke kantin.

Darahku dipompa sangat kencang saat dia seperti berjalan menghampiriku, tapi ternyata ingin memesan minuman. Dengan terbata-bata aku mencoba menyapanya.

“Suka ke sini juga? Kok kaya baru pernah liat?” tanyaku berlagak cool.

“Eh... iya. Aku diajak temen.”

“Oh... Emang suka renang?” timpalku sambil mengulik informasi.

“Engga juga sih. Soalnya ga begitu bisa renang. Hehehe. Kamu sering ke sini?,” jawabnya sambil tersenyum.

“Tiap akhir pekan. Kalo lagi mood juga sih. Ehm, barangkali butuh temen buat belajaran. Nanti boleh aku bantuin.” Entah kenapa terlontar kalimat sok dari mulutku.

Dia seperti tersipu malu karena bisa kulihat pipinya merona.

“Ehh... boleh, boleh,” jawabnya dengan malu-malu.

“Brian,” kuulurkan tanganku mengajaknya berkenalan.

“Lisa,” jawabnya sambil menjabat tanganku.

Bisa kurasakan tangannya yang lembut dengan jemari yang lentik. Lisa tersenyum tipis, dan jantungku berdebar tidak karuan. Mungkinkah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama? Kulepas tanganku dan kami bertukar nomor ponsel.

“Aku pulang duluan ya. Besok kalo mau renang, kabari aja. Ntar aku jemput deh.” Kuakhiri percakapan dengannya sebelum menuju ruang bilas sambil tersenyum sendirian.

Sesaat keluar dari area kolam, kupandang sejenak wajahnya dengan senyum yang menawan itu. Dia terlihat sedang mengobrol dengan kedua temannya sambil tertawa dan seketika melambaikan tangan saat melihatku. Aku pun membalasnya sambil berjalan keluar.

Sore itu merupakan hari paling bersejarah buatku. Sepanjang perjalanan pulang, aku tersenyum seperti orang gila. Membayangkan tatapan matanya serta senyumnya yang manis. Baru saja berkenalan, rasanya ingin segera menemuinya lagi. Tapi aku sendiri masih belum yakin jika dia masih single atau tidak. Setidaknya melihat dia bepergian dengan teman perempuannya, sedikit membuktikan jika dia belum ada yang punya.


***


Bersambung...

profile-picture
profile-picture
profile-picture
sicepod dan 5 lainnya memberi reputasi
Diubah oleh baccu
Lihat 1 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 1 balasan

Bab 3 – Bus Kota

Bab 3 – Bus Kota


Setelah merapikan baju, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lebih delapan belas menit. Segera kukenakan sepatu pantofel hitam yang kubeli dari toko lokal dan bergegas menuruni tangga. Terlihat beberapa penghuni juga terburu-buru, entah untuk berangkat kerja, kuliah atau main. Aku berlari menuju halte terdekat yang berjarak sekitar 200 meter jauhnya. Walaupun punya kendaraan pribadi, tapi aku selalu menaiki bus kota untuk berangkat dan pulang kerja. Karena lebih murah dan efisien.

Halte sepagi ini sudah pasti ramai. Terlihat beberapa karyawan membawa tas dan berdandan sangat rapi. Dua orang wanita di sudut sedang mendempul wajah mereka dengan bedak tebal sambil berceloteh. Seorang pria tua dengan topi fedora hitam sedang membaca koran hari ini. Saat aku melintas di depannya, matanya melirik ke arahku. Pria tua tersebut kemudian melipat korannya dan bergegas pergi.

Aku berdiri di samping halte karena tempat duduk sudah penuh. Tak lama berselang, bus kota berwarna merah datang. Hanya ada empat penumpang yang turun dan kami semua pun masuk. Karena bangku bus sudah penuh, aku pun berdiri di ujung belakang. Bus segera berlari karena sang supir tahu bahwa kami semua dikejar waktu.

Walaupun sesak, para penumpang tampak tenang. Ada seorang pedagang tua memangku jualannya yang berisi roti. Empat orang anak seragam SMA sedang asik bermain game di ponsel mereka. Padahal seharusnya ini sudah jam masuk sekolah. Beberapa wanita dan pria yang berdandan rapi, berdiri sambil memegang tas kerja mereka. Tiba-tiba kami semua dikejutkan ketika suara yang cukup keras datang dari arah kanan depan.

Bruakkk! Terdengar bunyi seperti suara benturan dan bus berhenti seketika. Para penumpang mulai panik sambil menerka apa yang sedang terjadi. Dari belakang aku melihat supir turun dengan panik, disusul oleh penumpang lain yang ikut turun. Ternyata bus yang kami tumpangi menabrak seorang pengendara motor yang melanggar lampu lalu lintas. Aku pun ikut turun karena penasaran.

Pengendara motor dengan jaket dan helm hijau tersebut tampak kejang-kejang. Orang-orang mulai berdatangan menghampiri yang justru menambah kemacetan. Sang supir sangat panik hingga keringat bercucuran dari pelipisnya. Seorang penumpang wanita paruh baya terlihat menelepon dengan tergesa-gesa.

“Waduh kok bisa nabrak sih?” tanya salah seorang warga berbaju hitam.

“Ga atau juga. Orang dari kita udah ijo!” balas sang supir.

“Pasti nerobos lampu merah nih. Bawa ke rumah sakit aja, buruan,” kata seorang penumpang pria dengan kemeja krem.

Tak lama berselang, dua orang polisi datang sembari memecah keramaian. Sang supir menepi dan dimintai keterangan oleh salah satu petugas. Aku pun sedikit mendekat untuk memeriksa keadaan korban. Pelipis kirinya berdarah lumayan parah, rahangnya kaku, matanya membelalak seperti memandangku. Kuperkirakan mungkin dia mengalami gegar otak dan patah rahang. Entah kenapa ada perasaan aneh bercampur ngeri melihat kondisinya.

Aku pun segera pergi menjauh dari keramaian dan mencari bus lain. Tak terasa keringat bercucuran membahasi dahi dan leherku. Kurasa hidupnya sudah tak lama lagi. Bayangan dan tatapan korban kecelakaan tadi masih tampak jelas di pikiranku. Namun aku hanya bisa berharap semoga dia segera mendapat pertolongan.

Akhirnya bus lain datang, aku pun naik bersama beberapa penumpang sebelumnya dan kembali berdiri di ujung karena kondisi penuh. Semoga perjalanan kali ini tidak terganggu oleh peristiwa seperti tadi. Sekitar 15 menit perjalanan, aku pun turun di halte depan kantor dan segera berlari masuk. Untunglah pekerjaanku di pelayanan pelanggan tak harus membuatku bertatap muka langsung dengan klien. Karena akan sangat lucu sekali jika mereka harus melihat wajahku yang pucat pasi.

Letak kantorku ada di lantai 13 yang nomornya diganti dengan 12B pada tombol lift. Sudah tak heran jika masih banyak orang yang percaya bahwa angka tersebut membawa sial dan kabar buruk. Karena pekerjaanku cukup santai, membaca sudah menjadi bagian lain dari hobiku. Tempo hari aku membaca artikel yang berisi kumpulan mitos dan takhayul dari berbagai belahan dunia. Ada salah satu artikel yang menyita perhatianku tentang mitos tentang bulan. Karena sejak kecil aku gemar memandang langit malam yang menyimpan berjuta misteri.


***


Bersambung...
profile-picture
profile-picture
profile-picture
aymawishy dan 2 lainnya memberi reputasi
Diubah oleh baccu
Lihat 1 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 1 balasan

Bab 4 – Lunatic

Bab 4 – Lunatic


Langit mulai beralih menjadi senja, aku pun bergegas pergi meninggalkan kantorku menggunakan lift. Hari ini tidak ada panggilan masuk sama sekali, sehingga aku hanya membalas puluhan surel pertanyaan dan komplain. Keluar dari gedung, terbesit pikiran untuk mengunjungi Lisa. Walaupun aku tahu akan diacuhkan, setidaknya melihat wajahnya sudah cukup membuat hati ini tenang. Kuputuskan untuk berjalan kaki saja sambil membuang waktu.

“Tungguin dong!” teriak suara wanita dari belakangku.

Aku menengok belakang karena terkejut. Wanita tersebut melambaikan tangan dan tersenyum lebar.

“Ayo buruan!” timpal suara seorang pria dari arah lain.

“Hmph...kirain...” gumamku lirih.

Aku pun kembali berjalan dan sekarang mereka berdua tepat di depanku. Sesekali kupandang kebersamaan mereka. Wanita dengan rambut sebahu itu terlihat bahagia sekali. Pria jangkung di sebelah kanannya juga sama. Teringat momen saat pertama kali mengajak Lisa berkencan.

Saat itu, setelah mendapat nomor ponselnya, aku mencoba menyapanya terlebih dahulu. Masih ingat sekali dadaku berdegup begitu kencang menanti apakah akan dibalas olehnya. Tak berselang lama, Lisa betul-betul membalas pesanku. Kucoba mengajaknya menonton film yang kebetulan bulan itu sedang ramai film horor tentang sekte pemuja setan, dan dia setuju untuk pergi denganku. Aku pun tersenyum sendiri sepanjang hari. Tak lupa kupesan tiket menonton pukul setengah tujuh malam untuk dua orang. Sepulang kerja, aku bergegas mandi dan menjemput Lisa yang sudah mengirimkan alamat rumahnya padaku lewat aplikasi peta.

Kupacu motor hitam yang kubeli dari hasil keringat sendiri. Rumah Lisa ternyata tidak begitu jauh dari kosanku, berjarak hanya sekitar 20 menit. Aku pun tiba di sebuah rumah dengan cat warna putih. Kuketuk pintunya sebanyak tiga kali dan terdengar suara orang bergegas berjalan menghampiri.

“Halo. Udah siap?” sapaku kepada wanita manis yang berdiri di depan pintu.

Kupandang dari ujung kepala hingga kaki. Jantungku berdebar tidak karuan, seperti mau meledak. Lisa memang tidak suka berdandan terlalu menor, penampilannya pun terbilang kasual. Dan aku menyukainya. Dia mengenakan tanktop hitam yang dilapisi cardigan berwarna peach. Celana jeans biru dengan sepatu kets putih menghiasi pinggang ke bawah. Rambutnya dicepol dengan pita berwarna peach bermotif polkadot putih. Dia tersenyum tipis dengan lipstik menyerupai warna bibirnya.

“Berangkat sekarang?” tanya Lisa memecah konsentrasiku.

“Ah iya iya iya. Lets go!” jawabku terbata-bata.

Kami pun berkendara santai menuju bioskop di tengah kota. Dia melingkarkan kedua tangannya di pinggangku. Tubuhku seperti melayang terbang menuju langit ke tujuh rasanya. Kami pun terhenti di persimpangan karena lampu lalu lintas menyala merah.

“Mau makan dulu atau nanti aja?” tanyaku sedikit berteriak karena suasana jalan yang ramai suara kendaraan.

“Pulang nonton aja deh!” jawabnya tegas.

“Oke siap!”

Setelah lampu menyala hijau, kami pun melanjutkan perjalanan sekitar 10 menit hingga tiba di bioskop dan masuk ke lobby.

“Udah beli tiketnya emang?”

“Udah dong! Nih...” jawabku sambil menunjukkan dua tiket digital yang kupesan sebelumnya.

Lisa membalas dengan senyum gemas. Kami berdua berjalan memasuki teater. Kuletakkan tangan kananku di punggungnya untuk menunjukkan sikap seperti gentleman. Setidaknya seperti itu bunyi artikel yang kubaca tadi siang. Dia tersipu malu karena bisa kulihat pipinya merah merona. Memasuki ruangan teater yang lumayan gelap, Lisa menggenggam tanganku dengan erat. Kami pun mencari kursi dari tiga baris paling belakang. Tampak petugas bioskop membawa lampu sorot kecil untuk membantu penonton menemukan kursi mereka.

Kami duduk di barisan tengah karena memang di situ sport paling tepat untuk menonton. Banyak sekali pengunjung yang membawa pasangan mereka masing-masing. Tak berselang lama, pintu teater ditutup dan film pun dimulai. Sepanjang pertunjukan, Lisa kerap menutupi matanya karena takut dan memeluk lenganku dengan kencang. Aku hanya bisa tertawa dan berbunga-bunga melihat tingkahnya yang lucu. Kami berdua keluar dari teater dan dia masih memegang lenganku dengan kencang.

“Mau makan di mana?” kutanya dan dia menoleh ke arahku.

“Mmm... makan steak aja yuk,” jawabnya berlagak berpikir.

Kami pun segera beranjak mencari restoran steak terdekat. Sesampainya di tempat parkir, Lisa mendongak ke atas.

“Wah bulannya bagus banget. Ternyata malam ini bulan purnama,” ucapnya dengan kagum.

“Hati-hati loh. Ngeliatin bulan purnama bisa bikin orang jadi gila.”

“Ih yang bener?” dia mengernyitkan dahinya.

“Iya, bener. Mitosnya sih gitu. Tau gak bahasa Inggrisnya gila apaan?” tanyaku memandangnya dengan tertawa kecil. “Lunatic,” sahutku. “Luna diambil dari nama dewi bulan Yunani. Makannya banyak kejahatan yang kejadiannya di malam hari. Hahaha.”

Dia cemberut memandangku.

“Ga usah takut. Kalo aku sih tergila-gila sama kamu,” godaku kepadanya.

“Ciyeee... awas ntar gila beneran!” dia meledekku.

Kami pun masuk ke dalam resto dan memesan dua porsi steak. Dia duduk di depanku sambil memandang sekeliling.

“Pernah ke sini?”

“Belum. Tapi sekarang udah,” Jawabnya dengan girang.

Kami berdua mengobrol banyak hal, yang akhirnya aku tahu bahwa dia baru saja menyelesaikan kuliah dan sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang pemasaran online. Ayahnya sudah meninggal sejak kelas 2 SMA dan sekarang tinggal bersama ibu dan satu adik perempuan yang baru menginjak SMP. Jadi sekarang dia menjadi tulang punggung keluarga, tapi beruntunglah ibunya juga memiliki pekerjaan sehingga kehidupan keluarganya cukup lega. Tidak lupa, informasi bahwa dia pernah berpacaran sekali waktu SMA pun dapat kugali.

Aku pun bercerita mengenai asalku yang bukan dari kota ini. Tentang kehidupan dan kepribadianku yang bisa dibilang cukup introvert. Kuceritakan sedikit tentang pekerjaan dan hobiku dan tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sembilan kurang dua puluh menit. Kuantar dia pulang karena khawatir ibunya akan marah jika terlalu larut. Aku sempat berkenalan sebentar dengan ibunya dan segera pamit pulang.

Dalam perjalanan aku tersipu-sipu mengingat kencan pertama yang bisa dibilang cukup sukses. Walaupun sebenarnya pemalu, namun berkat ilmu dan tips-tips yang kudapat dari media, aku berhasil mendapat perhatian dari seorang wanita.

Di persimpangan, lampu menyala merah. Kupandang langit dan tampak bulan bersinar terang. Aku seperti terhipnotis melihat keagungan semesta ini. Kubayangkan wajahnya terlukis dengan indah agar bulan dapat selalu mengingatkanku pada sosoknya.


***


Bersambung...

profile-picture
profile-picture
profile-picture
ariefdias dan 4 lainnya memberi reputasi
Diubah oleh baccu
Lihat 1 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 1 balasan
Bulan purnama
Saatnya beli pembalut
profile-picture
profile-picture
bang.toyip dan baccu memberi reputasi
Lihat 1 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 1 balasan
buset, kentang ni coyyy emoticon-Bingung emoticon-Hammer2
profile-picture
baccu memberi reputasi
Lihat 6 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 6 balasan
Ilustrasi Bulan Purnama
Bulan PurnamaBulan PurnamaBulan Purnama
profile-picture
profile-picture
profile-picture
pulaukapok dan 4 lainnya memberi reputasi
Lihat 8 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 8 balasan
Pertalite
profile-picture
baccu memberi reputasi
Lihat 1 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 1 balasan
cakep
profile-picture
baccu memberi reputasi
Lihat 1 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 1 balasan
Penulisannya bagus, cuma klo bisa tiap Babnya dipanjangin lagi, hehe…mulai ketagihan soalnya.
profile-picture
baccu memberi reputasi
Lihat 2 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 2 balasan
Bagus ☺ lanjut lanjut Gan
profile-picture
baccu memberi reputasi
Lihat 7 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 7 balasan
Post ini telah dihapus
Ilustrasi bulan, created by me bor.

Bulan Purnama
profile-picture
baccu memberi reputasi
Lihat 1 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 1 balasan
Kirain stensil
profile-picture
baccu memberi reputasi
Lihat 1 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 1 balasan
Jangan kentang gan
emoticon-Shakehand2
profile-picture
baccu memberi reputasi
Lihat 1 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 1 balasan
profile-picture
baccu memberi reputasi
Diubah oleh ganthercage
Lihat 2 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 2 balasan
bagus penulisannya 😳
profile-picture
profile-picture
profile-picture
gagak.merah. dan 2 lainnya memberi reputasi
Lihat 1 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 1 balasan

Bab 5 – Cemara

Bab 5 – Cemara


Jalanan trotoar ramai oleh lalu lalang insan manusia dari berbagai macam latar belakang. Terkadang bisa kulihat kaum elit dengan segudang penampilan mahal mereka, di sudut lain anak-anak dan orang tua berpakaian lusuh masih bergelut mencari sesuap nasi. Meskipun hari semakin petang, namun gemerlap kota semakin benderang. Kehidupan malam yang menawan dapat membuat siapa pun terlena akan bisikannya.

Di tengah keramaian aku membubung dalam diam, memandang sekeliling memerhatikan tiap pasang mata. Kucing-kucing jalanan mengais sampah, burung-burung di langit mulai pulang ke rumah. Gedung-gedung pencakar langit mematikan lampu-lampu di tiap lantai ruangan. Pepohonan dan semak berdesir, memainkan alunan gesekan lirih akibat tersapu angin.

Tak terasa aku sudah dekat dengan tujuan, rumah kediaman Lisa. Bisa kulihat dari kejauhan, di antara deretan rumah, sebuah bangunan dengan dua lantai berwarna putih. Para tetangga mulai memasukkan kendaraan mereka ke dalam rumah sepulang kerja. Ada juga seorang ayah mengajak anak dan istrinya untuk pergi, masuk ke dalam mobil mereka. Semakin dekat, langkahku semakin pelan. Kutengok keadaan sekeliling yang membuatku terlihat seperti maling.

Di seberang jalan rumah Lisa aku berhenti, terhalang sebuah mobil SUV berwarna hitam yang terparkir di tepi jalan. Aku mengernyit, berusaha melihat situasi rumah. Terlihat kamar Lisa masih gelap, sementara lampu ruang tamu menyala kuning hangat. Terlintas untuk datang bertamu tapi takut akan menjadi canggung. Kupandang sejenak ponsel di dalam tas dan mencari percakapanku dengannya.

“Telfon enggak ya?” gumamku lirih kepada diri sendiri.

Ibu jariku terhenti di atas layar, tepat di sebuah gambar telepon. Sedikit gemetar, hatiku bercampur aduk. Ada rasa rindu yang sangat menggebu, namun di sisi lain sangat takut bahwa dia tak akan meresponku.

“Hmmh...” aku melenguh, menyandarkan badan ke tiang lampu jalan yang mulai berkarat.

Tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah mobil sedan berwarna putih yang datang dan berhenti tepat di depan rumahnya. Aku merunduk sedikit, mengendap-endap sambil mengintip lewat jendela kaca mobil di depanku. Kucoba memandang dan menerka siapa yang datang, dengan segudang pikiran yang mulai macam-macam.

Benar sesuai dugaanku, Lisa turun dan keluar dari sisi penumpang depan mobil tersebut. Wajahnya sedikit lesu namun berseri-seri. Tak lama berselang, seorang pria turun mengikuti. Dahiku mulai bercucuran keringat, nadiku serasa berdenyut semakin kencang. Pria tersebut mengenakan kemeja hitam lengan panjang yang dilipat hingga siku. Mereka berdua tampak sudah akrab. Lisa berdiri di depan pintu rumahnya, sementara pria itu berdiri menghadapnya.

Mereka saling berbicara dan Lisa tertawa malu sebelum pria tersebut seperti berpamitan pergi.

“Sampai ketemu besok,” ucap pria tersebut sebelum masuk ke dalam mobil.
Lisa melambaikan tangan dan segera dibalas dengan lambaian. Entah kenapa Lisa tampak senang dan bahagia, seolah tidak terjadi apapun di antara kita. Perasaanku semakin tidak enak. Bagaimana bisa dia menjalin hubungan dengan pria lain sedangkan aku ditelantarkan seperti anjing yang dibuang majikan. Segera kuambil kembali ponsel dan kali ini kutekan tombol telepon.

“Tut tut tut...” terdengar bunyi dari lubang sepiker.

“Ah sial, nomorku diblokir!”

Kucoba menuliskan pesan namun benar saja, pesan tersebut tidak terkirim. Jelas sekali bahwa Lisa sudah mencampakkanku. Tanganku semakin gemetar karena kesal, nafasku semakin cepat. akhirnya kuputuskan untuk menyeberang jalan dan berhenti tepat di depan pintu rumahnya. Aku bergumul dalam hati. Haruskah kuungkapkan rasa kesal kepadanya atau langsung menginterogasi dengan segudang pertanyaan.

Tok tok tok,” kuketuk pintu rumahnya dengan kepalan tanganku. Namun tiba-tiba teringat, bahwa akulah yang meninggalkannya terakhir kali kita bertemu. Aku yang terakhir kali mengecewakannya saat kita berdua sudah membuat janji. Saat dia dengan antusias berharap bisa berkencan makan berdua. Akhirnya kuurungkan niatku menemuinya malam ini. Segera berlari pergi sebelum Lisa membukakan pintu.

Dengan nafas terengah, aku berusaha sekuat mungkin meredakan marah dan egoku. Jika akan menemuinya, sebaiknya tidak dalam keadaan seperti ini.

Ceklak!” terdengar pintu rumahnya dibuka.

Secepat kilat aku bersembunyi di balik pohon cemara besar yang ada di dekatku. Sedikit mengintip di antara celah bercabang, terlihat Lisa keluar dengan wajah kebingungan. Dia menengok ke kiri dan ke kanan berusaha mencari tahu siapa yang mengetuk pintu. Aku yakin Lisa tak akan bisa melihatku karena hari sudah gelap. Dia sedikit berjalan ke depan menengok sekitar sekali lagi dan kemudian kembali masuk.

“Besok lagi aja deh,” ucapku dalam hati.

Aku pun kembali menyusuri jalan untuk segera pulang. Ada sedikit rasa gundah dan menyesal yang masih tertuang di lubuk hati. Setidaknya harus ada permintaan maaf dulu yang kusampaikan sebelum menjejalinya dengan pertanyaan. Namun untuk sekarang, lebih baik aku menenangkan diri terlebih dahulu. Aku tak mau jika pertemuan pertamaku setelah peristiwa terakhir waktu itu harus berakhir dengan kisah yang sama. Berharap semoga pria tadi hanyalah teman rekan kerjanya yang membantu mengantarnya pulang karena tidak tega. Aku terus menanamkan berbagai pemikiran positif agar esok hatiku kembali bersih.

Kupandang langit yang sudah mulai menampakkan bintang-bintang. Ada sedikit awan gelap yang menutupi sinar rembulan. Persis seperti keadaan hatiku sekarang ini. Jika bisa mendapatkan kesempatan kedua, maka aku ingin selesai dengan bahagia.

Tak terasa aku sampai di halte bus terdekat. Ada dua anak sekolah perempuan yang sedang duduk menunggu. Kuperhatikan bahwa salah satunya berkacamata dengan rambut terurai panjang sampai punggung. Matanya tertuju pada layar ponsel yang digenggam dengan kedua tangan. Sedangkan di sampingnya menggunakan headset sambil mengangguk-angguk menikmati alunan musik. Dia mengenakan jaket hoodie berwarna abu-abu dan kedua tangannya masuk ke dalam saku. Mungkin mereka baru selesai kerja kelompok atau mengikuti les.

Bus kota datang dan kami semua beranjak masuk. Petang ini sudah mulai sepi, hanya ada empat orang di dalam bus. Salah seorang pria tua yang duduk di belakang supir memandang kami dengan tajam. Entah matanya memandangku atau kedua remaja perempuan yang kini duduk di sebelah kiriku. Namun rasanya tatapannya sangat tidak enak. Aku pun menundukkan kepala dan memangku tas di kedua paha, berharap dia tidak melakukan tindakan aneh yang mengusik. Sesekali kulirik dari sudut mata dan pria tua tersebut masih memandang ke arah sini.

“Mau macam-macam nih tua bangka,” pikirku.

Bus terhenti di halte berikutnya dan akhirnya pria tersebut turun, yang anehnya dia masih memandang tajam ke kami. Ada sedikit perasaan lega karena setidaknya tidak terjadi hal yang aneh. Setelah bus kembali berjalan, aku melamun memandang keluar jendela. Terlihat kembali gedung-gedung tinggi dengan gemerlap cahaya warna-warni. Lampu-lampu jalan terlintas dengan cepat seperti gulali yang ditarik memanjang.

Hanya sekitar 15 menit aku pun akhirnya tiba di kos. Sejenak kupandang kembali langit yang kini semakin bersih. Bintang-bintang mulai redup, digantikan oleh cahaya bulan yang semakin menyala. Aku pun masuk dan naik ke lantai tiga. Penghuni lain ada yang baru pulang, ada juga yang keluar untuk pergi. Beberapa membawa pasangan mereka masuk ke dalam kamar, yang lain datang dengan teman.

Sesampainya di kamar, aku langsung meletakkan tubuh lelahku di ranjang. Memandang langit-langit yang mulai kotor karena usang, aku meregangkan kedua tanganku. Semakin lama mata ini semakin sayu, mungkin karena terlalu capek menguras tenaga dan emosi. Aku pun seperti terlelap dan masuk ke dalam mimpi, tiba-tiba terperanjat saat mendengar sesuatu!


***


Bersambung...
profile-picture
profile-picture
profile-picture
ariefdias dan 3 lainnya memberi reputasi
Lihat 3 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 3 balasan
Quote:


Untuk pria yang berusia 27 tahun dan bisa berpikir seperti ini, pastinya dia sudah sangat dewasa dan sangat bijak.
Dan biasanya pula, sering banyak disakiti Bulan Purnama
profile-picture
baccu memberi reputasi
Lihat 1 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 1 balasan

Bab 6 – Lunaria

Bab 6 – Lunaria

“Pyar!” terdengar suara seperti kaca pecah. Bergegas beranjak dari ranjang untuk mencari sumber suara. Terdengar kelakar tawa dari luar yang saling bersahutan satu sama lain. Kutengok lewat jendela, memandang ke bawah dan melihat ada beberapa pemuda yang sepertinya sudah mulai mabuk. Sebuah botol minuman keras dengan warna hijau tampak pecah berceceran di trotoar. Padahal waktu belum terlalu larut, namun mereka seperti tidak takut. Kupandang mereka semua dengan tajam dan salah satu melihat ke arahku, kemudian lari terbirit-birit bak dikejar anjing.

“Dasar orang gabut!” gerutuku. Aku pun kembali merebahkan tubuh ini di atas gumpalan kapas seperti awan. “Eh, mandi dulu deh.”

Kulepas semua yang kukenakan di tubuhku dan masuk ke dalam kamar mandi. Di bawah guyuran air yang mengalir dari shower aku kembali melamun memikirkannya. Masih ada sepucuk perasaan ngilu di dada, namun kusingkirkan dengan kenangan bahagia. Aku ingat bagaimana saat itu Lisa memperkenalkan aku kepada ibunya. Sore itu langit begitu cerah, hanya ada awan tipis yang menghiasi seperti pelangi api. Aku menjemput Lisa di rumahnya.

“Tok tok tok.”

“Ayo sini masuk!” tangan Lisa meraih tanganku dan menariknya ke dalam.

“Mama kenalin... ini Brian,” Lisa berdiri di sampingku dengan senyum lebar.

Mendadak sekujur tubuhku kaku seperti tiang listrik. Mataku memandang kepada sosok ibu yang berdiri di depanku. Beliau mengenakan sweater biru bergaris kuning, tersenyum kepadaku.

“Halo nak Brian. Mau ngajak Lisa jalan-jalan ya?”

“I-iya bu,” tanganku langsung terjulur untuk mengajak bersalaman, kucium tangan beliau seperti anak SD yang mau masuk ke ruang kelas.

“Engga mampir makan dulu nih?”

“Ga usah repot-repot bu, terima kasih. Nanti kami makan di luar. Ibu mau saya bawakan apa?” tanyaku basa-basi.

“Ga perlu repot-repot,” balasnya. “Yang penting jangan kemalaman pulangnya ya.”

“Pasti bu. Nanti saya antar Lisa pulang sebelum jam sembilan,” jawabku meyakinkannya.

Ibu Lisa mengangguk dan tersenyum. Matanya terpancar dengan cemerlang, semoga tanda lampu hijau untukku.

“Duh canggung banget. Tau gitu tadi aku beliin sesuatu buat calon mertua sebelum ke sini. Ehehehe...” ledekku sembari naik ke atas jok motor.

“Ga usah repot-repot nak,” Lisa menirukan ibunya sambil mencubit lenganku, mengikuti membonceng di belakang.

“Makan di mana nih?” sambil menyalakan tombol starter.

“Ihhh... masih sore. Ke mall aja yuk,” dia melingkarkan kedua tangannya di perutku.

Lets go!

Kami pun pergi menuju ke mall. Lisa mengajakku ke bagian fashion dan meminta hal yang membuatku tertawa konyol.

“Beli ini yuk,” Lisa mengambil dua buah t-shirt berwarna kuning dengan tulisan ‘Soul’ dan ‘Mate’, kemudian menyodorkan salah satunya kepadaku.

Couple? Kuning? Seriusan?” tanyaku dengan mata membelalak.

“Kan lucu tau!” dia meringis memamerkan deretan giginya yang putih bersih. “Harganya murah lagi nih.” Dia memperlihatkan gantungan harga yang bisa kubaca dengan nominal seratus dua puluh ribu.

“Hmphh... yaudah, oke.”

“Langsung pake yok?” dia tersenyum sangat lebar hingga matanya hanya segaris.

Aku tercengang mendengar ucapannya.

“Yang bener aja? Belum dicuci lho,” jawabku sambil memegang lengannya dengan gemas. Dia hanya tersenyum lebar dengan gigi putihnya.

Kami pun pada akhirnya keluar booth dengan mengenakan t-shirt kuning couple, yang baru saja dibeli, sambil berjalan-jalan mengelilingi mall. Lisa menenteng tas berisi baju yang sebelumnya kami kenakan masing-masing, sambil menggandeng lenganku dan menyenderkan kepalanya di bahu. Rasanya ratusan pasang mata bagaikan memandang kami berdua. Ini adalah kali pertama aku melakukan hal yang memalukan seperti ini dalam hidupku. Tapi apalah arti rasa malu, asalkan orang lain bisa bahagia karenanya.

Lisa berhenti dan menunjuk ke salah satu stan yang menjual minuman boba.

“Nge-es yuk. Aku yang traktir, tenang aja,” dia tersenyum dan segera berlari untuk berdiri di garis antre.

Aku duduk menunggu di kursi yang disediakan sambil memandang ke segala penjuru arah. Pengunjung mall sangat ramai, di isi dari berbagai macam orang yang entah sekedar ingin jalan-jalan ataupun memang berniat belanja. Di lantai bawah ada pertunjukan sulap yang disusul dengan MC yang sepertinya membawakan sebuah acara bertema Halloween. Banyak juga booth yang berisi berbagai macam pernak-pernik, kostum, hingga toko perlengkapan sulap. Selang 15 menit, Lisa datang dan duduk di depanku.

“Ke bawah yuk. Keliatannya asik,” ajak dia sambil menyeruput minuman boba berwarna cokelat.

“Ngapain ah? Mending makan aja yuk," aku pun ikut minum karena haus.

“Liat-liat aja. Ayo, buruan!” dia beranjak dan menyeretku yang baru saja menelan satu tegukan minuman es manis tersebut.

Kami pun turun menggunakan eskalator dan mengunjungi acara yang sepertinya perayaan Halloween. Berbagai booth kami kunjungi. Dia terpesona saat salah seorang penjual peralatan sulap memamerkan teknik memunculkan kartu dari tangan kosong. Di salah satu booth yang tidak terlalu ramai, kami berhenti dan masuk.

Tampak seorang nenek dengan pakaian serba hitam ala penyihir tua sedang meramal beberapa pengunjung dengan kartu tarot.

“Minta diramal yuk. Siapa tau kita jodoh,” ajaknya sambil mengedipkan satu matanya.

Kami pun antre berdiri di belakang dari pasangan yang sedang diramal.

“Gaje banget deh,” aku berbisik pelan di telinganya. “Cari tempat lain aja yuk.”

“Husssh,” Lisa malah menggenggam lenganku dengan kencang.

Tak berselang lama, kami pun diundang duduk di hadapan nenek penyihir tersebut.

“Halo cantik. Mau diramal perihal apa?” tanya nenek tersebut.

“Iseng-iseng aja sih nek. Urusan jodoh, hehehe,” Lisa menjawab malu-malu kemudian tertawa.

“Boleh minta telapak tangan kanan kalian berdua?” si nenek tersenyum seram.

Lisa menarik tanganku dan disodorkan kepada nenek peramal tersebut. Dia menarik kedua tangan kami dan menaruhnya di atas meja. Bisa kulihat beliau mengernyitkan mata berlagak serius dengan mulut komat-kamit seperti melafalkan sesuatu. Dengan sebuah hentakan, dia tiba-tiba duduk tegak yang membuat kami berdua kaget. Ujung jari telunjuknya mengelus-elus telapak tangan Lisa dan menjelaskan sesuatu.

“Nak Lisa.” Dia mengacungkan tangannya ke arah Lisa. “Kamu akan hidup bahagia. Tapi sebelum itu, ada cobaan berat yang harus dilalui,” katanya dengan lirih. “Hidup itu seperti air sungai yang mengalir. Bergerak terus sampai tertampung di muara. Namun terkadang ada batu dan kotoran yang menyumbat. Segera bersihkan jika sempat.”

Tanpa diduga, Lisa tertegun kaku. Dahinya berkerut dan dia terlihat tegang. Kemudian si nenek beralih meraih tanganku.

“Nak Brian!” ucapnya menyentak. Dengan kaget aku memandang ke arahnya. “Ada awan gelap yang menutupi cahaya bulan,” tangan kanannya menunjuk ke arahku dengan gemetar. “Jika ada sesuatu yang menimpamu, ikhlaskan lah! Hati yang bersih adalah hati yang tenang. Gegabah hanya akan membawa petaka. Padamkan api dengan air, bukan dengan meniupnya.”

Mataku mengernyit berusaha menerka apa ucapannya, namun dalam hati sebenarnya tak peduli. Tapi tidak dengan Lisa. Dia masih tertegun di tempat duduknya. Sikapnya sedikit aneh. Pelipisnya berkeringat, mulutnya diam seribu bahasa, seperti ketakutan.

“Terima kasih, nek. Kami pamit dulu.” Kugandeng Lisa dan sebelum keluar, kumasukkan uang lima puluh ribu ke sebuah kotak yang terpampang di depan booth.

“Hei,” kulambaikan tangan di depan wajahnya. “Percaya banget sama hal gituan? Ga nyangka,” aku meledeknya. Bukannya suasana mencair, dia memalingkan kepalanya dengan pelan dan memandangku. Tangannya menggenggam tanganku dengan erat.

“Kamu ga nyadar?!” dia membelalak. “Sejak kapan dia tau nama kita? Kenalan atau tanya juga enggak?!”

Bak disambar petir di siang bolong, aku pun ikut tercengang. Kali ini aku paham kenapa dia bersikap seperti itu. Tiba-tiba seperti ada rasa dingin yang menjalar. Namun demi menghiburnya, aku berusaha tampak seperti biasa.

“Mungkin aja denger waktu kita lagi ngobrol. Yah... namanya juga pesulap. Hahaha!” kucubit pipinya berusaha untuk menghiburnya. “Makan yok. Biar ga tegang.”

Kami pun makan di salah satu restoran di mall tersebut. Lisa masih tampak gelisah, pikirannya seperti diselimuti kabut tebal. Kuraih tangannya dan kugenggam dengan lembut.

“Udah jangan dipikirin terus. Ga usah takut. Aku bakal terus jagain kamu kok.”

“Yah... I know,” dia mengangguk dan tersenyum tipis.

Sambil makan, kuceritakan hal-hal lucu yang terjadi di kantorku hari ini. Mulai dari anak baru yang nyasar di ruangan bos, hingga salah satu cleaning service yang menemukan kondom bekas di toilet kantor yang membuat semua karyawan satu lantai mendapatkan surat teguran. Dia mulai tertawa seperti sudah lupa kejadian tadi.

“Eh mama calon mertua sukanya apaan? Ntar aku beliin sebelum pulang.”

“Apa aja sih. Tapi lebih suka seafood. Soalnya punya kenangan sama almarhum papa.”

“Okey. Ntar ingetin lagi ya,” kataku sambil mengacungkan jempol.

Selesai makan, langit ternyata sudah petang. Di perjalanan, tidak lupa kubelikan seafood di warung pinggir jalan yang kata orang-orang rasanya enak. Lisa menyenderkan dagunya di bahuku sepanjang jalan menuju rumahnya.

Setiba di rumah, aku memberikan buah tangan yang kubeli tadi. Ibunya terlihat sangat senang dan beliau mengajakku masuk ke dalam rumah.

“Maaf bu sudah kemalaman. Mungkin lain kali saja. Saya pamit dulu.”

Kucium tangan beliau dan aku pun kembali mengendarai sepeda motorku untuk pulang ke kos. Sepanjang jalan aku terkadang melamun. Terbesit sebuah ide yang pasti akan membuat Lisa amat sangat senang.

Kudengar ada sebuah restoran yang baru buka beberapa hari. Kuputuskan untuk mampir sejenak ke sana untuk bertanya-tanya apakah bisa melakukan reservasi. Restoran western dengan nama Lunaria ini terlihat cukup mewah dan berkelas. Aku mendatangi bagian pemasaran dan bertanya-tanya.

“Dengan Caca bagian pemasaran. Ada yang bisa kami bantu kak?” tanya pegawai restoran dengan seragam jas berwarna merah. Kulitnya putih dan halus, rambutnya panjang terurai dan dadanya membusung.

“Saya mau membuat reservasi untuk hari Sabtu depan bisa?” tanyaku sambil duduk di bangku menghadapnya.

“Baik atas nama siapa, untuk berapa orang?” Dia mengambil sebuah tablet dan bersiap untuk mencatat.

“Dua orang. Atas nama Brian. Ehm, kalo mau minta sesuatu kena charge enggak ya?”

“Maaf ada hal tertentu yang diperlukan?”

“Tadi saya lihat ada tim pemusik ya? Nanti saya kasih kode, bisa memainkan lagu tertentu?”

“Ah seperti itu. Bisa sekali kak,” jawabnya dengan antusias.

Aku pun menjelaskan serangkaian hal yang akan kulakukan. Dia menyimak dengan sangat teliti dan mencatat semuanya dengan rinci. Kemudian kulakukan pembayaran di muka agar lebih meyakinkan.

“Baik terima kasih atas reservasinya kak Brian. Berhubung ini pertama kali ada request seperti ini, kami akan berusaha semaksimal mungkin. Semoga nanti dapat berjalan dengan lancar,” kata Caca yang ternyata kepala divisi pemasaran dengan senyum yang memukau.

Aku pun segera pergi meninggalkan restoran tersebut. Di perjalanan kubayangkan bagaimana tanggapan Lisa nanti saat kuajak dia makan di restoran baru tersebut. Selain itu sudah ada serangkaian kejutan yang aku jamin akan membuat seisi restoran akan memandang kami berdua. Hal ini juga adalah pertama kali yang kulakukan hingga sejauh ini untuk seorang wanita. Sebuah hal yang akan menjadi momen istimewa bagi tiap wanita di berbagai belahan dunia.


***


Bersambung...
profile-picture
profile-picture
profile-picture
hady177350 dan 2 lainnya memberi reputasi
Diubah oleh baccu
Lihat 5 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 5 balasan

Bab 7 – Hai, Diary

Bab 7 – Hai, Diary


Mandi malam hari memang terasa begitu segar. Malam ini aku ingin naik ke atap untuk sedikit menenangkan hati. Kupandang sejenak jam yang mulai menunjukkan pukul delapan lewat empat puluh dua menit, kemudian pergi ke atap.

Sayang sekali malam ini tak begitu cerah. Langit tertutup oleh awan sehingga berwarna merah kelabu. Hanya ada setitik bintang yang menghiasi dengan malu-malu. Aku pun duduk menghadap ke arah jalan raya dan mendongakkan kepala. Dipikir kembali, rasanya sudah lama aku tidak pulang. Mungkin sudah dua tahun semenjak terakhir kali aku menemui keluargaku. Tiba-tiba langit menangis, menurunkan hujannya dengan lirih.

“Yah kok ujan,” gerutuku.

Aku pun turun dan masuk kembali ke dalam kamar. Langit malam ini sepertinya sedang memusuhiku. Kuputuskan untuk tidur agar perasaan gundah ini segera enyah menghilang. Aku berencana esok hari akan menemui Lisa, kekasihku, meminta semua penjelasan dengan menyiapkan hati yang lapang.

Entah mengapa malam itu aku tidak bisa tidur dengan tenang, berbalik ke kiri dan ke kanan. Sudah sewajarnya aku menaruh cemburu dan perasaan curiga kepadanya. Masih terbayang sosok pria gagah yang mengantarnya pulang sore petang itu. Bagaimana jika Lisa memang sudah berpaling dariku? Sedangkan sampai detik ini pun dia tidak pernah menghubungiku. Setelah melewati serangkaian pergumulan, kuputuskan untuk menguntitnya hari ini.

Di pagi hari buta yang bisu, aku mengenakan jaket hoodie berwarna cokelat, masker dan kacamata hitam. Semua ini kulakukan agar Lisa tidak mengenaliku jika dia mulai merasa curiga. Segera aku berlari keluar kamar dan pergi ke halte terdekat untuk menaiki bus yang turun di halte dekat rumahnya.

Mungkin karena masih terlalu pagi, dari kejauhan halte terlihat sangat sepi. Hanya ada seorang pria paruh baya dengan kopiah dan sarung sambil membawa kotak berisi tahu yang diletakkan di bawah lantai. Belum sempat sampai di halte, bus sudah datang. Aku pun berlari kencang agar tidak ketinggalan. Dengan tertatih-tatih aku berhasil ikut naik. Suasana bus sangat sepi, aku pun duduk di bangku paling belakang. Kusandarkan kepalaku pada kaca untuk melihat suasana kota.

Jarang sekali aku pergi sepagi ini, hanya untuk melakukan hal yang kurang penting. Tapi tidak, hal ini sangat penting bagiku untuk mencari informasi. Demi mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang banyak bermunculan di kepalaku. Apapun yang terjadi, hari ini aku harus mendapat kejelasan. Berharap semoga tidak berakhir dengan kekecewaan ataupun penyesalan.

Bus kota yang kutumpangi berhenti di halte dekat rumahnya, aku pun bergegas turun setelah pintu terbuka. Kemudian ada satu penumpang wanita yang masuk. Aku melanjutkan berjalan menuju ke kompleks rumahnya. Daerah sini sudah cukup ramai, hampir tiap rumah sudah mulai bersiap memanaskan kendaraan pribadi untuk dipakai. Dari kejauhan bisa kulihat mobil SUV hitam yang masih terparkir di depan rumah Lisa, sepertinya milik tetangganya.

Baru separuh perjalanan menuju di rumahnya, kulihat mobil sedan putih yang kemarin. Mobil yang sama mengantar kekasihku pulang. Aku segera berlari kecil dan bersembunyi dibalik pohon cemara besar, mengintip dari salah satu celah bercabang. Mobil tersebut kembali terparkir di depan rumahnya, yang disusul seorang pria turun keluar dari bangku supir. Dia berjalan dan mengetuk pintu rumah Lisa.

Perasaanku mulai tidak enak, namun aku masih bersabar. Tampak pintu rumah berderit terbuka. Aku semakin dibuat penasaran sebenarnya siapa dia. Pria yang hari ini mengenakan kemeja krem tersebut tampak menyalami tangan dan menciumnya. Tak lama berselang Lisa keluar, disusul oleh ibu dan adiknya. Anehnya mereka semua sudah tampak sangat akrab.

Si pria tersebut membukakan pintu belakang untuk ibu dan adiknya. Lisa masuk dan duduk di kursi depan. Mobil pun beranjak pergi dengan meninggalkan rumah yang kosong.

“Waduh mau pada ke mana semuanya ya?” aku bertanya pada diri sendiri, kemudian berjalan keluar dari persembunyian.

Karena penasaran aku menghampiri rumah Lisa dan mengetuk pintunya, memastikan tidak ada orang di dalam rumah. Kutengok keadaan sekeliling dan tampaknya tidak ada yang melihatku, segera menuju ke belakang rumah. Aku mengendap endap seperti maling yang sudah berencana untuk mencuri. Tak perlu usaha keras agar aku bisa masuk ke dalam rumahnya.

Kediaman Lisa terlihat sedikit berbeda dari terakhir kali aku berkunjung kemari. Tanpa basa basi aku langsung naik ke lantai dua menuju kamarnya. Sebuah kamar dengan pintu berwarna cokelat krem terlihat sedikit melompong, pertanda tidak dikunci. Kubuka dengan perlahan dan mengintip sekeliling. Ini adalah kali pertama aku masuk ke dalam kamarnya.

Seperti yang kuduga, kamar wanita memang selalu rapi dan wangi. Banyak sekali hiasan yang menempel di dinding berwarna putih. Di belakang pintu dapat kutemukan poster penyanyi idolanya. Sebuah meja di sudut ruangan tampak menumpuk banyak sekali buku, baik berisi novel hingga buku motivasi. Mataku membelalak tertuju pada sebuah hiasan tepat di atas ranjangnya. Beberapa foto kecil digantung berderet menggunakan tali rotan yang dihiasi dengan kertas berbentuk hati berwarna pink.

Aku dekati dan memandang setiap foto yang terpampang, satu per satu. Bukan main rasanya, bagai disayat pedang, aku melihat Lisa berfoto dengan pria lain. Pria yang sama yang mengantar dan menjemputnya kemarin dan hari ini. Tampak dalam foto mereka berdua begitu mesra, tertawa dengan gembira saat menghadap ke kamera dan ada pula yang saling bertatapan. Nadi di sekujur tubuhku berdenyut kencang. Bagaimana mungkin Lisa berbuat seperti ini, yang bahkan belum ada kesepakatan untuk berpisah dari kami berdua.

Tubuhku serasa dihantam batu sepuluh ton. Aku duduk di ranjangnya, menundukkan kepala dan berusaha menenangkan diri. Aku berpaling ke atas meja dan melihat sebuah buku bersampul kulit warna cokelat gelap dengan tulisan ‘Diary’ berwarna emas. Aku penasaran dan mengambilnya. Baru tahu bahwa Lisa suka menulis buku harian, karena dia tidak pernah cerita kepadaku. Aku pun membukanya dari awal dan dapat kutemukan tulisan berisi curahan hatinya sejak kelas 2 SMA. Di beberapa halaman tampak foto kecil yang terpampang berisi kenangannya. Bisa kulihat bahwa Lisa memang sudah manis sejak dulu. Tulisan tangannya lucu, ditulis menggunakan tinta berwarna pink. Kubalik beberapa halaman dan menemukan tanggal di mana pertama kali kami berdua bertemu.

Quote:


Entah kenapa saat membaca tulisannya, ada sedikit perasaan hangat di hatiku. Aku sangat ingat bagaimana groginya waktu berkenalan dengannya. Ternyata dia mempunyai perasaan yang sama saat pertama melihatku. Mungkin cinta pada pandangan pertama memang benar adanya. Aku buka halaman berikutnya.

Quote:


Tak terasa aku tersenyum membaca tulisannya. Serasa bernostalgia, padahal kami mengalaminya berdua. Aku semakin penasaran dan mulai membaca tiap halaman dengan seksama.

Quote:


Quote:


Di halaman ini terpampang foto kami berdua saat di pantai. Saat itu angin begitu kencang, jadi rambut kami berdua beterbangan tidak karuan. Aku tertawa memandang foto yang ternyata dia cetak dan tempelkan di buku hariannya.

Quote:


Quote:


Tiba-tiba aku teringat kembali soal nenek sihir yang kami datangi saat perayaan Halloween di mall. Nenek itu mengatakan sesuatu yang membuatku bingung. Tapi aku sendiri memang tidak pernah peduli hal seperti itu dan mengabaikannya. Rupanya Lisa masih paranoid akan hal tersebut. Dia menyematkan foto selfie kami berdua dengan mengenakan t-shirt kuning bertuliskan ‘Soul Mate’ saat berjejer. Aku sampai geleng-geleng kepala memandangnya.

Quote:


Aku termenung membaca halaman tersebut. Sejenak berpikir kembali, karena momen tersebut bisa dibilang terakhir kalinya aku berkencan dengan Lisa. Sejujurnya hari itu aku sudah menyusun sebuah rencana yang sangat manis. Di sebuah restoran baru bernama Lunaria, aku sudah memesan tempat khusus untuk kami berdua. Segala aspek sudah kusiapkan, mulai dari pemilihan menu makanan, meminta tim khusus untuk menyambut kami berdua, hingga memainkan lagu tertentu saat aku memberikan sebuah kode untuk melakukan sesuatu. Ya, sebenarnya malam itu aku berniat untuk melamar Lisa. Aku sangat berharap bahwa dia akan menjadi wanita yang terakhir kali untuk menemani hidupku, bersanding denganku.

Namun sayangnya hari itu gagal. Karena ada kendala di kantor, gaji yang seharusnya dibayarkan sehari sebelumnya harus tertunda. Sepulang kerja aku harus berlomba dengan waktu untuk membeli cincin yang akan kuberikan saat melamarnya nanti. Aku sangat tergesa-gesa karena khawatir segala hal yang telah direncanakan akan kacau balau. Malam itu aku jadi terlambat menjemputnya. Dia pasti sangat kecewa karena menunggu selama itu tanpa ada kabar dariku. Bodohnya, aku berbohong kepadanya saat kubilang ada kerjaan lembur di kantor yang membuatnya semakin naik pitam. Akibat keadaan hati dan pikiran yang kacau balau, aku pun ikut terbawa emosi dan pergi meninggalkannya.

Aku menundukkan kepala. Ada rasa penyesalan yang begitu dalam di hatiku. Masih tidak menyangka bahwa momen yang seharusnya menjadi istimewa harus berjalan tidak semestinya. Tanpa sadar ada butiran air yang membasahi mataku. Perasaan campur aduk yang tidak karuan bergumul dengan deras di dadaku. Dengan tangan gemetar, aku membalik halaman selanjutnya.

Bagaikan gelas kaca yang jatuh dari atas gedung, hatiku hancur berkeping-keping. Masih tidak percaya dengan hal yang kubaca ini. Sebuah kenyataan yang tak pernah aku sangka sebelumnya, kali ini tertulis dengan tinta hitam. Sebuah tulisan yang akan membuat siapapun yang membacanya akan merasa bahwa dunia jungkir balik, otak berputar-putar, dan bulu kuduk berdiri.


***


Bersambung...

profile-picture
profile-picture
aymawishy dan hady177350 memberi reputasi
Diubah oleh baccu
Lihat 11 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 11 balasan
Halaman 1 dari 2


×
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved
Ikuti KASKUS di