- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
KAMU [COC CLBK 2022]


TS
orysetha
KAMU [COC CLBK 2022]
![KAMU [COC CLBK 2022]](https://s.kaskus.id/images/2022/06/30/7464033_20220630081508.jpg)
source: Pixabay
Quote:
sejak awal ku tahu ini adalah cinta
Dua pasang mata pertama kali bertemu
Membuat rasa itu ada
Ketika kau atau aku saling bersebelahan
Disitulah getarannya semakin menggetarkan
Kau telah sadarkan aku dari kesendirian ini
Kau telah bangunkan cinta dihati ini
Dua pasang mata pertama kali bertemu
Membuat rasa itu ada
Ketika kau atau aku saling bersebelahan
Disitulah getarannya semakin menggetarkan
Kau telah sadarkan aku dari kesendirian ini
Kau telah bangunkan cinta dihati ini
Puisi di kutip dari Poetry Thread
Karya @o.best
Quote:
Aku duduk termenung, menunggu bel masuk kembali berbunyi, suasana depan kelas ramai tapi hatiku yang memang sedang sepi. Gelak tawa terpancar, kadang sambil saling memukul dengan riang gembira tidak mengetahui apakah itu sakit atau tidak, jajanan yang dipegang dengan erat bungkus plastik bening menjadi pemandangan yang lumrah. Bangku panjang dari adonan batu bata dan semen menjadi tempatku melamun, bukan habis uang tidak bisa jajan, hanya cuaca cerah dengan langit biru lebih enak dipandang.
“Oi! Ngelamun aja, awas kesurupan lo!” ucap temanku yang sedikit mengagetkan.
“Enggak lah, pohon mangga gedenya di deket parkiran, jauh dari kelas,” balasku sedikit bercanda.
“Eh seriusan, kok akhir-akhir lo sering ngelamun sih? Galau? Ah masa sih setelan kayak lo bisa galau,” temanku ini memang kurang ajar, tapi karena kami dekat, percakapan tidak elok seperti ini sudah sangat biasa.
“Oh iya Rey, kalau gue boleh cerita sih,” aku terhenti, temanku yang bercanda dan saling melempar ejekan mulai mendekat, walaupun mereka masih satu kelas, tetapi ceritaku ini bukan makanan umum.
Aku dan Rey, sahabatku, mulai memasuki kelas, memilih tempat duduk tak berpenghuni di ujung kelas. Temanku yang lain mulai menggonggong hebat, mereka sudah tahu jika ada orang yang memilih tempat duduk dipojokan, pasti tidak jauh dari urusan percintaan, mereka tidak salah, hanya aku yang terlalu memperlihatkan.
“Beneran galau si geblek, siapa cewek yang bikin lo begini?” belum apa-apa, Rey sudah menodongku.
“Gue tahu lo orang yang bisa jaga rahasia, jadi belakangan ini ada sosok cewek yang bikin gue jadi enggak fokus belajar. Jangankan dengerin guru stand up di depan kelas, gue jalanin motor aja kayak orang idiot,” Rey memperlihatkan muka dengan penuh rasa penasaran. “gue enggak sengaja waktu beli minuman di kantin pas istirahat, ini cewek lewat gitu aja, terus gue yakin banget ini cewek sama sekali enggak keliatan sewaktu mos,” ucapku menambahkan.
“Hmm, lo yakin bukan adek atau kakak kelas? Liat enggak papan namanya?” tanya Rey.
“Lah lo gimana, kan cuman kelas sebelas yang masuk siang, emang sekolah aneh.“
“Eh bener yak, gue insonminna,” ucapnya.
“Gue ngeliatnya melongo kayak nemu uang 50 ribuan di jalan, namanya---,” belum selesai mengucapkannya, temanku semakin berisik.
“CIYE! ADA YANG CURCOL NIH YEEE!!!” begitulah ucapan mereka yang mengganggu.
“Eh diem dulu, lagi serius nih!” ucap Rey yang nampak bersekongkol dengan mereka. “jadi siapa namanya?” lanjutnya.
“Namanya Dea,” jawabku.
“Waduh namanya agak pasaran ye,” tawa Rey. “itu Dea aja atau gimana? Gue yakin ada beberapa nama Dea di sini,” ucapnya.
Kalau di ingat lagi, pertemuanku dengan Dea sama sekali tidak disengaja, saat itu aku sedang haus-hausnya, lalu berjalan dengan lemas hingga akhirnya menemukan kulkas penjual minuman. Tidak banyak pilihan memang, namun yang bungkusnya paling ceria yang aku beli. Dengan menyenderkan salah satu lengan ke atas kulkas berukuran kecil itu, aku menunggu penjualnya memberikan kembalian. Lalu perempuan itu berjalan melewatiku tanpa diminta.
Wajahnya kecil dengan rambut panjang berponi depan yang menutupi keningnya. Matanya bulat dengan bulu mata lentik yang dapat menghalau debu jahat yang ingin merusak kecantikannya. Bibirnya merah merona, bukan karena riasan, tetapi minuman ringan berwarna yang membuatnya begitu. Tidak mencapai menit, tetapi dalam detik pertama aku sudah jatuh hati padanya. Kata orang ‘cinta pada pandangan pertama’, percaya atau tidak, ungkapan itu sangat nyata.
Sosoknya begitu asing, karena aku selalu mengikuti semua rangkaian kegiatan perkenalan sekolah dari awal yang membosankan sampai penutupan yang heboh. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, mataku langsung menukik menuju papan namanya, hanya tertera nama pendek yaitu ‘Dea’. Setelah itu aku membanting muka ke arah siswa lain yang sedang bermain bola di menit akhir jam istirahat. Aku mencoba mengintip dan mengikuti sebisanya sejauh mata memandang, tidak ada jejak sama sekali, alias tidak diketahui Dea berada di kelas apa.
Rey sahabatku memang pemberani, dia menariku keluar kelas dan langsung berjalan menuju kantin, tuk mencari sosok Dea yang dibicarakan barusan.
“Rey! Lo mau ngapain?” sahutku.
“Ya cari si Dea lah, kok lo malah beloon begini?” keluhnya.
“Gila kali, jam istirahat udah jalan berapa menit? Tuh liat kantin juga enggak serame barusan,”ucapku panik jika benar-benar menemukan Dea saat ini juga.
Rey malah tersenyum, begitu mencurigakan. “Coy, lo tadi cerita si Dea ini muncul di akhir jam istirahat kan? Ya udah kita tunggu aja, kok lo yang cerita malah gagal paham sama situasi? Bener kata orang, cinta buat lo jadi orang bodoh!” tawanya keluar, untung tidak keras.
Aku dan Rey duduk dipinggiran kantin, tempat yang paling pas untuk melihat siapa yang masuk dan keluar. Mataku melirik ke sana dan ke mari belum ada sinyal bahwa Dea hadir di tempat ini. Sementara Rey lebih menggila dengan kepala yang terus bergerak, aku khawatir dengan kondisi lehernya setelah ini.
Duduk menunggu sambil melihat jam yang aku pakai di pergelangan lengan kiri, waktu semakin kritis, mungkin Dea sudah duduk manis dikelasnya. Bahkan air mineral dingin yang aku beli berkeringat menunggu hal yang tidak pasti.
“Balik aja yuk ke kelas,” pintaku.
“Kok gitu? Bentar lagi lah, tanggung ini,” Rey begitu bersemangat.
Ketika kepalaku dimiringkan melihat situasi, Rey memukulku dengan sangat keras. “Oi! Kenapa sih?!” Rey malah kegirangan sendiri.
“Dea yang itu bukan?” matanya bersinar-sinar, dari jarak yang cukup jauh matanya begitu tajam mampu melihat papan nama yang ukurannya sepanjang jempol.
Aku mencoba menggunakan mode elang, terus mengamati tanpa terlihat sebagai laki-laki yang norak. Perempuan yang diduga Dea semakin mendekat, yang tadinya jantungku berdegup kencang tiba-tiba berhenti, tidak mati karena perempuan yang melewatiku benar bernama Dea, tetapi di papan namanya tertulis ‘Dea R’ jadi jelas bukan Dea yang kumau.
Tentu saja Rey sangat kecewa, tapi dia juga patut disalahkan, karena sudah jelas aku bercerita bahwa hanya Dea saja nama yang tertulis, tidak ada embel-embel lainnya. Jam di lenganku mencubit, waktu yang tersisa kurang dari dua menit sebelum jam istirahat berakhir. Aku berdiri dan memutuskan untuk masuk kelas saja, lagipula hari masih banyak, dan jadwal sekolahpun masih jauh ke depan, tidak perlu terburu-buru.
“Oi! Tungguin gue!” ucap Rey dari belakangku, namun langkahku sudah pasti, mungkin esok lebih baik.
Saat sudah di depan kelas, dengan riuh yang semakin tidak terkendali, aku baru sadar bahwa botol air mineral yang aku beli tertinggal. Setidaknya jika aku tidak meminumnya di kelas, air itu bisa melepas dahagaku setelah selesai sekolah. Aku berjalan kembali menuju kantin, melewati kembali Rey yang sudah setengah jalan.
“Eh si geblek! Katanya mau ke kelas tapi balik lagi,” ucap Rey saat melihatku melewatinya.
“Bentar, air minum gue ketinggalan,” balasku.
Aku berjalan sambil melamun memikirkan keberadaan Dea sekarang, karena itu pula aku tidak sengaja hampir menabrak seseorang di depan.
“Maaf yah, aku---“ aku tidak bisa melanjutkannya, karena yang berdiri di depan adalah seseorang yang sudah kutunggu sedari tadi.
“Enggak apa-apa, aku juga jalannya enggak liat-liat,” ucap suara yang begitu lembut dan langsung menusuk kalbu, Dea berdiri tepat di depan, dengan jajanan yang dipegangnya.
Waktu terasa berhenti, berhadapan satu lawan satu begini di tambah suasana kantin yang sudah sepi karena waktu jam istirahat berjalan menuju habis sangatlah sempurna. Mata ku dan dengannya saling bertatapan, jantungku mendadak berdegup kencang, keringat dingin muncul tanpa diperintah, begitu juga dengan mulut yang tiba-tiba tidak berfungsi seperti biasanya.
“Um..iya…,” aku pun hanya tersenyum kemudian mengangguk sebentar dan mempersilahkan Dea lewat. Dia membalas dengan senyum yang hangat dan kemudian mulai berjalan lagi menuju kelas. “duh, kok gue malah kayak idiot gini sih, padahal semesta udah kasih kesempatan emas!” ucapku dalam hati menyesali tindakan bodohku ini.
Aku mengambil botol air mineral yang berdiri sendirian tanpa ada yang perduli. Aku tidak berani untuk menoleh kebelakang, sebuah kesempatan yang mungkin kedepannya akan sangat jarang untuk didapatkan harus dilewatkan begitu saja. Senyuman pahit terpaksa aku pancarkan, menyemangati diri sendiri dengan kata-kata positif dan mengingat masih banyak hari kedepannya. Satu hari satu kesempatan, pemikiran yang cukup ampuh merakit perasaan yang tadi runtuh.
Langkahku tiba-tiba terhenti dan jantungku semakin berdegup tidak karuan ketika aku melihat Rey dengan senyuman yang menyebalkan itu berdiri tepat di sebelah Dea, mereka berdua nampaknya menungguku untuk jalan menghampiri. Pikiranku mulai kacau, Rey berhasil membuat Dea berhenti sejenak, entah apa yang dikatakannya, sudah pasti hal-hal yang memalukan.
“Nah ini Dea, temen aku yang mau kenalan, maaf yah ganggu kamu sebentar,” ucap Rey dengan gaya manis yang membuatku ingin muntah mendengarnya.
“Aku….Lori…..,” ucapku gemetaran sambil menjulurkan tangan, lalu menatap sinis ke arah Rey.
“Aku Dea,” tangannya begitu halus ketika aku jabat tangannya.
“Oh iya Dea, kamu kelas apa yah?” Rey dengan gaya yang sok akrab sekarang.
“Hm, aku kelas sebelas ipa lima,” ucapnya dengan lembut.
“Aku sama Lori kelas sebelas ips, biasa anak-anak bar-bar,” seketika aku ingin menghajar Rey, karena ucapannya itu bisa saja membuat impresi awal yang buruk tentangku.
Bel masuk menyelamatkan diriku dari situasi yang memalukan seperti ini, Dea pun pamit pergi menuju kelasnya. Aku dan Rey pun berjalan menuju kelas, dia tidak henti-hentinya menertawakan aku yang kaku seperti kayu triplek. Ketika di kelas, Rey menceritakan bahwa dia langsung mencegat Dea ketika melihat papan namanya, dan ternyata benar bahwa Dea itu yang menjadi bahan pikiranku. Aku tidak sanggup membayangkan kejadian barusan ,sungguh memalukan.
Tidak henti-hentinya Rey memuji dirinya dan selalu berkata bahwa keberhasilan aku hari ini berkenalan dengan Dea adalah karena andil besarnya. Padahal aku ingin berkenalan dengan cara yang wajar, tetapi dalam lubuk hati yang paling dalam, aku ingin berterima kasih pada Rey yang telah membuka pintu jalanku berkenalan dengan Dea.
“Jangan lupa nanti PJ, okey?” bisik Rey padahal guru sedang membahas pelajaran.
“Diem lo, bawel!” dibalas oleh gelak tawa olehnya, sungguh menyebalkan.
Bahasan pelajaran yang sedang dijelaskan oleh guru di depan sama sekali tidak ada yang masuk, pikiranku kini hanya tentang Dea saja, bahkan alam bawah sadarku telah membayangkan kejadian-kejadian menyenangkan yang akan terjadi kedepannya. Yang kurasakan kali ini ada sebuah perasaan cinta, yang membuat logika bertekuk lutut pada angan-angan imanjinasi. Terlalu dalam aku masuk hingga tidak menyadari bahwa aku masih ada di tengah-tengah jam pelajaran.
“OKE!” aku menepuk tangannya dengan keras, hingga membuat guru berhenti. Aku bergerak tanpa disuruh, mungkin karena terlalu menghayati khalayan yang aku pikirkan.
“Ya?” tanya guru di depan, sementara semua teman di kelas melihat ke arahku termasuk Rey.
“Oi geblek, lu kenapa njir? Masa gegara kenalan doang bisa begini lo?” bisik Rey.
“Enggak Bu, saya ngerti sama bahasannya, jadi saya bilang begitu,” gelak tawa teman-teman menggelegar, ada yang menyambar yang malah membuat situasi semakin mengundang tawa yang lebih keras.
Setelah mengalami kejadian memalukan beberapa kali, akhirnya bel sekolah berbunyi menandakan hariku di sekolah sudah selesai. Seperti biasa aku ingin menjaga sikapku lebih santai dan tidak buru-buru agar tidak dicurigai oleh Rey bahwa aku ingin menunggu Dea keluar dari kelasnya. Lagipula biasanya juga kami selalu menunggu sampai semua orang keluar dari kelas.
“Nongkrong dulu ga? Belum terlalu sore nih?” ajak Rey.
“Enggak tau, ya paling bentaran aja kayak biasa,” ucapku yang dibalas anggukan Rey.
Aku berjalan pelan, sambil melirik untuk mencari Dea. Entah apa yang membuatku begitu selain sebuah perasaan menyenangkan yang disebut cinta. Lambat laun Rey mulai menyadari sesuatu karena melihat aku sedikit berbeda dari biasanya, instingnya memang tajam karena kami sudah lama kenal, bahkan dari jaman putih biru.
“Eh, lo nunggu Dea yah?” tanya Rey.
“Ah, kata siapa? Kan emang kita biasanya pulang kalau udah enggak penuh di depan,” balasku membela diri.
“Itu Dea sendirian,” tunjuk Rey, reflek aku langsung menoleh ke arah yang ditunjuknya, ternyata Rey sedang meledekku. “nah kan, lo enggak bisa sembunyiin sesuatu dari gue!”
Situasi lingkungan dekat sekolah cepat sekali menjadi sangat sepi, siswa yang berserakan barusan saat jam pulang langsung berpencar ke tempat pulangnya masing-masing. Area parkir yang tersedia saja ada beberapa di dekat sekolah, belum lagi jalan tembusan langsung ke jalan raya. Rey kini berjalan di depan sedangkan aku masih berusaha mendapatkan kesempatan itu, setidaknya untuk tahu ke arah mana Dea pulang.
“Hm, itu bukan sih?” ujung mataku memanggil, sekilas aku melihat sosok yang mirip dengan Dea. Apalagi sosoknya masih sangat segar di ingatan, tentunya aku tidak akan melupakannya kejadian tadi. Kulihat Rey sudah memasuki area parkir, sedangkan aku berbelok arah menuju jalan lain.
Di depan Dea terlihat sedang jalan sendirian, setidaknya di sisi jalan tempat dia berada, karena sisi lainnya banyak siswi lain yang berjalan menuju jalan raya. Kupercepat langkah setengah berlari untuk mengejarnya, hingga aku berhasil mendekatinya. Suara hentakan sepatu yang kuhasilkan membuat Dea menyadari ada seseorang di belakangnya.
“Eh kamu…,” ucapnya sambil keheranan melihatku yang kehabisan nafas.
“Dea, kamu pulang sendiri?” tanyaku, berharap Dea menjawab sesuai dengan kemauanku.
“Iya, aku biasanya naik bus sih, lebih murah,” aku tersenyum mendengarnya. Ternyata Dea orang yang tidak sombong, dan baik hati.
“Temen-temen yang lain enggak ada yang searah?”
Obrolan singkat terjadi antara aku dan juga Dea, lebih banyak aku yang bertanya layaknya wartawan berita lokal, tetapi berjalan berbarengan disebelahnya seperti ini sudah seperti mimpi menjadi kenyataan. Betapa tidak, sosoknya telah menghantuiku selama beberapa hari belakangan. Sungguh sosok yang jatuh dari langit karena sama sekali Dea tidak terdeteksi dalam radar, seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Aku mengantarnya hingga seberang, berharap bus angkutan umum datang terlambat, namun keinginanku yang satu ini tidak terwujud karena kendaraan berukuran raksasa itu telah muncul.
“Makasih yah udah nganter sampe sini,” ucap Dea. “kamu Lori kan?”
“Iya aku Lori, namanya aneh yah buat ukuran orang lokal,” Dea tersenyum mendengarnya.
“Aku duluan yah, kamu hati-hati,” mendengarnya mengucapkan itu, aku merasa terbang sampai langit ke tujuh, tetapi aku tersadarkan bahwa Dea memang pribadi yang baik, bukan berarti dia telah membuka pintu hatinya untuk ku.
Bus biru besar membawanya pulang, aku sungguh puas dengan hari ini. Mampu berkenalan dengan sosok yang kuidamkan, lalu mengobrol sebentar, dan mengantarnya pulang. Dan beberapa menit kemudian aku sadar bahwa aku lupa meminta nomornya.
“Duh, padahal tadi momennya, sial!” angin sore yang berhembus mampu mendinginkan aku dalam waktu singkat. “eh tapi enggak apa-apa deh, yang penting tadi udah ngobrol, dia juga baik banget ternyata, masih banyak waktu, pelan-pelan saja….”
Langit biru cerah ikut tersenyum melihatnya, menutup sinar matahari yang menyengat, membawa angin segar membuka harapanku untuk hari esok. Namun perasaan senang itu terganggu sedikit karena ponselku bergetar, ternyata Rey menghubungiku dan menanyakan keberadaanku. Tetapi aku tidak membalasnya dan kemudian kami bertemu di tempat parkir.
“Wah parah sih, lo udah kayak ninja aja ngilang, jangan-jangan lo ketemuan yah sama Dea?’ ucapnya.
“KEPO!” jawabku singkat yang membuatnya kesal, dan lagi-lagi mengungkit keberhasilannya mengenalkanku dengan Dea.
“Oi! Ngelamun aja, awas kesurupan lo!” ucap temanku yang sedikit mengagetkan.
“Enggak lah, pohon mangga gedenya di deket parkiran, jauh dari kelas,” balasku sedikit bercanda.
“Eh seriusan, kok akhir-akhir lo sering ngelamun sih? Galau? Ah masa sih setelan kayak lo bisa galau,” temanku ini memang kurang ajar, tapi karena kami dekat, percakapan tidak elok seperti ini sudah sangat biasa.
“Oh iya Rey, kalau gue boleh cerita sih,” aku terhenti, temanku yang bercanda dan saling melempar ejekan mulai mendekat, walaupun mereka masih satu kelas, tetapi ceritaku ini bukan makanan umum.
Aku dan Rey, sahabatku, mulai memasuki kelas, memilih tempat duduk tak berpenghuni di ujung kelas. Temanku yang lain mulai menggonggong hebat, mereka sudah tahu jika ada orang yang memilih tempat duduk dipojokan, pasti tidak jauh dari urusan percintaan, mereka tidak salah, hanya aku yang terlalu memperlihatkan.
“Beneran galau si geblek, siapa cewek yang bikin lo begini?” belum apa-apa, Rey sudah menodongku.
“Gue tahu lo orang yang bisa jaga rahasia, jadi belakangan ini ada sosok cewek yang bikin gue jadi enggak fokus belajar. Jangankan dengerin guru stand up di depan kelas, gue jalanin motor aja kayak orang idiot,” Rey memperlihatkan muka dengan penuh rasa penasaran. “gue enggak sengaja waktu beli minuman di kantin pas istirahat, ini cewek lewat gitu aja, terus gue yakin banget ini cewek sama sekali enggak keliatan sewaktu mos,” ucapku menambahkan.
“Hmm, lo yakin bukan adek atau kakak kelas? Liat enggak papan namanya?” tanya Rey.
“Lah lo gimana, kan cuman kelas sebelas yang masuk siang, emang sekolah aneh.“
“Eh bener yak, gue insonminna,” ucapnya.
“Gue ngeliatnya melongo kayak nemu uang 50 ribuan di jalan, namanya---,” belum selesai mengucapkannya, temanku semakin berisik.
“CIYE! ADA YANG CURCOL NIH YEEE!!!” begitulah ucapan mereka yang mengganggu.
“Eh diem dulu, lagi serius nih!” ucap Rey yang nampak bersekongkol dengan mereka. “jadi siapa namanya?” lanjutnya.
“Namanya Dea,” jawabku.
“Waduh namanya agak pasaran ye,” tawa Rey. “itu Dea aja atau gimana? Gue yakin ada beberapa nama Dea di sini,” ucapnya.
Kalau di ingat lagi, pertemuanku dengan Dea sama sekali tidak disengaja, saat itu aku sedang haus-hausnya, lalu berjalan dengan lemas hingga akhirnya menemukan kulkas penjual minuman. Tidak banyak pilihan memang, namun yang bungkusnya paling ceria yang aku beli. Dengan menyenderkan salah satu lengan ke atas kulkas berukuran kecil itu, aku menunggu penjualnya memberikan kembalian. Lalu perempuan itu berjalan melewatiku tanpa diminta.
Wajahnya kecil dengan rambut panjang berponi depan yang menutupi keningnya. Matanya bulat dengan bulu mata lentik yang dapat menghalau debu jahat yang ingin merusak kecantikannya. Bibirnya merah merona, bukan karena riasan, tetapi minuman ringan berwarna yang membuatnya begitu. Tidak mencapai menit, tetapi dalam detik pertama aku sudah jatuh hati padanya. Kata orang ‘cinta pada pandangan pertama’, percaya atau tidak, ungkapan itu sangat nyata.
Sosoknya begitu asing, karena aku selalu mengikuti semua rangkaian kegiatan perkenalan sekolah dari awal yang membosankan sampai penutupan yang heboh. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, mataku langsung menukik menuju papan namanya, hanya tertera nama pendek yaitu ‘Dea’. Setelah itu aku membanting muka ke arah siswa lain yang sedang bermain bola di menit akhir jam istirahat. Aku mencoba mengintip dan mengikuti sebisanya sejauh mata memandang, tidak ada jejak sama sekali, alias tidak diketahui Dea berada di kelas apa.
Rey sahabatku memang pemberani, dia menariku keluar kelas dan langsung berjalan menuju kantin, tuk mencari sosok Dea yang dibicarakan barusan.
“Rey! Lo mau ngapain?” sahutku.
“Ya cari si Dea lah, kok lo malah beloon begini?” keluhnya.
“Gila kali, jam istirahat udah jalan berapa menit? Tuh liat kantin juga enggak serame barusan,”ucapku panik jika benar-benar menemukan Dea saat ini juga.
Rey malah tersenyum, begitu mencurigakan. “Coy, lo tadi cerita si Dea ini muncul di akhir jam istirahat kan? Ya udah kita tunggu aja, kok lo yang cerita malah gagal paham sama situasi? Bener kata orang, cinta buat lo jadi orang bodoh!” tawanya keluar, untung tidak keras.
Aku dan Rey duduk dipinggiran kantin, tempat yang paling pas untuk melihat siapa yang masuk dan keluar. Mataku melirik ke sana dan ke mari belum ada sinyal bahwa Dea hadir di tempat ini. Sementara Rey lebih menggila dengan kepala yang terus bergerak, aku khawatir dengan kondisi lehernya setelah ini.
Duduk menunggu sambil melihat jam yang aku pakai di pergelangan lengan kiri, waktu semakin kritis, mungkin Dea sudah duduk manis dikelasnya. Bahkan air mineral dingin yang aku beli berkeringat menunggu hal yang tidak pasti.
“Balik aja yuk ke kelas,” pintaku.
“Kok gitu? Bentar lagi lah, tanggung ini,” Rey begitu bersemangat.
Ketika kepalaku dimiringkan melihat situasi, Rey memukulku dengan sangat keras. “Oi! Kenapa sih?!” Rey malah kegirangan sendiri.
“Dea yang itu bukan?” matanya bersinar-sinar, dari jarak yang cukup jauh matanya begitu tajam mampu melihat papan nama yang ukurannya sepanjang jempol.
Aku mencoba menggunakan mode elang, terus mengamati tanpa terlihat sebagai laki-laki yang norak. Perempuan yang diduga Dea semakin mendekat, yang tadinya jantungku berdegup kencang tiba-tiba berhenti, tidak mati karena perempuan yang melewatiku benar bernama Dea, tetapi di papan namanya tertulis ‘Dea R’ jadi jelas bukan Dea yang kumau.
Tentu saja Rey sangat kecewa, tapi dia juga patut disalahkan, karena sudah jelas aku bercerita bahwa hanya Dea saja nama yang tertulis, tidak ada embel-embel lainnya. Jam di lenganku mencubit, waktu yang tersisa kurang dari dua menit sebelum jam istirahat berakhir. Aku berdiri dan memutuskan untuk masuk kelas saja, lagipula hari masih banyak, dan jadwal sekolahpun masih jauh ke depan, tidak perlu terburu-buru.
“Oi! Tungguin gue!” ucap Rey dari belakangku, namun langkahku sudah pasti, mungkin esok lebih baik.
Saat sudah di depan kelas, dengan riuh yang semakin tidak terkendali, aku baru sadar bahwa botol air mineral yang aku beli tertinggal. Setidaknya jika aku tidak meminumnya di kelas, air itu bisa melepas dahagaku setelah selesai sekolah. Aku berjalan kembali menuju kantin, melewati kembali Rey yang sudah setengah jalan.
“Eh si geblek! Katanya mau ke kelas tapi balik lagi,” ucap Rey saat melihatku melewatinya.
“Bentar, air minum gue ketinggalan,” balasku.
Aku berjalan sambil melamun memikirkan keberadaan Dea sekarang, karena itu pula aku tidak sengaja hampir menabrak seseorang di depan.
“Maaf yah, aku---“ aku tidak bisa melanjutkannya, karena yang berdiri di depan adalah seseorang yang sudah kutunggu sedari tadi.
“Enggak apa-apa, aku juga jalannya enggak liat-liat,” ucap suara yang begitu lembut dan langsung menusuk kalbu, Dea berdiri tepat di depan, dengan jajanan yang dipegangnya.
Waktu terasa berhenti, berhadapan satu lawan satu begini di tambah suasana kantin yang sudah sepi karena waktu jam istirahat berjalan menuju habis sangatlah sempurna. Mata ku dan dengannya saling bertatapan, jantungku mendadak berdegup kencang, keringat dingin muncul tanpa diperintah, begitu juga dengan mulut yang tiba-tiba tidak berfungsi seperti biasanya.
“Um..iya…,” aku pun hanya tersenyum kemudian mengangguk sebentar dan mempersilahkan Dea lewat. Dia membalas dengan senyum yang hangat dan kemudian mulai berjalan lagi menuju kelas. “duh, kok gue malah kayak idiot gini sih, padahal semesta udah kasih kesempatan emas!” ucapku dalam hati menyesali tindakan bodohku ini.
Aku mengambil botol air mineral yang berdiri sendirian tanpa ada yang perduli. Aku tidak berani untuk menoleh kebelakang, sebuah kesempatan yang mungkin kedepannya akan sangat jarang untuk didapatkan harus dilewatkan begitu saja. Senyuman pahit terpaksa aku pancarkan, menyemangati diri sendiri dengan kata-kata positif dan mengingat masih banyak hari kedepannya. Satu hari satu kesempatan, pemikiran yang cukup ampuh merakit perasaan yang tadi runtuh.
Langkahku tiba-tiba terhenti dan jantungku semakin berdegup tidak karuan ketika aku melihat Rey dengan senyuman yang menyebalkan itu berdiri tepat di sebelah Dea, mereka berdua nampaknya menungguku untuk jalan menghampiri. Pikiranku mulai kacau, Rey berhasil membuat Dea berhenti sejenak, entah apa yang dikatakannya, sudah pasti hal-hal yang memalukan.
“Nah ini Dea, temen aku yang mau kenalan, maaf yah ganggu kamu sebentar,” ucap Rey dengan gaya manis yang membuatku ingin muntah mendengarnya.
“Aku….Lori…..,” ucapku gemetaran sambil menjulurkan tangan, lalu menatap sinis ke arah Rey.
“Aku Dea,” tangannya begitu halus ketika aku jabat tangannya.
“Oh iya Dea, kamu kelas apa yah?” Rey dengan gaya yang sok akrab sekarang.
“Hm, aku kelas sebelas ipa lima,” ucapnya dengan lembut.
“Aku sama Lori kelas sebelas ips, biasa anak-anak bar-bar,” seketika aku ingin menghajar Rey, karena ucapannya itu bisa saja membuat impresi awal yang buruk tentangku.
Bel masuk menyelamatkan diriku dari situasi yang memalukan seperti ini, Dea pun pamit pergi menuju kelasnya. Aku dan Rey pun berjalan menuju kelas, dia tidak henti-hentinya menertawakan aku yang kaku seperti kayu triplek. Ketika di kelas, Rey menceritakan bahwa dia langsung mencegat Dea ketika melihat papan namanya, dan ternyata benar bahwa Dea itu yang menjadi bahan pikiranku. Aku tidak sanggup membayangkan kejadian barusan ,sungguh memalukan.
Tidak henti-hentinya Rey memuji dirinya dan selalu berkata bahwa keberhasilan aku hari ini berkenalan dengan Dea adalah karena andil besarnya. Padahal aku ingin berkenalan dengan cara yang wajar, tetapi dalam lubuk hati yang paling dalam, aku ingin berterima kasih pada Rey yang telah membuka pintu jalanku berkenalan dengan Dea.
“Jangan lupa nanti PJ, okey?” bisik Rey padahal guru sedang membahas pelajaran.
“Diem lo, bawel!” dibalas oleh gelak tawa olehnya, sungguh menyebalkan.
Bahasan pelajaran yang sedang dijelaskan oleh guru di depan sama sekali tidak ada yang masuk, pikiranku kini hanya tentang Dea saja, bahkan alam bawah sadarku telah membayangkan kejadian-kejadian menyenangkan yang akan terjadi kedepannya. Yang kurasakan kali ini ada sebuah perasaan cinta, yang membuat logika bertekuk lutut pada angan-angan imanjinasi. Terlalu dalam aku masuk hingga tidak menyadari bahwa aku masih ada di tengah-tengah jam pelajaran.
“OKE!” aku menepuk tangannya dengan keras, hingga membuat guru berhenti. Aku bergerak tanpa disuruh, mungkin karena terlalu menghayati khalayan yang aku pikirkan.
“Ya?” tanya guru di depan, sementara semua teman di kelas melihat ke arahku termasuk Rey.
“Oi geblek, lu kenapa njir? Masa gegara kenalan doang bisa begini lo?” bisik Rey.
“Enggak Bu, saya ngerti sama bahasannya, jadi saya bilang begitu,” gelak tawa teman-teman menggelegar, ada yang menyambar yang malah membuat situasi semakin mengundang tawa yang lebih keras.
Setelah mengalami kejadian memalukan beberapa kali, akhirnya bel sekolah berbunyi menandakan hariku di sekolah sudah selesai. Seperti biasa aku ingin menjaga sikapku lebih santai dan tidak buru-buru agar tidak dicurigai oleh Rey bahwa aku ingin menunggu Dea keluar dari kelasnya. Lagipula biasanya juga kami selalu menunggu sampai semua orang keluar dari kelas.
“Nongkrong dulu ga? Belum terlalu sore nih?” ajak Rey.
“Enggak tau, ya paling bentaran aja kayak biasa,” ucapku yang dibalas anggukan Rey.
Aku berjalan pelan, sambil melirik untuk mencari Dea. Entah apa yang membuatku begitu selain sebuah perasaan menyenangkan yang disebut cinta. Lambat laun Rey mulai menyadari sesuatu karena melihat aku sedikit berbeda dari biasanya, instingnya memang tajam karena kami sudah lama kenal, bahkan dari jaman putih biru.
“Eh, lo nunggu Dea yah?” tanya Rey.
“Ah, kata siapa? Kan emang kita biasanya pulang kalau udah enggak penuh di depan,” balasku membela diri.
“Itu Dea sendirian,” tunjuk Rey, reflek aku langsung menoleh ke arah yang ditunjuknya, ternyata Rey sedang meledekku. “nah kan, lo enggak bisa sembunyiin sesuatu dari gue!”
Situasi lingkungan dekat sekolah cepat sekali menjadi sangat sepi, siswa yang berserakan barusan saat jam pulang langsung berpencar ke tempat pulangnya masing-masing. Area parkir yang tersedia saja ada beberapa di dekat sekolah, belum lagi jalan tembusan langsung ke jalan raya. Rey kini berjalan di depan sedangkan aku masih berusaha mendapatkan kesempatan itu, setidaknya untuk tahu ke arah mana Dea pulang.
“Hm, itu bukan sih?” ujung mataku memanggil, sekilas aku melihat sosok yang mirip dengan Dea. Apalagi sosoknya masih sangat segar di ingatan, tentunya aku tidak akan melupakannya kejadian tadi. Kulihat Rey sudah memasuki area parkir, sedangkan aku berbelok arah menuju jalan lain.
Di depan Dea terlihat sedang jalan sendirian, setidaknya di sisi jalan tempat dia berada, karena sisi lainnya banyak siswi lain yang berjalan menuju jalan raya. Kupercepat langkah setengah berlari untuk mengejarnya, hingga aku berhasil mendekatinya. Suara hentakan sepatu yang kuhasilkan membuat Dea menyadari ada seseorang di belakangnya.
“Eh kamu…,” ucapnya sambil keheranan melihatku yang kehabisan nafas.
“Dea, kamu pulang sendiri?” tanyaku, berharap Dea menjawab sesuai dengan kemauanku.
“Iya, aku biasanya naik bus sih, lebih murah,” aku tersenyum mendengarnya. Ternyata Dea orang yang tidak sombong, dan baik hati.
“Temen-temen yang lain enggak ada yang searah?”
Obrolan singkat terjadi antara aku dan juga Dea, lebih banyak aku yang bertanya layaknya wartawan berita lokal, tetapi berjalan berbarengan disebelahnya seperti ini sudah seperti mimpi menjadi kenyataan. Betapa tidak, sosoknya telah menghantuiku selama beberapa hari belakangan. Sungguh sosok yang jatuh dari langit karena sama sekali Dea tidak terdeteksi dalam radar, seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Aku mengantarnya hingga seberang, berharap bus angkutan umum datang terlambat, namun keinginanku yang satu ini tidak terwujud karena kendaraan berukuran raksasa itu telah muncul.
“Makasih yah udah nganter sampe sini,” ucap Dea. “kamu Lori kan?”
“Iya aku Lori, namanya aneh yah buat ukuran orang lokal,” Dea tersenyum mendengarnya.
“Aku duluan yah, kamu hati-hati,” mendengarnya mengucapkan itu, aku merasa terbang sampai langit ke tujuh, tetapi aku tersadarkan bahwa Dea memang pribadi yang baik, bukan berarti dia telah membuka pintu hatinya untuk ku.
Bus biru besar membawanya pulang, aku sungguh puas dengan hari ini. Mampu berkenalan dengan sosok yang kuidamkan, lalu mengobrol sebentar, dan mengantarnya pulang. Dan beberapa menit kemudian aku sadar bahwa aku lupa meminta nomornya.
“Duh, padahal tadi momennya, sial!” angin sore yang berhembus mampu mendinginkan aku dalam waktu singkat. “eh tapi enggak apa-apa deh, yang penting tadi udah ngobrol, dia juga baik banget ternyata, masih banyak waktu, pelan-pelan saja….”
Langit biru cerah ikut tersenyum melihatnya, menutup sinar matahari yang menyengat, membawa angin segar membuka harapanku untuk hari esok. Namun perasaan senang itu terganggu sedikit karena ponselku bergetar, ternyata Rey menghubungiku dan menanyakan keberadaanku. Tetapi aku tidak membalasnya dan kemudian kami bertemu di tempat parkir.
“Wah parah sih, lo udah kayak ninja aja ngilang, jangan-jangan lo ketemuan yah sama Dea?’ ucapnya.
“KEPO!” jawabku singkat yang membuatnya kesal, dan lagi-lagi mengungkit keberhasilannya mengenalkanku dengan Dea.
ENJOY
Diubah oleh orysetha 30-06-2022 22:20




alvarothoriq071 dan bukhorigan memberi reputasi
9
1.1K
Kutip
23
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan