- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Manipulasi dan Penindasan Dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969
TS
dragonroar
Manipulasi dan Penindasan Dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969
Manipulasi dan Penindasan Dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969

Pulau Papua adalah pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland dengan luas 785.753 km². Penduduk aslinya adalah ras melanesia namun mereka dan tanahnya dipecah belah oleh kolonialisme. Imperialisme Belanda mendukung klaim Kesultanan Tidore atas bagian barat Papua lalu mencaploknya sendiri setelah mengalahkan pemberontakan Kesultanan Tidore di tahun 1780an. Sedangkan koloni Britania di Queensland, Australia, mencaplok bagian tenggara Papua tahun 1883 dan pada 1884 menamakannya British New Guinea kemudian disusul imperialis Jerman yang menglaim bagian timur laut Papua dan menamakannya Deutsch-Neuguinea. Saat itu para imperialis umumnya menyebut pulau Papua sebagai New Guinea, Guinea Baru, atau Nugini, berdasarkan pandangan penjelajah Spanyol, Ynigo Ortiz de Retez di tahun 1545 yang menganggap ada kemiripan antara pribumi Papua dengan pribumi Afrika di wilayah Guinea. Berikutnya tahun 1828 Belanda mendirikan pemukiman di Nugini Barat dan pemerintahan Hindia Belanda mendirikan pos-pos pemerintahan daerah di Fakfak dan Manokwari tahun 1898, di Merauke tahun 1902, serta di Hollandia tahun 1910. Kolonialisme terhadap belahan barat Nugini ini diikuti misionaris dan pedagang Belanda, namun utamanya digunakan agar Imperialisme Britania dan Jerman tidak meluaskan ekspansinya ke wilayah Hindia Belanda. Kekuasaan imperialis Jerman terhadap Papua kemudian direbut Britania lewat pasukan Australia di tahun 1914 ketika Perang Dunia I (PD I) pecah.
Sebelum Perang Dunia II (PD II) aktivitas ekonomi di Nederlands-Nieuw-Guinea bersifat terbatas. Pemerintah Belanda total hanya memiliki 15 pos dan sejumlah tempat misionaris. Perusahaan Jepang mendirikan perkebunan kelapa beberapa ratus hektar dan produksi pohon kopal berskala kecil. Ada aktivitas perdagangan antara penduduk di pesisir dan kepulauan Papua dengan kepulauan Maluku namun skalanya juga kecil. Suatu perusahaan perdagangan didirikan di tahun 1938 namun tidak terlalu aktif. Kelompok luar yang justru paling tertarik dengan Papua adalah kaum Indo, orang-orang ras Eurasia, campuran Eropa (khususnya Belanda) dengan pribumi Hindia Belanda. Kebijakan rasis Imperialis Belanda menempatkan kaum Indo di atas pribumi namun di bawah orang-orang kulit putih Eropa. Mayoritas kaum Indo bekerja kantoran namun seiring proses Politik Etis sejak 1901 semakin banyak pribumi bekerja di sektor yang dulunya dipegang orang Indo. Sementara di sisi lain kaum Indo tidak boleh membeli atau memiliki tanah di Jawa. Tahun 1923 dirumuskanlah rencana untuk mendesain Nederlands-Nieuw-Guinea sebagai wilayah pendudukan bagi kaum Indo. Tahun 1926 didirikanlah Vereniging tot Kolonisatie van Niew-Guinea atau Asosiasi untuk Kolonisasi Nugini. Disusul tahun 1930 dengan pendirian Stichting Immigratie Kolonisatie Nieuw-Guinea atau Yayasan Imigrasi dan Pendudukan Nugini. Organisasi-organisasi ini menganggap wilayah Papua yang diduduki Belanda sebagai tanah kosong untuk tanah air bagi kaum Indo, serta berhasil melobi pemerintah agar mendirikan agensi untuk mensubsidi insiatif-inisiatif itu di tahun 1938. Namun mayoritas pemukiman Indo di Nugini Belanda gagal akibat minimnya kecakapan dalam pertanian maupun iklim dan alam yang keras.
Meskipun demikian klaim Belanda atas Papua tetap dipertahankan. Menurut ilmuwan Arend Lijphard motif dasar Belanda lainnya termasuk kepentingan atas sumber daya ekonomi yang menguntungkan, basis angkatan laut yang strategis, mempertahankan kehadiran, dan untuk mengamankan kepentingan ekonomi Belanda atas Indonesia.
Ketika PD II meletus, baik wilayah Nugini Belanda maupun Nugini Britania digempur di tahun 1942 oleh imperialis Jepang. Negara Belanda di Eropa sendiri awalnya menyatakan netral namun digempur dan dikuasai NAZI Jerman, bangsawan Belanda lalu kabur ke Inggris bersama beberapa jajaran pejabat mendirikan pemerintah Belanda di pengasingan, kemudian ke Kanada. Belanda secara resmi bersekutu dengan Britania (dan koloni-koloninya) serta masuk Sekutu. Sebagai dampaknya, negara-negara Sekutu ikut berperang di wilayah-wilayah jajahan Belanda. AS menyerang dan menduduki Guiana Belanda atau Suriname di tahun 1941. Sedangkan Australia bertempur di Papua melawan Jepang. Pasukan AS di bawah komando Jenderal McArthur kemudian bergabung dengan pasukan Australia di Papua untuk operasi di Asia Tenggara. Sementara itu gerilyawan Belanda di wilayah pendudukan Jepang di Papua umumnya dipimpin oleh Mauritz Christiaan Kokkelink. Pribumi Papua sendiri selama PD II banyak memberikan bantuan kepada tentara-tentara sekutu.
Selain terdapat pertempuran, pembangunan infrastruktur besar-besaran untuk memfasilitasi mobilisasi angkatan perang dijalankan Sekutu. Demi mengakomodasi masifnya pasukan, persenjataan, kapal-kapal, dan pesawat-pesawat, Sekutu membangun jalan-jalan, jembatan, rumah sakit, barak-barak, pertokoan, jalur pipa minyak, bahkan juga bioskop. Dari situ kerja upahan mulai diperkenalkan dan industri awal, walaupun masih kecil, mulai bangkit serta memunculkan kota-kota awal di Papua yang berfungsi sebagai pusat aktivitas ekonomi, seperti Biak, Merauke, dan sebagainya, bahkan kota Hollandia (Jayapura) meningkat pesat kapasitasnya hingga dijadikan ibu kota Nederlands-Nieu-Guinea saat PD II berakhir.
Masalah Pembebasan Nasional dan Konflik RI-Belanda dalam Perang Dingin
Revolusi nasional berkobar di Indonesia dari tahun 1945-1949 sebagai perang pembebasan nasional melawan upaya rekolonialisasi dari Belanda. Kemenangan kubu prioritas diplomasi terhadap kubu prioritas perjuangan fisik menghasilkan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Meskipun Belanda lewat KMB kemudian mengakui kedaulatan Indonesia (lewat Republik Indonesia Serikat (RIS) yang mana RI adalah salah satu negara bagiannya) namun menyisakan beberapa masalah. Bukan hanya posisi RIS ditempatkan di bawah Uni Indonesia Belanda, namun juga seluruh perusahaan kapitalis dikembalikan, bahkan juga diwarisi hutang Hindia Belanda, sementara status West Papua baru akan dibahas dan diselesaikan setahun berikutnya.
Titik pangkal kebuntuan diplomasi RI dengan Belanda soal West Papua ada pada klaim Indonesia seharusnya mewarisi semua bekas wilayah Hindia Belanda, sementara Belanda bersikukuh bahwasanya etnisitas Papua berbeda dengan Indonesia dan karenanya lebih pantas menjadi suatu negara bangsa tersendiri. Selain itu Sukarno juga berpendapat bahwa berlanjutnya cengkeraman Belanda atas West Papua merupakan hambatan bagi Indonesia dan juga akan mendorong gerakan separatis. Pada tahun 1953, perselisihan ini telah menjadi isu utama bagi politik dalam negeri Indonesia dan jadi ajang perdebatan semua aliran politik Indonesia. Hampir semua partai politik di Indonesia mengklaim West Papua bagian RI dan menghendaki Belanda menyerahkannya. Perbedaan antar berbagai parpol umumnya berkisar pada cara mencapainya.
Meskipun demikian terdapat pengecualian. Partai Komunis Indonesia (PKI) misalnya mengalami pergantian sikap terhadap status West Papua. Pasca-Peristiwa Madiun serta dieksekusinya Amir Sjarifuddin dan tewasnya Musso, kepemimpinan PKI di bawah Alimin-Tan Ling Djie menjalankan oposisi keras terhadap pemerintahan Sukarno-Hatta-Natsir yang mereka pandang sebagai antek imperialisme. Oposisi itu juga ditunjukkan lewat penolakan terhadap klaim RI atas Papua. 2 Desember 1950 Komite Sentral PKI mengeluarkan pernyataan mendukung pendirian Republik Irian yang bebas dari kesepakatan-kesepakatan dalam KMB dan tergabung dalam liga berisi dua negara dengan Republik Indonesia. 8 Desember 1950 Ngadiman Hardjosubroto, anggota parlemen dan pimpinan kelompok Alimin, mempertahankan sikap ini. Namun 12 Desember Komite Sentral PKI dengan atas tanda tangan Sudisman, dari kelompok Aidit-Njoto-MH Lukman mengeluarkan pernyataan bahwa pernyataan 8 Desember bukanlah dikeluarkan dari Komite Sentral PKI sama sekali. Ini terjadi seiring perebutan kekuasaan dari golongan tua pimpinan Alimin-Tan Ling Djie ke golongan muda pimpinan Aidit. 25 Desember Komite Sentral PKI mencopot Ngadiman Hardjosubroto dari parlemen. 7 Januari 1951 Komite Sentral PKI mengumumkan nama Politbiro yang baru dimana Aidit, Lukman, Njoto, dan Sudisman menduduki empat dari lima kursi Politbiro, sementara kursi kelima diduduki Alimin.
Di bawah kepemimpinan Aidit, PKI berubah sikap merapat ke Sukarno dan mendukung upaya menggabungkan West Papua ke RI. Sikap pro-integrasi PKI merupakan upaya melebarkan basis politiknya dan meningkatkan kredibilitasnya sebagai partai komunis patriotis yang mendukung Sukarno.
Pemerintahan Sukarno juga mendapatkan senjata militer dan dukungan politik dari Uni Soviet sebagai upaya menarik Indonesia ke kubunya. Begitu juga sikap Uni Soviet kepada negara-negara Asia-Afrika lain yang tengah mengobarkan pembebasan nasional. Sedangkan pemerintahan Kennedy AS mendukung klaim pemerintahan Sukarno karena ingin mencegah Indonesia agar tidak jatuh ke kubu Komunis.
Persaingan Soviet dengan AS, khususnya untuk kawasan timur jauh semakin memanas. Kennedy langsung bergerak dengan mengirim surat pribadi kepada presiden Sukarno. Sembari AS menekan Belanda agar bersedia berembug dengan Indonesia untuk membicarakan status wilayah West Papua dan menyerahkan masalah Papua kepada PBB. Jika tidak, Kennedy mengancam akan menghentikan bantuan keuangan AS kepada Belanda.
Namun Sukarno sendiri meskipun memainkan politik bermain kaki di dua perahu, seperti memainkan perimbangan ABRI dengan PKI, Soviet dengan AS, sebenarnya memiliki agendanya sendiri. Tahun 1955 Sukarno mengorganisir Konferensi Bandung menunjukkan sikap Indonesia dalam Perang Dingin: menolak menggabungkan diri ke dalam Blok Barat pimpinan AS maupun Blok Timur pimpinan Uni Soviet, dengan mendirikan Gerakan Non-Blok yang diresmikan pendiriannya di Yugoslavia 1 September 1961. Ini diikuti pendirian Conference of New Emerging Forces (CONEFO) pada 7 Januari 1965 menghimpun kekuatan-kekuatan baru melawan imperialisme dan neo-kolonialisme.
Konteks Perang Dingin di sini hakikatnya adalah pertentangan antara kubu Imperialis AS, pimpinan imperialisme terbaru di dunia menggantikan imperialis Britania yang menyusut pasca-PD II, melawan rezim kediktatoran birokrat yang memimpin Uni Soviet, yang mempengaruhi berbagai perjuangan pembebasan nasional negara-negara dunia ketiga.
Dalam konteks Perang Dingin ini pula lah, Rezim Kennedy juga sudah menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 18 juta dolar AS untuk mengalihkan kedekatan Sukarno dengan Uni Soviet. Cara halus ini dipakai karena cara mensponsori pemberontakan-pemberontakan anti-RI sudah gagal. Namun selain kepentingan politik Perang Dingin Rezim Kennedy, AS ternyata juga berambisi menguasai kandungan emas dan mineral berharga yang sangat besar di bumi Papua sehingga AS sangat bernafsu untuk menggabungkan Papua dengan Indonesia.
Selanjutnya AS memainkan peranan dalam misi ‘pengembalian’ Papua dari Belanda ke Indonesia. 15 agustus 1962, AS mempraksarai perundingan antara RI dan Belanda di Villa Huntland Middlleburg dan kemudian menandatangani perjanjian New York. Dalam perjanjian itu ada beberapa hal yang disepakati yakni; terutama seperti penarikan pasukan Belanda dari Papua, penyerahan Papua dari Belanda kepada United Nations Temporary Executive Authority [UNTEA] atau Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebuah badan perwalian sementara PBB dan selanjutnya menyerahkan Papua kepada Indonesia.
Perjanjian itu juga memandatkan Indonesia harus mengadakan penentuan pendapat rakyat (Pepera) untuk menentukan sikap rakyat Papua dengan menggunakan mekanisme sistem one man-one vote atau satu orang satu suara sebagaimana diatur dalam Pasal 17 dan 18 Perjanjian New York sehingga seluruh orang Papua-800 ribu jiwa pada waktu itu berhak menentukan pendapatnya secara bebas dan damai.
Namun perjanjian New York tersebut tidak demokratis karena hanya menarik pasukan Belanda sementara pasukan Indonesia dibiarkan tetap di Papua. Selain itu Perjanjian New York tidak melibatkan satu orang Papua pun. Padahal yang dibicarakan adalah nasib masa depan orang dan tanah Papua. Konsekuensi dari tidak dilibatkannya orang Papua adalah aspirasi dan gerakan di Papua tidak diberi tempat sentral dalam menentukan nasibnya sendiri. Dengan kata lain dikorbankan dalam perang dingin.

Pulau Papua adalah pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland dengan luas 785.753 km². Penduduk aslinya adalah ras melanesia namun mereka dan tanahnya dipecah belah oleh kolonialisme. Imperialisme Belanda mendukung klaim Kesultanan Tidore atas bagian barat Papua lalu mencaploknya sendiri setelah mengalahkan pemberontakan Kesultanan Tidore di tahun 1780an. Sedangkan koloni Britania di Queensland, Australia, mencaplok bagian tenggara Papua tahun 1883 dan pada 1884 menamakannya British New Guinea kemudian disusul imperialis Jerman yang menglaim bagian timur laut Papua dan menamakannya Deutsch-Neuguinea. Saat itu para imperialis umumnya menyebut pulau Papua sebagai New Guinea, Guinea Baru, atau Nugini, berdasarkan pandangan penjelajah Spanyol, Ynigo Ortiz de Retez di tahun 1545 yang menganggap ada kemiripan antara pribumi Papua dengan pribumi Afrika di wilayah Guinea. Berikutnya tahun 1828 Belanda mendirikan pemukiman di Nugini Barat dan pemerintahan Hindia Belanda mendirikan pos-pos pemerintahan daerah di Fakfak dan Manokwari tahun 1898, di Merauke tahun 1902, serta di Hollandia tahun 1910. Kolonialisme terhadap belahan barat Nugini ini diikuti misionaris dan pedagang Belanda, namun utamanya digunakan agar Imperialisme Britania dan Jerman tidak meluaskan ekspansinya ke wilayah Hindia Belanda. Kekuasaan imperialis Jerman terhadap Papua kemudian direbut Britania lewat pasukan Australia di tahun 1914 ketika Perang Dunia I (PD I) pecah.
Sebelum Perang Dunia II (PD II) aktivitas ekonomi di Nederlands-Nieuw-Guinea bersifat terbatas. Pemerintah Belanda total hanya memiliki 15 pos dan sejumlah tempat misionaris. Perusahaan Jepang mendirikan perkebunan kelapa beberapa ratus hektar dan produksi pohon kopal berskala kecil. Ada aktivitas perdagangan antara penduduk di pesisir dan kepulauan Papua dengan kepulauan Maluku namun skalanya juga kecil. Suatu perusahaan perdagangan didirikan di tahun 1938 namun tidak terlalu aktif. Kelompok luar yang justru paling tertarik dengan Papua adalah kaum Indo, orang-orang ras Eurasia, campuran Eropa (khususnya Belanda) dengan pribumi Hindia Belanda. Kebijakan rasis Imperialis Belanda menempatkan kaum Indo di atas pribumi namun di bawah orang-orang kulit putih Eropa. Mayoritas kaum Indo bekerja kantoran namun seiring proses Politik Etis sejak 1901 semakin banyak pribumi bekerja di sektor yang dulunya dipegang orang Indo. Sementara di sisi lain kaum Indo tidak boleh membeli atau memiliki tanah di Jawa. Tahun 1923 dirumuskanlah rencana untuk mendesain Nederlands-Nieuw-Guinea sebagai wilayah pendudukan bagi kaum Indo. Tahun 1926 didirikanlah Vereniging tot Kolonisatie van Niew-Guinea atau Asosiasi untuk Kolonisasi Nugini. Disusul tahun 1930 dengan pendirian Stichting Immigratie Kolonisatie Nieuw-Guinea atau Yayasan Imigrasi dan Pendudukan Nugini. Organisasi-organisasi ini menganggap wilayah Papua yang diduduki Belanda sebagai tanah kosong untuk tanah air bagi kaum Indo, serta berhasil melobi pemerintah agar mendirikan agensi untuk mensubsidi insiatif-inisiatif itu di tahun 1938. Namun mayoritas pemukiman Indo di Nugini Belanda gagal akibat minimnya kecakapan dalam pertanian maupun iklim dan alam yang keras.
Meskipun demikian klaim Belanda atas Papua tetap dipertahankan. Menurut ilmuwan Arend Lijphard motif dasar Belanda lainnya termasuk kepentingan atas sumber daya ekonomi yang menguntungkan, basis angkatan laut yang strategis, mempertahankan kehadiran, dan untuk mengamankan kepentingan ekonomi Belanda atas Indonesia.
Ketika PD II meletus, baik wilayah Nugini Belanda maupun Nugini Britania digempur di tahun 1942 oleh imperialis Jepang. Negara Belanda di Eropa sendiri awalnya menyatakan netral namun digempur dan dikuasai NAZI Jerman, bangsawan Belanda lalu kabur ke Inggris bersama beberapa jajaran pejabat mendirikan pemerintah Belanda di pengasingan, kemudian ke Kanada. Belanda secara resmi bersekutu dengan Britania (dan koloni-koloninya) serta masuk Sekutu. Sebagai dampaknya, negara-negara Sekutu ikut berperang di wilayah-wilayah jajahan Belanda. AS menyerang dan menduduki Guiana Belanda atau Suriname di tahun 1941. Sedangkan Australia bertempur di Papua melawan Jepang. Pasukan AS di bawah komando Jenderal McArthur kemudian bergabung dengan pasukan Australia di Papua untuk operasi di Asia Tenggara. Sementara itu gerilyawan Belanda di wilayah pendudukan Jepang di Papua umumnya dipimpin oleh Mauritz Christiaan Kokkelink. Pribumi Papua sendiri selama PD II banyak memberikan bantuan kepada tentara-tentara sekutu.
Selain terdapat pertempuran, pembangunan infrastruktur besar-besaran untuk memfasilitasi mobilisasi angkatan perang dijalankan Sekutu. Demi mengakomodasi masifnya pasukan, persenjataan, kapal-kapal, dan pesawat-pesawat, Sekutu membangun jalan-jalan, jembatan, rumah sakit, barak-barak, pertokoan, jalur pipa minyak, bahkan juga bioskop. Dari situ kerja upahan mulai diperkenalkan dan industri awal, walaupun masih kecil, mulai bangkit serta memunculkan kota-kota awal di Papua yang berfungsi sebagai pusat aktivitas ekonomi, seperti Biak, Merauke, dan sebagainya, bahkan kota Hollandia (Jayapura) meningkat pesat kapasitasnya hingga dijadikan ibu kota Nederlands-Nieu-Guinea saat PD II berakhir.
Masalah Pembebasan Nasional dan Konflik RI-Belanda dalam Perang Dingin
Revolusi nasional berkobar di Indonesia dari tahun 1945-1949 sebagai perang pembebasan nasional melawan upaya rekolonialisasi dari Belanda. Kemenangan kubu prioritas diplomasi terhadap kubu prioritas perjuangan fisik menghasilkan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Meskipun Belanda lewat KMB kemudian mengakui kedaulatan Indonesia (lewat Republik Indonesia Serikat (RIS) yang mana RI adalah salah satu negara bagiannya) namun menyisakan beberapa masalah. Bukan hanya posisi RIS ditempatkan di bawah Uni Indonesia Belanda, namun juga seluruh perusahaan kapitalis dikembalikan, bahkan juga diwarisi hutang Hindia Belanda, sementara status West Papua baru akan dibahas dan diselesaikan setahun berikutnya.
Titik pangkal kebuntuan diplomasi RI dengan Belanda soal West Papua ada pada klaim Indonesia seharusnya mewarisi semua bekas wilayah Hindia Belanda, sementara Belanda bersikukuh bahwasanya etnisitas Papua berbeda dengan Indonesia dan karenanya lebih pantas menjadi suatu negara bangsa tersendiri. Selain itu Sukarno juga berpendapat bahwa berlanjutnya cengkeraman Belanda atas West Papua merupakan hambatan bagi Indonesia dan juga akan mendorong gerakan separatis. Pada tahun 1953, perselisihan ini telah menjadi isu utama bagi politik dalam negeri Indonesia dan jadi ajang perdebatan semua aliran politik Indonesia. Hampir semua partai politik di Indonesia mengklaim West Papua bagian RI dan menghendaki Belanda menyerahkannya. Perbedaan antar berbagai parpol umumnya berkisar pada cara mencapainya.
Meskipun demikian terdapat pengecualian. Partai Komunis Indonesia (PKI) misalnya mengalami pergantian sikap terhadap status West Papua. Pasca-Peristiwa Madiun serta dieksekusinya Amir Sjarifuddin dan tewasnya Musso, kepemimpinan PKI di bawah Alimin-Tan Ling Djie menjalankan oposisi keras terhadap pemerintahan Sukarno-Hatta-Natsir yang mereka pandang sebagai antek imperialisme. Oposisi itu juga ditunjukkan lewat penolakan terhadap klaim RI atas Papua. 2 Desember 1950 Komite Sentral PKI mengeluarkan pernyataan mendukung pendirian Republik Irian yang bebas dari kesepakatan-kesepakatan dalam KMB dan tergabung dalam liga berisi dua negara dengan Republik Indonesia. 8 Desember 1950 Ngadiman Hardjosubroto, anggota parlemen dan pimpinan kelompok Alimin, mempertahankan sikap ini. Namun 12 Desember Komite Sentral PKI dengan atas tanda tangan Sudisman, dari kelompok Aidit-Njoto-MH Lukman mengeluarkan pernyataan bahwa pernyataan 8 Desember bukanlah dikeluarkan dari Komite Sentral PKI sama sekali. Ini terjadi seiring perebutan kekuasaan dari golongan tua pimpinan Alimin-Tan Ling Djie ke golongan muda pimpinan Aidit. 25 Desember Komite Sentral PKI mencopot Ngadiman Hardjosubroto dari parlemen. 7 Januari 1951 Komite Sentral PKI mengumumkan nama Politbiro yang baru dimana Aidit, Lukman, Njoto, dan Sudisman menduduki empat dari lima kursi Politbiro, sementara kursi kelima diduduki Alimin.
Di bawah kepemimpinan Aidit, PKI berubah sikap merapat ke Sukarno dan mendukung upaya menggabungkan West Papua ke RI. Sikap pro-integrasi PKI merupakan upaya melebarkan basis politiknya dan meningkatkan kredibilitasnya sebagai partai komunis patriotis yang mendukung Sukarno.
Pemerintahan Sukarno juga mendapatkan senjata militer dan dukungan politik dari Uni Soviet sebagai upaya menarik Indonesia ke kubunya. Begitu juga sikap Uni Soviet kepada negara-negara Asia-Afrika lain yang tengah mengobarkan pembebasan nasional. Sedangkan pemerintahan Kennedy AS mendukung klaim pemerintahan Sukarno karena ingin mencegah Indonesia agar tidak jatuh ke kubu Komunis.
Persaingan Soviet dengan AS, khususnya untuk kawasan timur jauh semakin memanas. Kennedy langsung bergerak dengan mengirim surat pribadi kepada presiden Sukarno. Sembari AS menekan Belanda agar bersedia berembug dengan Indonesia untuk membicarakan status wilayah West Papua dan menyerahkan masalah Papua kepada PBB. Jika tidak, Kennedy mengancam akan menghentikan bantuan keuangan AS kepada Belanda.
Namun Sukarno sendiri meskipun memainkan politik bermain kaki di dua perahu, seperti memainkan perimbangan ABRI dengan PKI, Soviet dengan AS, sebenarnya memiliki agendanya sendiri. Tahun 1955 Sukarno mengorganisir Konferensi Bandung menunjukkan sikap Indonesia dalam Perang Dingin: menolak menggabungkan diri ke dalam Blok Barat pimpinan AS maupun Blok Timur pimpinan Uni Soviet, dengan mendirikan Gerakan Non-Blok yang diresmikan pendiriannya di Yugoslavia 1 September 1961. Ini diikuti pendirian Conference of New Emerging Forces (CONEFO) pada 7 Januari 1965 menghimpun kekuatan-kekuatan baru melawan imperialisme dan neo-kolonialisme.
Konteks Perang Dingin di sini hakikatnya adalah pertentangan antara kubu Imperialis AS, pimpinan imperialisme terbaru di dunia menggantikan imperialis Britania yang menyusut pasca-PD II, melawan rezim kediktatoran birokrat yang memimpin Uni Soviet, yang mempengaruhi berbagai perjuangan pembebasan nasional negara-negara dunia ketiga.
Dalam konteks Perang Dingin ini pula lah, Rezim Kennedy juga sudah menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 18 juta dolar AS untuk mengalihkan kedekatan Sukarno dengan Uni Soviet. Cara halus ini dipakai karena cara mensponsori pemberontakan-pemberontakan anti-RI sudah gagal. Namun selain kepentingan politik Perang Dingin Rezim Kennedy, AS ternyata juga berambisi menguasai kandungan emas dan mineral berharga yang sangat besar di bumi Papua sehingga AS sangat bernafsu untuk menggabungkan Papua dengan Indonesia.
Selanjutnya AS memainkan peranan dalam misi ‘pengembalian’ Papua dari Belanda ke Indonesia. 15 agustus 1962, AS mempraksarai perundingan antara RI dan Belanda di Villa Huntland Middlleburg dan kemudian menandatangani perjanjian New York. Dalam perjanjian itu ada beberapa hal yang disepakati yakni; terutama seperti penarikan pasukan Belanda dari Papua, penyerahan Papua dari Belanda kepada United Nations Temporary Executive Authority [UNTEA] atau Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebuah badan perwalian sementara PBB dan selanjutnya menyerahkan Papua kepada Indonesia.
Perjanjian itu juga memandatkan Indonesia harus mengadakan penentuan pendapat rakyat (Pepera) untuk menentukan sikap rakyat Papua dengan menggunakan mekanisme sistem one man-one vote atau satu orang satu suara sebagaimana diatur dalam Pasal 17 dan 18 Perjanjian New York sehingga seluruh orang Papua-800 ribu jiwa pada waktu itu berhak menentukan pendapatnya secara bebas dan damai.
Namun perjanjian New York tersebut tidak demokratis karena hanya menarik pasukan Belanda sementara pasukan Indonesia dibiarkan tetap di Papua. Selain itu Perjanjian New York tidak melibatkan satu orang Papua pun. Padahal yang dibicarakan adalah nasib masa depan orang dan tanah Papua. Konsekuensi dari tidak dilibatkannya orang Papua adalah aspirasi dan gerakan di Papua tidak diberi tempat sentral dalam menentukan nasibnya sendiri. Dengan kata lain dikorbankan dalam perang dingin.
fachri15 memberi reputasi
1
1K
2
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan