Kaskus

Story

robbolaAvatar border
TS
robbola
Kamu Dan Masa Lalu
#Cerpen

Kamu dan Masa Lalu

“Mama tidak setuju kamu menikah dengan Genta.” Aku berdiri menghadap ke luar dari balik jendela, memunggungi putriku, Sukma.

“What? Jadi Mama mau jadi orang tua yang kolot seperti Nenek?”

Tanganku mengepal. Aku menghirup napas dalam-dalam, mencoba meredakan amarah. Jika saja gadis itu bukan putriku, sudah pasti kutonj*k wajahnya yang mirip dengan baj*ngan itu, ayahnya.

“Kamu boleh berteman dengannya, tapi tidak untuk menjalin hubungan apalagi menikah!” tegasku. Aku berbalik, menatap mata putri semata wayangku, yang kubesarkan seorang diri, dengan bantuan neneknya tentu saja.

“Kenapa Mama jadi menyebalkan seperti ini, sih?” Sukma menatapku tajam.

Ya, kuakui dia memang gadis yang cukup berani karena selama ini aku yang mengajarkannya untuk menjadi tangguh. Sayangnya, kini dia cukup berani untuk menentang larangan ibunya. Bukankah itu menyebalkan?

“Kau ingin menemuinya malam ini? Keluar dengannya?” Aku menurunkan nada suara.

“Itu sudah pasti. Kenapa? Mama mau melarangku pergi dengannya juga?” Sukma memajukan dagunya ke arahku.

“No. Mama membebaskanmu pergi bersamanya. Selama kau tahu aturannya ….”

“No s*x before marriage,” potong gadis itu dengan wajah malasnya.

Aku mengangguk pelan. “Good girl. Pulanglah sebelum tengah malam. Kita akan membahasnya malam nanti.”

Sukma berlalu tanpa mengatakan apa pun. Sesaat kemudian aku mendengar suara mesin motor di halaman, lalu perlahan suara itu menjauh hingga tak terdengar lagi.

Aku lantas memilih ke kamar, memikirkan keadaan putriku dengan cemas. Aku percaya bahwa dia pasti bisa menjaga dirinya, tetapi bagaimana dengan hatinya? Aku tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang. Bahkan, kita rela menyampingkan orang terpenting demi memperjuangkan perasaan itu.

Tekad Sukma untuk menikahi Genta benar-benar mengingatkanku kepada seseorang di masa lalu. Berulang kali ibuku melarang untuk menikah dengan ayah Sukma, tetapi aku tak mengindahkannya dengan alasan cinta. Ah, kalau saja dulu aku cukup paham antara cinta dan logika, mungkin aku tak akan mengambil keputusan bodoh itu. Namun, semua sudah telanjur dan aku tak ingin melihat putriku melakukan kesalahan yang sama.

Tomi. Ya, itu nama ayah Sukma, maksudku ayah biologisnya. Dia lelaki keren dan berwajah tampan tentu saja. Dulu, aku tak peduli statusnya yang sebagai pengangguran. Dia suka minum dan mengajakku ke bar. Saat di sampingnya, aku merasa menjadi gadis paling keren di bar. Ah, betapa rambut gondrongnya sangat menawan, lalu tatonya di seluruh tangan membuatnya seperti anggota geng. Hal itu membuatku makin bangga memilikinya. Lalu, saat itu di kepalaku hanya ada nama Tomi, Tomi, dan Tomi.

Dia milikku!

Aku miliknya!

Sumpah mati aku cinta dia! Cinta!

Bukan Anjani kalau tak bisa menaklukkan kedua orang tuanya. Ya, akhirnya Ayah dan Ibu merestui hubungan kami setelah aku mengancam ingin bunuh diri. Ah, ancaman klise. Padahal, aku tak benar-benar tak akan melakukannya karena aku masih ingin hidup, bersama Tomi tentu saja.

Satu tahun pernikahan berjalan bahagia meskipun kami sering kekurangan uang untuk membayar kontrakan. Hingga akhirnya aku memilih bekerja di sebuah counter HP, sedangkan suamiku menunggu di rumah yang kami sewa. Namun, lama-lama aku tak tahan, apalagi setelah bayi kami lahir. Aku makin mudah marah. Kekacauan-kekacauan pun sering terjadi.

Tomi memang lelaki bertanggung jawab. Ya, dia masih mengakui bahwa aku istrinya dan Sukma adalah putrinya. Namun, aku tak suka caranya tertawa saat tengah malam dengan teman-temannya di ruang tamu sambil berpesta minuman. Mereka bahkan tak peduli ada bayi menangis karena ulah mereka. Kemudian paginya, setelah Tomi bangun, akan berakhir dengan pertengkaran.

Karena tak tahan, aku memutuskan pulang ke rumah Ayah dan Ibu. Tomi pun memilih pergi. Setelah memiliki cukup uang, aku mencari lelaki itu dan mengurus perceraian kami. Ya, itu hal berat dalam hidupku.

“Kukira kau akan kembali.” Aku ingin menangis saat bertemu dengannya di sebuah room, tempat karaoke.

“Untuk apa? Kamu maki?” Tomi tersenyum miring. Dia meraih botol miras yang berada di meja kaca.

Saat itu juga, air mataku lolos. Saat itu niatku memang ingin mengakhiri hubungan kami. Namun, lagi-lagi perasaanku berkata bahwa aku tak benar-benar menginginkan kisah cinta kami berakhir.

“Kau tak ingin kembali?” desakku.

Dia tertawa sumbang. “Hidup denganmu lagi? No. Aku tak ingin merasa tersiksa.”

Jawaban itu meruntuhkan hatiku. Aku lantas pulang dengan perasaan lebur.

*

Genta. Sudah lama aku bertemu cowok itu sejak Sukma mengajaknya ke rumah. Awalnya, kupikir mereka hanya teman karena setahuku Sukma tak pernah pilih-pilih dalam hal berteman. Bahkan, gadis itu tak keberatan berteman dengan berandalan, tetapi mereka hanya berteman. Namun, berminggu-minggu setelahnya, dia berkata bahwa Genta akan menikahinya.

Jelas saja aku shock! Genta, cowok pengangguran yang kerjanya nongkrong di tempat penatoan dan terkadang mondar-mandir ke studio untuk berlatih itu ingin menikahi putriku? Really?

“Ma, Genta itu orangnya baik. Dia kalau udah kenal satu cewek, bakal setia banget.” Malam itu Sukma menemuiku di kamar dan mengucapkan kata-kata rayuannya.

“No.” Aku yang sedang membaca novel sambil bersandar di kepala ranjang pun hanya menjawab singkat.

“Mama juga udah kenal cowok itu, bukan?” Gadis penyuka warna hitam itu masih mencoba merayu.

Aku menutup buku, lalu menatapnya, lalu berkata, “Kita bahas besok, ya. Mama capek.”

Sepanjang malam itu juga aku tak bisa tidur hingga menjelang Subuh.

*

Aku melirik jam di ponsel, pukul 23.00. Aku resah menunggu Sukma. Seharusnya dia sudah sampai di rumah. Dia tak pernah telat barang hanya lima menit.

Sepuluh menit berlalu. Aku menyambar jaket yang menggantung di balik pintu, lalu memakainya. Jantungku berdetak begitu cepat seperti kelebihan kafein.

Aku lantas menghidupkan mesin motor, memanasinya sebentar, lalu melajukannya dengan kecepatan tinggi. Ya, aku tahu ke mana harus menuju. Ada untungnya aku bergaul dan membaur dengan semua teman-teman Sukma. Dengan begitu, aku jadi tahu kebiasaan mereka dan tahu tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi, termasuk Genta.

Lima belas menit kemudian aku sampai di sebuah gang. Aku mematikan mesin sebelum masuk gang tersebut dan menghentikan motor tepat di depan sebuah pintu pagar yang terbuka.

Di balik pagar hitam terdapat ruangan-ruangan yang pintunya tertutup. Aku menuju salah satu pintu. Terdengar suara tawa dari balik pintu lain. Itu pasti suara teman-teman Genta yang sedang berpesta. Sementara itu, aku yakin Genta dan Sukma berada di ruang berbeda, yakni kamar Genta. Aku mendobrak pintu dan di kamar itu tampak dua orang sedang menatap ke arahku.

Genta sedang tak bersama Sukma. Cowok itu sedang bersama perempuan lain. Aku mendekat dan mencengkeram lubang kaus di leher cowok berambut sebahu tersebut.

“Ke mana Sukma?”

“Di-dia … udah pulang, Tan.”

Dengan kasar, aku mengempaskan cowok itu. Aku lantas meninggalkan kos-kosan bebas tersebut. Kali ini, aku yakin Sukma berada di suatu tempat.

Setelah mengendarai motor dengan kecepatan penuh, aku menghentikannya di tepi jalan yang jarang dilalui kendaraan, tepat di samping motor Sukma terparkir. Kulihat gadis itu sedang duduk di menghadap tebing, melihat kilau lampu di bawah sana.

Aku duduk di samping gadis berambut panjang itu. “Di sini dingin juga,” kataku.

Sukma tak menoleh. Kulihat pipinya basah. Aku tahu bagaimana rasanya patah hati.

“Mama udah terlalu tua untuk merasakan udara semalam ini,” ucapnya kemudian setelah diam cukup lama. Angin mendorong rambut lurusnya.

Aku terkekeh. “Baiklah, kalau begitu, ayo pulang. Mama takut kita diculik.”

Sukma mengangguk. Kami pun pulang bersama, mengendarai motor sendiri-sendiri dengan kecepatan sedang sambil menikmati suasana malam yang lengang.

Selesai
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
328
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan