Berita duka dari dunia penerbangan atas jatuhnya pesawat jet tempur latih T-50i Golden Eagle TNI AU di Blora, Jawa Tengah. Tentu, kita turut prihatin dengan kejadian yang mengakibatkan gugurnya pilot bernama Lettu Pnb Allan Safitra Indera Wahyudi.

Seharusnya tidak terjadi kecelakaan pesawat tersebut tidak mengalami kecelakaan saat latihan night tactical intercept. TNI AU sebagai penjaga pertahanan NKRI menjaga garda terdepan dalam menjaga kedaulatan udara.

Kekuatan militer Indonesia di tingkat global disegani oleh negara lain atas kemampuan dan profesionalitasnya yang tinggi. Untuk itu, perlu mendapat perhatian prioritas utama dari Pemerintah dalam pengadaan alutsista maupun perawatannya.

Salah satu upayanya dengan penambahan anggaran bagi militer dan pengadaan alutsista TNI yang perlu pemutakhiran. 

Terkait kecelakaan, tentunya menunggu hasil penyelidikan penyebab insiden pesawat T-50i Golden Eagle yang sempat hilang kontak. Penyebab jatuhnya pesawat salah satunya adalah faktor fenomena alam, pesawat ataupun human error.

Jadi, jangan sampai ada penggiringan opini yang hanya membikin gaduh publik terkait menjadi penyebab jatuhnya pesawat. Atas insiden ini, menjadi pelajaran berharga bagi  akan pentingnya keselamatan dan perhatian dalam alutsista.

Jangan sampai terjadi lagi kecelakaan yang menimpa pesawat tempur maupun komersil di dunia penerbangan Indonesia. Bagi korban yang gugur dalam kecelakaan perlu mendapatkan perhatian khusus seperti dengan ditingkatkan pangkatnya.

Sebagaimana diketahui, Pesawat milik Skuadron 15 Pangkalan Udara (Lanud) Iswahjudi, Magetan, Jawa Timur ini diterbangkan seorang pilot bernama Lettu Pnb Allan Safitra Indera Wahyudi dinyatakan gugur dalam insiden tersebut.

Ini menjadi catatan panjang kecelakaan yang melibatkan pesawat TNI AU saat sedang latihan.

Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmu mengatakan, insiden yang melibatkan pesawat T-50i di Indonesia berulang kali terjadi.

Padahal secara global, tak banyak kecelakaan pesawat jenis ini yang sampai menelan korban dan kerugian materiil sejak pertama kali mengudara sekitar 20 tahun lalu.

Menurutnya, ada berbagai faktor yang memungkinkan terjadinya kecelakaan itu.

Selain faktor cuaca dan problem teknis, ia menyebut kelalaian dalam pemeliharaan atau tata kelola juga sangat mungkin menjadi penyebab kecelakaan.

"Karena yang berulang itu terjadinya di TNI AU, maka saya kira justru yang prioritas dievaluasi adalah tata kelolanya," katanya.

Namun, pihaknya masih menunggu hasil investigasi terkait penyebab kecelakaan ini.

Ia menjelaskan, pemerintah nantinya harus menggunakan hasil investigasi itu sebagai bahan evaluasi dan pertimbangan dalam kebijakan terkait tata kelola alutsista.

Kebijakan tersebut baik berupa pengadaan, penggunaan, pemeliharaan maupun pengembangan kapasitas SDM yang terlibat dalam pengelolaannya. Kendati demikian, proses peremajaan atau modernisasi alutsista juga tetap harus dibahas.

"Sehingga kita memiliki alutsista yang layak dan mumpuni untuk menjaga kedaulatan," jelas dia.

Namun, Fahmi menilai bahwa memastikan alutsista udara yang sudah dimiliki saat ini selalu dalam kondisi prima, siap terbang dan siap tempur, juga merupakan hal yang tak kalah pentingnya.

Untuk itu, Fahmi berharap agar Kementerian Pertahanan dan TNI AU menyiapkan postur anggaran yang proporsional untuk perawatan, pemeliharaan, dan kapasitas sumber daya manusia.

Termasuk juga untuk memastikan tidak adanya praktik-praktik yang berpotensi menghadirkan kerugian materiil dan personel dalam penggunaan dan pemeliharaan alutsista.

"Maka yang masuk akal dilakukan kemudian adalah tetap mengalokasikan anggaran yang memadai serta meningkatkan kedisiplinan dalam penggunaaan dan pemeliharaan alutsista," ujarnya.

"Sehingga armada selalu dalam kondisi prima, siap siaga dan minim risiko fatal," tutupnya.  



Sumber : Kompas.com