

TS
caturkristiyani
Akibat Cinta yang Salah

Halo, Gan.🙌 Aku punya rekomendasi tulisan yang oke, nih. Aku harap kalian suka.

Adim, seorang lelaki tampan yang kerap menjadi perbincangan publik, baik di kampus, di masyarakat maupun di pesantren milik abahnya. Postur tubuhnya yang ideal, tidak terlalu pendek dan tidak terlalu tinggi, membuat para wanita berhalusinasi menjadi pacarnya bahkan ada pula yang nekat berkhayal menjadi istrinya. Bibir tipisnya selalu mencurahkan senyum kepada siapa pun yang ia temui. Namun, kelemahan yang ia miliki tak dapat ditutupinya lagi. Ia seorang lelaki penakut, bahkan ketika menginjak semester enam pun masih sering minder di dalam kelas ketika salah satu dosen killer membentaknya.
Sayang sekali, Adim yang memiliki pipi mungil dan hidung mancung itu, kini tengah memiliki seorang kekasih yang sangat cantik. Salma Alfasih, gadis berparas ayu--satu kampus dengan Adim--yang mampu membuatnya jatuh hati. Di sisi bahagianya karena memiliki seorang kekasih, justru Adim ditimpa bertubi-tubi masalah. Tak hanya dari gadis yang berada satu kampus, tetapi saudara tirinya pun ingin memiliki dia sepenuhnya.
Siska merupakan anak kandung Abah Huda, artinya ia saudara tiri Adim. Karena sang ibu yang bernama Risa telah menikah bersama Abah Huda ketika mereka sama-sama telah memiliki anak. Ayah kandung Adim sebetulnya masih hidup, hanya saja karena tak suka dengan Adim, maka sewaktu kecil ia memperoleh kekerasan dari sang ayah—bahkan nyaris terbunuh--. Mengetahui hal itu, Risa meminta cerai kepada suaminya, hingga takdir mempertemukan dengan Abah Huda yang sudah memiliki satu anak. Abah Huda sengaja menikah lagi karena istri yang dicintainya meninggal akibat kecelakaan maut dari bus yang ditumpanginya saat hendak ziarah di makam buyutnya.
“Astagfirullah, sayang! Kamu kenapa?” tanya Risa suatu hari kepada putra semata wayangnya yang tiba-tiba terisak di dekat daun pintu menuju dapur.
Adim masih diam. Lama sekali ibunya menunggu jawabannya, tetapi Adim tak kunjung membuka suara. Risa mulai cemas, karena seperti biasa jika Adim terisak pasti ada sesuatu yang tak diinginkan terjadi. Risa beranjak dari tempat duduk dan berusaha menenangkan Adim. Tak sengaja ia menyentuh jidat anaknya, panas sekali. Risa baru menyadari jika Adim benar-benar sakit.
“Kamu sakit, ya?”
Adim hanya mengangguk pelan sembari menunjuk kamar mandi yang membuat ibunya penasaran untuk menengoknya. Ternyata benar, ada muntah di sana. Risa cemas saat hendak mengajak Adim ke kamar ternyata sia-sia belaka. Tubuh Adim sempoyongan dan gemetaran. Mau tak mau ibunya yang memiliki tubuh gemuk akhirnya menggendongnya juga. Sembari digendong, Adim tetap terisak seperti anak kecil. Air matanya tumpah membasahi baju sang ibu. Dari sorot matanya, ia benar-benar menahan rasa sakit yang begitu luar biasa. Setibanya di kamar, Risa mendapat telepon dari seorang teman bahwa acara arisan dimajukan, sehingga ia meninggalkan Adim di rumah bersama Siska.
“Tolong jaga Adim, ya, Nak! Ibu hendak arisan. Tolong kalau Adim minta sesuatu entah makanan atau apa nanti belikan saja, ini uangnya!” Risa menyodorkan beberapa lembar uang kertas kepada Siska, setelah itu ia beranjak pergi.
“Bu, jangan pergi! Adim enggak mau di rumah sendiri, Bu. Adim takut,” begitu rengek Adim, tetapi hanya tinggal harapan karena sang ibu tetap keluar untuk mendatangi arisan.
Hening. Di rumah tak ada siapa pun kecuali mereka berdua. Adim masih tetap terisak seperti semula, tetapi kali ini ia benar-benar mengerang kesakitan. Diam-diam Siska masuk kamar Adim sembari tersenyum jahat. Ia meraba wajah Adim dan mengelus pipinya. Sontak saja, mata Adim yang sipit kembali mengucurkan bulir-bulir bening. Ia penuh tanda tanya atas apa yang dilakukan saudara tirinya itu.
Tak disangka, sebuah kecupan dari bibir Siska melayang hebat di pipi Adim. Pria berkulit putih itu menolak dan berusaha menggeser posisi berbaring meski kondisi panas di tubuhnya belum pulih. Namun, saat tangan Adim hendak bergeser ke samping, Siska sudah lebih dulu mencegahnya. Kedua tangan pria itu dipegang erat kemudian Siska mengecup pipi Adim berkali-kali hingga membuatnya semakin tak bisa berkutik.
“Lepaskan, jangan lakukan itu! Aku mohon jangan!” pinta Adim sembari berteriak kencang.
Namun, Siska tak menghiraukannya. Ia malah semakin brutal. Puas mengecup pipi Adim, ia mengatakan sesuatu yang membuat Adim semakin menderita.
“Aku tak setuju jika Salma menjadi kekasihmu. Akulah kekasihmu yang sebenarnya, aku telah jatuh cinta denganmu sejak lama, tetapi kau sama sekali tak menghiraukanku. Sekarang buka telingamu lebar-lebar! Apa kau tak mengerti jika selama ini kau hanyalah anak tiri ayahku yang biasa kau sebut Abah. Jadi orang jangan sok suci, Dim, kau pura-pura tidak mau kusentuh, tapi di luar kau berzina dengan Salma.”
Duar! Bagai mendengar suara petir di siang bolong mendengar penuturan Siska. Adim tak membalas sepatah kata pun, ia hanya menggeleng karena tak terima dengan fitnah keji itu.
“Sekarang saatnya aku merebut apa yang hendak dimiliki Salma. Sekarang buka bajumu! Kalau kau tak menuruti perintahku, maka pisau ini yang akan membunuhmu!” ancam Siska sembari mengayunkan pisau tinggi-tinggi.
“Hiks! A ... aku lebih memi ... lih agamaku daripada harus takut dengan ancaman orang sepertimu,” jawab Adim berusaha kabur, tetapi karena kondisinya sangat lemah, ia jatuh kembali di kasur.
“Kurang ajar, Kau! Rasakan ini!”
Siska membuang pisau ke lantai. Kemudian ia beraksi sangat brutal. Sekarang Adim tak memakai sehelai benang pun akibat ulah Siska. Harta Adim yang paling berharga telah dirampas secara tidak senonoh. Dalam kondisi seperti itu, Siska masih sempat memegang kedua tangan Adim erat-erat hingga Adim tak mampu lagi bergerak. Air mata panas membasahi tubuhnya yang semakin lama semakin lemah karena pengaruh rasa sakit.
“Apa yang kau lakukan akan aku adukan kepada Abah,” ujar Adim lirih. “Aku tak terima kau perlakukan layaknya binatang. Apa hidupmu tak mengenal moral?” sambungnya.
“Bedebah! Setan alas, buaya buntung! Berani-beraninya mengancam. Rasakan ini.”
Plak! Plak!
Berkali-kali Siska memukul dahi Adim memakai tangan kosong, hingga akhirnya pandangan Adim semakin gelap, gelap, dan tak sadarkan diri. Kesempatan itu ia gunakan untuk membereskan pakaian ke tubuh Adim. Aksinya yang lancar membuatnya ia puas meski di hati kecilnya masih terbesit pertanyaan, “Bagaimana jika nanti Adim sadar lalu mengadukan hal itu ke Abahnya?” Namun, pertanyaan-pertanyaan itu mampu ditepisnya dengan sangat ringan karena rencana jahat selanjutnya telah dirancang di dalam benak.
Adim masih lunglai di atas kasur, sementara itu Risa telah pulang dari arisan, sedang Abah Huda masih belum diketahui kapan kepulangannya. Siska pura-pura panik di hadapan Risa—ibu kandung Adim--.
“Apa yang terjadi padanya, Nak?” Risa semakin panik, hatinya terasa hancur, dan air matanya meleleh melewati ruang hampa, tetapi Siska hanya menggeleng pura-pura tak mengerti.
“Maafkan Ibu, Nak, Ibu telah tega meninggalkanmu di rumah. Padahal dalam kondisi sakit, kau sangat membutuhkan Ibu. Aku mohon bangunlah, Nak, bangun!” Risa menggoyang-goyangkan tubuh Adim yang semakin tak berdaya.
Dalam kondisi yang semakin rumit, Abah Huda baru pulang. Senyum tipis yang semula terlihat, tiba-tiba lenyap seiring pandangan yang mengarah kepada anak tirinya itu.
“Adim, Ya Rabb apa yang terjadi padanya? Adim kenapa, Bu? Nak? Dia kenapa?” pertanyaan bertubi-tubi datang bagai hujan di musim dingin.
“Aku tidak tahu, Yah, tiba-tiba dia begini,” ujar Siska sembari menyembunyikan rasa takut.
“Tadi aku pergi arisan, Bah. Tadi aku menitipkan dia pada Siska karena sebelumnya dia memang sakit, tapi saat aku pulang kondisinya sudah seperti ini. Aku telah mencoba mengoleskan minyak khusus di hidungnya, tetapi gagal,” terang Risa.
“Iya, benar, Yah, sebelumnya Adim memang sakit,” terangnya menutupi perilakunya.
Abah Huda mencoba mengoleskan minyak khusus dengan iringan mantra sakti. Akhirnya mata Adim sedikit mulai terbuka dan menceritakan semua kelakuan Siska. Bagaimanapun rasa sayangnya terhadap Adim, Abah Huda sedikit tak percaya atas penuturan anak tirinya. Namun, ia memiliki tekad untuk memutar CCTV pada durasi jam yang diutarakan Adim. Ternyata semuanya jelas. Tentu saja Abah Huda marah besar tanpa kendali.
“Iya, aku memang mencintainya. Apa aku salah, Yah? Aku melakukan ini semua sebab ia menolak cintaku, untung dia enggak aku bunuh sekalian.”
Penuturan Siska membuat Abah Huda dan Risa marah besar. Perlakuan tak senonoh dan pukulan keras di dahi Adim begitu tampak jelas di rekaman CCTV.
“Tolong putuskan saja kekasihmu itu! Aku berjanji tak akan menyiksamu lagi, asal kau menerima cintaku. Kalau tidak, aku akan melakukan seperti tadi sekarang juga!” teriak Siska tepat di hadapan Adim.
Tentu saja Adim menggeleng dan meraung keras karena takut dan kesakitan di bagian dahi. Isak tangis Adim membuat sang ibu semakin prihatin. Abah Huda mencoba membujuk Siska agar tak menuruti hawa nafsu, tetapi ia malah melancarkan aksinya. Pisau lipat yang sengaja ia selipkan di saku akhirnya keluar juga. Saat Risa dan Abah Huda mencoba menenangkan Adim, Siska dengan sigap menusukkan pisau lipat tepat di paha kiri Adim.
“Aaaa ...,” teriak Adim begitu memilukan diiringi isak tangis dan teriakan yang berulang-ulang.
“Astagfirullah al-azim, apa yang kau lakukan?” teriak Abah Huda dengan wajah terkejut hebat.
Abah Huda dengan sigap menendang tubuh Siska hingga jatuh ke belakang. Darah mengucur deras dari paha kiri Adim. Sementara Risa tak kuasa saat hendak mencabut pisau itu dari paha anaknya. Akhirnya Abah Huda yang melakukannya, meski Adim meraung kesakitan dan berteriak keras sekali.
Selang beberapa waktu, akhirnya Adim kondisinya mulai membaik berkat pertolongan IGD RS Sido Sugih. Sementara itu, Abah Huda telah melaporkan Siska ke kantor polisi untuk dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan yang begitu besar kepada saudara tirinya. Meski Siska merupakan anak kandung Abah Huda, tetapi soal hukum ia tak mau berat sebelah. Entah anak sendiri ataupun orang lain, jika terbukti salah, maka hukum harus ditegakkan.
***
Sebulan lebih Siska telah dikurung di dalam sel, kini ia mulai merenungi kesalahannya. Ia mencoba kabur saat penjaga mulai lengah di malam hari. Rencananya berhasil. Gembok yang menjadi objek pengaman sel, berhasil ia buka.
Hening. Suasana benar-benar sepi, ia mulai mengendap dan memasuki lorong dekat pintu keluar. Meski hatinya berdebar, tetapi keyakinannya untuk bertemu Adim dan meminta maaf begitu besar.
Hatinya lega saat ia lolos menembus kegelapan di jalan keluar. Ia mulai berjalan dengan baju tahanan yang sedikit lusuh akibat gesekan dinding lorong penembus pintu keluar. Ia melangkah sembari mengingat jalan menuju rumahnya. Namun, saat ia hendak menyeberangi jalan, tiba-tiba motor merah melaju cepat. Siska sangat panik dan mengalahkan segala isi hatinya. Ia terlambat menjauh. Motor itu sudah lebih dulu melaju lepas dan menabraknya.
Duar. Darah mengucur deras dari kepala Siska. Bayangan-bayangan keji yang ia lakukan terhadap Adim melintas deras di depannya. Tiba-tiba pandangannya gelap, telinganya berdenging dan ia tak merasakan kesakitan, ia terpejam. Sementara itu, sang penabrak tak mau bertanggung jawab akibat suasana jalan sepi, tak satu pun tahu tentang kejadian itu.
Di tempat Abah Huda, Adim terbangun dari tidurnya. Bayangan-bayangan kakak tirinya semasa kecil melayang-layang di benaknya. Bayangan kakaknya saat menggendongnya dan menyuapinya semasa kecil begitu menari-nari di kepalanya. Ingatannya sewaktu sekolah, kakak tirinya selalu membela Adim ketika teman sekelas mem-bully-nya. Bahkan, bayangan kakaknya saat dijewer guru killer gara-gara membela Adim yang tak bersalah begitu meraung di benaknya. Akibatnya, Adim tak dapat melanjutkan tidur lagi. Batinnya sangat tersiksa dan hasrat ingin membebaskan kakaknya begitu terasa.
“Kakak, andai saja aku saat itu tak menahan rasa sakit, aku sudah pasti melarang Abah memasukkanmu ke dalam sel. Bagaimana pun perlakuanmu saat itu, kau tetap kakak yang terbaik. Kini aku sudah sembuh, Kak. Bagaimana keadaanmu sekarang? Apa kau baik-baik saja? Kau pasti tersiksa, kan? Apa kau tidur berselimut, apa perutmu sudah kenyang? Duh, aku sangat merindukanmu, Kak. Aku sangat menginginkan bisa duduk dan bersenda gurau bersama lagi. Aku yakin, kau pasti menyesali perbuatanmu yang barusan terjadi, bukan? Aku yakin kau hanya khilaf, kan? Kak, apa kau mendengar batinku? Jika aku diberikan satu permintaan dari Abah, maka aku meminta kau bisa terbebas dari penjara dan kita bisa tersenyum bersama. Dengar, Kak, aku sangat merindukanmu. Aku sudah memaafkanmu, Kak. Jujur, aku sudah memaafkanmu sebelum kau meminta maaf padaku. Terima kasih, Kak, kau telah memberikan warna di dalam kehidupan aku. Sungguh, aku sangat mencintaimu, tetapi hanya sebatas saudara tak lebih dari itu. Aku tak ingin mengecewakan Salma. Maafkan aku, Kak,” batin Adim.
Tak terasa air mata menetes membasahi pipi. Hanya ia dan Tuhan yang tahu keinginannya saat itu. Abahnya tiba-tiba terbangun saat mendengar sesenggukan Adim. Dengan cepat Adim mengusap air matanya, tetapi keadaan terlambat, Abah Huda telah mengetahuinya lebih dulu.
“Kenapa kau terisak, Sayang?” Apa kau lapar?” tanya Abah Huda di sela-sela dengkur Risa.
“Em, tidak, Bah. Adim tidak lapar. Adim hanya merindukan Kakak. Hiks,” isak tangisnya melenyapkan keheningan malam.
“Sudah, kenapa kau merindukannya. Toh, dia juga berlaku jahat padamu.”
“Bah, aku telah memaafkannya. Sejahat-jahatnya Kakak, lebih jahat ayahku sendiri yang pernah membuangku di comberan bahkan hendak membunuhku dan memukuliku selama bertahun-tahun. Adim sudah terbiasa hidup susah, kok, Bah!” tuturnya begitu miris.
***
Keesokan harinya kabar buruk datang dua kali. Sang ibu dapat laporan dari pihak lapas terkait menghilangnya Siska. Sementara itu, kabar dari RS mengatakan bahwa Siska kondisinya kritis karena kecelakaan. Apa yang Risa terima dari pihak RS, segera ia laporkan ke pihak lapas beserta bukti pendukung.
Selama perjalanan ke RS, mereka bertiga tak berkata sepatah kata pun. Mereka hanyut di dalam isi hati masing-masing. Baru ketika bertemu Siska, mereka melancarkan pertanyaan bertubi-tubi.
“Nak, mengapa hal ini kau lakukan? Itu sangat berbahaya, anakku.” Risa membelai kepala Siska yang dipenuhi perban.
“Nak, Abah tak mengerti apa yang kau rencanakan. Setelah kau menganiaya dan berbuat tak senonoh kepada Adim, kini kau melakukan kesalahan lagi. Apa kau kurang membikin hati Abahmu ini hampir runtuh tertelan luka dalam?”
Perkataan Abah Huda dan Risa membuat Siska menangis sesenggukan. Matanya terus meneteskan bulir-bulir bening.
“Adim. Maafkan aku. Aku telah merebut hartamu yang paling berharga. Sekarang aku telah bertobat dan menyesali semua perbuatanku. Tolong maafkan aku, agar ketika aku pergi ke alam baka nanti aku bisa tenang.” Siska gemetaran sembari meraih tangan Adim.
“Kakak, sebelum Kakak meminta maaf aku sudah lebih dulu memaafkanmu. Aku mencintaimu sebagai Kakak, aku tak pernah memiliki rasa dendam sedikit pun. Aku sangat bersyukur kau telah bertobat, Kak. Andai saja ada yang memberikan satu permintaan kepadaku, aku minta kita bisa bersama-sama lagi, tersenyum bersama dan bersenda gurau bersama di rumah yang sama.” Air mata Adim tak dapat dibendung lagi, ia menggenggam erat jemari Siska.
“Sebelum aku pergi, aku akan memberikan ini kepadamu sebagai kenangan. Jadi, jika sewaktu-waktu kau merindukanku, kau bisa membuka ini.”
“Terima kasih, Kak. Kakak mau ke mana? Jangan tinggalin Adim, Kak! Aku mohon!” Adim merengek di depan Siska.
Namun, takdir berkata lain, Siska telah mengembuskan napas terakhirnya usai memberikan album kenangan semasa kecil kepada Adim. Di sana tertulis, “Adim Maafkan Kakak, Kakak Sangat Mencintaimu”.
“Kakaaak ...,” jeritan Adim membuat guntur menggelegar seolah tak terima atas kejadian pagi itu.
Diubah oleh caturkristiyani 31-08-2022 15:29
0
805
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan