- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Tukang pukul kok disuruh merangkul?-Pendekatan kesejahteraan di Papua dipertanyakan
TS
mabdulkarim
Tukang pukul kok disuruh merangkul?-Pendekatan kesejahteraan di Papua dipertanyakan
'Tukang pukul kok disuruh merangkul?' - Pendekatan kesejahteraan di Papua dipertanyakan

AFP
Keterangan gambar,
Pendekatan yang ditempuh pemerintah di Papua adalah "kesejahteraan", kata Menkopolhukam Mahfud MD.
22 Juli 2022, 08:19 WIB
Kebijakan pendekatan kesejahteraan yang ditempuh pemerintah Indonesia di Papua disebut pengamat tidak sesuai dengan pelaksanaannya. Sebab, menurut pengamat, pemerintah masih mengoptimalkan peran TNI/Polri yang disebutnya identik sebagai "tukang pukul ketimbang merangkul".
"Sejak awal ada konsep pendekatan lunak, tapi siapa aktornya? Kalau aktornya tetap TNI-Polri yang jadi leading sector saya kira itu konyol. Mereka ini tukang pukul kok disuruh merangkul? Itu kan bukan kompetensi mereka," kata Khairul Fahmi, pengamat keamanan dan militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS).
Penilaian tersebut mengemuka setelah Kantor Staf Presiden menggelar konferensi pers, pada Kamis (21/7), guna menanggapi peristiwa kekerasan yang baru-baru ini terjadi di Papua.
Dalam kesempatan itu, Menkopolhukam Mahfud MD menegaskan bahwa pendekatan yang ditempuh pemerintah di Papua adalah "kesejahteraan" sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres).
Menkopolhukam Mahfud MD mengklaim pengerahan TNI/Polri ke Papua tidak dimaksudkan untuk tujuan operasi militer atau pendekatan kekerasan ke masyarakat, kecuali terhadap kelompok kriminal bersenjata pro-kemerdekaan Papua.
Namun, Perwakilan Sinode Gereja Kristen Indonesia (GKI) Papua yang juga anggota Tim Kemanusiaan, Pendeta Dora Balubun, mempertanyakan klaim pendekatan kesejahteraan pemerintah itu.
Sebab di wilayah-wilayah pedalaman yang dikuasai aparat, kata Dora, mayoritas guru yang mengajar adalah tentara yang bertugas mengejar kelompok kriminal bersenjata.
Peristiwa kekerasan yang baru-baru ini terjadi di Papua membuat geram pemerintah.
Dua insiden yang disorot Kepala Kantor Staf Presiden, Moeldoko, adalah penembakan 11 warga sipil di Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga, Pegunungan Tengah Papua pada 17 Juli 2022 serta pembunuhan seorang seorang warga sipil di kawasan pertambangan Kabupaten Pegunungan Bintang pada 20 Juli 2022.
Pada dua kejadian itu Moeldoko menunjuk kelompok kriminal bersenjata pro-kemerdekaan Papua sebagai pelakunya.
"Pelakunya adalah kelompok kriminal bersenjata yang telah melakukan tindakan kejam berulang kali di Papua dengan target membabi-buta. Saya melihat ada perilaku teroris dan bandit di situ," ujar Moeldoko dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (21/7).
KSP mencatat, aksi kekerasan yang dilakukan kelompok itu sejak April sampai Juli 2022 sebanyak 18 kali dengan 22 korban meninggal.
Sementara mengutip data Gugus Tugas Papua UGM, sejak tahun 2010 sampai Maret 2022, ada 226 tindak kekerasan oleh kelompok kriminal bersenjata dengan melakukan pembunuhan hingga pembakaran fasilitas publik.

Kelompok pro-kemerdekaan Papua, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) mengaku bertanggungjawab atas penembakan warga sipil.
SUMBER GAMBAR,TPNPB-OPM
Keterangan gambar,
Kelompok pro-kemerdekaan Papua, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) mengaku bertanggungjawab atas penembakan warga sipil yang mereka klaim sebagai "mata-mata" yang menyamar.
Untuk menangani kekerasan itu, kata Moeldoko, pemerintah akan melakukan tindakan tegas.
"Tindakan tegas hanya ditujukan kepada kelompok kriminal bersenjata, bukan lainnya."
Menkopolhukam: 'Pemerintah pakai pendekatan kesejahteraan'
Banyaknya kekerasan di Papua, memaksa pemerintah mengerahkan aparat keamanan.
Menurut data Dewan Gereja Papua, selama 2019 - 2021 setidaknya ada sekitar 10.000 personel TNI/Polri diterjunkan ke Papua setiap tahunnya.
Meskipun begitu, Menkopolhukam Mahfud MD tetap menegaskan bahwa pendekatan yang ditempuh pemerintah di Papua adalah "kesejahteraan" sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
"Di sana (Papua) tidak ada operasi militer. Tidak menggunakan pendekatan senjata, kecuali dilakukan tindakan tegas dalam memburu dan menindak KKB," ucap Mahfud dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (21/7).
'Tukang pukul disuruh merangkul?'
Namun demikian pengamat keamanan dan militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai kebijakan pendekatan kesejahteraan yang ditempuh pemerintah tidak sesuai dengan pelaksanaannya.
Karena faktanya, pemerintah masih mengoptimalkan peran TNI/Polri.
Ia mencontohkan keberadaan guru maupun dokter di wilayah pedalaman Papua, diisi oleh prajurit TNI ketimbang sipil.
Sebuah mortir yang tidak meledak ditemukan pasukan TPNPB di Kiwirok. Foto ini diabadikan pada 18 Oktober 2021.
SUMBER GAMBAR,SEBBY SAMBOM
Keterangan gambar,
Sebuah mortir yang tidak meledak ditemukan pasukan TPNPB di Kiwirok. Mortir tersebut diproduksi perusahaan Serbia, Krusik. Foto ini diabadikan pada 18 Oktober 2021.
"Sejak awal ada konsep pendekatan lunak, tapi siapa aktornya? Kalau aktornya tetap TNI-Polri yang jadi leading sector saya kira itu konyol. Mereka ini tukang pukul kok disuruh merangkul? Itu kan bukan kompetensi mereka," jelas Khairul Fahmi kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (21/7).
"Saya kira kekeliruannya di situ. Karena TNI dan Polri masih berada di depan." "Misalnya Kementerian Pendidikan bikin kebijakan bikin sekolah, ingin datangkan guru, eh yang muncul di kelas malah tentara."
Itu mengapa, menurut Fahmi, pengiriman puluhan ribu pasukan TNI ke wilayah yang bukan daerah militer seperti Papua dianggap berlebihan.
Dan kalaupun pemerintah mengklaim aparat yang diterjunkan ke Papua untuk misi menjaga teritorial, maka jumlahnya tak perlu sebanyak itu.
Keberadaan mereka pun, katanya, harus diperjelas yakni untuk tidak mengutamakan penggunaan senjata. Tapi memperkuat fungsi komunikasi sosial dan kemampuan intelijen teritorial. Dengan begitu akan meminimalisir potensi kekerasan di Papua terhadap warga sipil.
Adapun mengenai keberadaan aparat militer non-organik di Papua, menurut Fahmi, sebaiknya dikurangi.Selain karena dianggap gagal memburu kelompok kriminal bersenjata, juga hanya menambah potensi kekerasan terhadap warga sipil.
Pengamatan Fahmi, pasukan militer nonorganik tersebut kebanyakan tidak menguasai medan di Papua yang didominasi oleh hutan dan pegunungan.
Secara sosial budaya, mereka juga tidak dibekali informasi yang cukup untuk mengenali sifat dan watak masyarakat Papua.
"Misalnya mengejar KKB masuk ke hutan tapi nggak ngerti kondisinya. Jadi nggak bisa melakukan penegakkan hukum yang menyerang warga. Begitu KKB masuk ke hutan, nggak bisa apa-apa mereka.
"Waktu penugasan yang lama juga mengganggu psikis dan mental mereka. Ketika stres potensi kekerasan muncul, bentrok dengan sesama personel dan melakukan kekerasan terhadap warga sipil."
'Kami tidak merasakan pendekatan kesejahteraan'
Perwakilan Sinode Gereja Kristen Indonesia (GKI) Papua yang juga anggota Tim Kemanusiaan, Pendeta Dora Balubun, mengatakan sampai hari ini masyarakat Papua tidak merasakan pendekatan kesejahteraan seperti yang diklaim pemerintah.
Sebab konflik terus terjadi yang berujung pada kehadiran aparat.
"Bagi kami, pendekatan yang sampai hari ini dilakukan adalah pendekatan militer," ujar Dora Balubun kepada BBC News Indonesia.

Korban jiwa akibat aksi saling serang antara aparat dan milisi yang mendambakan kemerdekaan Papua terjadi di Kampung Jogotapa, Sugapa, Intan Jaya, sejak sore. Tanggal menunjukkan 26 September 2021.
SUMBER GAMBAR,YESKIEL BELAU
Keterangan gambar,
Bertinus menggendong jenazah anaknya, Melpianus, dalam ibadah pemakaman sederhana di dekat rumah mereka. Melpianus tewas akibat kontak senjata di Kampung Jogotapa, Sugapa, Intan Jaya, pada 2021.
Hal itu karena aparat militer sudah memasuki ruang-ruang yang semestinya bersih dari senjata, yakni sekolah.
Khusus di wilayah-wilayah pedalaman yang dikuasai aparat, katanya, mayoritas guru yang mengajar adalah tentara yang bertugas mengejar kelompok kriminal bersenjata.
Padahal keberadaan senjata di ruang dan fasilitas publik membuat takut dan khawatir.
"Melihat senjata saja, orang sudah merasa terintimidasi."
"Anak-anak secara psikologis ketakutan, tidak mau sekolah."
Menurut Dora, jika pemerintah serius ingin menerapkan pendekatan kesejahteraan maka dana Otsus harus dipakai untuk mengembangkan perekonomian masyarakat dalam bentuk usaha kecil.
"Kelompok masyarakat itu dilatih untuk mengembangkan usahanya sehingga ada peningkatan kesejahteraan. Misalnya mereka punya kebun, diberdayakan dengan alat-alat perkebunan agar bisa mengelola tanah ulayat mereka menjadi usaha kecil."
"Tapi ini kan tidak terjadi. Justru tanah ulayat mereka dikuasai pemegang modal."
https://www.bbc.com/indonesia/articl...s/cw0pg56gn8ro
Melihat kasus September 2021 di mana nakes diserang kelompok teroris memberikan gambaran jika garis terdepan adalah sipil bisa riskan secara jika teroris menyerang dadakan maka mereka akan jadi korban ataupun trauma berat. Bahkan pendeta pun jadi korban.
Jadi wajar saja TNI jadi guru secara TNI ada juga yang berprofesi guru dan dokter.
Jikalau sipil dikerahkan juga sebagai guru dan dokter, tentu harus ada penjagaan dari TNI dan pastinya akan mengundang protes seperti diatas

AFP
Keterangan gambar,
Pendekatan yang ditempuh pemerintah di Papua adalah "kesejahteraan", kata Menkopolhukam Mahfud MD.
22 Juli 2022, 08:19 WIB
Kebijakan pendekatan kesejahteraan yang ditempuh pemerintah Indonesia di Papua disebut pengamat tidak sesuai dengan pelaksanaannya. Sebab, menurut pengamat, pemerintah masih mengoptimalkan peran TNI/Polri yang disebutnya identik sebagai "tukang pukul ketimbang merangkul".
"Sejak awal ada konsep pendekatan lunak, tapi siapa aktornya? Kalau aktornya tetap TNI-Polri yang jadi leading sector saya kira itu konyol. Mereka ini tukang pukul kok disuruh merangkul? Itu kan bukan kompetensi mereka," kata Khairul Fahmi, pengamat keamanan dan militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS).
Penilaian tersebut mengemuka setelah Kantor Staf Presiden menggelar konferensi pers, pada Kamis (21/7), guna menanggapi peristiwa kekerasan yang baru-baru ini terjadi di Papua.
Dalam kesempatan itu, Menkopolhukam Mahfud MD menegaskan bahwa pendekatan yang ditempuh pemerintah di Papua adalah "kesejahteraan" sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres).
Menkopolhukam Mahfud MD mengklaim pengerahan TNI/Polri ke Papua tidak dimaksudkan untuk tujuan operasi militer atau pendekatan kekerasan ke masyarakat, kecuali terhadap kelompok kriminal bersenjata pro-kemerdekaan Papua.
Namun, Perwakilan Sinode Gereja Kristen Indonesia (GKI) Papua yang juga anggota Tim Kemanusiaan, Pendeta Dora Balubun, mempertanyakan klaim pendekatan kesejahteraan pemerintah itu.
Sebab di wilayah-wilayah pedalaman yang dikuasai aparat, kata Dora, mayoritas guru yang mengajar adalah tentara yang bertugas mengejar kelompok kriminal bersenjata.
Peristiwa kekerasan yang baru-baru ini terjadi di Papua membuat geram pemerintah.
Dua insiden yang disorot Kepala Kantor Staf Presiden, Moeldoko, adalah penembakan 11 warga sipil di Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga, Pegunungan Tengah Papua pada 17 Juli 2022 serta pembunuhan seorang seorang warga sipil di kawasan pertambangan Kabupaten Pegunungan Bintang pada 20 Juli 2022.
Pada dua kejadian itu Moeldoko menunjuk kelompok kriminal bersenjata pro-kemerdekaan Papua sebagai pelakunya.
"Pelakunya adalah kelompok kriminal bersenjata yang telah melakukan tindakan kejam berulang kali di Papua dengan target membabi-buta. Saya melihat ada perilaku teroris dan bandit di situ," ujar Moeldoko dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (21/7).
KSP mencatat, aksi kekerasan yang dilakukan kelompok itu sejak April sampai Juli 2022 sebanyak 18 kali dengan 22 korban meninggal.
Sementara mengutip data Gugus Tugas Papua UGM, sejak tahun 2010 sampai Maret 2022, ada 226 tindak kekerasan oleh kelompok kriminal bersenjata dengan melakukan pembunuhan hingga pembakaran fasilitas publik.

Kelompok pro-kemerdekaan Papua, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) mengaku bertanggungjawab atas penembakan warga sipil.
SUMBER GAMBAR,TPNPB-OPM
Keterangan gambar,
Kelompok pro-kemerdekaan Papua, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) mengaku bertanggungjawab atas penembakan warga sipil yang mereka klaim sebagai "mata-mata" yang menyamar.
Untuk menangani kekerasan itu, kata Moeldoko, pemerintah akan melakukan tindakan tegas.
"Tindakan tegas hanya ditujukan kepada kelompok kriminal bersenjata, bukan lainnya."
Menkopolhukam: 'Pemerintah pakai pendekatan kesejahteraan'
Banyaknya kekerasan di Papua, memaksa pemerintah mengerahkan aparat keamanan.
Menurut data Dewan Gereja Papua, selama 2019 - 2021 setidaknya ada sekitar 10.000 personel TNI/Polri diterjunkan ke Papua setiap tahunnya.
Meskipun begitu, Menkopolhukam Mahfud MD tetap menegaskan bahwa pendekatan yang ditempuh pemerintah di Papua adalah "kesejahteraan" sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
"Di sana (Papua) tidak ada operasi militer. Tidak menggunakan pendekatan senjata, kecuali dilakukan tindakan tegas dalam memburu dan menindak KKB," ucap Mahfud dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (21/7).
'Tukang pukul disuruh merangkul?'
Namun demikian pengamat keamanan dan militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai kebijakan pendekatan kesejahteraan yang ditempuh pemerintah tidak sesuai dengan pelaksanaannya.
Karena faktanya, pemerintah masih mengoptimalkan peran TNI/Polri.
Ia mencontohkan keberadaan guru maupun dokter di wilayah pedalaman Papua, diisi oleh prajurit TNI ketimbang sipil.
Konten Sensitif
Sebuah mortir yang tidak meledak ditemukan pasukan TPNPB di Kiwirok. Foto ini diabadikan pada 18 Oktober 2021.
SUMBER GAMBAR,SEBBY SAMBOM
Keterangan gambar,
Sebuah mortir yang tidak meledak ditemukan pasukan TPNPB di Kiwirok. Mortir tersebut diproduksi perusahaan Serbia, Krusik. Foto ini diabadikan pada 18 Oktober 2021.
"Sejak awal ada konsep pendekatan lunak, tapi siapa aktornya? Kalau aktornya tetap TNI-Polri yang jadi leading sector saya kira itu konyol. Mereka ini tukang pukul kok disuruh merangkul? Itu kan bukan kompetensi mereka," jelas Khairul Fahmi kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (21/7).
"Saya kira kekeliruannya di situ. Karena TNI dan Polri masih berada di depan." "Misalnya Kementerian Pendidikan bikin kebijakan bikin sekolah, ingin datangkan guru, eh yang muncul di kelas malah tentara."
Itu mengapa, menurut Fahmi, pengiriman puluhan ribu pasukan TNI ke wilayah yang bukan daerah militer seperti Papua dianggap berlebihan.
Dan kalaupun pemerintah mengklaim aparat yang diterjunkan ke Papua untuk misi menjaga teritorial, maka jumlahnya tak perlu sebanyak itu.
Keberadaan mereka pun, katanya, harus diperjelas yakni untuk tidak mengutamakan penggunaan senjata. Tapi memperkuat fungsi komunikasi sosial dan kemampuan intelijen teritorial. Dengan begitu akan meminimalisir potensi kekerasan di Papua terhadap warga sipil.
Adapun mengenai keberadaan aparat militer non-organik di Papua, menurut Fahmi, sebaiknya dikurangi.Selain karena dianggap gagal memburu kelompok kriminal bersenjata, juga hanya menambah potensi kekerasan terhadap warga sipil.
Pengamatan Fahmi, pasukan militer nonorganik tersebut kebanyakan tidak menguasai medan di Papua yang didominasi oleh hutan dan pegunungan.
Secara sosial budaya, mereka juga tidak dibekali informasi yang cukup untuk mengenali sifat dan watak masyarakat Papua.
"Misalnya mengejar KKB masuk ke hutan tapi nggak ngerti kondisinya. Jadi nggak bisa melakukan penegakkan hukum yang menyerang warga. Begitu KKB masuk ke hutan, nggak bisa apa-apa mereka.
"Waktu penugasan yang lama juga mengganggu psikis dan mental mereka. Ketika stres potensi kekerasan muncul, bentrok dengan sesama personel dan melakukan kekerasan terhadap warga sipil."
'Kami tidak merasakan pendekatan kesejahteraan'
Perwakilan Sinode Gereja Kristen Indonesia (GKI) Papua yang juga anggota Tim Kemanusiaan, Pendeta Dora Balubun, mengatakan sampai hari ini masyarakat Papua tidak merasakan pendekatan kesejahteraan seperti yang diklaim pemerintah.
Sebab konflik terus terjadi yang berujung pada kehadiran aparat.
"Bagi kami, pendekatan yang sampai hari ini dilakukan adalah pendekatan militer," ujar Dora Balubun kepada BBC News Indonesia.

Korban jiwa akibat aksi saling serang antara aparat dan milisi yang mendambakan kemerdekaan Papua terjadi di Kampung Jogotapa, Sugapa, Intan Jaya, sejak sore. Tanggal menunjukkan 26 September 2021.
SUMBER GAMBAR,YESKIEL BELAU
Keterangan gambar,
Bertinus menggendong jenazah anaknya, Melpianus, dalam ibadah pemakaman sederhana di dekat rumah mereka. Melpianus tewas akibat kontak senjata di Kampung Jogotapa, Sugapa, Intan Jaya, pada 2021.
Hal itu karena aparat militer sudah memasuki ruang-ruang yang semestinya bersih dari senjata, yakni sekolah.
Khusus di wilayah-wilayah pedalaman yang dikuasai aparat, katanya, mayoritas guru yang mengajar adalah tentara yang bertugas mengejar kelompok kriminal bersenjata.
Padahal keberadaan senjata di ruang dan fasilitas publik membuat takut dan khawatir.
"Melihat senjata saja, orang sudah merasa terintimidasi."
"Anak-anak secara psikologis ketakutan, tidak mau sekolah."
Menurut Dora, jika pemerintah serius ingin menerapkan pendekatan kesejahteraan maka dana Otsus harus dipakai untuk mengembangkan perekonomian masyarakat dalam bentuk usaha kecil.
"Kelompok masyarakat itu dilatih untuk mengembangkan usahanya sehingga ada peningkatan kesejahteraan. Misalnya mereka punya kebun, diberdayakan dengan alat-alat perkebunan agar bisa mengelola tanah ulayat mereka menjadi usaha kecil."
"Tapi ini kan tidak terjadi. Justru tanah ulayat mereka dikuasai pemegang modal."
https://www.bbc.com/indonesia/articl...s/cw0pg56gn8ro
Melihat kasus September 2021 di mana nakes diserang kelompok teroris memberikan gambaran jika garis terdepan adalah sipil bisa riskan secara jika teroris menyerang dadakan maka mereka akan jadi korban ataupun trauma berat. Bahkan pendeta pun jadi korban.
Jadi wajar saja TNI jadi guru secara TNI ada juga yang berprofesi guru dan dokter.
Jikalau sipil dikerahkan juga sebagai guru dan dokter, tentu harus ada penjagaan dari TNI dan pastinya akan mengundang protes seperti diatas
catcatcacat dan nurade247 memberi reputasi
2
1.4K
6
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan