Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

albyabby91Avatar border
TS
albyabby91
SELAMAT ULANG TAHUN, RINAI

SELAMAT ULANG TAHUN, RINAI


Gerimis masih bertahan. Lima belas menit sudah aku berdiri di pinggir jalan, berteduh di bawah pohon akasia berdaun lebat. Aku menatap gelisah ke arah teras panti yang tampak sepi di pagi buta ini. Sebentar lagi azan Subuh berkumandang dan salah seorang pengurus panti akan membuka pintu depan lebar-lebar. Aktivitas pagi hari segera di mulai seperti biasanya.

Sudah seminggu ini aku memperhatikan aktivitas panti asuhan yang berlokasi tak jauh dari asrama kampus. Ada sekitar dua puluh anak berbagai usia yang tinggal di sana. Beberapa di antaranya bahkan sudah SMP. Di panti tersebut juga ada sekitar tujuh orang balita, diasuh penuh kasih sayang oleh Ummi Alya, pemilik panti asuhan yang tidak memiliki keturunan. Sisanya adalah anak-anak usia sekolah dasar.

Aku terus menatap keranjang rotan di depan pintu. Rasa nyeri menelusup di hati ketika melihat seekor kucing hitam mendekati keranjang yang sengaja kuletakkan di sana sekitar dua puluh menit lalu. Hewan manis itu mengendus-endus isi keranjang, membuatku cemas.
Air mataku luruh tak terbendung. Tangisan bocah mungil berhidung mancung di dalam keranjang rotan benar-benar membuat hatiku nyeri.

“Maafkan Mama, Sayang,” bisikku berurai air mata.

Pintu rumah terbuka. Seseorang keluar dan berdiri tertegun di depan pintu. Kedua tangannya membekap mulut. Sementara suara tangisan bayiku semakin melengking. Wanita berkerudung itu buru-buru mengangkat dan mendekapnya di dada hingga perlahan tangisan bayiku reda. Kemudian, dia membawa bayiku masuk ke rumah.

Aku masih berdiri di bawah gerimis, menatap teras panti yang kembali sepi dengan hati hancur berkeping-keping. Ingin rasanya aku lari ke sana, mengambil kembali darah daging yang baru saja kulahirkan tiga hari lalu. Namun, semua itu urung kulakukan.

Bayangan wajah menua Ibu berkelebat di pelupuk mata. Aku seperti mendengar jelas petuahnya, “Ibu hanya ingin kamu bisa menyelesaikan pendidikannya, Nduk. Jaga diri baik-baik. Kehormatan seorang wanita sungguh sangat berharga.”

Aku menangis terisak-isak mengingat nasehat Ibu. Tak ada gunanya lagi. Semua sudah terjadi. Ibu, maafkan anakmu ini!

***

“Selamat tahun baru, Dokter Ayesha.” Sapasn lembut seorang lelaki membuat aku menghentikan tarian jemari pada keyboard laptop di atas meja kerja. Aku menoleh ke arah pintu dan tersenyum melihat suamiku berdiri di sana. Ia memegang secangkir teh yang masih berasap.

“Secangkir green tea untuk wanita istimewa.” Mas Guntur melangkah hati-hati mendekatiku. Cangkir beraroma nikmat itu ia letakkan di atas meja, kemudian memelukku dari belakang.

“Apakah pekerjaan khusus seorang dokter adalah menulis, Sayang?”

Aku tertawa menanggapi sindirannya tentang hobi menulisku. Kututup aplikasi, kemudian membelai sepasang lengan kukuh yang melingkar di pinggang.

“Betapa cantiknya dia, Ayesha. Andai saja saat itu aku ada di sini mendampingiku, mungkin dia masih bersama kita.” Mas Guntur berujar pelan. Nada suaranya penuh rasa sesal. Jemarinya mengusap layar laptop sepenuh kerinduan. Dadaku bergetar hebat menyaksikan itu.

Cukup, Mas. Jangan teruskan!”

Kaca-kaca di mataku kembali luruh. Aku tak sanggup menyaksikan kesedihan tergurat sempurna di wajah Mas Guntur saat menatap rindu foto bayi mungil di layar laptop.

Aku beranjak dari kursi, melepas pelukannya dan berlari tergesa menuju jendela. Dadaku sesak oleh kesedihan.

Betapa tak pernah bisa kulupakan kenangan di Subuh bersimbah gerimis, empat tahun lalu.

Tak pernah lelah aku berusaha untuk mencarinya. Rasa hati ingin bisa memeluk dan menimangnya, mendekapnya hangat sepenuh cinta. Bayiku yang malang.

“Sayang, di mana engkau kini berada? Mama rindu sekali,” bisikku pilu.

Kenangan setahun lalu kembali mengobrak-abrik hati ini.

***

“Di mana bayiku, Ayesha?”

Pertanyaan menuntut penjelasan itu menyentak kesabaranku. Mas Guntur berdiri tegak di muka pintu ruang praktik. Wajah tampannya keruh.

“Ayesha? Jawab!”

Aku berdiri diam. Kedua kaki gemetar hebat menyadari lelaki di hadapanku marah.

“Ayesha, aku menunggu penjelasan mu!” Mas Guntur mendesak.

“Di sebuah panti asuhan, tak jauh dari asrama kampus,” bisikku dengan suara bergetar menahan semua rasa bersalah.

Kepergian Mas Guntur terlalu lama, hingga aku nekat melakukan hal bodoh tak termaafkan ... membuang bayiku di teras panti asuhan!

Aku tak berani menatap wajah Mas Guntur. Entah bagaimana rupa kemarahan di wajahnya. Aku hanya menunduk, menatap lantai keramik yang menjadi kabur karena air mata.

“Kita jemput dia sekarang!” Mas Guntur berkata tegas, tak ingin dibantah.

Dia bahkan tak memberiku kesempatan untuk menjelaskan. Kami melaju terburu-buru menuju panti asuhan itu, tempat aku membuang bayiku.

Satu jam perjalanan berisi keheningan. Tak ada yang berniat membuka percakapan. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri. Bertanya-tanya, seperti apa rupa gadis kecilku yang kini berusia tiga tahun? Secantik apa wajahmu, Sayangku? Apakah kau baik-baik saja?

“Aku terpaksa, Mas,” ujarku ketika keheningan ini semakin menyesakkan dada.

Mas Guntur mengangguk, seakan-akan mengerti.

“Aku tak bisa –”

“Sudahlah, Sayang. Aku mengerti keadaanmu. Maafkan aku tidak bersamamu di saat-saat sulit itu,” ucap Mas Guntur memotong kalimatku. Dia menggenggam erat tangan ini, membuat hatiku perlahan lega.

Ketakutan pada Ibu yang tak pernah merestui pernikahan kami membuatku bertindak terlalu jauh. Harusnya aku tidak membuang bayi itu. Harusnya aku bicara baik-baik kepada Ummi Alya, menitipkan bayi untuk sementara sampai kami selesai kuliah.

Sayang, Mama datang menjemputmu, Rinai.

Hatiku gemetar ketika untuk pertama kalinya kusebut nama itu setelah sekian lama. Mas Guntur sigap mengulurkan tangan, menghapus air mata yang kembali luruh di pipi ini.

Aku terkejut melihat panti asuhan terlihat hening. Daun-daun kering memenuhi halaman. Rumput liar tumbuh di halaman samping yang dulu selalu bersih dan asri. Rumah itu seperti tak berpenghuni.

“Kamu yakin ini tempatnya?”

Aku mengangguk yakin.

Mas Guntur turun dari mobil. Berjalan menuju kios buah di seberang jalan. Tak berapa lama, dia berbalik menghampiriku. Wajahnya berubah kecewa. Pedagang buah di seberang jalan memberitahu bahwa penghuni panti asuhan sudah pindah dua bulan lalu. Tak ada yang tahu ke mana Ummi Alya membawa semua anak-anak panti.

Aku menatap nanar rumah kosong tersebut. Seluruh harapan yang tadi begitu indah, kini padam sudah. Aku menangis pilu.

“Rinai, di mana kau, Nak? Huhuhu ...!”

Mas Guntur memelukku erat. Aku bisa merasakan kesedihan lelaki yang tengah melukku ini. Hal itu membuat tangisku menjadi-jadi.

Sore itu, setahun lalu aku merasa benar-benar kehilangan Rinai.

***

“Sudahlah, Sayang. Kita akan terus berusaha mencarinya.” Mas Guntur kembali memelukku yang masih berdiri di depan jendela.

“Selamat ulang tahun, Rinai. Mama sangat merindukanmu.”

Aku meletakkan boneka panda berwarna biru di atas tempat tidur, tepat di sebelah boneka besar kelinci putih berukuran besar. Tatapanku mengedar ke sekeliling kamar  tidur bernuansa pink ini. Kamar yang tiga tahun ini berfungsi untuk meletakkan kado-kado ulang tahun Rinai. Berharap suatu saat nanti, Rinai benar-benar pulang dan menempati kamar ini.

Tak terasa tahun baru kembali tiba. Kemeriahannya menyesakkan dadaku. Bayangan bayi mungil yang lahir sesaat setelah kembang api menghiasi langit di malam pergantian tahun terus hadir di pelupuk mata. Silih berganti dengan tangisan bayi di keranjang rotan di teras panti asuhan.

Rinai, Mama rindu padamu!

“Sudah waktunya tugas. Ayo aku antar ke rumah sakit,” ujar Mas Guntur mengingatkan.

Aku mengangguk. Menyambar jas putih di kursi kerja, kemudian melangkah keluar kamar Rinai.

Langkahku gegas menyusuri koridor, menuju ruang ICCU. Baru saja seorang perawat melaporkan kondisi kritis pasien kecilku. Kupercepat langkah, tak sabar memeriksa kondisi pasien tersebut.

Seorang wanita paruh baya tampak menangis sedih di depan pintu ruangan. Dia mencegat langkahku. Sejenak, kami bertatapan. Aku bisa melihat kesedihan nyata terpahat di wajahnya ayunya yang basah air mata. Wajah yang tak asing bagiku.

“Dokter, tolong selamatkan anakku. Tolong selamatkan Rinai ....” Wanita itu menggenggam erat tanganku. Kedua matanya menyorotkan permohonan.

Dadaku berdebar kencang mendengar dia menyebut sebuah nama. Aku terdiam, gemetar saat memindai wajahnya yang tak asing. Empat tahun lalu, aku selalu memperhatikannya setiap hari. Berharap bisa bicara dengannya, tapi tak punya nyali untuk mengutarakan maksud. Wajah itu, masih terekam jelas di benak ini.

“Ibu ... Ibu Alya? Pemilik Panti Asuhan Mentari?” Suaraku bergetar.

Wanita di hadapanku mengangguk. Dia menatap wajahku lebih seksama. Ada banyak pertanyaan di matanya.

Aku semakin gemetaran. Bibir seperti tak bisa mengatakan sesuatu. Tanpa sadar, aku mencengkeram jemari wanita tersebut. Terpatah-patah, dengan hati menahan buncah aku melontar tanya, “Apakah – apakah Rin – Rinai – Rinai yang ada di – di dalam sana – Adalah – bayi dalam keranjang rotan – di teras – panti – empat tahun lalu?”

Ummi Alya mengangguk. Masih terlihat bingung menatapku.

Aku tak peduli apa-apa lagi. Air mataku membanjir deras di pipi. Harapan bisa bertemu Rinai akhirnya terwujud tanpa terduga. Hatiku buncah oleh bahagia juga sedih.

Gadis kecil yang tengah terbaring tak berdaya  di ruang ICCU tersebut adalah putriku!

Dan aku tahu persis kondisinya!

Tangisku histeris. Kubekap mulut dengan kedua tangan gemetar. Berusaha menahan semua gejolak dalam dada.

Rinai ... Rinai ... Rinai, putriku.

“Dokter, cepat! Pasien kritis!”

Degub jantung serasa berhenti berdetak mendengar kalimat itu. Aku bergegas menerobos pintu kaca, masuk ke ruangan. Lututku gemetar hebat ketika mendapati gadis kecil bertubuh kurus, berkulit pucat terbaring di ranjang pasien.

Perlahan, aku mendekati dia. Kubelai rambut tipis kusamnya dengan tangan gemetar. Sudah tiga hari dia terbaring di sini. Positif DBD. Air mataku tak bisa berhenti mengalir. Kukecup lembut kening Rinai sambil terus berbisik di telinganya, “Bertahan, Sayang. Bertahanlah demi Mama.”

Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha tenang. Aku harus memeriksa keadaannya segera. Tak peduli pada tatapan curiga Suster Anita, aku mengusap kasar air mata di pipi, kemudian mulai memeriksa Rinai.

“Trombositnya turun drastis, Dokter. Pasien perlu segera transfusi darah.” Suster Anita mengingatkan.

“Ambil saja darahku. Kita tak punya banyak waktu lagi. Aku tak mau menanggung risiko!” Suaraku gemetar, membuat Suster Anita semakin heran.

“Segera lakukan, Suster. Jangan tunda lagi!” perintahku tegas.

Kondisi Rinai sangat mengkhawatirkan. Aku segera meminta Suster Anita menyiapkan semuanya. Meskipun bingung, tapi dia menuruti semua perintahku. Cekatan menyiapkan semuanya sesuai prosedur.

Setelah itu, aku berbaring di sebelah Rinai. Air mata terus menetes, bersamaan dengan bibir yang terus memohon kesembuhannya. Hatiku terasa hangat ketika melihat tetes demi tetes darah ini masuk ke tubuh Rinai.

Gemuruh letusan kembang api terdengar samar-samar dari sini.

“Rinai, selamat ulang tahun, Sayang,” bisikku sambil tersenyum penuh harapan.

Selimut bayi berwarna peach yang tadi diberikan Ibu Alya kudekap erat di dada. Ada nama Rinai terukir di salah satu ujungnya. Aku yang menuliskannya empat tahun lalu.

***

bukhoriganAvatar border
spay21Avatar border
spay21 dan bukhorigan memberi reputasi
3
449
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan