albyabby91Avatar border
TS
albyabby91
Di Belakangmu, Kesucianku Telah Terenggut
Di Belakangmu, Kesucianku Telah Terenggut

Sambil terisak-isak dengan langkah yang gontai, kuhampiri gagang pintu rumahku. Waktu hampir menjelang subuh saat kudapati suamiku telah dengan pulasnya tertidur. Kulewati malam panjang itu sebagai perempuan jadah yang durjana. Ohh,.... apa yang telah kulakukan? Berdosakah aku, wahai Tuhan?...

Namaku Risa. Aku seorang gadis berperawakan agak kurus, namun oleh karena kebiasaanku berolahraga menjadikan penampilanku lebih terlihat bugar dan enak dipandang mata. Aku seorang guru bahasa Inggris di sebuah sekolah swasta. Entah mengapa, aku yang dulunya seorang wanita polos dan sangat menjaga etika ketimuran, kini menjelma "buas" dan seolah tanpa kontrol. Ya, ini bukan tanpa sebab. Semuanya bermula dari pertemuanku dengan seorang lelaki, yang kini adalah suamiku itu.

Bulan Juni, sekira sepuluh tahun yang lalu, aku oleh kedua orang tuaku dijodohkan dengan seorang lelaki. Farid Ariansyah namanya. Dia anak seorang konglomerat ternama di sebuah kota besar. Nampaknya, nama besar dan kekayaan ayahnya menjadikan kedua orang tuaku tergiur untuk "menawarkan" aku pada mas Farid. Aku yang saat itu adalah wanita sederhana yang sama sekali tak pernah mengenal lelaki. Aku manut saja dan terjadilah pernikahan itu.
Pada mulanya, kehidupan kami berdua baik-baik saja. Mas Farid mengajarkanku banyak hal soal hubungan pasangan suami-istri. Dia cukup sabar membimbingku meski aku terkesan kaku dan tak pandai "memuaskan" dalam hal hubungan seksual. Lambat laun, aku mulai terbiasa dan belajar beberapa hal dan mulai bisa mengimbangi mas Farid yang rupanya sangat expert itu. Wajar saja, sebab sebelum menikah denganku dia memang terkenal playboy dan selalu berhubungan seks dengan bergonta-ganti wanita. Itu juga kemudian ku ketahui saat anak kami lahir. Mas Farid lebih sering tidur di kelab malam bersama wanita-wanita itu, daripada menemaniku dan Alyah, anak kami.

Malapetaka itu datang dalam usia pernikahan kami yang genap 10 tahun. Oleh sebab kebiasaan Mas Farid yang suka foya-foya, perusahaannya bangkrut. Semua aset dijual demi menutupi utang sana sini, termasuk juga rumah yang kami tinggali dulu. Kini, kami terpaksa pindah dan tinggal di sebuah kontrakan petak. Cukup untuk menanungi kami bertiga.

Dalam kondisi terpuruk, tak pernah sedikitpun aku terpikir untuk meninggalkan Mas Farid. Aku selalu mendukung dan menyemangatinya meski kini dia adalah seorang pengangguran sekaligus pecandu alkohol berat. Sebagai istri yang sayang keluarga, aku memutuskan untuk berusaha mencari pekerjaan yang layak. Mengajar saja tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan kami. Aku harus dapat lebih banyak uang sekarang.

Hari demi hari setelah pencarian yang panjang, seorang teman lama menawariku untuk bekerja di perusahaan miliknya. Rendi namanya.Awalnya aku menolak. Dengan dalih tak ingin kolusi, aku kemudian menawarkan diri untuk mengikuti seleksi umum saja. Jika pantas dan lolos seleksi, aku akan bekerja. Tetapi aku tak mau diterima dengan embel-embel sebagai teman. Takut nantinya akan dianggap berutang budi.

Lama aku berpikir dan bernegosiasi, atas segala pertimbangan akhirnya kuterima juga tawarannya. Aku rasa saat ini memang aku sangat membutuhkan pekerjaan dan harus mengumpulkan uang yang cukup. Syukur-syukur jika dapat menabung dan membuka usaha bersama suamiku jika modalnya sudah cukup. Hari yang dijanjikan pun telah tiba. Untuk dapat bekerja Rendi hanya mengajukan kepadaku satu syarat saja, menemaninya makan malam. Karena kurasa tak akan jadi soal, kusanggupi saja dengan mudah syarat itu. Setelah menjelaskan kepada Mas Farid suamiku dan menitipkan Alyah, aku segera beranjak menuju restoran yang sudah disepakati untuk makan malam itu.

Jam menunjukan pukul 20.00 saat aku tiba di restoran itu. Nampaknya Rendi belum sampai. Jadi kududuk saja santai sambil menunggunya. Tak lama, dering ponselku mengagetkan ku. Rendi menelepon dan mengatakan bahwa makan malamnya di hotel saja. Sebuah hotel yang tak jauh dari restoran itu saat dia mengirimkan lokasi via WA. Tanpa banyak berpikir aku segera ke sana. Sekira lima belas menit akupun tiba. Kudapati Rendi sedang menunggu di lobby depan memberi isyarat untuk mengikutinya ke lantai atas. Kami pun masuk lift dan kulihat Rendi menekan tombol angka 5, artinya kami akan ke lantai 5. Kutarik nafas pelan sebelum lift melaju menuju lantai 5 itu.

"Masuk, Ris. Gausah canggung" Rendi mempersilahkan. Kami lalu berada di sebuah kamar yang lumayan luas. Aku rasa ini sebuah apartemen.

"Ini Apartmen mu, Ren?" Tanyaku sebisanya.

"Iya, Ris. Sejak ditinggal istriku karena kecelakaan dua tahun lalu, aku memutuskan tinggal di sini, sendiri"

"Aku turut berduka yaa, Ren. Ga tau kalau istrimu telah berpulang".

"Iyaa, gapapa. Makasih loh, Ris. Oh ya, makan malamnya sebentar lagi tiba, kok. Nyantai aja dulu".

"Oh iyaa, Ren. Gak apa-apa. Gak enak aku udah ngerepotin kamu".

"Santai aja lagi, Ris. Aku emang udah lama sih nyariin kamu".

"Oh ya, Ren. Nyariin kenapa?"

"Ya kan kamu sendiri tahu, Ris. Dari dulu aku memang sudah naksir padamu. Hanya saat itu, aku belum berani bilang karena aku belum jadi apa-apa"

"Oh yaa. Kok aku gak pernah tahu yaa, Ren?"

"Gimana bisa tahu, Ris. Orang kamunya dingin banget sama cowok, kan. Hahaha"

Aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Rendi. Dalam hati aku merasa sedikit bersalah padanya. Namun di sisi lain, aku juga merasa bersalah pada suamiku, Mas Farid. Aku saat ini ada di posisi yang aku anggap tidak wajar. Tidak seharusnya hal ini terjadi.

Obrolan kami berlanjut hingga beberapa saat kemudian beberapa orang pelayan datang untuk mengantarkan makan malam kami. Kami pun segera menyelesaikan makan malam itu dengan lahap tanpa satu kalimat pun keluar dari mulut kami. Sesakali Rendi memandangiku, melempar senyuman. Akupun hanya menanggapinya dengan senyum tipis pula.

"Jadi gimana, Ren. Apa aku sudah bisa mulai bekerja?"

"Itu mah gampang, Ris. Kamu boleh kapan aja kok kalau pengen kerja. Saat ini, kita habiskan dulu malam ini bersama".

"Maksudnya gimana, Ren?" Tanyaku sekenanya. Perasaanku mulai tak enak.

"Yaa ngbrol aja dulu, Ris. Buru-buru amat kamu".

"Gak sih, Ren. Aku hanya gak enak sama Mas Farid. Dia dan Alyah udah nunggu dari tadi"

"Ouhh, kamu masih merasa kasihan sama suami yang udah bikin kamu seperti ini, Ris. Wow, hebat"

"Mau gimana lagi. Biar bagaimanapun dia adalah suamiku. Kami terikat pernikahan"

"Meski telah menyengsarakanmu, Ris?"

"Ya. Itulah konsekuensi dari sebuah pernikahan, Ren. Aku harus menghadapinya"

"Konsekuensi kamu bilang? Dari pernikahan yang bukan atas kemauanmu?"

"Ya. Memang itu bukan atas kemauanku. Tapi pernikahan itu sudah terjadi. Aku harus mencintai suamiku dan juga Alyah, anak kami".

"Ahhhhhhhh.... Sudahlah, Ris. Berhentilah berpura-pura".

Rendi yang sedari tadi duduk agak berjauhan kini mulai mendekatiku. Dan kini kami tinggal berjarak beberapa sentimeter saja lagi. Tanpa aba-aba, dia secara tiba-tiba meraih wajahku dan mengulum bibirku. Kucoba menepisnya, kujauhkan tangannya. Nampaknya Rendi sudah dibawah pengaruh alkohol, tercium jelas dari aroma mulutnya. Aku mulai merasa tidak nyaman. Kucoba menjauhinya agar tak menjangkau ku namum nampaknya usahaku sia-sia. Bibir itu kita telah mengulum bibirku lagi. Dijulurkannya lidahnya, badanku mulai gemetar merasakan getaran lain yang berusaha ku tepis. Nampaknya dia pandai memainkan ritme, aku kalah. Kini kami telah beradu, saling memainkan lidah. Aku telah sepenuhnya dikuasai oleh Rendi. Dia menindihku. Lenguhan itu menandakan aku telah terangsang oleh permainannya. Aku pasrah. Benda tumpul itu memasuki kewanitaanku, beradu dalam pacuan kenikmatan tiada tara. Oh, maaf kan aku Farid, maafkan aku sayang. Aku telah jatuh dalam nista malam ini.

***
bukhoriganAvatar border
penikmatbucinAvatar border
joyanwotoAvatar border
joyanwoto dan 19 lainnya memberi reputasi
16
7.2K
38
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan