Gereja Katolik di Tiongkok: Sejarah dan Situasinya Saat Ini (Bagian 1)
 

Para rahib Trapis di China yang diekseusi mati pada tahun 1947, oleh pasukan komunis di bawah komando Jenderal Zhu De. (Koleksi Pribadi Anthony E. Clark)
 

BEIJING (Katolikku.com) -Pemerintah berhaluan Komunis terus-menerus memberikan tekanan kepada mereka. Terakhir, Partai Komunis China menutup aplikasi media Katolik, termasuk aplikasi media yang menayangkan bacaan Kitab Suci.
Akankah negosiasi Vatikan saat ini dengan China membantu atau menghalangi mereka yang berjuang untuk mempraktikkan Iman di bawah pemerintahan komunis?


Sejak Pemberontakan Boxer pada tahun 1900, media dunia memberikan perhatian yang sama besar kepada umat Kristen di China seperti yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir.

Orang hampir tidak bisa mengikuti banjir laporan dan artikel, belum lagi banyak karya pakar dan komentar, yang mencoba menjelaskan negosiasi Vatikan baru-baru ini dengan pemerintah China.

Ini mengingatkan peringatan dari Marshall McLuhan, yang pernah menulis: “Semua media ada untuk menginvestasikan hidup kita dengan persepsi buatan dan nilai-nilai yang sewenang-wenang.”
Artinya, akun media, betapapun diperlukannya, tidak selalu merupakan sumber informasi yang dapat diandalkan, terutama ketika mereka sarat dengan rumor dan spekulasi.
Hanya mereka yang menghadiri pertemuan pribadi di Roma dengan Paus Fransiskus dan para pengikutnya yang sepenuhnya mengetahui apa, tepatnya, yang sedang dibahas antara Takhta Suci dan otoritas China.

Tetapi yang pasti adalah bahwa negosiasi memang sedang berlangsung, dan bahwa para pemimpin Gereja Katolik sedang bernegosiasi dengan pemerintah komunis dan negara yang secara terbuka menyatakan tujuannya untuk menghapus keyakinan agama, yang berulang kali menganiaya orang Kristen.


Prosesi Katolik di Shanghai, 1950-an. (Koleksi Société des Auxiliaires des Missions [SAM], Whitworth University Digital Commons)

Siapa pun yang percaya bahwa partai komunis China telah mengubah sikap dan perilakunya terhadap agama Kristen harus lebih memperhatikan apa yang telah terjadi selama beberapa bulan terakhir.
Sekarang adalah waktu yang tepat untuk memberikan beberapa informasi sejarah dasar tentang Gereja di Cina, dan untuk memberikan beberapa komentar tentang negosiasi Sino-Vatikan antara Beijing dan Takhta Suci.

Anthony E. Clark, Ph.D.dalam tulisannya di The Catholic World Report, edisi 09 Maret 2018, menulis begini: “Saya telah menghabiskan bertahun-tahun hidup saya tinggal di Tiongkok, dan saya sangat mencintai dan mengagumi budaya, sejarah, dan orang-orang yang saya temui di sana.
Saya pernah duduk di depan pintu gereja di Beijing dan banyak tempat lain mendengarkan cerita demi cerita tentang berapa banyak penderitaan partai komunis telah ditimbulkan pada umat Kristen China.
Saya pernah duduk di sebuah ruangan kecil, yang mungkin diatur oleh otoritas negara, sementara seorang uskup suci membisikkan di telinga saya tentang penganiayaan brutal yang dilakukan terhadap umat Katolik di Tiongkok, baik selama era Maois (1949-1976) dan dalam beberapa dekade terakhir.
Pada tahun 2013, saya menulis esai untuk Catholic World Report tentang bagaimana tentara komunis di bawah komando jenderal tertinggi Ketua Mao Zedong (1893-1976), Zhu De (1886-1976), merebut sebuah biara Trappist pada tahun 1947 di dekat Beijing, di suatu daerah. disebut Yangjiaping.


Apa yang tidak saya sebutkan dalam artikel itu adalah bahwa beberapa orang yang membawa para biksu dalam pawai kematian, yang menyebabkan kematian 33 biksu suci, berdiri di dekat Ketua Mao di gerbang Tiananmen dan mendirikan Republik Rakyat Tiongkok hanya dua tahun kemudian.
Setelah mengajarkan sejarah Tiongkok—khususnya sejarah Kekristenan di Tiongkok—selama dua dekade, telah menjadi bukti bagi saya bahwa garis waktu yang sederhana dari sejarah Katolik Tiongkok dapat membantu pembaca yang ingin memahami isu-isu yang terus mendefinisikan Gereja Tiongkok. (Bersambung). ***

https://www.katolikku.com/profil/pr-...ian-1?page=all