- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
TEMAN DALAM KEGELAPAN


TS
arganov
TEMAN DALAM KEGELAPAN
Malih akhirnya menghela napas lega. Kotak terakhir sudah berhasil diangkat sendirian dari depan rumah, beberapa detik sebelum hujan lebat turun. Badannya terasa panas meski basah oleh keringat.
“Setan mereka!” umpatnya kesal pada dua manusia yang seharusnya membantu Malih, tetapi malah kabur beberapa detik setelah sampai di rumah kontrakan.
Ia memeriksa saku celana dan tidak menemukan ponsel. Matanya menyisir deretan kardus segera, mungkin ia letakkan di atas sana saat mengangkat salah satu dari mereka. Untungnya ponsel itu berdering, memberitahu keberadaan sendiri. Bergegas Malih menghampiri dan menemukan nama Sastri di layar.
“Yo, Bro!”
Sapaan sok akrab itu malah membuat Malih kesal sekali.
“Apa lu! Buset! Kalian pikir gue berdua kuli angkut ya? Main tinggal aja!” protesnya tanpa basa-basi.
Ia mendapatkan jawaban cekikikan dari ujung panggilan. Bukan hanya satu suara, tetapi dua. Malih semakin meradang.
“Awas lu nanti kalau pulang. Gue cekik sampai mampus!” ancam Malih.
“Santai Bro! Inget umur!” Sastri kembali tertawa. “Mau makan apa, lu? Gue sama Jemi lagi di warteg nih.”
Ditanya begitu perut Malih langsung mendengkur. Sekalian saja dipesankan makanan untuk besok pagi. Ia sempat mengancam tak akan membukakan pintu jika pesanannya tak lengkap. Kali ini giliran teman satu kontrakannya yang kesal. Malih malah memutuskan panggilan saat keduanya ingin protes.
Malih berpikir untuk tidak membereskan satu kotak pun hari ini. Ia akan mandi, makan—saat kedua temannya pulang, dan kemudian tidur. Barang-barang yang di dalam kotak akan disusun besok, kalau ingat.
Sialnya, rencana Malih tidak berjalan lancar. Sampai pukul dua belas malam, kedua baik yang mendapat gelar teman tidak kunjung muncul. Untung ada setengah potong roti di dalam tas dan sebotol air di rumah. Kalau tidak Malih sudah pingsan karena menahan lapar.
Lampu tiba-tiba saja mati ketika ia baru merebahkan diri. Keringat dingin mulai mengucur di dahinya. Samar-samar ia mendengar suara yang seharusnya tidak ada. Udara di dekatnya juga mendadak dingin. Malih memejamkan matanya rapat-rapat, mengusir hal buruk yang dirasakan didengar atau dilihat. Saat matanya mulai dikuasai kantuk, suara ketukan menginterupsi Malih untuk segera bangun.
“Jangan ganggu gue tidur kenapa? Kalian kan bawa kunci!” teriak Malih keras.
Malih lalu menaikan bantal yang ada di bawah kepalanya, supaya tak lagi mendengar suara. Namun, suara ketukan dan gedoran malah semakin kencang.
“Sial!” maki Malih sebelum akhirnya duduk segera dan bergegas keluar dari kamar.
Baru saja sampai di depan pintu kamar. Suara ketukan tersebut berhenti. Malih merasa seperti orang bodoh jadinya.
“Awas kalian, ya! Tidur aja di luar sonoh. Sekeras apapun ngetuk, pintu nggak bakal gue bukak!” Setelah mengatakan itu pintu kamar dibanting Malih keras-keras. Namun, pada ketukan kedua dibukannya juga pintu. Hati Malih mencelos saat melihat kedua temannya yang baru pulang dan tidak membawa apa-apa.
Kejadian tersebut berlanjut pada malam-malam berikutnya. Malih tidak bisa tidur nyenyak karena itu. Sebab bukan hanya sekali saja, tetapi sampai beberapa kali ketukan terjadi di malam hari lewat dari tengah malam hingga azan subuh berkumandang.
“Lingkaran mata lu parah, Lih.”
Malih hanya melirik sedikit komentator yang muncul dan memilih duduk di depannya.
“Gimana rumah baru lu? Nyaman nggak?”
“Nyaman apanya? Gue nggak bisa tidur karena dikerjai terus!” serunya berang.
“Eh? Siapa?”
“Sastri sama Jemi, teman gue!”
Komentator bernama Iman itu terdiam. Ia ingin tahu siapa Sastri dan Jemi. Setahunya Malih dulu ngekos sendiri, begitupun saat akhirnya punya uang dan menyewa rumah kontrakan murah. Baru saja mulut Iman terbuka, dosen sudah masuk. Ia jadi mengurungkan niatnya untuk bertanya.
Malih bukan main malas pulang ke rumah. Langkahnya terasa begitu berat saat memasuki halaman rumah yang masih kotor dan belum sempat dibersihkan. Namun, jika tidak kemari, ke mana lagi Malih harus pulang. Ia sudah yatim piatu sejak kecil.
Kardus-kardus yang kemarin banyak kini sudah mulai berkurang. Walau mengantuk Malih selalu menyusun barang-barang bersama teman-temannya. Malih menyusun dan dua temannya hanya memandangi dalam diam.
Saat Malih masuk, kedua temannya sedang duduk di ruang tamu. Mereka baru bereaksi saat ia mendekat dan menepuk bahu keduanya.
“Kalian kenapa?” tanya Malih curiga. “Mau ninggalin gue lagi?”
Keduanya hanya menatap sebentar dan mengikuti Malih di belakang saat pemuda itu berjalan menuju kamar.
“Kalian sudah janji nggak bakal ninggalin gue sendirian di rumah ini.”
“Kami cuma janji nggak akan ninggalin lu sampai ketemu teman baru.”
Gerakan malih terhenti. Ia segera menoleh pada kedua temannya yang berdiri di depan pintu kamar yang terbuka.
“Gue nggak punya teman baru,” katanya dingin. “Kalian tahu sendiri kalau gue nggak suka malam karena gelap. Kalian tahu kan apa yang terjadi terakhir kali saat gue sendirian saja?”
Jemi dan Sastri terdiam. Mereka lalu mundur saat tatapan Malih beralih ke pintu. Malih yang tadinya ingin kembali membereskan kardus yang tersisa jadi malas. Ia merebahkan badannya dan tidur.
Saat Malih membuka mata, di luar sudah gelap. Lekas ia meloncat dari tempat tidur dan menghidupkan lampu rumah. Ia mengumpat dirinya sendiri yang kelelahan karena terus-terusan terganggu tidur malam. Kedua temannya tak terlihat.
Pintu diketuk tiba-tiba. Malih melirik jam di pergelangan tangannya. Masih senja untuk diganggu oleh suara ketukan pintu. Setelah menimbang-nimbang dan suara ketukan pintu yang sama sekali tak berhenti akhirnya diputuskan untuk memeriksa dulu. Mungkin itu hanyalah seseorang yang dikenal.
Malih bernapas lega saat melihat itu Iman. Saat pintu di buka, Iman menghambur masuk.
“Lu kenapa?” tanya Malih penasaran.
Iman menutup wajahnya dengan sebelah tangan dan menunjuk keluar. Malih mengikuti arah telunjuk Iman dan melihat seseorang melintas di halaman. Ia terlonjak dan mundur.
“Ngapain lu ke sini?” tanya Malih kemudian. Ia sudah menarik tirai sehingga halaman tak lagi terlihat. Ia memeriksa seluruh ruangan dan yakin telah menyalakan semua lampu.
“Gue penasaran sama teman-teman lu. Seinget gue, lu kan sendirian aja ngontrak di sini,” kata Iman.
Iman telah menguasai rasa sakutnya dan mulai menoleh ke kiri dan ke kanan. Namun, dua orang yang membuatnya penasaran tidak terlihat.
“Lu nggak sadar sama keadaan sendiri ya, Man.”
Malih setelah memperhatikan Iman dari atas sampai bawah, bergerak melintas ruangan dan sampai di pintu kamarnya.
Iman mengejar Malih dan menghentikan langkahnya tepat sebelum masuk kamar.
Jemi dan Sastri tiba-tiba muncul. Secara mendadak saja sudah ada di belakang Malih dan tersenyum.
Iman melonjak kaget dan mundur.
“Kalau lu keluar, nanti di makan mereka. Lu baru mati, kan, Man?” Jemi berkata sambil tersenyum dingin.
“Kalian?”
“Gue memang berencana ngontrak dengan dua anak ini. Tapi keduanya mengalami kecelakaan saat akan kemari jam sebelas malam setelah menelepon gue. Mereka balik, tapi tidak lagi seperti manusia.”
Malih meninggalkan ketiga temannya itu begitu selesai bicara. Ia harus tidur sekarang.
Iman menelan salivanya susah payah. Tidak percaya dengan perkataan kedua orang hantu itu. Ia tak mungkin bisa dilihat Malih jika memang sudah mati. Kedua teman Malih pasti sudah bersekongkol untuk mengerjainya. Ia berbalik, bermaksud untuk pergi. Ia dicegah segera saat mencoba menyentuh gagang pintu.
“Kalau keluar, kami nggak bisa jamin keselamatan lu. Walau terlihat slengekan dan nggak bisa diandalkan, Malih adalah satu-satunya orang yang bisa membuat kita tidak diganggu oleh makhluk-makhluk di luar. Lu mau jadi jongos mereka?” Sastri mengingatkan.
Namun, Iman tak peduli. Ia tetap keluar rumah. Akan tetapi, baru saja sampai teras, banyak sekali makhluk-makhluk menyeramkan yang langsung mendekatinya. Ia berbalik lagi dan masuk rumah.
“Ke-napa mereka nggak bisa masuk rumah?”
“Karena ada Malih. Walau itu anak kalau dimatiin lampu pasti teriak ketakutan, tapi dia satu-satunya alasan kenapa yang lain nggak masuk ke sini. Kecuali kita yang diizinkan masuk. Dia punya penjaganya.” Jemi melirik kamar yang terang tempat Malih tidur.
“Malih dukun?”
Jemi dan Sastri mengangkat bahu. Lalu melambai menyuruh Iman untuk mengikuti mereka. Kini pintu luar ada yang mengetuk. Bahkan pintu belakang juga.
***
Lampu mati saat Malih baru saja merebahkan badan. Ia mengumpat dan memejamkan matanya rapat-rapat. Ia berharap segera tertidur. Namun, jantungnya berdentum-dentum hingga Cumiakkan telinga. Keringat dinginnya juga mengalir hingga Malih jadi mengigil. Ia tidak suka kegelapan.
Malih merasakan hembusan angin di telingannya. Ia masih belum mau membuka mata. Samar-samar didengarnya suara.
“Malam ini akan ada teman yang datang.”
Malih membuka matanya lekas. Tidak ada siapa-siapa yang berdiri di samping ranjang. Namun, di kaki tempat tidur seorang pria berdiri membelakanginya. Saat melirik ke samping lagi, seorang wanita tersenyum padanya. Begitu tangan wanita itu terulur, Malih melompat ke sisi lain tempat tidur.
“Jangan ganggu gue!” serunya. “Bukan salah gue kalau kalian mati!”
Wanita itu diam. Wajahnya berubah menjadi dingin. Lelaki yang berdiri kini berbalik sedikit, bibirnya juga tersenyum.
“Kami di sini hanya menjagamu, Nak. Sampai temanmu datang.”
Kembali Malih memejamkan matanya rapat-rapat. Ingatannya kembali pada malam naas itu, sesaat sebelum sepeda motor ayahnya disambar truk. Jalan tempat mereka berkendara gelap. Ia melihat seorang kakek tua berjangut. Kakek tua itu bahkan menghampiri Malih yang tergeletak di jalan dengan luka di sekujur badan karena terpental dari pangkuan ibunya.
“Anak kalian sangat spesial. Sebaiknya jaga dia baik-baik.”
“Setan mereka!” umpatnya kesal pada dua manusia yang seharusnya membantu Malih, tetapi malah kabur beberapa detik setelah sampai di rumah kontrakan.
Ia memeriksa saku celana dan tidak menemukan ponsel. Matanya menyisir deretan kardus segera, mungkin ia letakkan di atas sana saat mengangkat salah satu dari mereka. Untungnya ponsel itu berdering, memberitahu keberadaan sendiri. Bergegas Malih menghampiri dan menemukan nama Sastri di layar.
“Yo, Bro!”
Sapaan sok akrab itu malah membuat Malih kesal sekali.
“Apa lu! Buset! Kalian pikir gue berdua kuli angkut ya? Main tinggal aja!” protesnya tanpa basa-basi.
Ia mendapatkan jawaban cekikikan dari ujung panggilan. Bukan hanya satu suara, tetapi dua. Malih semakin meradang.
“Awas lu nanti kalau pulang. Gue cekik sampai mampus!” ancam Malih.
“Santai Bro! Inget umur!” Sastri kembali tertawa. “Mau makan apa, lu? Gue sama Jemi lagi di warteg nih.”
Ditanya begitu perut Malih langsung mendengkur. Sekalian saja dipesankan makanan untuk besok pagi. Ia sempat mengancam tak akan membukakan pintu jika pesanannya tak lengkap. Kali ini giliran teman satu kontrakannya yang kesal. Malih malah memutuskan panggilan saat keduanya ingin protes.
Malih berpikir untuk tidak membereskan satu kotak pun hari ini. Ia akan mandi, makan—saat kedua temannya pulang, dan kemudian tidur. Barang-barang yang di dalam kotak akan disusun besok, kalau ingat.
Sialnya, rencana Malih tidak berjalan lancar. Sampai pukul dua belas malam, kedua baik yang mendapat gelar teman tidak kunjung muncul. Untung ada setengah potong roti di dalam tas dan sebotol air di rumah. Kalau tidak Malih sudah pingsan karena menahan lapar.
Lampu tiba-tiba saja mati ketika ia baru merebahkan diri. Keringat dingin mulai mengucur di dahinya. Samar-samar ia mendengar suara yang seharusnya tidak ada. Udara di dekatnya juga mendadak dingin. Malih memejamkan matanya rapat-rapat, mengusir hal buruk yang dirasakan didengar atau dilihat. Saat matanya mulai dikuasai kantuk, suara ketukan menginterupsi Malih untuk segera bangun.
“Jangan ganggu gue tidur kenapa? Kalian kan bawa kunci!” teriak Malih keras.
Malih lalu menaikan bantal yang ada di bawah kepalanya, supaya tak lagi mendengar suara. Namun, suara ketukan dan gedoran malah semakin kencang.
“Sial!” maki Malih sebelum akhirnya duduk segera dan bergegas keluar dari kamar.
Baru saja sampai di depan pintu kamar. Suara ketukan tersebut berhenti. Malih merasa seperti orang bodoh jadinya.
“Awas kalian, ya! Tidur aja di luar sonoh. Sekeras apapun ngetuk, pintu nggak bakal gue bukak!” Setelah mengatakan itu pintu kamar dibanting Malih keras-keras. Namun, pada ketukan kedua dibukannya juga pintu. Hati Malih mencelos saat melihat kedua temannya yang baru pulang dan tidak membawa apa-apa.
Kejadian tersebut berlanjut pada malam-malam berikutnya. Malih tidak bisa tidur nyenyak karena itu. Sebab bukan hanya sekali saja, tetapi sampai beberapa kali ketukan terjadi di malam hari lewat dari tengah malam hingga azan subuh berkumandang.
“Lingkaran mata lu parah, Lih.”
Malih hanya melirik sedikit komentator yang muncul dan memilih duduk di depannya.
“Gimana rumah baru lu? Nyaman nggak?”
“Nyaman apanya? Gue nggak bisa tidur karena dikerjai terus!” serunya berang.
“Eh? Siapa?”
“Sastri sama Jemi, teman gue!”
Komentator bernama Iman itu terdiam. Ia ingin tahu siapa Sastri dan Jemi. Setahunya Malih dulu ngekos sendiri, begitupun saat akhirnya punya uang dan menyewa rumah kontrakan murah. Baru saja mulut Iman terbuka, dosen sudah masuk. Ia jadi mengurungkan niatnya untuk bertanya.
Malih bukan main malas pulang ke rumah. Langkahnya terasa begitu berat saat memasuki halaman rumah yang masih kotor dan belum sempat dibersihkan. Namun, jika tidak kemari, ke mana lagi Malih harus pulang. Ia sudah yatim piatu sejak kecil.
Kardus-kardus yang kemarin banyak kini sudah mulai berkurang. Walau mengantuk Malih selalu menyusun barang-barang bersama teman-temannya. Malih menyusun dan dua temannya hanya memandangi dalam diam.
Saat Malih masuk, kedua temannya sedang duduk di ruang tamu. Mereka baru bereaksi saat ia mendekat dan menepuk bahu keduanya.
“Kalian kenapa?” tanya Malih curiga. “Mau ninggalin gue lagi?”
Keduanya hanya menatap sebentar dan mengikuti Malih di belakang saat pemuda itu berjalan menuju kamar.
“Kalian sudah janji nggak bakal ninggalin gue sendirian di rumah ini.”
“Kami cuma janji nggak akan ninggalin lu sampai ketemu teman baru.”
Gerakan malih terhenti. Ia segera menoleh pada kedua temannya yang berdiri di depan pintu kamar yang terbuka.
“Gue nggak punya teman baru,” katanya dingin. “Kalian tahu sendiri kalau gue nggak suka malam karena gelap. Kalian tahu kan apa yang terjadi terakhir kali saat gue sendirian saja?”
Jemi dan Sastri terdiam. Mereka lalu mundur saat tatapan Malih beralih ke pintu. Malih yang tadinya ingin kembali membereskan kardus yang tersisa jadi malas. Ia merebahkan badannya dan tidur.
Saat Malih membuka mata, di luar sudah gelap. Lekas ia meloncat dari tempat tidur dan menghidupkan lampu rumah. Ia mengumpat dirinya sendiri yang kelelahan karena terus-terusan terganggu tidur malam. Kedua temannya tak terlihat.
Pintu diketuk tiba-tiba. Malih melirik jam di pergelangan tangannya. Masih senja untuk diganggu oleh suara ketukan pintu. Setelah menimbang-nimbang dan suara ketukan pintu yang sama sekali tak berhenti akhirnya diputuskan untuk memeriksa dulu. Mungkin itu hanyalah seseorang yang dikenal.
Malih bernapas lega saat melihat itu Iman. Saat pintu di buka, Iman menghambur masuk.
“Lu kenapa?” tanya Malih penasaran.
Iman menutup wajahnya dengan sebelah tangan dan menunjuk keluar. Malih mengikuti arah telunjuk Iman dan melihat seseorang melintas di halaman. Ia terlonjak dan mundur.
“Ngapain lu ke sini?” tanya Malih kemudian. Ia sudah menarik tirai sehingga halaman tak lagi terlihat. Ia memeriksa seluruh ruangan dan yakin telah menyalakan semua lampu.
“Gue penasaran sama teman-teman lu. Seinget gue, lu kan sendirian aja ngontrak di sini,” kata Iman.
Iman telah menguasai rasa sakutnya dan mulai menoleh ke kiri dan ke kanan. Namun, dua orang yang membuatnya penasaran tidak terlihat.
“Lu nggak sadar sama keadaan sendiri ya, Man.”
Malih setelah memperhatikan Iman dari atas sampai bawah, bergerak melintas ruangan dan sampai di pintu kamarnya.
Iman mengejar Malih dan menghentikan langkahnya tepat sebelum masuk kamar.
Jemi dan Sastri tiba-tiba muncul. Secara mendadak saja sudah ada di belakang Malih dan tersenyum.
Iman melonjak kaget dan mundur.
“Kalau lu keluar, nanti di makan mereka. Lu baru mati, kan, Man?” Jemi berkata sambil tersenyum dingin.
“Kalian?”
“Gue memang berencana ngontrak dengan dua anak ini. Tapi keduanya mengalami kecelakaan saat akan kemari jam sebelas malam setelah menelepon gue. Mereka balik, tapi tidak lagi seperti manusia.”
Malih meninggalkan ketiga temannya itu begitu selesai bicara. Ia harus tidur sekarang.
Iman menelan salivanya susah payah. Tidak percaya dengan perkataan kedua orang hantu itu. Ia tak mungkin bisa dilihat Malih jika memang sudah mati. Kedua teman Malih pasti sudah bersekongkol untuk mengerjainya. Ia berbalik, bermaksud untuk pergi. Ia dicegah segera saat mencoba menyentuh gagang pintu.
“Kalau keluar, kami nggak bisa jamin keselamatan lu. Walau terlihat slengekan dan nggak bisa diandalkan, Malih adalah satu-satunya orang yang bisa membuat kita tidak diganggu oleh makhluk-makhluk di luar. Lu mau jadi jongos mereka?” Sastri mengingatkan.
Namun, Iman tak peduli. Ia tetap keluar rumah. Akan tetapi, baru saja sampai teras, banyak sekali makhluk-makhluk menyeramkan yang langsung mendekatinya. Ia berbalik lagi dan masuk rumah.
“Ke-napa mereka nggak bisa masuk rumah?”
“Karena ada Malih. Walau itu anak kalau dimatiin lampu pasti teriak ketakutan, tapi dia satu-satunya alasan kenapa yang lain nggak masuk ke sini. Kecuali kita yang diizinkan masuk. Dia punya penjaganya.” Jemi melirik kamar yang terang tempat Malih tidur.
“Malih dukun?”
Jemi dan Sastri mengangkat bahu. Lalu melambai menyuruh Iman untuk mengikuti mereka. Kini pintu luar ada yang mengetuk. Bahkan pintu belakang juga.
***
Lampu mati saat Malih baru saja merebahkan badan. Ia mengumpat dan memejamkan matanya rapat-rapat. Ia berharap segera tertidur. Namun, jantungnya berdentum-dentum hingga Cumiakkan telinga. Keringat dinginnya juga mengalir hingga Malih jadi mengigil. Ia tidak suka kegelapan.
Malih merasakan hembusan angin di telingannya. Ia masih belum mau membuka mata. Samar-samar didengarnya suara.
“Malam ini akan ada teman yang datang.”
Malih membuka matanya lekas. Tidak ada siapa-siapa yang berdiri di samping ranjang. Namun, di kaki tempat tidur seorang pria berdiri membelakanginya. Saat melirik ke samping lagi, seorang wanita tersenyum padanya. Begitu tangan wanita itu terulur, Malih melompat ke sisi lain tempat tidur.
“Jangan ganggu gue!” serunya. “Bukan salah gue kalau kalian mati!”
Wanita itu diam. Wajahnya berubah menjadi dingin. Lelaki yang berdiri kini berbalik sedikit, bibirnya juga tersenyum.
“Kami di sini hanya menjagamu, Nak. Sampai temanmu datang.”
Kembali Malih memejamkan matanya rapat-rapat. Ingatannya kembali pada malam naas itu, sesaat sebelum sepeda motor ayahnya disambar truk. Jalan tempat mereka berkendara gelap. Ia melihat seorang kakek tua berjangut. Kakek tua itu bahkan menghampiri Malih yang tergeletak di jalan dengan luka di sekujur badan karena terpental dari pangkuan ibunya.
“Anak kalian sangat spesial. Sebaiknya jaga dia baik-baik.”






bukhorigan dan 2 lainnya memberi reputasi
3
520
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan