Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

drhansAvatar border
TS
drhans
Just Like You, Father
JUST LIKE YOU, FATHER

Semakin berumur, saya merasa semakin cengeng. Mudah tersentuh. Tidak lagi menjadi seorang yang tangguh. Mungkin juga menjadi lebih bawel, walau hanya dalam bentuk tulisan. Tak tahu lah.

Yang jelas, waktu untuk keluarga saya semakin berkurang. Kalau ada alasan untuk pembenaran, ya akibat kesibukan kerja.

Beberapa kali mendapat teguran dari istri, tak juga dapat memaksa saya untuk membagi waktu se-efisien mungkin. Walau saya berjanji (pada diri sendiri), saya belum dapat menambah Quality time saya untuk keluarga, apalagi Quantity time. Saya sedang berusaha untuk itu.

Menjadi sosok figur ayah, tidak lah mudah. Itu saya akui. Apalagi dapat menjadi seorang ayah dan sekaligus teman bagi anak, lebih sukar lagi. Memerlukan waktu seumur hidup bagi saya agar anak-anak (semoga), kelak dapat membanggakan ayahnya. Minimal , tak merasa malu berayahkan saya.

Saya memiliki tiga orang ayah. Saya bersyukur untuk itu. Ayah jasmani, ayah angkat, dan ayah yang mengajarkan saya agar menjadi dokter yang manusiawi. Ketiganya baik, tapi belum ideal. Figur ideal masih mencari bentuk dalam benak saya.

Namun, bagaimana pun, proses transformasi yang terjadi dalam diri saya, saya berharap dapat menjadi ayah yang ideal bagi anak-anak saya.

Banyak orang, terutama di negara maju, merasa orang tua sebagai beban. Apalagi, bila kebetulan, mereka menggantungkan hidupnya kepada kita. Tetapi, apakah kita harus merasa terbeban, bila benar seperti itu?

Terkadang, kita sebagai anak takut untuk meluangkan waktu bagi orang tua kita. Kita tidak tahu, justru waktu untuk berjumpa itulah yang dirindukan mereka.

***

Sebagai penutup, saya mau menceritakan dua kisah orang tua dengan anaknya.

Kisah pertama:

Di sebuah taman, duduk seorang ayah lanjut usia dan putranya. Mereka sedang menunggu jemputan dari panti jompo.

Terdengar bunyi kicauan burung bernyanyi dan sang ayah bertanya kepada anaknya.

"Itu suara burung pipit ya, anakku?"

Sang anak menjawab, sambil membaca koran, "Iya."

Tak lama kemudian, sang ayah bertanya lagi,"Itu suara burung pipit ya, anakku?"

Sang anak kembali menjawab singkat, tanpa menatap ayahnya, "Iya."

Sang ayah menanyakan pertanyaan yang sama berulang kali lagi dan membuat anaknya marah. Sampai terakhir, ia tak mau lagi menjawab pertanyaan ayahnya.

Sang ayah terdiam, menghela napas, lalu dengan lambat ia mengeluarkan foto album keluarga. Dalam foto kenangan itu, tampak gambar sang ayah, ketika muda, dengan seorang bocah duduk di tempat yang sama.

Sang ayah berkata, "Dahulu ketika engkau masih kecil, engkau seringkali menanyakan kepada ayah pertanyaan yang sama, berulang dan berulang kali, dan ayah tak pernah merasa bosan menjelaskan hal yang sama kepadamu."

Sang anak tersadar, bahwa ia telah menelantarkan ayahnya. Ia menangis dan meminta maaf kepada ayahnya.

***

Kisah kedua:

Nam Dok, seorang anak yatim. Ia tinggal berdua saja dengan ayahnya. Mereka hidup secara sederhana. Ayah bekerja serabutan, sebagai loper koran dan merangkap petugas kebersihan.

Penghasilan ayah hanya cukup untuk keperluan mereka berdua. Tetapi, walau begitu, ayah Nam Dok adalah seorang Kristen yang baik hati. Ia selalu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk perpuluhan dan sumbangan.

Ia mengajari Nam Dok agar mau berbagi. Walau mereka tak kaya, tetapi bahagia.

Sayangnya, Nam Dok merasa tak bahagia. Ia tak ingin menjadi orang tak berpunya. Ia tak mau seperti ayahnya.

Nam Dok belajar dengan giat, sehingga ia mendapat beasiswa keluar negeri.

Ketika akan berangkat keluar negeri, sang ayah mengambil tabungan simpanannya dan diberikan kepada Nam Dok, sambil berkata,"Jangan khawatir nak, sekolah lah yang giat. Papa akan mencarikan biaya kuliahmu."

Singkat cerita, Nam Dok sukses dalam sekolah dan mendapat pekerjaan yang layak. Ia menjadi sibuk dengan pekerjaannya dan tanpa sengaja telah melupakan ayahnya.

Beberapa kali ayahnya menelpon Nam Dok untuk sekedar bertemu kangen, tapi dengan alasan sibuk, ia menghindari ayahnya.

Sampai lama kemudian, Nam Dok dikabari bahwa sang ayah telah tiada. Ia meninggal karena komplikasi penyakit.

Nam Dok sedih, tapi mau apa lagi, ayahnya sudah meninggal.

Nam Dok pulang ke rumah lamanya dan di sana ia menemukan banyak surat ucapan terima kasih dari panti asuhan. Anehnya, surat itu ditujukan kepada dirinya.

Ia penasaran. Lalu didatangilah panti asuhan itu. Sesampainya di sana , ia begitu terkejut. Ia disambut dengan sangat hormat dan selalu disertai ucapan terima kasih.

Ia semakin tak mengerti. Akhirnya, ia baru tahu. Ternyata, sejak ia masih kecil, uang tabungannya yang disisihkan oleh papanya, disumbangkan kepada panti asuhan itu. Ia telah menjadi donatur tetap selama puluhan tahun disana, tanpa diketahuinya.
Sumbangannya sungguh bernilai bagi anak-anak panti asuhan itu.

Ia semakin terharu dan tak dapat berkata apa-apa, ketika begitu banyak anak panti asuhan yang merasa kehilangan ayahnya, yang selalu datang secara rutin menolong dan menemani mereka serta selalu memberi semangat dan motivasi kepada mereka.

Nam Dok merasa menyesal. Ia telah salah menilai ayahnya. Ayahnya sungguh seorang yang kaya.

Salam semua hai para papa. Selamat hari papa. Be happy. Gbu.
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
304
0
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan