Para pemimpin Gereja Katolik China berjanji mempercepat sinisisasi
Agustus 24, 2022

Para peserta menghadiri Kongres Nasional tentang Agama Katolik China di Wuhan pada 18-20 Agustus. (Foto: BCCCC)

Dua badan Gereja yang disponsori negara di China telah memilih pemimpin baru selama konferensi nasional lima tahunan yang berjanji memperkuat umat Katolik secara pastoral sesuai dengan prinsip-prinsip sosialis Partai Komunis China (PKC).
Kongres Nasional Katolik China ke-10 selama tiga hari di Wuhan, ibu kota Provinsi Hebei, China tengah, ditutup pada 20 Agustus. Para pejabat senior dari PKC juga menghadiri pertemuan tersebut dan menyampaikan pidato.
Pertemuan itu dihadiri oleh sekitar 345 uskup, imam, dan religius Katolik dari seluruh China itu berakhir dengan pemilihan pemimpin baru untuk Asosiasi Patriotik Katolik China (APKC) dan Konferensi Waligereja China (KWC), kata sebuah laporan di situs KWC.
Uskup Agung Beijing, Mgr. Joseph Li Shan terpilih sebagai ketua APKC dan Uskup Haimen, Mgr. Joseph Shen Bin terpilih sebagai ketua KWC.
Para delegasi juga dengan suara bulat menerima Laporan Kerja Komite Tetap ke-9 tentang upaya dan kegiatan Gereja dalam mempromosikan patriotisme, sosialisme, dan sinisisasi dalam Gereja Katolik sebagaimana digariskan oleh Presiden Xi Jinping.
Para pemimpin baru telah mengeluarkan pernyataan untuk berkomitmen melibatkan para imam, religius, dan umat awam di seluruh negeri itu untuk evangelisasi dan mempromosikan  sinisisasi untuk “kebenaran, pragmatisme dan inspirasi” untuk bergerak maju menuju “masa depan yang cerah.”
Sinisisasi adalah ideologi politik China  dengan memberlakukan aturan ketat kepada masyarakat dan institusi berdasarkan nilai-nilai inti sosialisme, otonomi, dan mendukung kepemimpinan PKC.
Pernyataan itu juga menyoroti perlunya Gereja Katolik menerapkan semangat Konferensi Nasional Urusan Agama yang diadakan Desember lalu, dan memenuhi persyaratan Komite Pusat PKC untuk Gereja Katolik di China.
Selama konferensi pada 3-4 Desember itu, Xi menekankan penerapan ketat kebijakan Marxis, meningkatkan pengawasan online, dan memperketat kontrol agama untuk memastikan keamanan nasional.
“Pentingnya persatuan dan para pemimpin  imam dan umat mengikuti pemikiran Xi Jinping tentang sosialisme dengan Karakteristik China untuk ‘Era Baru,’ dengan terus memegang patriotisme dan cinta agama yang tinggi, berpegang pada prinsip-prinsip mandiri, dan mengelola Gereja,” kata pernyataan para uskup.
Para pemimpin Gereja mengatakan mereka merasa penting untuk mematuhi arah sinisisasi Katolik di China “dengan memperkuat pembangunan patriotik” untuk mewujudkan “mimpi besar negara China.”
Setelah pengambilalihan komunis tahun 1949, China memutuskan hubungan diplomatik dengan Vatikan.
Pemerintah komunis membentuk APKC tahun 1957 untuk menegaskan kontrol atas Gereja Katolik. Banyak umat Katolik menolak bergabung dengan badan yang dikendalikan negara dan terus berjanji setia kepada paus dan Gereja universal.
China memiliki sekitar 12 juta umat Katolik yang terbagi antara Gereja Patriotik dan Gereja bawah tanah, kata para peneliti independen.
Selama bertahun-tahun, penunjukan uskup tetap menjadi rebutan antara PKC dan Vatikan terkait pengangkatan dan pentahbisan uskup tanpa mandat paus.
Tahun 2018, Vatikan menandatangani perjanjian sementara dengan China selama dua tahun mengenai penunjukan uskup, yang diperbarui setiap dua tahun. Ketentuan perjanjian tersebut tidak dipublikasikan.
Vatikan dilaporkan berusaha menyatukan umat Katolik yang terbagi antara dua Gereja dengan kesepakatan itu, sementara itu Vatikan berhak untuk menerima atau menolak uskup yang dipilih Beijing.
Sejak 2018, enam uskup telah ditahbiskan dengan persetujuan China dan Vatikan. Paus juga telah mengakui tujuh “uskup terlarang” yang ditahbiskan tanpa mandat paus.

https://indonesia.ucanews.com/2022/0...at-sinisisasi/