- Beranda
- Komunitas
- News
- Militer dan Kepolisian
Takeoff dengan Membawa Dua Rudal Harpoon, Super Hornet Tampil Tanpa Kendala di India


TS
si.matamalaikat
Takeoff dengan Membawa Dua Rudal Harpoon, Super Hornet Tampil Tanpa Kendala di India
Quote:
Kabar terbaru datang dari Super Hornet yang baru saja menyelesaikan tes di India, dalam sebuah kompetisi untuk mencari pesawat tempur baru untuk kapal induk INS Vikrant. Super Hornet tak sendirian, pasalnya Rafale M dari Prancis juga ikut komperisi tersebut. Mengutip artikel janes.comBoeing telah menyelesaikan uji coba untuk Super Hornet di India. Yang menarik, Super Hornet takeoff dari ski jump sambil membawa dua rudal AGM-84 Harpoon, hal tersebut telah melebihi persyaratan multirole carrier-borne fighters (MRCBF) yang dicanangkan India.
Kemampuan itu ditunjukkan Super Hornet saat uji coba di Shore Based Test Facility (SBTF) Angkatan Laut India di INS Hansa di Goa, India, antara akhir Mei dan awal Juni 2022; kata Alain Garcia, wakil presiden Pengembangan Bisnis Internasional Boeing di India. Demonstrasi dilakukan sebagai bagian dari uji coba untuk memvalidasi kemampuan F/A-18 untuk beroperasi dari kapal induk India, yang kebutulan memakai proses peluncuran dengan metode ski jump. Artinya pesawat tempur takeoff memakai tenaga dari mesinnya sendiri. Berbeda dengan metode ketapel, di mana pesawat diluncurkan dengan tenaga dari kapal induk.
Di bawah program multirole carrier-borne fighters (MRCBF), Angkatan Laut India berencana untuk mengakuisisi 57 pesawat tempur yang akan beroperasi dari kapal induk INS Vikrant. Kapal berbobot 37.000 ton itu menyelesaikan uji coba laut terakhirnya pada awal Juli 2022 dan dijadwalkan akan diluncurkan pada 15 Agustus 2022.
Sebagai bagian dari tawarannya untuk program sekitar US$6 miliar, Boeing mengirimkan dua pesawat F/A-18 ke India untuk menunjukkan kemampuan pesawat guna beroperasi dari Shore Based Test Facility (SBTF). SBTF memiliki dek penerbangan dan ski jump yang telah dibuat menyerupai bentuk dek kapal induk, fasilitas tersebut dibuat setelah kapal induk terbaru India dilengkapi dengan peralatan short take-off but arrest recovery (STOBAR).
Bulan Agustus semakin dekat, dan India harus segera membuat keputusan terkait pesawat mana yang akan dipilih untuk mengisi kapal induk INS Vikrant. Pasalnya pada acara peluncuran INS Vikrant pada 15 Agustus nanti, rencananya pesawat yang lolos seleksi program MRCBF akan ditampilkan. Dn India harus memilih antara Rafale M buatan Prancis atau Super Hornet buatan Amerika.
Rafale M buatan Dassault Aviation memulai tes di Shore Based Test Facility di INS Hansa pada 6 Januari 2022 lalu, waktu itu Rafale M melalui uji coba intensif di fasilitas mockup ski jump sepanjang 283 meter selama 12 hari untuk menilai apakah pesawat tempur itu ideal untuk dioperasikan di kapal induk INS Vikrant. Selama fase uji coba Rafale M menunjukkan hasil positif, meski kodratnya dia diluncurkan dari sistem ketapel; tapi di India Rafale M bisa meluncur mulus via ski jump.
Sementara itu dua Super Hornet tiba di India pada 20 Mei 2022, dan juga melaksanakan tes yang sama dengan Rafale. Bedanya selama tes, Super Hornet juga menggotong dua rudal Harpoon saat takeoff. Beberapa media menyebut jika apa yang dilakukan Super Hornet sudah melebihi persyaratan yang diinginkan India. Jadi kemungkinan kemampuan membawa dua rudal anti kapal sekaligus kemungkinan bukan menjadi persyaratan utama dalam program MRCBF India.
Berbeda dengan Rafale M, Super Hornet sendiri sudah sering melakukan uji coba takeoff via ski jump sejak era 1980-an. Uji coba itu terus dilakukan meski pada kenyataannya US Navy atau USMC tidak memakai metode peluncuran ski-jump. Boeing kemudian mematangkan uji coba dengan ski jump pada Super Hornet Block III pada 2020 lalu, setelah Boeing mendapat permintaan untuk uji coba di India.
McDonnell Douglas yang mengembangkan F/A-18 Hornet pada awalnya yang kemudian diakuisisi oleh Boeing, sebelumnya juga telah melakukan tes ski jump dengan pesawat itu pada era Perang Dingin. Pengujian itu menunjukkan bahwa dengan sedikit kemiringan sembilan derajat, total takeoff rol yang diperlukan untuk Hornet dapat dipotong setengahnya, meskipun tidak jelas berapa berat kotor jet untuk mencapai kinerja tersebut. Lompatan ski jump umumnya meningkatkan kinerja lepas landas jet tempur tanpa adanya ketapel dan juga memberikan margin keamanan tambahan.
Jika dilihat, India memang ada kecenderungan memilih Rafale M. Pasalnya Angkatan Udara India juga telah memesan dua sakdron Rafale, dan separuh dari pesanan sudah beroperasi saat ini. Selain itu, ada kemungkinan India bisa menjadi basis produksi Rafale M; pasalnya saat ini Prancis sedang dikejar waktu untuk segera memproduksi ratusan Rafale dari berbagai negara. Dan kemungkinan fasilitas produksi mereka sudah penuh untuk saat ini.
Meski begitu, Rafale M sendiri memiliki sayap yang tak bisa dilipat; sehingga akan memakan banyak tempat saat di parkir di dek kapal induk. Juga senjata dan rel di ujung wingtip pesawat harus dilepas agar bisa masuk ke lift, yang akan membawanya ke ruang perawatan di bawah. Selain itu biaya akuisisi per unit bisa jadi akan lebih mahal, karena Rafale M dirancang khusus untuk Angkatan Laut dan berbeda dengan versi Angkatan Udara.
Selanjutnya, Rafale-M memiliki produksi terbatas kurang dari 50 unit, karena satu-satunya operator pesawat ini adalah Angkatan Laut Prancis. Yang membuat platform ini lebih mahal daripada jet Rafale yang dioperasikan oleh Angkatan Udara Prancis dan Super Hornet. Sementara dalam kasus F/A-18, hampir 1.500 pesawat generasi lama dan generasi baru sekarang diproduksi selama empat dekade terakhir, hal itu seharusnya mengurangi biaya operasi tertentu karena skala ekonomi.
Super Hornet juga memiliki mekanisme sayap lipat yang tidak dimiliki Rafale M, Boeing telah mengkonfirmasi dalam presentasi resminya kepada Angkatan Laut India bahwa pesawat tersebut dapat masuk ke dalam lift INS Vikrant dan INS Vikramaditya tanpa perlu melepas radome cone dan rel di ujung sayap. Varian kursi tunggal dan kursi ganda F/A-18 dapat beroperasi dari kapal induk, tidak seperti Rafale M varian kursi ganda yang harus beroperasi dari daratan.
Menurut Boeing, Super Hornet sudah kompatibel dengan sistem dan platform lain dalam layanan Angkatan Laut India; seperti helikopter anti kapal selam MH-60 Romeo dan pesawat patroli maritim P-8I Poseidon. Faktor lain yang mungkin menguntungkan F/A-18 adalah mesin General Electric (GE) F414, mesin yang dipilih oleh India untuk menggerakkan pesawat tempur berbasis kapal induknya, Twin Engine Deck Based Fighter (TEDBF).
Dengan mesin ini, kru perawatan tidak perlu membawa suku cadang terpisah untuk dua mesin yang berbeda ketika kedua jenis pesawat berada di kapal induk yang sama. Ini juga akan menghemat biaya tambahan dalam melatih kru pemeliharaan untuk memperbaiki dua jenis mesin yang berbeda.
Namun, Safran, produsen mesin M-88 yang menggerakkan Rafale; baru-baru ini pada awal Juli 2022mengumumkan untuk mendirikan fasilitas Maintenance Repair Overhaul (MRO)senilai $150 juta di India. Fasilitas MRO diharapkan dapat melayani mesin CFM Airbus A320 dan Boeing 737 yang diproduksi oleh CFM Engineering, perusahaan patungan antara Safran dan General Electric.
Namun, tidak jelas apakah mesin M-88 Rafale kelak akan diservis di fasilitas ini juga ? Selain itu, Safran juga disebutkan sudah sangat dekat untuk menandatangani kesepakatan dengan Defence Research Development Organization (DRDO) guna mengembangkan mesin 125 KN untuk program pesawat tempur generasi kelima India, Advanced Medium Combat Aircraft (AMCA).
Referensi Tulisan: janes.com, eurasiantimes.com& hindustantimes.com
Sumber Foto: sudah tertera di atas
Kemampuan itu ditunjukkan Super Hornet saat uji coba di Shore Based Test Facility (SBTF) Angkatan Laut India di INS Hansa di Goa, India, antara akhir Mei dan awal Juni 2022; kata Alain Garcia, wakil presiden Pengembangan Bisnis Internasional Boeing di India. Demonstrasi dilakukan sebagai bagian dari uji coba untuk memvalidasi kemampuan F/A-18 untuk beroperasi dari kapal induk India, yang kebutulan memakai proses peluncuran dengan metode ski jump. Artinya pesawat tempur takeoff memakai tenaga dari mesinnya sendiri. Berbeda dengan metode ketapel, di mana pesawat diluncurkan dengan tenaga dari kapal induk.
Di bawah program multirole carrier-borne fighters (MRCBF), Angkatan Laut India berencana untuk mengakuisisi 57 pesawat tempur yang akan beroperasi dari kapal induk INS Vikrant. Kapal berbobot 37.000 ton itu menyelesaikan uji coba laut terakhirnya pada awal Juli 2022 dan dijadwalkan akan diluncurkan pada 15 Agustus 2022.
Sebagai bagian dari tawarannya untuk program sekitar US$6 miliar, Boeing mengirimkan dua pesawat F/A-18 ke India untuk menunjukkan kemampuan pesawat guna beroperasi dari Shore Based Test Facility (SBTF). SBTF memiliki dek penerbangan dan ski jump yang telah dibuat menyerupai bentuk dek kapal induk, fasilitas tersebut dibuat setelah kapal induk terbaru India dilengkapi dengan peralatan short take-off but arrest recovery (STOBAR).
Pilih Super Hornet Atau Rafale M ?
Bulan Agustus semakin dekat, dan India harus segera membuat keputusan terkait pesawat mana yang akan dipilih untuk mengisi kapal induk INS Vikrant. Pasalnya pada acara peluncuran INS Vikrant pada 15 Agustus nanti, rencananya pesawat yang lolos seleksi program MRCBF akan ditampilkan. Dn India harus memilih antara Rafale M buatan Prancis atau Super Hornet buatan Amerika.
Rafale M buatan Dassault Aviation memulai tes di Shore Based Test Facility di INS Hansa pada 6 Januari 2022 lalu, waktu itu Rafale M melalui uji coba intensif di fasilitas mockup ski jump sepanjang 283 meter selama 12 hari untuk menilai apakah pesawat tempur itu ideal untuk dioperasikan di kapal induk INS Vikrant. Selama fase uji coba Rafale M menunjukkan hasil positif, meski kodratnya dia diluncurkan dari sistem ketapel; tapi di India Rafale M bisa meluncur mulus via ski jump.
Quote:
Sementara itu dua Super Hornet tiba di India pada 20 Mei 2022, dan juga melaksanakan tes yang sama dengan Rafale. Bedanya selama tes, Super Hornet juga menggotong dua rudal Harpoon saat takeoff. Beberapa media menyebut jika apa yang dilakukan Super Hornet sudah melebihi persyaratan yang diinginkan India. Jadi kemungkinan kemampuan membawa dua rudal anti kapal sekaligus kemungkinan bukan menjadi persyaratan utama dalam program MRCBF India.
Berbeda dengan Rafale M, Super Hornet sendiri sudah sering melakukan uji coba takeoff via ski jump sejak era 1980-an. Uji coba itu terus dilakukan meski pada kenyataannya US Navy atau USMC tidak memakai metode peluncuran ski-jump. Boeing kemudian mematangkan uji coba dengan ski jump pada Super Hornet Block III pada 2020 lalu, setelah Boeing mendapat permintaan untuk uji coba di India.
McDonnell Douglas yang mengembangkan F/A-18 Hornet pada awalnya yang kemudian diakuisisi oleh Boeing, sebelumnya juga telah melakukan tes ski jump dengan pesawat itu pada era Perang Dingin. Pengujian itu menunjukkan bahwa dengan sedikit kemiringan sembilan derajat, total takeoff rol yang diperlukan untuk Hornet dapat dipotong setengahnya, meskipun tidak jelas berapa berat kotor jet untuk mencapai kinerja tersebut. Lompatan ski jump umumnya meningkatkan kinerja lepas landas jet tempur tanpa adanya ketapel dan juga memberikan margin keamanan tambahan.
Quote:
Jika dilihat, India memang ada kecenderungan memilih Rafale M. Pasalnya Angkatan Udara India juga telah memesan dua sakdron Rafale, dan separuh dari pesanan sudah beroperasi saat ini. Selain itu, ada kemungkinan India bisa menjadi basis produksi Rafale M; pasalnya saat ini Prancis sedang dikejar waktu untuk segera memproduksi ratusan Rafale dari berbagai negara. Dan kemungkinan fasilitas produksi mereka sudah penuh untuk saat ini.
Meski begitu, Rafale M sendiri memiliki sayap yang tak bisa dilipat; sehingga akan memakan banyak tempat saat di parkir di dek kapal induk. Juga senjata dan rel di ujung wingtip pesawat harus dilepas agar bisa masuk ke lift, yang akan membawanya ke ruang perawatan di bawah. Selain itu biaya akuisisi per unit bisa jadi akan lebih mahal, karena Rafale M dirancang khusus untuk Angkatan Laut dan berbeda dengan versi Angkatan Udara.
Selanjutnya, Rafale-M memiliki produksi terbatas kurang dari 50 unit, karena satu-satunya operator pesawat ini adalah Angkatan Laut Prancis. Yang membuat platform ini lebih mahal daripada jet Rafale yang dioperasikan oleh Angkatan Udara Prancis dan Super Hornet. Sementara dalam kasus F/A-18, hampir 1.500 pesawat generasi lama dan generasi baru sekarang diproduksi selama empat dekade terakhir, hal itu seharusnya mengurangi biaya operasi tertentu karena skala ekonomi.
Super Hornet juga memiliki mekanisme sayap lipat yang tidak dimiliki Rafale M, Boeing telah mengkonfirmasi dalam presentasi resminya kepada Angkatan Laut India bahwa pesawat tersebut dapat masuk ke dalam lift INS Vikrant dan INS Vikramaditya tanpa perlu melepas radome cone dan rel di ujung sayap. Varian kursi tunggal dan kursi ganda F/A-18 dapat beroperasi dari kapal induk, tidak seperti Rafale M varian kursi ganda yang harus beroperasi dari daratan.
Quote:
Menurut Boeing, Super Hornet sudah kompatibel dengan sistem dan platform lain dalam layanan Angkatan Laut India; seperti helikopter anti kapal selam MH-60 Romeo dan pesawat patroli maritim P-8I Poseidon. Faktor lain yang mungkin menguntungkan F/A-18 adalah mesin General Electric (GE) F414, mesin yang dipilih oleh India untuk menggerakkan pesawat tempur berbasis kapal induknya, Twin Engine Deck Based Fighter (TEDBF).
Dengan mesin ini, kru perawatan tidak perlu membawa suku cadang terpisah untuk dua mesin yang berbeda ketika kedua jenis pesawat berada di kapal induk yang sama. Ini juga akan menghemat biaya tambahan dalam melatih kru pemeliharaan untuk memperbaiki dua jenis mesin yang berbeda.
Namun, Safran, produsen mesin M-88 yang menggerakkan Rafale; baru-baru ini pada awal Juli 2022mengumumkan untuk mendirikan fasilitas Maintenance Repair Overhaul (MRO)senilai $150 juta di India. Fasilitas MRO diharapkan dapat melayani mesin CFM Airbus A320 dan Boeing 737 yang diproduksi oleh CFM Engineering, perusahaan patungan antara Safran dan General Electric.
Namun, tidak jelas apakah mesin M-88 Rafale kelak akan diservis di fasilitas ini juga ? Selain itu, Safran juga disebutkan sudah sangat dekat untuk menandatangani kesepakatan dengan Defence Research Development Organization (DRDO) guna mengembangkan mesin 125 KN untuk program pesawat tempur generasi kelima India, Advanced Medium Combat Aircraft (AMCA).
Agustus Semakin dekat, jadi pilih Super Hornet atau Rafale M ?
Referensi Tulisan: janes.com, eurasiantimes.com& hindustantimes.com
Sumber Foto: sudah tertera di atas




bigbullshit dan heatbl4st memberi reputasi
13
3.5K
36


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan