- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita Luar Negeri
Setelah Belasan Tahun, Akhirnya RI Tak Lagi 'Dijajah' China


TS
4574587568
Setelah Belasan Tahun, Akhirnya RI Tak Lagi 'Dijajah' China

Jakarta, CNBC Indonesia - Selama 14 tahun, hubungan dagang Indonesia-China diwarnai defisit untuk RI. Indonesia seakan dijajah karena tingginya kebutuhan dalam negeri dipenuhi dari China.
Namun, Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, menegaskan bahwa tren tersebut tidak akan terulang tahun ini. Jokowi optimis RI akan membukukan surplus dengan China pada 2022.
"Tahun ini saya pastikan (neraca dagang) sudah surplus dengan China, saya pastikan itu karena raw material yang tidak di ekspor mentahan," tutur Jokowi dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia, Rabu (7/9/2022).
Salah satu yang membuat Jokowi optimis jika Indonesia mampu membukukan surplus dengan China pada tahun ini adalah hilirisasi. Hilirisasi bisa mendongrak nilai ekspor Indonesia ke China sehingga defisit bisa terus ditekan.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia ke China menembus US$ 34,12 miliar pada Januari-Juli 2022. Nilai tersebut naik 28,1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Namun, defisit dagang dengan China sudah menembus US$ 4,14 miliar pada periode Januari-Juli 2022. Defisit melonjak 27% dibandingkan pada periode yang sama tahun lalu yang tercatat US$ 3,44 miliar.
Membesarnya defisit terjadi karena nilai impor melonjak 27,2% menjadi US$ 38,26 miliar pada tujuh bulan pertama 2022.
Berbeda dengan pernyataan Jokowi, komoditas penyumbang ekspor ke China pada tahun ini masih didominasi komoditas mentah meskipun sudah ada produk olahan seperti besi dan baja, berbagai produk kimia, dan bahan kimia organik.
Komoditas penyumbang terbesar ekspor dipegang oleh besi baja. Pada Januari-Juli 2022, ekspor besi baja ke China menembus US$ 10,62 miliar atau melonjak 65% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Besi baja berkontribusi terhadap 31% dari total nilai ekspor ke Beijing.
Nilai ekspor besi baja ke China melonjak drastis sejak tahun lalu. Pada 2021, nilai ekspor besi baja ke China menyentuh US$14,27 miliar atau melesat 62,5% dibandingkan pada 2020 yang tercatat US$8,78 miliar.
Penyumbang terbesar kedua adalah bahan bakar mineral atau batu bara. Nilai ekspor komoditas tersebut menembus US$ 7,02 miliar atau 21% dari total nilai ekspor.
Indonesia memang supplier terbesar bagi China untuk komoditas batu bara meskipun posisinya kini terancam oleh Rusia.
Penyumbang terbesar lain adalah nikel (US$ 2,08 miliar), bijih, kerak, dan abu logam ( US$ 1,63 miliar), berbagai produk kimia (US$ 1,25 miliar), bahan kimia organik (US% 572,1 juta), timah (US$ 521,7 juta), dan biji-bijian berminyak (US$ 211, 8 juta).
Surpus dengan China Bukan Hal yang Mustahil
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Perdagangan, optimism Jokowi akan terciptanya surplus dengan China bukan hal yang mustahil meskipun sangat berat.
Secara historis, neraca perdagangan Indonesia dengan China lebih sering membukukan surplus. Namun, tren tersebut berakhir pada 2007.
Sejak diluncurkannya ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) pada 2004, surplus Indonesia terus menipis bahkan tekor mulai 2008.
Salah satu kesepakatan ACFTA adalah menghapus tarif untuk 94,6% dari semua jalur tarif untuk ekspor asal Indonesia ke China. Kesepakatan tersebut membuat impor dari Negara Tirai Bambu mengalir deras.
Di antara komoditas yang diimpor dari China dalam jumlah besar adalah mesin dan peralatan elektronik, pesawat telekomunikasi, mesin otomastis pengolah data, serta bahan obat-obatan dan kesehatan.
Pada 2003 atau sebelum ACTFA berlaku, nilai ekspor Indonesia ke Beijing mencapai US$ 5,75 miliar sementara impor dari mereka sebesar US$ 4,48 miliar. Artinya, Indonesia masih membukukan surplus sebesar US$ 1,17 miliar.
Empat tahun setelah ACFTA berlaku, Indonesia sudah membukukan defisit sebesar US$ 3,61 miliar pada 2008. Defisit dagang China terus melambung hingga mencapai puncaknya pada 2018 yakni US$ 18,41 miliar pada 2018.
China bahkan mengambilalih Jepang sebagai mitra dagang terbesar RI pada 2013.
Pada kondisi normal atau sebelum Covid-19 pada 2019, nilai ekspor Indonesia ke China mencapai S$ 27,96 miliar sementara impor menembus US$ 44,93 miliar. Artinya, impor dari China melonjak 902,9% sementara ekspor melonjak 681,4% sejak ACFTA berlaku hingga pada 2019 atau selama 16 tahun.
Defisit anjlok pada 2020 menjadi US$ 7,85 miliar dan tersisa US$ 2,46 miliar pada 2021. Selain karena melemahnya perekonomian China akibat Covid-19, defisit menyusut karena melonjaknya ekspor Indonesia ke China. Ekspor melonjak 20,31% menjadi US$ 53,77 miliar pada 2022 dari US$ 31,78 miliar.
Nilai perdagangan kedua negara bahkan menembus US$ 100 miliar pada 2021 untuk pertama kalinya dalam sejarah. Nilai perdagangan kedua negara kemungkinan besar akan kembali melewati US$ 100 miliar pada tahun ini. Menarik ditunggu apakah, apakah tahun ini Indonesia yang menang atas China dan mengakhiri tren buruk defisit perdagangan dengan Beijing.
sumber
0
586
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan