Kaskus

Story

bukhoriganAvatar border
TS
bukhorigan
[COC-SFTH-CLBK] Mengemas Rasa Membungkus Rindu | Romance Short Story
[COC-SFTH-CLBK] Mengemas Rasa Membungkus Rindu | Romance Short Story

"RASA apa ini?" Tanyaku terpekik.

"Udah makan aja, bawel," jawab Ihsan.

"Kriuk...Kriuk...Duh...Udah gue bilang, jangan paksain beli cemilan aneh," hela nafasku menggerutu, ternyata rasa Strawberry. Sungguh aku tidak suka dengan rasa itu, terlebih harus dipadu dengan cemilan gandum ini. Rasanya sedikit aneh.

"Lu yang aneh Reno, masa rasa Strawberry dibilang aneh," geming Ihsan.

"Ya udah deh, mana soda gue?" Tanyaku menjulurkan tangan yang disambut lemparan kaleng soda darinya.

Bagi kami, siang hari menjelang pulang sekolah sangat membosankan. Sambil menunggu bel berbunyi, aku dan Ihsan memutuskan untuk duduk di kursi pinggir lapangan. Wajar saja, ini akhir pekan yang mana jam sekolah tidak sampai sore hari. Beberapa guru ada yang melaksanakan rapat, dan beberapa ada yang membimbing pelaksanaan ekskul. Sebagian siswa lalu lalang diantara koridor, ada juga yang membersihkan ruang kelas ramai-ramai. Siswa lainnya berkerumun untuk pelaksanaan Paskibra serta ekskul Basket. Begitu sesak dalam hirup pikuk di lapangan.

Siang ini cerah, terang sanubari terpancar ke setiap sudut sekolah. Layaknya siswa-siswi SMA pada umumnya, mereka terlihat menikmati masa muda mereka. Di ujung taman perpustakaan, ada yang syahdu duduk berduaan, yang lainnya bergerombol berpasangan membaca buku yang tentunya diselingi canda tawa.
Ah masa muda, terkadang aku tidak mengerti masa-masa yang kata Ayahku penuh dengan warna. Masa dimana perasaan kita bermekaran untuk seseorang yang kita suka. Namun, ini berbeda bagiku yang pendiam, pasif dengan bingar dunia. Bagiku sahabat satu-satunya adalah Ihsan, yang senantiasa menemaniku sejak kecil. Maklum saja kami bertetangga, jadi aku terbiasa dengan kehadirannya. Berbeda saat aku berbicara ataupun berpapasan dengan orang lain, sedikit kikuk bercampur canggung.

"Gile, cakep juga ya cewek Paskibra," celoteh Ihsan, sambil meminum soda seraya menatap kerumunan di tihang bendera.

"Kemarin anak Pramuka yang dibilang cakep," jawabku menggeleng heran.

"Grup...glup...beneran, coba deh tengok," balas Ihsan.

Bukan rahasia umum, jika siswa-siswi Paskibra itu terkenal akan karismanya, aku-pun bisa terpana untuk beberapa saat. Aku terfokus pada dua siswi yang dari kejauhan tengah berlatih membentang bendera, satu memakai kacamata dengan wajah tirus berkulit langsat, dengan gerik yang tertata rapih. Dan satu orang lagi? Ah aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Mereka saling melempar tawa satu sama lain karena kebingungan saat bendera tergulung hembusan angin.

Hingga kemudian, perempuan yang samar ku lihat itu membalik badan. Ternyata hal itu membuatku semakin jatuh dalam pandangan. Perempuan yang senyumnya menghipnotis siapapun yang memandangnya, binar terpancar. Bibirnya sehalus hembus angin yang menyejukan teriknya siang. Perempuan yang bisa memancing siapa saja untuk tertawa bersamanya. Wajah yang semampai dibalut rambut sebahu yang terikat anggun. Beberapa menit suasana seperti hening walau seisi lapangan gaduh tak menentu, karena pandanganku hanya berotasi pada perempuan itu.

"..."

"Re..."

"Renooo..." Suara samar terdengar, merogoh lamunanku.

"Woi kenapa lu melongo? Nih habisin sisa biskuit," Tanya Ihsan kesal.

"ES E N S O R.apa? Oh iya bener juga," Jawabku tersadar.

Untuk beberapa saat tadi, waktu seperti terhenti. Memasung batinku pada pandangan pertama, mengikatku menuju alam sukma yang indah.

"Uhuk...rasa apa ini?"

"Masih nanya juga lu," jawab Ihsan.

"Bukan...maksudku, ah lupain,"

Rasa apa? Rasa yang tidak menentu melihatnya. Dia masih tegap di lapangan, menari-nari di labirin pikiranku, menggosok-gosokan senyumnya di dua bola mataku. Dan aku masih terpaku di pinggir lapangan, tidak menahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang harus aku lakukan? Rasa apa ini?

"San, cewek yang diikat rambutnya itu siapa sih?" Tanyaku spontan.

"Yang mana? Yang pegang bendera itu? Oh itu Dinda, dia adik kelas kita,"

"Dinda ya..."

"Kenapa lu? Suka? Haha baru pertama kali juga lu nanya nama cewek ke gue, gini ya Ren cewek itu...bla...bla..."

Aku tidak terlalu peduli apa yang dikatakan Ihsan. Berlaga seperti Plato, yang menjelaskan definisi Cinta. Patut diakui dirinya pandai dalam berbaur hingga bisa mengenali banyak orang. Namun untuk pengalaman cinta masih sama-sama kencur. Sekarang bagiku, memandang Dinda adalah sebuah kenikmatan dibanding mendengar apa yang dikatakan Ihsan. Beberapa keping biskuit gandum Strawberry ini ku kunyah perlahan, dan tak terasa kepingan terakhir tertelan habis.

"Bla...bla...gitu intinya Ren, eh Ren lu merhatiin ga sih? Snack yg gue beli udah habis aja,"

"Eh, iya lupa," ku tengok bungkusan yang sudah mengempis.

"Ada-ada aja lu, katanya kaga suka," imbuh Ihsan menggelengkan kepala.

Aku tertawa kecil sembari melihat bungkusan cemilan ini, tertera kalimat yang menggelitik nalar ku, 'Biskuit yang memberimu banyak rasa'. Aku terpikir ide untuk menggunting kalimat ini dan menyampaikannya untuk Dinda. Betul juga, kenapa aku tidak langsung mencobanya saja?

"Ren, kita harus ke kelas, gue harus ambil gunting,"

"Hah, ada apa sih? Ren tunggu..." Tanya Ihsan, yang tak sempat menyelesaikan kalimatnya.

Kerah bajunya aku tarik, menemaniku berpetualang. Ku anggap dia partner layaknya game, memberi misi pertama yang harus ku selesaikan. Menuju tugas yang Tuhan fitrahkan bagi hati manusia, yaitu menemukan cinta yang bersemayam pada Dinda.
Jujur aku sangat bersemangat, karena untuk pertama kalinya hatiku berhasrat untuk mengejar perempuan. Terpacu untuk menemukan jawaban dari segala pertanyaan hatiku.

Sampai di kelas, aku membuka tempat pensil. Dengan sigap menggunting untaian kata pada bungkusan ini, yang menurut seorang pasif sepertiku sangat berharga.

"Seriusan dah, ini ada apa sih?" Ihsan terlihat mengerenyitkan pandangannya, terheran dengan apa yang aku lakukan.

"Udah diem aja, sekarang tunjukin gue loker anak kelas satu. Itu kan tongkrongan lu buat kenalan sama cewek, lu sering disana kan?"

"Iya sih bener, tapi yakin mau langsung tancap gas?"

"Beneran," jawabku meyakinkan Ihsan.

Kami berjalan lebih kencang, menuju koridor loker siswa-siswi sekolah ini. Hingga di pertengahan ruas kelas satu, akhirnya kami menemukan loker yang bertuliskan nama Dinda.

'...ku...yang memberimu banyak rasa,' potongan bungkus biskuit itu masuk ke dalam lokernya, aku yakin sepulang ekskul dia akan membuka loker ini lalu bisa membacanya.
Mungkin benar, jika aku bisa saja menyapa langsung. Tapi mentalku bukan mental tempur. Aku hanya ingin menjadi penanda jika ada seseorang yang menyukainya. Kelak saat keberanian ku terkumpul, akan ku sambar ladang bunga yang mekar. Menyusun kata sebaik mungkin dan ku persembahkan padanya, pada puan yang menggetarkan hatiku.

***

Hari ke hari, Minggu ke minggu. Aku selalu melihat Dinda dari jendela kelas, ini sebuah keberuntungan karena kelas kami saling berhadapan mengapit lapangan. Manusia acuh sepertiku ternyata mampu terpasung akan lamunan karena perempuan itu. Aku tersenyum saat dia kembali dari loker, lalu membaca segala suratku yang ku gunting dari bungkus makanan.

'Kusuka' dari bungkus keripik. Karton susu kemasan yang bertuliskan 'Menyegarkanmu'. Sampai beberapa kali aku menggantung coklat di pintu lokernya disertai kata-kata 'Membuat harimu semanis coklat'.

Terdengar Absurd dan bodoh. Namun ini caraku menyusun kata sebaik mungkin, berharap dia selalu mengingatnya. Terbukti, wajahnya selalu tersenyum saat menerima segala pemberianku. Sungguh, akan ku kemas segala rasa yang membuncah, dan ku bungkus segala rindu yang meletup hanya untuknya seorang.
Jam-jam sekolah aku habiskan untuk memandangnya dari kejauhan. Di meja kantin, pelataran kelas, gerbang depan, sampai tengah lapangan di akhir pekan. Tak pernah bosan memandangnya.

Tak terasa puncak akhir semester tiba. Kulihat Ihsan bergelut dengan kisi-kisi ujian di pinggiran kelas, berharap nilainya mampu menembus apa yang dicitakan. Katanya dia ingin masuk ke kampus negeri di Depok. Berbeda dengan Ihsan, sampai saat ini aku masih sibuk mencari keberadaan Dinda. Apa hari ini dia menerima 'potongan' suratku?

Di sore sepulang sekolah, rembulan petang muncul di ufuk timur. Titik cahaya itu mencuat di atas langit sekolah. Tuhan seperti memberi tanda akan anugerah yang sebentar lagi turun.
Benar saja, Dinda keluar dari kelas bersama teman-temannya menuju koridor loker.
Aku memutuskan untuk mengikutinya, berharap untuk melihat langsung saat Dinda membaca 'surat bungkus makanan' kirimanku.

"Dinda aku duluan ya," ucap temannya, meninggalkan Dinda di koridor.

"Dahhh...sampai jumpa nanti," lambai Dinda, sambil membuka lokernya.

Aku menguntit kecantikannya dari balik tihang penyangga sekolah. Di teras itu, lembayung sore menyinari jarak antara kami berdua. Tanpa sapa, tanpa kata. Hanya antara kami yang diwakili surat-suratku.
Dinda tersenyum, saat pemuja rahasianya kembali mengirim surat. Melihatnya tersipu, membuatku bertekad untuk menyapanya segera. Untuk berkata, jika akulah sang pemujanya.

"Non Dinda? Ayo lekas pulang," tetiba datang seorang paruh baya, supir yang senantiasa menjemputnya.

"Eh? Iya pak," Dinda mengunci loker, menuju halaman parkir.

Aku masih melihatnya, menjauh dari pandangan dengan rasa sesal. Saat mobilnya keluar, aku tersadar jika akhir pekan ini adalah hari-hari terakhir di sekolah menyambut libur semester. Artinya sampai beberapa minggu kemudian, aku akan tersiksa rindu.

***

Penghujung musim dingin di semester baru, pelataran sekolah di pagi hari masih persis seperti sebelumnya. Ternyata, liburan kali ini jauh lebih berat, karena tak kuasa menahan rindu yang dalam. Saat ini, aku hanya diam terpojok di teras kelas, berharap jika Dinda membuka lokernya. Kemudian menyambar potongan kata 'merindukanmu' dariku.

Menit demi menit aku nantikan, terlihat ada sosok perempuan melangkah menuju loker yang menjadi kotak suratku.

Sempat aku mengkerutkan mata. Aneh, justru yang membuka loker Dinda adalah perempuan lain. Dengan cemas, aku melihat lebih dekat. Betul, itu bukan Dinda! Terlihat dirinya tidak mengerti kenapa ada sepotong sampah berserak di lokernya. kemanakah Dinda?

Dengan gesit, aku berjalan menuju kelas Dinda, ternyata bangku yang biasa dia tempati benar-benar kosong. Apa dia sakit? Lantas kenapa loker itu berganti pemilik?

Di jam istirahat, aku melamun kosong di meja kantin. Tiba-tiba, Ihsan datang menepuk pundak menyadarkanku.

"Bro, Hosh...hosh.S E N S O Rinda...Itu Dinda lu," ucap Ihsan tertahan nafas.

"Ya kenapa?" Tanyaku mengharapkan jawaban.

"Ternyata dia pindah dari sekolah ini,"

Mataku nanar, jauh lebih kosong dari lamunanku sebelumnya. Ku lihat Ihsan masih berkata-kata tentang Dinda. Namun di bait pertama sudah membuatku gelap. Berada di titik paling sakit, bukan tentang cinta yang tak terbalas tetapi cinta yang tak mampu tersampaikan.

Bagiku, hari ini sudah selesai. Tak perlu lagi dilanjutkan.

Dia telah hilang.

***

Tiga Tahun Kemudian


Bis ini terjebak macet, sesak diantara penumpang yang berjejal. Beruntung, aku dipersilahkan duduk oleh Bapak itu, mungkin sebentar lagi dirinya akan sampai di tujuan. Pemandangan itu sangat umum di angkutan kota ini. Setelah beberapa kilometer berdiri dalam Bis, akhirnya aku bisa duduk dan membenarkan Earphoneyang sempat kusut tadi. Bis terhenti di perempatan lampu merah, lalu beberapa orang berdesakan menuju pintu keluar. Membawa segenap harapan mereka untuk menjemput segala tujuan dalam hidup.

Seperti diriku sekarang, mengejar pendidikan jauh dari kampung halaman. Sambil terduduk di samping jendela Bis, beberapa kali aku memeriksa makalah yang satu minggu ini ku susun. Makalah yang harus diserahkan pada dosen yang menantiku sejak pagi. Ditemani Siniar yang membahas dunia pendidikan, orang biasa menyebutnya Podcast. Terdengar Siniar berganti segmen pada literatur remaja, membahas bahasa dan puisi tentang cinta. Sambil mendengarkan pembawa acara, makalah ini aku tutup lalu memandang keluar saat angin perkotaan berhembus ke sela-sela jendela Bis.

Quote:

"Ah, mencinta ya. Namun pada siapa?" Puisi yang terdengar seperti mengusik batinku, membuka tabir yang lama aku lupakan.

Setengah jam kemudian, Bis berhenti di ruas halte Jalan Sudirman. Aku harus berjalan beberapa meter lagi menuju kampus Trisakti, kampus kebanggaan Jakarta.
Halte bis ini terlihat diisi beberapa Mahasiswa ditemani pedagang buah yang menawarkan dagangannya. Saat Siniar yang kudengar pun selesai, aku memasukan Earphonedalam tas dan melanjutkan langkah menyusuri trotoar. Melamun acuh pada sekitar. Mungkin hanya Siniar itu yang menemaniku setiap harinya, seperti ada yang mengajak bicara padaku yang sampai saat ini masih pasif akan sekitar. Enggan untuk banyak berbicara.

Gawaiku bergetar, terlihat Ihsan menelpon ku. Aku hanya mengkerutkan dahi, tumben sekali dia menelpon di jam kampusnya yang sibuk.

"[Halo Ren? Gimana kabar lu?]"

"Baik San, tumben lu telpon?"

"[Haha, emang kenapa? Lu masih jomblo? Buset dah Ren, cewek Trisakti cakep dan pinter-pinter loh, masa belum nemu juga?]"

"Ya beginilah," Jawabku tersenyum kecut.

"[Inget bro, Cinta akan selalu datang dari arah yang tak terduga, mungkin lu jomblo karena ditakdirkan sama seseorang yang elu harapkan dari dulu...]"

Untuk beberapa saat aku termenung dengan kata-kata Ihsan, apakah mungkin jika perempuan yang membuatku jatuh pada kerinduan bisa hadir kembali? Tidak mungkin!

"[Ya udah Ren, minggu ini balik kampung kan? Kita ngopi di tempat biasa, sambil gue bawa cemilan strawberry favorit lu haha...]"

"Udah jangan dibahas lagi san,"

"[Haha see you later bro,]"

"Oke San,"

Terik matahari dan hembusan angin diantara pohon-pohon trotoar, membawa langkahku bernostalgi pada masa-masa SMA. Indah sekali masa-masa itu. Hingga beberapa menit kemudian aku sampai di komplek trisakti, tepat disamping gerbang ada verai dari Kopi Susu terkenal. Untuk menghilangkan haus sekaligus kantuk, aku memutuskan untuk membeli satu cup Coffee-Late.

Halaman kampus digerayangi wajah-wajah yang tak ku kenal, karena saat ini tahun ajaran baru. Yang ku ingat BEM selesai melaksanakan MOS di minggu kemarin, pantas saja orang-orang sekitar terlihat asing bagiku. Apa bedanya? Kenal tak kenal, bagiku mereka terlihat sama.

Memasuki gedung kampus, aku menuju pintu loker untuk mengambil beberapa keperluan. Menyimpan jaket lu membawa buku studi Filsafat. Ku teguk kopi ini sambil membereskan isi lokerku yang sedikit berantakan. Jadwal kuliah aku tempel disamping foto-foto kelulusan SMA yang merekat di balik pintu. Lalu menyusun bolpoin dan type-x yang tercecer, hingga gunting kenangan yang selalu aku pakai memotong bungkus makanan. Aku sempat tersenyum memgingat segala kenangan itu.

Saat masih menyibukan diri, satu meter dariku terlihat kaki perempuan yang sama-sama sedang membereskan lokernya. Wajahnya tertutup pintu loker itu. Ku melirik lagi pada kaki jenjangnya, mengkilap lembut dengan sepatu putih yang ia kenakan. Ah apalagi ini? Rambutnya terlihat panjang. Terikat rapih menjuntai ke punggung.

Penasaran, ku lihat lagi secara seksama. Tetiba dia menjatuhkan sebongkah kotak kecil yang menghamburkan segala isinya. Menyebar dan berceceran di lantai. Dia langsung tertunduk panik, memunggut cepat benda-benda yang berserakan itu.

Tunggu dulu! Bukankah itu? Secarik bungkus makanan yang terbuat dari kertas, tergeletak dibawah. Terbaca jelas jika tulisannya '...ku...yang memberimu banyak rasa'

Lorong-lorong gelap kehidupanku seperti menemukan titik terang di ujung jalan. Potongan kata-kata itu tidak asing, karena itu merupakan surat-suratku padanya selama ini. Hal itu menjawab segala pertanyaan yang selama ini kutunggu. Benar, ia Dinda. Dia masih menyimpan segala surat dari 'bungkus makanan' yang kupersembahkan hanya untuknya seorang.

Perempuan itu seperti didera malu pada sekitarnya, mungkin dia berpikir kenapa ada seseorang yang mau mengumpulkan potongan kecil itu. Tanpa berpikir panjang, aku tidak ingin meliriknya dahulu. Lantas mengambil gunting, mengunci loker, lalu bergegas ke tempat aku bisa menemukan bungkus makanan. Kisah ini memang menuntut penyelesaian, kisah yang harusnya tuntas sejak dulu!

***

Sore hari, sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Dia menuju loker itu, membukanya kemudian ia tertegun untuk beberapa saat. Mengambil potongan yang selama ini tidak asing baginya, lalu melirik ke sekitar. Mungkin berpikir siapa gerangan yang mengirim kata-kata ini. Surat dari bungkus makanan yang sampai saat ini membuatnya penasaran.

'Better Latte than never' begitulah kata-katanya. Aku mengguntingnya dari cup Kopi Susu tadi pagi.

"Lebih baik Latte(telat), daripada tidak sama sekali," aku menyapa untuk pertama kalinya, tepat di hadapan Dinda yang masih tak percaya jika pemujanya selama ini hadir.

"Jadi kamu..."

"Hai..." Ucapku lembut.

"Hai juga..."

"Kenapa tidak daridulu?" Tanya Dinda mulai menyunggingkan senyumnya.

"Maaf, bagiku...butuh keberanian yang cukup untuk sekedar...mengatakan hai,"

"Mm...baiklah," jawab Dinda dengan tersipu.

"Din, sebelum segalanya terlambat, aku hanya ingin mengatakan jika aku...lalu aku ini begitu mS E N S O R.menyukai..."

Beberapa kali kata-kataku tersendat, masih dengan rasa yang tak percaya akan kehadirannya.

"Pelan-pelan aja," ucap Dinda menenangkan.

"Maaf, aku...aku hanya takut dan bingung jika suatu saat nanti kamu pergi dari hadapa..."

"Sssttt," jari Dinda menutup bibirku yang bergetar gugup.
"Aku janji tidak akan kemana-mana, rumah ku ada di kota ini. Dengan senang hati jika kamu masih mau mengirim segala surat-surat itu, tapi sekarang aku mohon harus lewat suaramu," imbuh Dinda menyegarkan leherku yang serak sedari awal.

Kami tersenyum di percakapan petang itu, jauh lebih dekat dan terhanyut dalam kenangan.
Sama seperti hari itu, langit sore hari menembus diantara kaca-kaca di atap kelas. Seperti menerangi kisah kami berdua yang terhanyut memadu rindu di lorong itu.

"Rasa apa ini?" Gumamku haru.

Ternyata rasa cinta yang teramat dalam. Padanya, rasa ini masih aku simpan sampai sekarang. Layaknya bunga-bunga malam yang mekar oleh rembulan petang. Layaknya rasa masam yang tidak ku sukai, namun berakhir manis seperti Strawberry.

Akhirnya cintaku kembali bersemi yang terlahir diantara jarak dan waktu, kembali menatap di titik temu yang tak pernah kusangka. Terlahir diantara takdir dan harapan.

Potongan kata-kata itu, akhirnya tersusun indah dalam genggam hatiku.

THE END


Spoiler for image source:
Diubah oleh bukhorigan 10-07-2022 23:16
andrerain5Avatar border
DheaafifahAvatar border
terbitcomytAvatar border
terbitcomyt dan 13 lainnya memberi reputasi
14
1.4K
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan