- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Ada Pelangi Di Tengah Badai ( Kisah Nyata )


TS
piendutt
Ada Pelangi Di Tengah Badai ( Kisah Nyata )

Quote:
Kisah Inspirasi dan Motivasi
Sebuah kisah tentang perjalanan hidup para tenaga kerja wanita (TKW) yang berada di luar negeri. Kisah mereka telah dirangkum menjadi sebuah cerita, berharap dengan goresan pena yang tidak seberapa ini dapat membantu meringankan beban hati mereka yang terkadang belum sempat diutarakan.
Semua nama disamarkan untuk perlindungan narasumber.
Bab 1. Rapuh
Suatu Minggu, seperti biasa saya dan adik pergi berlibur. Hari itu kami berdua pergi ke Saiyingpun, sarapan pagi dengan nasi campur kemudian ditemani sebotol minuman lasegar. Hari itu terasa panas dengan suhu yang mencapai 33 derajat, sudah mampu melelehkan batu es yang baru saja kami beli untuk melegakan dahaga.
Singkat cerita, kami berdua duduk di sebuah taman yang tidak jauh dari sana. Saya melihat seorang wanita berpakaian gamis sedang duduk sendirian sambil menikmati sekotak makanan. Sesekali, ia tampak menatap nasi di hadapannya dan seraya enggan memakannya. Tergerak hati saya untuk mendatanginya, hitung-hitung silaturahmi karena sama-sama orang Indonesia.
"Assalamu'alaikum, Mbak. Selamat siang," sapa saya.
Ia buru-buru melepas sarung tangan, kemudian berdiri. "Wa'alaikumsalam, Mbak. Ada apa, ya?"
Saya dan adik pun menyalaminya, kemudian meminta izin untuk duduk disampingnya.
"Silahkan, Mbak."
"Saya tadi duduk di sana, terus ngelihat Mbaknya kayak nggak berselera makan. Makanya saya datang ke sini, kalau makan rame-rame kan lebih enak."
Wanita itu tersenyum, meski matanya terlihat sayu. Kami pun berbincang-bincang, sekedar bertanya.
"Mbaknya udah lama kerja di sini?"
"Alhamdulillah, sudah hampir 11 tahun, Mbak," sahutnya.
"MasyaAllah, pasti uangnya sudah sekarung." Niat saya mengajaknya bercanda, tetapi ia hanya tersenyum kecut. Dari raut wajahnya terlihat rasa tidak suka saat membahas tentang uang.
Ia diam sejenak, kami pun melanjutkan memakan snack atau apa pun yang kami bawa.
"Andai yang di Indonesia bisa mengolah uang saya, mungkin saya nggak perlu capek-capek kerja di sini sampai 11 tahun lamanya," ujarnya tiba-tiba.
"Sabar Mbak, ya. Pasti nanti akan ada hasilnya, untuk sekarang mungkin masih belum saatnya."
"Mbaknya di sini sudah berapa tahun?" Ia balik bertanya.
"Alhamdulillah udah 9 tahunan, Mbak."
"Udah dapat apa aja?"
"Bikin rumah sama membuka usaha."
"Hebatnya."
Ia kembali merunduk setelah memuji saya, beberapa helaan nafas pun terdengar dari rongga dada wanita berkerudung itu.
"Andai suami saya bisa membantu dalam hal membuka usaha, saya pun ingin cepat pulang ke rumah. Kangen sama anak-anak saya," ujarnya lagi.
Saya menyudahi makan, kemudian memberikan sedikit saran kepada beliau serta mendoakan yang terbaik untuknya. Berharap semua masalah yang dihadapi akan segera berlalu. Ia pun menerima saran saya dengan lapang dada. Tiba-tiba sebuah panggilan terdengar dari ponselnya. Beliau tampak berbicara sesaat, kemudian ia berpamitan kepada saya.
"Terimakasih ya, Mbak. Sudah mau mendengarkan keluh kesah saya."
"Iya sama-sama, Mbak. Kalau boleh tau, Mbak namanya siapa, ya. Biar suatu hari nanti kalau kita ketemu lagi, saya bisa menyapa."
"Panggil saja saya Mira ( nama samaran ), saya asli orang Semarang."
"Saya Nisa dan ini adik saya Mala, kami dari Madiun."
Setelah perbincangan yang singkat itu, kami pun berpisah. Mbak Mira pergi dengan melambaikan tangan, terlihat senyuman kecil dari bibirnya. Setidaknya, meskipun saya tidak bisa membantu menyelesaikan permasalahannya yang sedang dihadapi. Saya masih bisa berdoa untuknya.
Pesan untuk para suami yang istrinya sedang berjuang mengubah nasip di luar negeri. Tolong hargai perjuangan mereka, jangan habiskan jerih payah mereka. Jika Anda tidak bisa membantu, setidaknya doakan dia, support dia dan jangan acuhkan dia. Karena semua wanita butuh sandaran di sisinya.
Selesai.
Written : @piendutt
Sumber : Opini pribadi & narasumber sekitar
Sebuah kisah tentang perjalanan hidup para tenaga kerja wanita (TKW) yang berada di luar negeri. Kisah mereka telah dirangkum menjadi sebuah cerita, berharap dengan goresan pena yang tidak seberapa ini dapat membantu meringankan beban hati mereka yang terkadang belum sempat diutarakan.
Semua nama disamarkan untuk perlindungan narasumber.
Bab 1. Rapuh
Suatu Minggu, seperti biasa saya dan adik pergi berlibur. Hari itu kami berdua pergi ke Saiyingpun, sarapan pagi dengan nasi campur kemudian ditemani sebotol minuman lasegar. Hari itu terasa panas dengan suhu yang mencapai 33 derajat, sudah mampu melelehkan batu es yang baru saja kami beli untuk melegakan dahaga.
Singkat cerita, kami berdua duduk di sebuah taman yang tidak jauh dari sana. Saya melihat seorang wanita berpakaian gamis sedang duduk sendirian sambil menikmati sekotak makanan. Sesekali, ia tampak menatap nasi di hadapannya dan seraya enggan memakannya. Tergerak hati saya untuk mendatanginya, hitung-hitung silaturahmi karena sama-sama orang Indonesia.
"Assalamu'alaikum, Mbak. Selamat siang," sapa saya.
Ia buru-buru melepas sarung tangan, kemudian berdiri. "Wa'alaikumsalam, Mbak. Ada apa, ya?"
Saya dan adik pun menyalaminya, kemudian meminta izin untuk duduk disampingnya.
"Silahkan, Mbak."
"Saya tadi duduk di sana, terus ngelihat Mbaknya kayak nggak berselera makan. Makanya saya datang ke sini, kalau makan rame-rame kan lebih enak."
Wanita itu tersenyum, meski matanya terlihat sayu. Kami pun berbincang-bincang, sekedar bertanya.
"Mbaknya udah lama kerja di sini?"
"Alhamdulillah, sudah hampir 11 tahun, Mbak," sahutnya.
"MasyaAllah, pasti uangnya sudah sekarung." Niat saya mengajaknya bercanda, tetapi ia hanya tersenyum kecut. Dari raut wajahnya terlihat rasa tidak suka saat membahas tentang uang.
Ia diam sejenak, kami pun melanjutkan memakan snack atau apa pun yang kami bawa.
"Andai yang di Indonesia bisa mengolah uang saya, mungkin saya nggak perlu capek-capek kerja di sini sampai 11 tahun lamanya," ujarnya tiba-tiba.
"Sabar Mbak, ya. Pasti nanti akan ada hasilnya, untuk sekarang mungkin masih belum saatnya."
"Mbaknya di sini sudah berapa tahun?" Ia balik bertanya.
"Alhamdulillah udah 9 tahunan, Mbak."
"Udah dapat apa aja?"
"Bikin rumah sama membuka usaha."
"Hebatnya."
Ia kembali merunduk setelah memuji saya, beberapa helaan nafas pun terdengar dari rongga dada wanita berkerudung itu.
"Andai suami saya bisa membantu dalam hal membuka usaha, saya pun ingin cepat pulang ke rumah. Kangen sama anak-anak saya," ujarnya lagi.
Saya menyudahi makan, kemudian memberikan sedikit saran kepada beliau serta mendoakan yang terbaik untuknya. Berharap semua masalah yang dihadapi akan segera berlalu. Ia pun menerima saran saya dengan lapang dada. Tiba-tiba sebuah panggilan terdengar dari ponselnya. Beliau tampak berbicara sesaat, kemudian ia berpamitan kepada saya.
"Terimakasih ya, Mbak. Sudah mau mendengarkan keluh kesah saya."
"Iya sama-sama, Mbak. Kalau boleh tau, Mbak namanya siapa, ya. Biar suatu hari nanti kalau kita ketemu lagi, saya bisa menyapa."
"Panggil saja saya Mira ( nama samaran ), saya asli orang Semarang."
"Saya Nisa dan ini adik saya Mala, kami dari Madiun."
Setelah perbincangan yang singkat itu, kami pun berpisah. Mbak Mira pergi dengan melambaikan tangan, terlihat senyuman kecil dari bibirnya. Setidaknya, meskipun saya tidak bisa membantu menyelesaikan permasalahannya yang sedang dihadapi. Saya masih bisa berdoa untuknya.
Pesan untuk para suami yang istrinya sedang berjuang mengubah nasip di luar negeri. Tolong hargai perjuangan mereka, jangan habiskan jerih payah mereka. Jika Anda tidak bisa membantu, setidaknya doakan dia, support dia dan jangan acuhkan dia. Karena semua wanita butuh sandaran di sisinya.
Selesai.
Written : @piendutt
Sumber : Opini pribadi & narasumber sekitar






dewiyulli07 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.1K
Kutip
1
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan