

TS
DiNa853
Bintang

Ketika rasa yang dulu tak lagi sama, bayangnya pun enggan sekali mendekat. Meskipun, rasa cinta dalam dadaku masih sempurna melekat, serupa gemintang yang berkelip di malam pekat.
Setitik kealpaan yang belum tentu benar, menjadikan amarahnya menguar. Padahal, aku telah mencoba menjelaskan dengan bermacam alasan. Dengan harapan, ia akan kembali menerimaku sebagai calon imam.
Impian untuk melenggang ke pelaminan, pupus sudah. Biduk rumah tangga yang kuimpi-impikan, menyisakan nestapa serupa pilu yang tak mungkin berujung indah.
“Tidak akan ada pernikahan, kita putus!” ucapnya saat aku mencoba merapalkan rasa dalam dada yang masih sama hingga sekarang.
“Fatia, tunggu!” Kuraih tangannya ketika ia mulai melangkah, meninggalkanku yang masih dipenuhi rasa bersalah. “Fat, aku bisa jelas ....”
“Cukup!” Air matanya luruh, mengoyak pertahanan yang mulai runtuh. “Keputusanku sudah bulat, Bintang, keluargaku pun tak akan sudi menerimamu.” Ia berlari, menjauh dan semakin jauh meninggalkanku.
Hujan pun turun, mewakili hatiku yang kian hancur. Aku duduk menekur, menangis serupa bocah di bawah umur. Pantaskah seorang pria menangis? Persetan! Aku tak peduli dengan semua itu. Dalam benakku saat ini, hanya ada rasa sesal yang tak pernah berujung.
Seandainya waktu dapat diputar, aku enggan mengantar mantan pacar yang sedang butuh pertolongan. Ia kesusahan karena mobilnya mogok di tengah jalan. Sementara aku yang tengah melintas, merasa terpanggil untuk menawarkan bantuan. Ia yang buru-buru, memintaku mengantarnya ke tempat tujuan.
Rupanya kebetulan menyertai kebetulan lainnya, motorku bersisian dengan mobil Fatia. Di bawah lampu merah bersama sang ayah, ia menatapku penuh amarah, kala sang mantan melingkarkan kedua tangan di pinggangku erat.
Penjelasan demi penjelasan yang kuutarakan setelahnya, tak mempan untuk meredam geram di hatinya. Ia pikir aku telah berkhianat, sang ayah pun tak tinggal diam mengataiku lelaki laknat. Padahal, aku sudah tak ada hubungan apa pun dengan mantan sejak cinta Fatia mengikat.
Fatia pun menutup hatinya untukku yang masih terbelenggu rindu. Ia membuang semua kenangan indah yang telah terajut selama empat tahun. Semuanya mengabur serupa pandang berselimut kabut. Aku jatuh dalam kubangan luka yang begitu menyayat kalbu.
**
Seminggu telah berlalu, seseorang menyodorkan surat undangan yang memaksa detak jantungku bertalu-talu. Nama Fatia terpampang di sana dengan nama seorang laki-laki yang belum pernah kutahu.
“Dia dijodohkan,” kata Mbak Bulan—keluargaku satu-satunya—setelah kubaca surat undangan itu. “Tadi mbak ketemu Fatia di minimarket, dia bilang tak bisa menolak keputusan kedua orang tuanya, Bin.” Mbak Bulan menyandarkan punggungnya di sofa, duduk di sebelahku.
Aku masih bergeming, menatap lekat barisan semut di dinding. Berkali-kali kuhela napas dalam, berharap sesak dalam dada segera menepi. Aku lelah, ingin segera mengakhiri semua ini.
“Sudahlah, Bin. Tak perlu kau terus murung seperti itu. Kamu itu laki-laki, harusnya bisa lebih bersikap bijak. Percaya deh, Tuhan pasti sudah menyiapkan seseorang yang lebih pantas untukmu,” ujar Mbak Bulan seraya mengusap lembut punggungku.
Sementara itu, di luar angin mendesau-desau, menggugurkan dedaunan dari dahan. Cuaca yang tidak bisa ditebak sering datang meski tak diundang. Dengan langkah pelan, perempuan yang lahir setahun lebih dulu dariku itu beranjak ke dapur dekat ruang makan. Ia kembali dengan membawa dua cangkir cokelat panas yang masih mengepulkan asap, di atas nampan.
“Nih!” Mbak Bulan menyodorkan sebuah cangkir untukku.
“Makasih, Mbak!” Aku tersenyum menerimanya.
“Nah, gitu, dong! Seminggu ini mbak nggak pernah lihat kamu tersenyum, manyun aja kerjaannya,” kata Mbak Bulan sambil terkekeh, menampakkan lekukan kecil di pipinya.
“Beruntung Mas Bagas punya istri kayak Mbak, ya,” ujarku seraya menyesap cokelat panas buatannya.
Mbak Bulan tersenyum, meletakan cangkir di atas meja. “Nanti kamu juga akan menemukan jodoh yang pas, Bin. Positif thinking, aja! Fatia nggak ditakdirkan Tuhan untukmu. Patah hati boleh tapi patah semangat, jangan, dong!” ucap Mbak Bulan seraya menyentuh hidungku dengan ujung telunjuknya.
“Bintang tahu, kok, Mbak,” balasku.
Mbak Bulan mengernyitkan dahinya, “Lalu, kenapa seminggu ini kamu mengurung diri terus di rumah?”
Aku menggaruk kepala yang tak gatal, “Masalahnya Fatia itu nggak hanya membuat Bintang patah hati, Mbak.” Kuhela napas panjang.
Mbak Bulan memperhatikanku dengan saksama, “Maksudnya?”
“Tabungan Bintang habis, Mbak. Semua Fatia yang pegang demi pernikahan impiannya. Sekarang dia malah menikah dengan orang lain, bukan dengan Bintang.” Suaraku bergetar hingga dada turut merasakan sakit. Romansa cinta membuatku benar-benar jatuh dalam kenyataan yang begitu pahit.
_________________________________________
End.
Demak, 07082022
Pict: Pinterest




bukhorigan dan bd.xvi memberi reputasi
0
499
13


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan