- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita Luar Negeri
Australia 1 Abad Maju Mundur Keluar Persemakmuran Inggris, Kenapa?
TS
dragonroar
Australia 1 Abad Maju Mundur Keluar Persemakmuran Inggris, Kenapa?
Australia 1 Abad Maju Mundur Keluar Persemakmuran Inggris, Kenapa?
Kamis, 15 Sep 2022 17:46 WIB
Foto: iStock/mollypix)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kala Raja Charles III naik takhta, satu negara langsung membahas keinginan keluar dari Persemakmuran Inggris. Namun, Australia masih maju mundur walau sudah merencanakan hengkang sejak seabad silam.
Jika Antigua dan Barbuda langsung "gas" menyatakan bakal mengadakan referendum dalam beberapa tahun ke depan, Australia malah mengerem diri.
Perdana Menteri Anthony Albanese sebenarnya dikenal sebagai sosok yang mendukung Australia untuk melepaskan diri dari Alam Persemakmuran Inggris, dan membangun negara republik.
Namun kini, Albanese menyatakan bahwa sekarang bukan saat yang tepat. Menurutnya, Negeri Kanguru masih dalam keadaan berduka sepeninggal Ratu Elizabeth II yang wafat pekan lalu.
Menurut Albanese, isu ini bukan sekadar perkara menghormati Ratu Elizabeth, tapi juga masalah pemenuhan janjinya.
Sejak pertama kali berkampanye, Albanese mengumbar janji bakal menggelar referendum untuk mengakui masyarakat adat alias orang-orang First Nations dalam konstitusi Australia.
Saat itu, Albanese berjanji referendum tersebut bakal terwujud dalam tiga tahun pertama jika ia terpilih menjadi perdana menteri.
Albanese menganggap tak mungkin ia memenuhi janji lawas Australia untuk membentuk republik jika komitmen kampanyenya itu belum terpenuhi.
"Saya tak bisa membayangkan situasi di mana kita mengganti Kepala Negara [dari raja/ratu Inggris] menjadi Kepala Negara Australia, tapi belum mengakui First Nations dalam konstitusi," ucap Albanese.
Ketika menyebut Kepala Negara, Albanese merujuk pada raja/ratu Inggris. Sebagai anggota Alam Persemakmuran, Australia mengakui raja/ratu Inggris sebagai kepala negara.
Jika angkat kaki dari Alam Persemakmuran, Australia bakal membentuk republik dengan presiden dari dalam negeri sendiri sebagai kepala negaranya.
Albanese menegaskan bahwa prioritas di periode pertamanya bukan mengubah bentuk negara, melainkan pengakuan First Nations dalam konstitusi Australia.
Masalah suku asli ini memang kerap menjadi aral di tengah jalan panjang Australia untuk mengubah bentuk negara dari monarki menuju republik.
Jejak upaya Australia itu sudah terlihat sejak 1901. Selama ratusan tahun sejak saat itu, Australia sudah mengajukan 44 proposal untuk keluar dari Alam Persemakmuran.
Dari puluhan proposal itu, hanya delapan yang berhasil lolos di tahap parlemen. Delapan proposal itu pun akhirnya gagal di tengah jalan.
Kegagalan terakhir tercatat pada 1999 lalu. Saat itu, Australia menggelar referendum untuk menentukan warganya mau atau tidak mengganti Ratu Elizabeth menjadi presiden dari Australia.
Kala itu, kampanye referendum hanya berfokus pada pemutusan hubungan dengan monarki Inggris dan pembangunan Australia sebagai negara baru yang menentukan nasib sendiri.
Isu suku asli tak menjadi sorotan dalam agenda referendum. Masalah pengakuan suku asli hanya dimasukkan ke pertanyaan kedua dalam referendum itu.
Upaya itu pun gagal karena diprotes para tetua adat suku Aborigin yang menyatakan bahwa mereka tak diajak berembuk untuk menentukan susunan kata dalam pertanyaan referendum.
Perlawanan dari suku adat Australia seperti ini bukan hal baru. Mereka sudah acap kali memprotes pemerintah Australia karena seolah tak mendengarkan aspirasi suku adat.
Tak tahan, seorang pria dari suku Yawuru, Peter Yu, akhirnya menumpahkan keluh kesahnya langsung kepada Ratu Elizabeth pada 1999.

Australia masih maju mundur walau sudah merencanakan hengkang dari Alam Persemakmuran Inggris sejak seabad silam. Apa alasannya? (AFP/Andy Buchanan)
Ia akhirnya mau menghadap Ratu Elizabeth setelah didesak para tetua adat. Menurut para sepuh, ada hal-hal yang perlu diluruskan karena nama ratu di telinga anggota suku adat bernada negatif.
Tak heran, para anggota suku adat hanya mendengar nama ratu ketika mereka ditangkap karena dianggap berulah.
"Melihat penghormatan masyarakat terhadap ratu, mereka merasa nama beliau [ratu] dinodai dan reputasinya dihancurkan. Dengan demikian, kami harus pergi ke sana dan menjelaskan situasinya," tutur Yu kepada CNN.
Dalam pertemuan selama 30 menit di Istana Buckingham, Yu merasa lebih diterima dengan hangat ketimbang ketika berhadapan dengan pemerintah Australia sendiri.
Sentimen positif terhadap Elizabeth ini masih terus terasa di tengah masyarakat adat di Australia, walau mereka tahu Inggris melakukan penjajahan atas nama ratu.
"Kami masih terus menderita karena penjajahan. Namun, apakah kami menganggap ia secara pribadi bertanggung jawab? Tidak," tutur Yu.
"Yang saya anggap bertanggung jawab adalah pemerintah Australia; pemerintah yang secara sadar mengabaikan tugas mereka untuk peduli. Itu yang membuat saya marah."
Albanese sendiri sudah merasakan panas bara amarah suku adat ini sejak lama. Ia pun berjanji bakal menggelar referendum pembentukan Suara di Parlemen.
Suara di Parlemen merupakan badan konstitusi pertama di Australia yang dapat memberikan ruang bagi anggota suku adat untuk menyalurkan suara dalam pembentukan undang-undang yang berpengaruh terhadap mereka.
Namun, referendum ini kembali terganjal karena sejumlah pihak masyarakat adat menganggap pemerintah tak melibatkan mereka dalam proses penggodokannya.
Profesor emeritus ilmu politik Universitas Nasional Australia, John Warhurst, menganggap Negeri Kanguru harus terlebih dulu menyelesaikan masalah dengan masyarakat adat ini sebelum mengubah konstitusi lainnya.
"Bagaimana Anda bisa mendapatkan sebuah republik tanpa menyelesaikan masalah dengan First Peoples? Bagi saya, itu tak masuk akal, tak berintegritas. Tak bermoral," katanya.
https://www.cnnindonesia.com/interna...inggris-kenapa
Kamis, 15 Sep 2022 17:46 WIB
Foto: iStock/mollypix) Jakarta, CNN Indonesia -- Kala Raja Charles III naik takhta, satu negara langsung membahas keinginan keluar dari Persemakmuran Inggris. Namun, Australia masih maju mundur walau sudah merencanakan hengkang sejak seabad silam.
Jika Antigua dan Barbuda langsung "gas" menyatakan bakal mengadakan referendum dalam beberapa tahun ke depan, Australia malah mengerem diri.
Perdana Menteri Anthony Albanese sebenarnya dikenal sebagai sosok yang mendukung Australia untuk melepaskan diri dari Alam Persemakmuran Inggris, dan membangun negara republik.
Namun kini, Albanese menyatakan bahwa sekarang bukan saat yang tepat. Menurutnya, Negeri Kanguru masih dalam keadaan berduka sepeninggal Ratu Elizabeth II yang wafat pekan lalu.
Menurut Albanese, isu ini bukan sekadar perkara menghormati Ratu Elizabeth, tapi juga masalah pemenuhan janjinya.
Sejak pertama kali berkampanye, Albanese mengumbar janji bakal menggelar referendum untuk mengakui masyarakat adat alias orang-orang First Nations dalam konstitusi Australia.
Saat itu, Albanese berjanji referendum tersebut bakal terwujud dalam tiga tahun pertama jika ia terpilih menjadi perdana menteri.
Albanese menganggap tak mungkin ia memenuhi janji lawas Australia untuk membentuk republik jika komitmen kampanyenya itu belum terpenuhi.
"Saya tak bisa membayangkan situasi di mana kita mengganti Kepala Negara [dari raja/ratu Inggris] menjadi Kepala Negara Australia, tapi belum mengakui First Nations dalam konstitusi," ucap Albanese.
Ketika menyebut Kepala Negara, Albanese merujuk pada raja/ratu Inggris. Sebagai anggota Alam Persemakmuran, Australia mengakui raja/ratu Inggris sebagai kepala negara.
Jika angkat kaki dari Alam Persemakmuran, Australia bakal membentuk republik dengan presiden dari dalam negeri sendiri sebagai kepala negaranya.
Albanese menegaskan bahwa prioritas di periode pertamanya bukan mengubah bentuk negara, melainkan pengakuan First Nations dalam konstitusi Australia.
Masalah suku asli ini memang kerap menjadi aral di tengah jalan panjang Australia untuk mengubah bentuk negara dari monarki menuju republik.
Jejak upaya Australia itu sudah terlihat sejak 1901. Selama ratusan tahun sejak saat itu, Australia sudah mengajukan 44 proposal untuk keluar dari Alam Persemakmuran.
Dari puluhan proposal itu, hanya delapan yang berhasil lolos di tahap parlemen. Delapan proposal itu pun akhirnya gagal di tengah jalan.
Kegagalan terakhir tercatat pada 1999 lalu. Saat itu, Australia menggelar referendum untuk menentukan warganya mau atau tidak mengganti Ratu Elizabeth menjadi presiden dari Australia.
Kala itu, kampanye referendum hanya berfokus pada pemutusan hubungan dengan monarki Inggris dan pembangunan Australia sebagai negara baru yang menentukan nasib sendiri.
Isu suku asli tak menjadi sorotan dalam agenda referendum. Masalah pengakuan suku asli hanya dimasukkan ke pertanyaan kedua dalam referendum itu.
Upaya itu pun gagal karena diprotes para tetua adat suku Aborigin yang menyatakan bahwa mereka tak diajak berembuk untuk menentukan susunan kata dalam pertanyaan referendum.
Perlawanan dari suku adat Australia seperti ini bukan hal baru. Mereka sudah acap kali memprotes pemerintah Australia karena seolah tak mendengarkan aspirasi suku adat.
Tak tahan, seorang pria dari suku Yawuru, Peter Yu, akhirnya menumpahkan keluh kesahnya langsung kepada Ratu Elizabeth pada 1999.

Australia masih maju mundur walau sudah merencanakan hengkang dari Alam Persemakmuran Inggris sejak seabad silam. Apa alasannya? (AFP/Andy Buchanan)
Ia akhirnya mau menghadap Ratu Elizabeth setelah didesak para tetua adat. Menurut para sepuh, ada hal-hal yang perlu diluruskan karena nama ratu di telinga anggota suku adat bernada negatif.
Tak heran, para anggota suku adat hanya mendengar nama ratu ketika mereka ditangkap karena dianggap berulah.
"Melihat penghormatan masyarakat terhadap ratu, mereka merasa nama beliau [ratu] dinodai dan reputasinya dihancurkan. Dengan demikian, kami harus pergi ke sana dan menjelaskan situasinya," tutur Yu kepada CNN.
Dalam pertemuan selama 30 menit di Istana Buckingham, Yu merasa lebih diterima dengan hangat ketimbang ketika berhadapan dengan pemerintah Australia sendiri.
Sentimen positif terhadap Elizabeth ini masih terus terasa di tengah masyarakat adat di Australia, walau mereka tahu Inggris melakukan penjajahan atas nama ratu.
"Kami masih terus menderita karena penjajahan. Namun, apakah kami menganggap ia secara pribadi bertanggung jawab? Tidak," tutur Yu.
"Yang saya anggap bertanggung jawab adalah pemerintah Australia; pemerintah yang secara sadar mengabaikan tugas mereka untuk peduli. Itu yang membuat saya marah."
Albanese sendiri sudah merasakan panas bara amarah suku adat ini sejak lama. Ia pun berjanji bakal menggelar referendum pembentukan Suara di Parlemen.
Suara di Parlemen merupakan badan konstitusi pertama di Australia yang dapat memberikan ruang bagi anggota suku adat untuk menyalurkan suara dalam pembentukan undang-undang yang berpengaruh terhadap mereka.
Namun, referendum ini kembali terganjal karena sejumlah pihak masyarakat adat menganggap pemerintah tak melibatkan mereka dalam proses penggodokannya.
Profesor emeritus ilmu politik Universitas Nasional Australia, John Warhurst, menganggap Negeri Kanguru harus terlebih dulu menyelesaikan masalah dengan masyarakat adat ini sebelum mengubah konstitusi lainnya.
"Bagaimana Anda bisa mendapatkan sebuah republik tanpa menyelesaikan masalah dengan First Peoples? Bagi saya, itu tak masuk akal, tak berintegritas. Tak bermoral," katanya.
https://www.cnnindonesia.com/interna...inggris-kenapa
Diubah oleh dragonroar 15-09-2022 18:03
0
263
2
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan