- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Rindu Bertemu Musuh


TS
ryanmallay2000
Rindu Bertemu Musuh
Dua puluh tahun waktu berlalu dari hari itu. Berbagai dinamika kehidupan militer mewarnai hidupku. Jauh dari angan-anganku dimasa kecil. Aku hanya bisa berkesimpulan “keinginan itu hanyalah hak yang tidak semestinya terwujud, tetapi kenyataan menjadi kewajiban yang harus dilalui”.
Dan kenyataan itu tidak selamanya kebahagiaan, terkadang berupa penderitaan namun bagi yang mampu mencintai penderitaan akan mendapatkan kebahagiaan. Doktrin ini yang melekat dalam hatiku.
Saat ini, aku berdinas disalah satu lembaga pendidikan yang juga menyelenggarkan latihan.
“Andi!”, Komandan memanggil nama akrabku.
“Siap, Komandan, perintah?”, tanyaku kepada beliau.
“Kamu latih satu Kompi Raider untuk Perang Hutan”, perintahnya kepadaku.
“Siap, dilaksanakan”, jawaban klasik yang menjadi kata protap untuk menjawab setiap perintah yang diberikan.
"Waktumu hanya 37 hari, karena bulan depan mereka akan ditugaskan ke daerah operasi”, penjelasan Koamndan kepadaku.
“Siap, dilaksanakan”, kata yang tidak asing yang harus aku utarakan.
Akupun mengumpulkan mereka (prajurit yang akan aku latih) dan menjelaskan tentang materi latihan yaitu bertahan hidup dan menerkam musuh di hutan. “Untuk bertahan hidup, kalian harus belajar dari Kera dan untuk menerkam musuh belajar dari Singa”, instruksiku kepada mereka.
Latihan dimulai, akupun melatihkan bagaimana Kera bertahan hidup. Pelajaran yang tidak begitu sulit karena pada dasarnya Manusia dan Kera tidak jauh berbeda. Perbedaannya hanya pada ahklak, jadi manusia yang tidak berahklak bisa disamakan dengan Kera.
Seminggu pertama, aku hidup bersama prajuritku di hutan hanya berbekal garam dan korek api sampai akhirnya bekal itupun habis. Aku melatih mereka mengolah bahan makanan yang ada di hutan tanpa merusak alam. Aku melatih bagaimana tidur di hutan mulai dari tidur beralas tanah sampai pada tidur di pepohonan. Latihan itu sukses setelah aku tidak lagi bisa membedakan aroma tubuh prajuritku dengan hewan sekitarnya.
Semula aku melatih bagaimana mengelola bahan makanan di hutan sampai akhirnya kita dapat memilih bahan makanan di hutan tanpa diolah.
Semula aku melatih menghindari bahaya di hutan sampai akhirnya aku melatih bagaimana menghadapi bahaya di hutan. Semula mereka yang ketakutan di hutan dan ingin keluar sampai akhirnya mereka mampu bertahan di hutan.
Pada minggu ketiga, aku mulai melatih prajuritku untuk menerkam seperti Singa. Singa akan menjadi ganas bila sedang kelaparan, maka akupun mengajarkan mereka untuk menjadi ganas karena memang mereka dalam kelaparan.
"Waktumu hanya 37 hari, karena bulan depan mereka akan ditugaskan ke daerah operasi”, penjelasan Koamndan kepadaku.
“Siap, dilaksanakan”, kata yang tidak asing yang harus aku utarakan.
Akupun mengumpulkan mereka (prajurit yang akan aku latih) dan menjelaskan tentang materi latihan yaitu bertahan hidup dan menerkam musuh di hutan. “Untuk bertahan hidup, kalian harus belajar dari Kera dan untuk menerkam musuh belajar dari Singa”, instruksiku kepada mereka.
Latihan dimulai, akupun melatihkan bagaimana Kera bertahan hidup. Pelajaran yang tidak begitu sulit karena pada dasarnya Manusia dan Kera tidak jauh berbeda. Perbedaannya hanya pada ahklak, jadi manusia yang tidak berahklak bisa disamakan dengan Kera.
Seminggu pertama, aku hidup bersama prajuritku di hutan hanya berbekal garam dan korek api sampai akhirnya bekal itupun habis. Aku melatih mereka mengolah bahan makanan yang ada di hutan tanpa merusak alam. Aku melatih bagaimana tidur di hutan mulai dari tidur beralas tanah sampai pada tidur di pepohonan. Latihan itu sukses setelah aku tidak lagi bisa membedakan aroma tubuh prajuritku dengan hewan sekitarnya.
Semula aku melatih bagaimana mengelola bahan makanan di hutan sampai akhirnya kita dapat memilih bahan makanan di hutan tanpa diolah.
Semula aku melatih menghindari bahaya di hutan sampai akhirnya aku melatih bagaimana menghadapi bahaya di hutan. Semula mereka yang ketakutan di hutan dan ingin keluar sampai akhirnya mereka mampu bertahan di hutan.
Pada minggu ketiga, aku mulai melatih prajuritku untuk menerkam seperti Singa. Singa akan menjadi ganas bila sedang kelaparan, maka akupun mengajarkan mereka untuk menjadi ganas karena memang mereka dalam kelaparan.
Aku latihkan mereka mengesan jejak untuk mengikuti gerakan mangsa, “Indera penciuman kalian akan terasah selama kalian bisa bersahabat dengan hutan ini” kataku kepada mereka untuk melatih indera penciuman.
“Di hutan ini hanya ada dua mahkluk yang bergerak, hewan atau musuh, amati dengan ketajaman indera matamu” aku melatih indera penglihatan mereka agar mereka tidak salah sasaran.
Biasanya prajurit yang tidak terlatih, pohon bergoyang saja ia tembaki. Dan aku tidak pernah melatih prajurit menembak sesuatu yang tidak pasti.
“Saya melatih kalian hanya membidik, untuk menembak menjadi keputusanmu sendiri, selanjutnya peluru menuju sasaran tergantung kepada takdir”, kataku kepada mereka.
Pengalamanku menembak dalam jarak dua meter pernah tidak mengenai sasaran tetapi sasaran jarak 200 meter pernah kena tembakanku.
Disaat itu aku sadari menggunakan senjata api sebagian besar bergantung kepada takdir dan untuk mengenai sasaran, keputusan untuk menembak harus digerakan oleh hati yang di ridhoi Tuhan. Maka aku selalu menekankan kepada prajuritku untuk tidak asal menembak.
Hingga akhirnya amunisipun habis. Latihan masih berlanjut. “Tidak pernah amunisi menjadi penentu takdir kita, tapi terkadang takdir musuh bisa ditentukan oleh amunisi kita” aku mulai menjelaskan taktik perang yang terkenal dengan sebutan “bunuh senyap” yaitu melumpuhkan musuh tanpa tembakan.
Awal pelajaran, aku melatih mereka menggunakan belati atau perkelahian sangkur dalam istilah kemiliteran. “Saya melatih kalian menghunus sangkur, selanjutnya kalian sendiri yang memutuskan untuk mengibas dan menyarungkannya kembali”, penjelasanku kepada mereka diawal materi latihan.
Jika peluru tidak dapat dihentikan ataupun dibelokkan setelah keluar dari laras dan sasaran yang tertembus sesuai takdirnya, sedangkan sasaran sangkur tergantung si pemegang gagangnya sebagai penentu. Aku justru lebih menyarankan menggunakan sangkur untuk melumpuhkan musuh dengan rasa bijak untuk membedakan musuh yang harus dilumpuhkan atau hanya dilukai.
Berhari-hari melatih sangkur hingga sangkurpun tidak lagi setajam sembilu.“Setiap ranting dan kerikil di hutan ini bisa menjadi senjata”, penjelasanku kepada mereka untuk melatih membuat senjata tradisional. Materi latihan ini sama seperti mainanku mas kecil saat menjerat hewan di hutan atau menombak ikan di sungai.
Setelah semua materi latihan aku latihkan kepada mereka, masa latihanpun selesai. Kamipun membubarkan diri namun sebelum bubar aku sempat berpesan “Selamat Bertugas, Bertugas di medan perang itu seperti bermain perang-perangan yang matinya benaran, berbeda dengan saat latihan yang berlatih benaran tapi matinya main-main, jangan lupa sampaikan salam rindu saya kepada musuh".
Sepulang dari latihan, aku diberi waktu berlibur. Akupun bercengkrama dengan anak-anakku. Biasanya mereka bertanya “Papa dari mana? Kerja apa?”, tapi alangkah kagetnya aku ketika mereka bertanya “Emang Papa mau berperang sama siapa, kenapa latihan terus?”.
“Berperang atau tidak, Papa tetap akan terus berlatih, Sayang, karena perang itu datang secara tiba-tiba”, jawaban klasik yang terpaksa aku berikan kepada anakku yang belum begitu pahami duniaku.
Menjelang tidur, terpikir olehku tentang pertanyaan mereka tadi. Aku mencoba mengingat-ingat masa lalu saat berpangkat Letnan yang sibuk tugas operasi perang dimana-mana. Aku tertegun ketika sadar, dulu sepertinya aku tidak beda dengan drakula yang selalu haus darah.
Kapan sih akan berperang kembali? Pertanyaan yang tidak harus aku jawab, namun apakah ini pertanda aku rindu bertemu musuh? Berperang atau tidak, aku harus siap berperang. Untuk selalu siap perang aku harus selalu berlatih. Rumusan ini melekat dalam benakku makanya aku tidak pernah jenuh dalam latihan.
Disela waktu luang, aku sempatkan menjambangi pondok pesantren untuk menambah ilmu keagamaan yang sangat kurang dalam otakku. Suatu ketika aku curhat kepada seorang Kyai, “mengapa saya selalu merasa ingin membunuh musuh? Apakah ini termasuk gejala psikopat?”
“Kewajiban kita sebenarnya memerangi musuh bukan merindukannya, dan musuh yang paling nyata adalah Syaitan” jawaban Kyai itu yang mengubah opiniku tentang musuh. Dan akhirnya akupun merubahnya, akan memerangi musuh (syaitan) bukan merindukannya. Jadi judul tulisan ini adalah salah.
“Di hutan ini hanya ada dua mahkluk yang bergerak, hewan atau musuh, amati dengan ketajaman indera matamu” aku melatih indera penglihatan mereka agar mereka tidak salah sasaran.
Biasanya prajurit yang tidak terlatih, pohon bergoyang saja ia tembaki. Dan aku tidak pernah melatih prajurit menembak sesuatu yang tidak pasti.
“Saya melatih kalian hanya membidik, untuk menembak menjadi keputusanmu sendiri, selanjutnya peluru menuju sasaran tergantung kepada takdir”, kataku kepada mereka.
Pengalamanku menembak dalam jarak dua meter pernah tidak mengenai sasaran tetapi sasaran jarak 200 meter pernah kena tembakanku.
Disaat itu aku sadari menggunakan senjata api sebagian besar bergantung kepada takdir dan untuk mengenai sasaran, keputusan untuk menembak harus digerakan oleh hati yang di ridhoi Tuhan. Maka aku selalu menekankan kepada prajuritku untuk tidak asal menembak.
Hingga akhirnya amunisipun habis. Latihan masih berlanjut. “Tidak pernah amunisi menjadi penentu takdir kita, tapi terkadang takdir musuh bisa ditentukan oleh amunisi kita” aku mulai menjelaskan taktik perang yang terkenal dengan sebutan “bunuh senyap” yaitu melumpuhkan musuh tanpa tembakan.
Awal pelajaran, aku melatih mereka menggunakan belati atau perkelahian sangkur dalam istilah kemiliteran. “Saya melatih kalian menghunus sangkur, selanjutnya kalian sendiri yang memutuskan untuk mengibas dan menyarungkannya kembali”, penjelasanku kepada mereka diawal materi latihan.
Jika peluru tidak dapat dihentikan ataupun dibelokkan setelah keluar dari laras dan sasaran yang tertembus sesuai takdirnya, sedangkan sasaran sangkur tergantung si pemegang gagangnya sebagai penentu. Aku justru lebih menyarankan menggunakan sangkur untuk melumpuhkan musuh dengan rasa bijak untuk membedakan musuh yang harus dilumpuhkan atau hanya dilukai.
Berhari-hari melatih sangkur hingga sangkurpun tidak lagi setajam sembilu.“Setiap ranting dan kerikil di hutan ini bisa menjadi senjata”, penjelasanku kepada mereka untuk melatih membuat senjata tradisional. Materi latihan ini sama seperti mainanku mas kecil saat menjerat hewan di hutan atau menombak ikan di sungai.
Setelah semua materi latihan aku latihkan kepada mereka, masa latihanpun selesai. Kamipun membubarkan diri namun sebelum bubar aku sempat berpesan “Selamat Bertugas, Bertugas di medan perang itu seperti bermain perang-perangan yang matinya benaran, berbeda dengan saat latihan yang berlatih benaran tapi matinya main-main, jangan lupa sampaikan salam rindu saya kepada musuh".
Sepulang dari latihan, aku diberi waktu berlibur. Akupun bercengkrama dengan anak-anakku. Biasanya mereka bertanya “Papa dari mana? Kerja apa?”, tapi alangkah kagetnya aku ketika mereka bertanya “Emang Papa mau berperang sama siapa, kenapa latihan terus?”.
“Berperang atau tidak, Papa tetap akan terus berlatih, Sayang, karena perang itu datang secara tiba-tiba”, jawaban klasik yang terpaksa aku berikan kepada anakku yang belum begitu pahami duniaku.
Menjelang tidur, terpikir olehku tentang pertanyaan mereka tadi. Aku mencoba mengingat-ingat masa lalu saat berpangkat Letnan yang sibuk tugas operasi perang dimana-mana. Aku tertegun ketika sadar, dulu sepertinya aku tidak beda dengan drakula yang selalu haus darah.
Kapan sih akan berperang kembali? Pertanyaan yang tidak harus aku jawab, namun apakah ini pertanda aku rindu bertemu musuh? Berperang atau tidak, aku harus siap berperang. Untuk selalu siap perang aku harus selalu berlatih. Rumusan ini melekat dalam benakku makanya aku tidak pernah jenuh dalam latihan.
Disela waktu luang, aku sempatkan menjambangi pondok pesantren untuk menambah ilmu keagamaan yang sangat kurang dalam otakku. Suatu ketika aku curhat kepada seorang Kyai, “mengapa saya selalu merasa ingin membunuh musuh? Apakah ini termasuk gejala psikopat?”
“Kewajiban kita sebenarnya memerangi musuh bukan merindukannya, dan musuh yang paling nyata adalah Syaitan” jawaban Kyai itu yang mengubah opiniku tentang musuh. Dan akhirnya akupun merubahnya, akan memerangi musuh (syaitan) bukan merindukannya. Jadi judul tulisan ini adalah salah.


bukhorigan memberi reputasi
1
398
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan