- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Setangkai Mawar


TS
o.best
Setangkai Mawar

Quote:
"Stasiun Karawang, stasiun karawang sebentar lagi, yang turun siap-siap."Teriak seorang pedagang asongan berjalan ditengah gerbong menapaki setiap jengkal bangku penumpang hanya sekadar menawarkan dagangannya.
Aku sedari tadi duduk di antara deretan bangku kereta tepat di dekat jendela yang berembun, memandangi laju kereta ditengah percikan air yang terus berjatuhan dari langit. Saat itu, karawang dilanda hujan yang cukup deras, langit yang gelap gulita tertutup oleh gumpalan awan hitam seakan tidak mengizinkan cahaya mentari untuk masuk menerangi kota ini.
Ah! desahku mengatakan seperti ini setiap harinya ketika musim penghujan tiba.
Aku mengepaki beberapa peralatan elektronik yang ku bawa dengan menggunakan kantong plastik yang tersimpan didalam tas. Terlihat laju kereta perlahan mulai terhenti, aku berdiri berjalan kearah pintu di tengah gerbong yang tidak terlalu ramai, genangan air nampak memenuhi di beberapa sisi lantai gerbong.
Ting nong..Ting nong priiiitt! suara peluit dari pengawas stasiun yang sedang berdiri di depan kantor memberitahu kereta agar segera berangkat. Aku sendiri setelah turun dari kereta langsung berteduh dan memandangi setiap tetes air hujan yang terus membasahi setiap celah kerikil-kerikil yang rela menahan beban bantalan rel kereta demi kehidupan dan aktifitas manusia.
"Mamah..." Teriak anakku dari seberang stasiun membawa payung yang cukup besar ditengah air hujan yang menghantamnya.
Hari yang begitu melelahkan sepertinya tak terasa, ketika anakku berdiri melambai menunggu kepulanganku distasiun ini. Memang benar, jarak dari stasiun ke rumahku tidaklah terlalu jauh hanya sekitar 100 meter.
"Mah, hari ini adek ulangan dapat nilai 100 loh." sahutnya ketika kami sedang berjalan.
"Wah, anak mamah pintar sekali ya, berarti malam ini mamah akan buatkan adek nasi goreng telor mata sapi"
"Asik, pakai sosis sama nugget ya mah?" teriaknya gembira sambil memasuki rumah.
Aku hanya tersenyum memandanginya, kegembiraan ini menghapuskan setiap jerih payah yang telah ku lakukan sejak 8 tahun yang lalu. Kini Anggara nama anakku yang ku tuliskan didalam kartu keluargaku sudah semakin besar, meski aku adalah ibu tunggal yang membesarkannya sejak dirahim dahulu namun tak ada sedikitpun kesedihanku ketika bersamanya. Anggara adalah satu-satunya yang kumiliki, dia dibesarkan tanpa ayah disampingnya, tanpa kakek, dan tanpa nenek. Karena aku sendiri juga dilahirkan dan besar sebagai anak yatim piatu, dan aku relakan apapun hanya untuk anakku.
Anggara membantuku membenahi seisi rumah, meski terbilang dia masih kecil namun perlakuan dan pikirannya sudah sangatlah jauh dibandingkan dengan anak seumurannya.
"Mah, besok disekolahan ada pertemuan orang tua murid, tapi katanya cuma ayah aja yang datang, tapi kan adek ga punya ayah." sahutnya di atas meja makan dengan raut wajah yang terlihat sedih, kepalanya menunduk, tangannya memegangi sendok.
"Adek jangan sedih, kan ada Paman Geo yang biasa nemanin adek kalau ada pertemuan ayah." jawabku menenangi kesedihan Anggara.
"Tapi teman-teman adek suka ngeledekin katanya itu bukan ayah adek tapi ayahnya egy." Anggara menangis dengan wajahnya menunduk dibenamkan diantara kedua tangannya.
Aku memeluk Anggara, mengelusnya perlahan untuk menenangkan kesedihannya.
"Yaudah adek makan dulu ya sekarang, katanya kita mau ngerayain hasil ulangan adek yang dapat nilai 100." ucapku memegangi kepala Anggara dan menghapus setiap air mata yang berlinang diwajahnya.
Anggara menurutiku, akupun menyendokan beberapa sendok nasi goreng dipiringnya, kami berdua mengakhiri malam ini dengan cerita dari Anggara. Akupun tidak bisa memungkiri apa yang dirasakan olehnya, karena dahulu aku pun juga merasakannya. Setelah Anggara makan, aku hantarkan dia kekamarnya dan menyuruhnya segera tidur.
Usiaku kini beranjak 27 tahun, banyak para pembeli yang bilang bahwa aku sangatlah cantik tubuhku kurus dan putih dengan rambut hitam lurus. Bahkan beberapa pria mencoba melamarku, tapi aku menolaknya bukan karena aku tak cinta, cuma aku tak mau merasakan sakit ditinggalkan kembali.
Warung bubur ini adalah satu-satunya usaha yang ku jalani menghidupkan aku dan Anggara. Tak sedikitpun aku mendengar ocehan dan nyinyiran para tetangga yang menyebutku seperti perempuan malam, karena usaha bubur ini aku buka menjelang malam sampai tengah malam. Tapi aku tetap menghiraukan mereka pada dasarnya aku menjalani semua ini tanpa menjual diri, tanpa melakukan prostitusi terselebung.
----
Pagi ini, Anggara berangkat bersama egy dan ayahnya, kutitipkan salam untuk wali kelas Anggara melalui Ayahnya egy. Bukan hanya pertemuan antara ayah saja disekolah saat ini sepertinya akan ada semacam Cerdas Cermat itu yang diutarakan oleh Ayahnya egy sebelum berangkat mengantarkan mereka berdua.
Hari ini terlihat sangat cerah ketika sinar mentari menyilaukan mataku, terdengar celoteh kecil dari burung-burung yang bertebaran di udara dan dijalan. Seperti biasa kegiatanku pagi ini adalah belanja kebutuhan untuk nanti malam.
"Mang, ada kacang hijau ga?"ucapku ketika berada diwarung sayuran yang tak jauh letaknya dari rumah petakanku, banyak tetangga juga yang belanja disini.
"Ada, neng mau berapa?" tanya sang pedagang mengeluarkan bungkus karung kecil berisikan kacang hijau.
"sekilo aja mang" sahutku sambil memilih sayuran untuk makan siang nanti.
"Eleuh, eleuh si neng udah disini aja" sahut seorang wanita tua, suara yang kukenal ialah ibunya egy.
"Eh teteh, iya nih belanja buat makan siang nanti Anggara."
"Neng, kenapa ga ikut kesekolah aja tadi? Tau ga nanti tuh bakalan ada Kuis Cerdas Cermat antar kelas katanya, terus yang menang akan dapat beasiswa loh neng dari Adi Sentosa Group. Nah, yang kasih beasiswanya nanti itu langsung dari pemiliknya loh."
Jleb!!! aku terpaku.
"Ha? Apa teh?" tanyaku setelah terpaku mendengar ucapan dari ibunya egy.
"Ya, disekolah ada cerdas cermat nanti dan dapat beasiswa dari Adi Sentosa Group." sekali lagi ibunya egy menjelaskan kepadaku.
Aku bingung seketika mendengar apa yang diucapkan ibunya egy setelah mendengar nama Adi Sentosa Group, itu merupakan perusahaan yang Reza rintis saat dahulu kala. Aku bergegas menyelesaikan beberapa belanjaan yang telah ku pilih, setelah itu akupun pulang dan segera kesekolahan.
---
Suasana disekolah
"Oke adik-adik ini pertanyaan terakhir dari final kelas saat ini, jadi siapkan diri kalian dengan jawaban yang tepat ya."
"Iya pak"
"Kalian pasti tahu ini, Menjelang Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, setiap detik adalah sejarah berarti. Salah satunya kisah penculikan Sukarno-Hatta dari Menteng, Jakarta Pusat, ke Rengasdengklok, Karawang, dan menginap dua malam di sebuah rumah. Dirumah ini Presiden Soekarno merumuskan naskah proklamasi kemerdekaan indonesia yang diucapkan dan memerdekan indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pertanyaannya rumah milik siapakah yang didiami oleh Presiden Soekarno dan Moh. Hatta selama di rengasdengklok karawang?"
Hening seketika suasana cerdas cermat beberapa peserta berbincang dengan teman segroupnya untuk menemukan jawaban yang telah dilontarkan oleh panitia.
"Pak saya pak" teriak Anggara memecahkan keheningan dari salah satu group.
"Iya apa jawabannya?"
"Rumah Djiaw Kie Song pak"
"Iya benar sekali"
"Horeee!!!" teriak seluruh peserta group merayakannya.
Itu adalah penghitungan terakhir dari sesi akhir cerdas cermat, dan point akan dihitung secara bersama, group yang memiliki point terbanyak dialah pemenangnya.
"Pak kepala sekolah, saya mau tanya sesuatu" ucap seorang pemilik Adi Sentosa Group
"Siapa nama anak itu?"
"Namanya Anggara pak, dia anak terbaik disekolahan ini, beberapa kali menjuarai cerdas cermat bukan disekolah sini saja tapi dikancah kabupaten juga menempati posisi pertama dan membawa sekolah ini menjadi yang terbaik."
"Saya boleh bertemu dengan orang tuanya pak?"
"Dia anak yatim pak, mungkin bisa bertemu dengan ibunya nanti atau pamannya saat ini yang sedang duduk di kursi sebelah sana pak."
Waktunya pengumuman disiapkan.
"Pemenangnya sudah didapatkan, kita sambut dari kelas 4B sebagai juara pertama."
"Horeeee."
"Salah satu perwakilan kelas boleh naik kepanggung untuk serah terima beasiswa."
"Kamu aja Anggara yang naik." ucap temannya secara bersama.
"Iya kamu aja, kan dari tadi kamu yang jawab pertanyaannya." sahut teman lainnya
Anggara berjalan menaiki anak tangga, wajahnya tersenyum diiringi oleh sorak suara teman-teman yang mendukungnya, ini adalah moment ketika Reza sang pemilik Adi Sentosa Group memberikan Beasiswa kepada Anggara.
----
Aku berlari dengan tergesa saat itu, waktu sudah semakin siang, segeralah aku memasuki kesekolahan dengan berlari ke arah pintu aula sekolah. Disana aku terdiam kaku berdiri melihat Anggara berdiri disamping Reza, tangannya merangkul Anggara saat sesi foto. Aku meneteskan airmata, Reza menatap kearahku wajahnyapun terdiam. Perlahan Reza menuruni tangga namun saat itu kepala sekolah menghampirinya dan berbincang bahkan kepala sekolah menunjuk kearahku.
Reza berjalan perlahan, langkahnya pendek namun terarah padaku, wajahnya lurus matanya tetap menatapku tanpa menoleh kemanapun.
Kami bertemu, kami saling bertatapan, mata itu, wajah itu, aku kembali melihat sosok baik Reza saat ini. Ya dia bukan Reza yang pergi meninggalkanku melainkan Reza yang baik hatinya, aku sangat kenal dia, aku sangat mengenal wajahnya, aku sangat mengenal sikapnya.
Tetesan air mengalir diantara hidung dan pipiku.
"Andita" ucap Reza dihadapanku.
Aku hanya mengangguk menjatuhkan air mata. Aku tak menyangka bertemu dengannya kembali disini.
Aku dan Reza pergi kesebuah Cafe tak jauh dari sekolah, aku yang kebingungan tak tahu harus berkata apa, tapi melihat Reza didepanku saat ini bukanlah Reza yang saat itu mengusirku, ini adalah Reza yang sangat kukenal.
"ehm, Itu itu apa benar anak itu anakmu?" ucap Reza matanya kesana kesini, mulutnya terpatah-patah.
"Iya benar."
"Selama ini kamu membesarkannya sendiri?"
"Iya, aku bertahan disini berdua bersama Anggara."
"Ang, siapa? Angg...?" ucap Reza Terpatah.
"Anggara" sahutku memperjelas nama anak yang kulahirkan saat itu dan dia anak yang Reza rangkul tadi.
"Jadi, jadi dia anakku juga?"
Aku hanya mengangguk, melihat wajah Reza yang heran dan bingung.
"Aku sudah dengar tadi dari kepala sekolah, katanya Anggara anak terbaik dikota ini, tapi aku ga menyangka bahwa dia adalah anakku juga."
"Anakku mas!" Ucapku sedikit membesarkan anada suara.
"Ah iya, tapi kan dia juga dariku."
"Iya, tapi mas ga pernah ada untuknya, mas ga pernah disampingnya, mas ga pernah mendengar ocehannya, mas ga pernah dengar tangisannya, mas ga pernah mendengar keluhannya ketika dia diejek oleh teman-temannya karena tidak memiliki ayah." tangisku pecah mengatakan hal tersebut kepada Reza sosok seorang ayah yang telah menelantarkan anak dan ibunya.
"Maafkan mas kalau begitu tapi, bisakah saat ini mas membantu mu dan Anggara?."
"Kenapa mas? Kenapa baru sekarang? Kenapa ga dari dulu mas mempertahankan aku saat itu?" aku sesegukkan mengatakannya.
"sebenarnya Ibu sudah meninggal beberapa tahun lalu." ucapnya menunduk.
"Apa mas? Ibu sudah meninggal?" aku menutup mulutku, aku kembali menangis. Ibunya Reza yang dulu memisahkan aku dengannya kini telah tiada.
"Iya, ibu sudah tidak ada didunia. Dan semenjak ibu pergi meninggalkan mas ke alam sana, mas berusaha mencari kamu di Jakarta, tapi tak ada satupun jejak yang mengetahui keberadaanmu." ucap reza "Mas, minta maaf, sebenarnya itu semua keputusan ibu, ibu hanya ga mau memiliki menantu yang tidak memiliki latar belakang keluarga. Maspun sebenarnya tidak mau meninggalkan kamu, tapi karena keputusan itu mas tidak bisa berbuata apa-apa, dan sebenarnya uang yang mas kasihkan ke kamu itu uang mas sepenuhnya, mas ga mau kamu hidup sengsara diluar sana apalagi kamu sedang mengandung, dan sekarang mas akhirnya bisa ketemu kamu dan anak mas secara tidak sengaja, mas mau memulai kembali denganmu."
Reza mengajakku dan Anggara pergi kesebuah tempat wisata setelah acara selesai. Aku melihat sosok Reza layaknya seorang ayah yang merindukan anaknya, ia tak pernah jauh dari Anggara, ia selalu menggendongnya, dan tertawa bersamanya.
Malampun tiba ketika suasana kota mulai hening, Reza mengantarkan kami berdua pulang ke rumah petakan yang kami huni selama ini.
"Kamu tinggal disini selama ini?" Tanya reza keluar sambil menutup mobil.
"Iya mas, silahkan masuk dulu."
Reza menatapi setiap lekuk celah dirumahku ini, bahkan beberapa kali ia melihat sekitar jalan dan rumah. Ketika ia memasuki rumah, dia terpana kaku ketika sebuah Vas bunga kaca terisi setangkai mawar terhias indah menempel didinding yang begitu terang disisinya terdapat beberapa lampu meneranginya.
"Dek, itu?" Reza menunjuk kearah vas bunga.
"Itu, Setangkai Mawar yang mas berikan saat mengatakan cinta ke aku, dan aku menyimpannya hingga saat ini."
"Sudah lama sekali, kamu masih mempertahankannya?"
"Bukan hanya setangkai mawar, tapi benih yang mas tanam sudah besar seperti ini." tanganku mengelus rambut Anggara.
Hari itu, mengawali kisah lembaran baru hidupku. Reza akhirnya mengajakku kembali kerumahnya di jakarta, dan Anggarapun tahu kini bahwa Ayahnya masih ada dan hidup.
Reza menikahiku secara resmi di KUA dan tercatat dalam dokumen negara, kini Aku dan Anggara tidak lagi hidup dalam kesusahan. Dan Anggara menjadi sosok yang lebih hebat.
Setangkai Mawar ini masih kusimpan dalam vas bunga kaca.
Aku sedari tadi duduk di antara deretan bangku kereta tepat di dekat jendela yang berembun, memandangi laju kereta ditengah percikan air yang terus berjatuhan dari langit. Saat itu, karawang dilanda hujan yang cukup deras, langit yang gelap gulita tertutup oleh gumpalan awan hitam seakan tidak mengizinkan cahaya mentari untuk masuk menerangi kota ini.
Ah! desahku mengatakan seperti ini setiap harinya ketika musim penghujan tiba.
Aku mengepaki beberapa peralatan elektronik yang ku bawa dengan menggunakan kantong plastik yang tersimpan didalam tas. Terlihat laju kereta perlahan mulai terhenti, aku berdiri berjalan kearah pintu di tengah gerbong yang tidak terlalu ramai, genangan air nampak memenuhi di beberapa sisi lantai gerbong.
Ting nong..Ting nong priiiitt! suara peluit dari pengawas stasiun yang sedang berdiri di depan kantor memberitahu kereta agar segera berangkat. Aku sendiri setelah turun dari kereta langsung berteduh dan memandangi setiap tetes air hujan yang terus membasahi setiap celah kerikil-kerikil yang rela menahan beban bantalan rel kereta demi kehidupan dan aktifitas manusia.
"Mamah..." Teriak anakku dari seberang stasiun membawa payung yang cukup besar ditengah air hujan yang menghantamnya.
Hari yang begitu melelahkan sepertinya tak terasa, ketika anakku berdiri melambai menunggu kepulanganku distasiun ini. Memang benar, jarak dari stasiun ke rumahku tidaklah terlalu jauh hanya sekitar 100 meter.
"Mah, hari ini adek ulangan dapat nilai 100 loh." sahutnya ketika kami sedang berjalan.
"Wah, anak mamah pintar sekali ya, berarti malam ini mamah akan buatkan adek nasi goreng telor mata sapi"
"Asik, pakai sosis sama nugget ya mah?" teriaknya gembira sambil memasuki rumah.
Aku hanya tersenyum memandanginya, kegembiraan ini menghapuskan setiap jerih payah yang telah ku lakukan sejak 8 tahun yang lalu. Kini Anggara nama anakku yang ku tuliskan didalam kartu keluargaku sudah semakin besar, meski aku adalah ibu tunggal yang membesarkannya sejak dirahim dahulu namun tak ada sedikitpun kesedihanku ketika bersamanya. Anggara adalah satu-satunya yang kumiliki, dia dibesarkan tanpa ayah disampingnya, tanpa kakek, dan tanpa nenek. Karena aku sendiri juga dilahirkan dan besar sebagai anak yatim piatu, dan aku relakan apapun hanya untuk anakku.
Anggara membantuku membenahi seisi rumah, meski terbilang dia masih kecil namun perlakuan dan pikirannya sudah sangatlah jauh dibandingkan dengan anak seumurannya.
"Mah, besok disekolahan ada pertemuan orang tua murid, tapi katanya cuma ayah aja yang datang, tapi kan adek ga punya ayah." sahutnya di atas meja makan dengan raut wajah yang terlihat sedih, kepalanya menunduk, tangannya memegangi sendok.
"Adek jangan sedih, kan ada Paman Geo yang biasa nemanin adek kalau ada pertemuan ayah." jawabku menenangi kesedihan Anggara.
"Tapi teman-teman adek suka ngeledekin katanya itu bukan ayah adek tapi ayahnya egy." Anggara menangis dengan wajahnya menunduk dibenamkan diantara kedua tangannya.
Aku memeluk Anggara, mengelusnya perlahan untuk menenangkan kesedihannya.
"Yaudah adek makan dulu ya sekarang, katanya kita mau ngerayain hasil ulangan adek yang dapat nilai 100." ucapku memegangi kepala Anggara dan menghapus setiap air mata yang berlinang diwajahnya.
Anggara menurutiku, akupun menyendokan beberapa sendok nasi goreng dipiringnya, kami berdua mengakhiri malam ini dengan cerita dari Anggara. Akupun tidak bisa memungkiri apa yang dirasakan olehnya, karena dahulu aku pun juga merasakannya. Setelah Anggara makan, aku hantarkan dia kekamarnya dan menyuruhnya segera tidur.
Quote:
8 Tahun lalu
Aku bertemu dan jatuh cinta pada seorang pria di sebuah kampus di kotaku berasal, dia adalah pria yang sangat baik, begitu perhatian, dan sangat mengkhawatirkanku. Aku yang terlahir tanpa orang tua, merasakan sebuah kasih sayang yang begitu mendalam dari ketulusannya kepadaku. Reza adalah sosok pria yang benar-benar memberikan pengalaman hidup yang baru bagiku.
Aku menjalin cinta padanya saat itu, dia bukanlah seorang pria biasa, dia terlahir dari keluarga yang kaya raya segala yang kumau selalu dituruti olehnya.
Namun, pada suatu hari aku mendapatkan sebuah telepon dari ibunya untuk bertemu disebuah cafe ditengah kota. Sang ibu menyuruhku agar menjauh dari anaknya, karena dia tidak mau dan tidak sudi menerima aku yang terlahir tanpa tahu asal usulnya.
Akupun bersedih dan menangis, saat itu aku tidak menyadari pada diriku sendiri bahwa aku sedang mengandung Anggara, usia kehamilanku sangat muda, itu ku ketahui ketika selesai bertemu dengan ibunya kemudian aku jatuh pingsan dan dilarikan kerumah sakit.
Kekasihkupun datang saat itu, dia nampak kebingungan dengan kabar yang telah diberikan oleh pihak RS. Reza menyuruhku untuk menggugurkan anak yang kini ada dirahimku, aku menolaknya dan sangat menolaknya. Kami benar-benar bertengkar setelah itu, tak ada lagi komunikasi yang terjadi. Dalam keadaan seperti ini akupun berhenti kuliah dan pindah ke karawang ya tepatnya tak jauh dari Masjid Agung Karawang, aku menyewa sebuah rumah petakan dan membuka sebuah usaha bubur kacang hijau.
Aku bertemu dan jatuh cinta pada seorang pria di sebuah kampus di kotaku berasal, dia adalah pria yang sangat baik, begitu perhatian, dan sangat mengkhawatirkanku. Aku yang terlahir tanpa orang tua, merasakan sebuah kasih sayang yang begitu mendalam dari ketulusannya kepadaku. Reza adalah sosok pria yang benar-benar memberikan pengalaman hidup yang baru bagiku.
Aku menjalin cinta padanya saat itu, dia bukanlah seorang pria biasa, dia terlahir dari keluarga yang kaya raya segala yang kumau selalu dituruti olehnya.
Namun, pada suatu hari aku mendapatkan sebuah telepon dari ibunya untuk bertemu disebuah cafe ditengah kota. Sang ibu menyuruhku agar menjauh dari anaknya, karena dia tidak mau dan tidak sudi menerima aku yang terlahir tanpa tahu asal usulnya.
Akupun bersedih dan menangis, saat itu aku tidak menyadari pada diriku sendiri bahwa aku sedang mengandung Anggara, usia kehamilanku sangat muda, itu ku ketahui ketika selesai bertemu dengan ibunya kemudian aku jatuh pingsan dan dilarikan kerumah sakit.
Kekasihkupun datang saat itu, dia nampak kebingungan dengan kabar yang telah diberikan oleh pihak RS. Reza menyuruhku untuk menggugurkan anak yang kini ada dirahimku, aku menolaknya dan sangat menolaknya. Kami benar-benar bertengkar setelah itu, tak ada lagi komunikasi yang terjadi. Dalam keadaan seperti ini akupun berhenti kuliah dan pindah ke karawang ya tepatnya tak jauh dari Masjid Agung Karawang, aku menyewa sebuah rumah petakan dan membuka sebuah usaha bubur kacang hijau.
Usiaku kini beranjak 27 tahun, banyak para pembeli yang bilang bahwa aku sangatlah cantik tubuhku kurus dan putih dengan rambut hitam lurus. Bahkan beberapa pria mencoba melamarku, tapi aku menolaknya bukan karena aku tak cinta, cuma aku tak mau merasakan sakit ditinggalkan kembali.
Warung bubur ini adalah satu-satunya usaha yang ku jalani menghidupkan aku dan Anggara. Tak sedikitpun aku mendengar ocehan dan nyinyiran para tetangga yang menyebutku seperti perempuan malam, karena usaha bubur ini aku buka menjelang malam sampai tengah malam. Tapi aku tetap menghiraukan mereka pada dasarnya aku menjalani semua ini tanpa menjual diri, tanpa melakukan prostitusi terselebung.
----
Pagi ini, Anggara berangkat bersama egy dan ayahnya, kutitipkan salam untuk wali kelas Anggara melalui Ayahnya egy. Bukan hanya pertemuan antara ayah saja disekolah saat ini sepertinya akan ada semacam Cerdas Cermat itu yang diutarakan oleh Ayahnya egy sebelum berangkat mengantarkan mereka berdua.
Hari ini terlihat sangat cerah ketika sinar mentari menyilaukan mataku, terdengar celoteh kecil dari burung-burung yang bertebaran di udara dan dijalan. Seperti biasa kegiatanku pagi ini adalah belanja kebutuhan untuk nanti malam.
"Mang, ada kacang hijau ga?"ucapku ketika berada diwarung sayuran yang tak jauh letaknya dari rumah petakanku, banyak tetangga juga yang belanja disini.
"Ada, neng mau berapa?" tanya sang pedagang mengeluarkan bungkus karung kecil berisikan kacang hijau.
"sekilo aja mang" sahutku sambil memilih sayuran untuk makan siang nanti.
"Eleuh, eleuh si neng udah disini aja" sahut seorang wanita tua, suara yang kukenal ialah ibunya egy.
"Eh teteh, iya nih belanja buat makan siang nanti Anggara."
"Neng, kenapa ga ikut kesekolah aja tadi? Tau ga nanti tuh bakalan ada Kuis Cerdas Cermat antar kelas katanya, terus yang menang akan dapat beasiswa loh neng dari Adi Sentosa Group. Nah, yang kasih beasiswanya nanti itu langsung dari pemiliknya loh."
Jleb!!! aku terpaku.
Quote:
"Pokoknya kamu harus gugurkan anak itu! Kamu tahu ga? Aku ini lagi merintis perusahaan yang aku bangun sendiri, aku ga mau perusahaanku nanti tercoreng gara-gara hal ini."
Aku teringat saat kejadian itu, Reza sedang merintis sebuah perusahaan yang memiliki potensi sangat besar di ranah Nasional.
"Tidak mas, aku tidak akan menggugurkan anak yang ada dirahimku, pokoknya tidak!"
"Kamu harus ikut aku pokoknya"
Saat itu aku melihat sosok lain dari Reza, dia yang kukenal selama ini sangatlah berbanding jauh. Bagaimana dia bisa seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku yang selalu disalahkan? Aku, aku, ya aku yang telah menjadi korban kepalsuan hidup!.
"Tidak mas, akupun tidak akan pernah mau menggugurkan anak ini."
Reza begitu gelisah, dia mondar-mandir memikirkan banyak hal.
"Aaaaaahhh!!" teriaknya dengan mata melotot "Kalaupun kamu tidak mau menggugurkan anak itu, kamu harus pergi dari kota ini, Ini aku kasih uang 200jt jangan pernah nampakan wajah kamu dikota ini lagi." Reza melemparkan sebuah tas dihadapanku yang sedang menangis dengan wajah penuh dengan air mata.
Lalu dia pergi meninggalkan aku sendiri begitu saja, setelah kejadian tersebut aku pulang ke kosan sambil menangis dan memandangi setangkai mawar yang kusimpan di vas kaca dekat jendela kamarkosku. Aku mengenang masa lalu bersamanya saat itu, saat Reza yang ku kenal dengan kebaikan hatinya, saat ia pertama kali mengatakan cinta kepadaku dengan memberikan setangkai mawar yang hingga saat ini ku simpan baik.
Sore itupun aku bergegas membungkus beberapa barang yang akan ku bawa pergi meninggalkan kota ini. Entah kemana ku harus tertuju, hanya tangisan air mata yang terus menemaniku sepanjang jalan saat itu hingga pada akhirnya aku berhenti disini dikota karawang, tempatku membangun kembali kehidupan.
Aku teringat saat kejadian itu, Reza sedang merintis sebuah perusahaan yang memiliki potensi sangat besar di ranah Nasional.
"Tidak mas, aku tidak akan menggugurkan anak yang ada dirahimku, pokoknya tidak!"
"Kamu harus ikut aku pokoknya"
Saat itu aku melihat sosok lain dari Reza, dia yang kukenal selama ini sangatlah berbanding jauh. Bagaimana dia bisa seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku yang selalu disalahkan? Aku, aku, ya aku yang telah menjadi korban kepalsuan hidup!.
"Tidak mas, akupun tidak akan pernah mau menggugurkan anak ini."
Reza begitu gelisah, dia mondar-mandir memikirkan banyak hal.
"Aaaaaahhh!!" teriaknya dengan mata melotot "Kalaupun kamu tidak mau menggugurkan anak itu, kamu harus pergi dari kota ini, Ini aku kasih uang 200jt jangan pernah nampakan wajah kamu dikota ini lagi." Reza melemparkan sebuah tas dihadapanku yang sedang menangis dengan wajah penuh dengan air mata.
Lalu dia pergi meninggalkan aku sendiri begitu saja, setelah kejadian tersebut aku pulang ke kosan sambil menangis dan memandangi setangkai mawar yang kusimpan di vas kaca dekat jendela kamarkosku. Aku mengenang masa lalu bersamanya saat itu, saat Reza yang ku kenal dengan kebaikan hatinya, saat ia pertama kali mengatakan cinta kepadaku dengan memberikan setangkai mawar yang hingga saat ini ku simpan baik.
Sore itupun aku bergegas membungkus beberapa barang yang akan ku bawa pergi meninggalkan kota ini. Entah kemana ku harus tertuju, hanya tangisan air mata yang terus menemaniku sepanjang jalan saat itu hingga pada akhirnya aku berhenti disini dikota karawang, tempatku membangun kembali kehidupan.
"Ha? Apa teh?" tanyaku setelah terpaku mendengar ucapan dari ibunya egy.
"Ya, disekolah ada cerdas cermat nanti dan dapat beasiswa dari Adi Sentosa Group." sekali lagi ibunya egy menjelaskan kepadaku.
Aku bingung seketika mendengar apa yang diucapkan ibunya egy setelah mendengar nama Adi Sentosa Group, itu merupakan perusahaan yang Reza rintis saat dahulu kala. Aku bergegas menyelesaikan beberapa belanjaan yang telah ku pilih, setelah itu akupun pulang dan segera kesekolahan.
---
Suasana disekolah
"Oke adik-adik ini pertanyaan terakhir dari final kelas saat ini, jadi siapkan diri kalian dengan jawaban yang tepat ya."
"Iya pak"
"Kalian pasti tahu ini, Menjelang Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, setiap detik adalah sejarah berarti. Salah satunya kisah penculikan Sukarno-Hatta dari Menteng, Jakarta Pusat, ke Rengasdengklok, Karawang, dan menginap dua malam di sebuah rumah. Dirumah ini Presiden Soekarno merumuskan naskah proklamasi kemerdekaan indonesia yang diucapkan dan memerdekan indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pertanyaannya rumah milik siapakah yang didiami oleh Presiden Soekarno dan Moh. Hatta selama di rengasdengklok karawang?"
Hening seketika suasana cerdas cermat beberapa peserta berbincang dengan teman segroupnya untuk menemukan jawaban yang telah dilontarkan oleh panitia.
"Pak saya pak" teriak Anggara memecahkan keheningan dari salah satu group.
"Iya apa jawabannya?"
"Rumah Djiaw Kie Song pak"
"Iya benar sekali"
"Horeee!!!" teriak seluruh peserta group merayakannya.
Itu adalah penghitungan terakhir dari sesi akhir cerdas cermat, dan point akan dihitung secara bersama, group yang memiliki point terbanyak dialah pemenangnya.
"Pak kepala sekolah, saya mau tanya sesuatu" ucap seorang pemilik Adi Sentosa Group
"Siapa nama anak itu?"
"Namanya Anggara pak, dia anak terbaik disekolahan ini, beberapa kali menjuarai cerdas cermat bukan disekolah sini saja tapi dikancah kabupaten juga menempati posisi pertama dan membawa sekolah ini menjadi yang terbaik."
"Saya boleh bertemu dengan orang tuanya pak?"
"Dia anak yatim pak, mungkin bisa bertemu dengan ibunya nanti atau pamannya saat ini yang sedang duduk di kursi sebelah sana pak."
Waktunya pengumuman disiapkan.
"Pemenangnya sudah didapatkan, kita sambut dari kelas 4B sebagai juara pertama."
"Horeeee."
"Salah satu perwakilan kelas boleh naik kepanggung untuk serah terima beasiswa."
"Kamu aja Anggara yang naik." ucap temannya secara bersama.
"Iya kamu aja, kan dari tadi kamu yang jawab pertanyaannya." sahut teman lainnya
Anggara berjalan menaiki anak tangga, wajahnya tersenyum diiringi oleh sorak suara teman-teman yang mendukungnya, ini adalah moment ketika Reza sang pemilik Adi Sentosa Group memberikan Beasiswa kepada Anggara.
----
Aku berlari dengan tergesa saat itu, waktu sudah semakin siang, segeralah aku memasuki kesekolahan dengan berlari ke arah pintu aula sekolah. Disana aku terdiam kaku berdiri melihat Anggara berdiri disamping Reza, tangannya merangkul Anggara saat sesi foto. Aku meneteskan airmata, Reza menatap kearahku wajahnyapun terdiam. Perlahan Reza menuruni tangga namun saat itu kepala sekolah menghampirinya dan berbincang bahkan kepala sekolah menunjuk kearahku.
Reza berjalan perlahan, langkahnya pendek namun terarah padaku, wajahnya lurus matanya tetap menatapku tanpa menoleh kemanapun.
Kami bertemu, kami saling bertatapan, mata itu, wajah itu, aku kembali melihat sosok baik Reza saat ini. Ya dia bukan Reza yang pergi meninggalkanku melainkan Reza yang baik hatinya, aku sangat kenal dia, aku sangat mengenal wajahnya, aku sangat mengenal sikapnya.
Tetesan air mengalir diantara hidung dan pipiku.
"Andita" ucap Reza dihadapanku.
Aku hanya mengangguk menjatuhkan air mata. Aku tak menyangka bertemu dengannya kembali disini.
Aku dan Reza pergi kesebuah Cafe tak jauh dari sekolah, aku yang kebingungan tak tahu harus berkata apa, tapi melihat Reza didepanku saat ini bukanlah Reza yang saat itu mengusirku, ini adalah Reza yang sangat kukenal.
"ehm, Itu itu apa benar anak itu anakmu?" ucap Reza matanya kesana kesini, mulutnya terpatah-patah.
"Iya benar."
"Selama ini kamu membesarkannya sendiri?"
"Iya, aku bertahan disini berdua bersama Anggara."
"Ang, siapa? Angg...?" ucap Reza Terpatah.
"Anggara" sahutku memperjelas nama anak yang kulahirkan saat itu dan dia anak yang Reza rangkul tadi.
"Jadi, jadi dia anakku juga?"
Aku hanya mengangguk, melihat wajah Reza yang heran dan bingung.
"Aku sudah dengar tadi dari kepala sekolah, katanya Anggara anak terbaik dikota ini, tapi aku ga menyangka bahwa dia adalah anakku juga."
"Anakku mas!" Ucapku sedikit membesarkan anada suara.
"Ah iya, tapi kan dia juga dariku."
"Iya, tapi mas ga pernah ada untuknya, mas ga pernah disampingnya, mas ga pernah mendengar ocehannya, mas ga pernah dengar tangisannya, mas ga pernah mendengar keluhannya ketika dia diejek oleh teman-temannya karena tidak memiliki ayah." tangisku pecah mengatakan hal tersebut kepada Reza sosok seorang ayah yang telah menelantarkan anak dan ibunya.
"Maafkan mas kalau begitu tapi, bisakah saat ini mas membantu mu dan Anggara?."
"Kenapa mas? Kenapa baru sekarang? Kenapa ga dari dulu mas mempertahankan aku saat itu?" aku sesegukkan mengatakannya.
"sebenarnya Ibu sudah meninggal beberapa tahun lalu." ucapnya menunduk.
"Apa mas? Ibu sudah meninggal?" aku menutup mulutku, aku kembali menangis. Ibunya Reza yang dulu memisahkan aku dengannya kini telah tiada.
"Iya, ibu sudah tidak ada didunia. Dan semenjak ibu pergi meninggalkan mas ke alam sana, mas berusaha mencari kamu di Jakarta, tapi tak ada satupun jejak yang mengetahui keberadaanmu." ucap reza "Mas, minta maaf, sebenarnya itu semua keputusan ibu, ibu hanya ga mau memiliki menantu yang tidak memiliki latar belakang keluarga. Maspun sebenarnya tidak mau meninggalkan kamu, tapi karena keputusan itu mas tidak bisa berbuata apa-apa, dan sebenarnya uang yang mas kasihkan ke kamu itu uang mas sepenuhnya, mas ga mau kamu hidup sengsara diluar sana apalagi kamu sedang mengandung, dan sekarang mas akhirnya bisa ketemu kamu dan anak mas secara tidak sengaja, mas mau memulai kembali denganmu."
Reza mengajakku dan Anggara pergi kesebuah tempat wisata setelah acara selesai. Aku melihat sosok Reza layaknya seorang ayah yang merindukan anaknya, ia tak pernah jauh dari Anggara, ia selalu menggendongnya, dan tertawa bersamanya.
Malampun tiba ketika suasana kota mulai hening, Reza mengantarkan kami berdua pulang ke rumah petakan yang kami huni selama ini.
"Kamu tinggal disini selama ini?" Tanya reza keluar sambil menutup mobil.
"Iya mas, silahkan masuk dulu."
Reza menatapi setiap lekuk celah dirumahku ini, bahkan beberapa kali ia melihat sekitar jalan dan rumah. Ketika ia memasuki rumah, dia terpana kaku ketika sebuah Vas bunga kaca terisi setangkai mawar terhias indah menempel didinding yang begitu terang disisinya terdapat beberapa lampu meneranginya.
"Dek, itu?" Reza menunjuk kearah vas bunga.
"Itu, Setangkai Mawar yang mas berikan saat mengatakan cinta ke aku, dan aku menyimpannya hingga saat ini."
"Sudah lama sekali, kamu masih mempertahankannya?"
"Bukan hanya setangkai mawar, tapi benih yang mas tanam sudah besar seperti ini." tanganku mengelus rambut Anggara.
Hari itu, mengawali kisah lembaran baru hidupku. Reza akhirnya mengajakku kembali kerumahnya di jakarta, dan Anggarapun tahu kini bahwa Ayahnya masih ada dan hidup.
Reza menikahiku secara resmi di KUA dan tercatat dalam dokumen negara, kini Aku dan Anggara tidak lagi hidup dalam kesusahan. Dan Anggara menjadi sosok yang lebih hebat.
Setangkai Mawar ini masih kusimpan dalam vas bunga kaca.
Engkau pernah berbisik padaku, takkala rembulan bulat sempurna. Memandangku tanpa kabut di mata. Bening dan tajam.
Indah rona purnama bersanding dengan kebersahajaanmu. Menggiring atmaku menuju kumparan yang menganga di depan.
Sukma nan dingin seketika menguap. Lenyap terbawa halimun. Digantikan benderangnya kasihmu, melekat, menyelubungi tiap detik kehidupan.
Terima kasih untuk hadirmu. Di saat kegundahan membelenggu langkah. Menyeret jejak menjauh dari lingkaran kegelapan.
Terima kasih telah ada dalam ruang nyataku, bukan hanya menghuni dunia imajinasi, ilusi tanpa perhentian.
Terima Kasih




bukhorigan memberi reputasi
11
1.9K
Kutip
45
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan