Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

albyabby91Avatar border
TS
albyabby91
kimpoi Kontrak (Sebuah Dilema Yang Menjadi Budaya)
kimpoi Kontrak (Sebuah Dilema Yang Menjadi Budaya)

“Loh, kok suami kamu beda? Bukannya pas kita reuni tahun lalu kamu bawa suami yang wajahnya kayak orang Arab itu?” Aku bertanya dengan heran. Sebab, wajah lelaki yang ia sebut sebagai suami itu jauh berbeda dengan lelaki sebelumnya. Tidak ada kemiripan sama sekali.

“Oh, yang itu suami kedua aku. Yang ini suami keempat.” Suya menjawab dengan santai. Seolah tidak ada beban sama sekali. Lelaki yang duduk di sebelah kanannya itu juga terlihat tidak masalah saat Suya berucap demikian.

“Loh, kok bisa?” Aku benar-benar terkejut mendengar jawabannya. Hanya berjarak satu tahun, ia telah kimpoi cerai dua kali.

“Kalau ada uang, apa sih yang enggak bisa?” Lidia ikut menimpali.

“Kamu kalau mau, bisa aku kenalin ke temen-temen. Barangkali ada yang mau. Syukur-syukur kalau kontraknya dibayar mahal.” Suya menawarkan.

Aku semakin bingung. Tidak paham sama sekali. Kusipitkan mata seraya mengerutkan kening saat menatap wanita itu.

“kimpoi kontrak, entar ada perjanjian sebelum akad. Perkimpoian kalian bakalan bertahan berapa lama, terus selama perkimpoian kalian itu kamu bakalan dibayar berapa.” Suya menjelaskan.

“Lebih aman dibanding jadi simpanan kayak si Tisa.” Lidia lagi-lagi menimbrung.

Sekarang aku paham meskipun tidak sepenuhnya. Setidaknya mengerti mengapa ia bisa kimpoi cerai sesering itu. Pantas saja hingga kini ia belum ingin punya anak sama sekali.

“Sayang, aku keluar sebentar. Nanti kalau sudah mau pulang, hubungi saja.” Lelaki berjas hitam itu bangkit berdiri dari kursinya. Ia memberikan sebuah kecupan di bibir Suya, kemudian beranjak pergi setelahnya.

“Apa gak takut kena penyakit menular? Kamu kan gak tau sebelumnya dia udah tidur sama siapa aja.” Aku begitu penasaran.

“Sebelum tekan kontrak ya cek kesehatan dulu buat mastiin. Dia orang berduit, gak bakalan mau asal tidur sama orang sembarangan.” Suya menjelaskan seraya menyesap Americano dingin di hadapannya.

Aku manggut-manggut tanda mengerti.

“Kamu mau gak?” Suya lagi lag-lagi menawarkan.

“Ya kali aku mau. Aku udah punya suami sah di mata negara dan agama. Apa kalian lupa tujuan kita buat ketemuan hari ini, aku kan mau minjam uang buat biaya berobat Mas Irsan.” Aku langsung menjawab dengan tegas.

Suya menarik napas dengan berat. Ia lagi-lagi menyesap kopi pahit itu sebelum kembali berucap. “Aku mau nawarin kamu uang tanpa perlu dibalikin. Uang yang didapat dari kimpoi kontrak itu besar. Iya sih kebanyakan gak terlalu tampan kayak suami kamu. Tapi yang penting kan uangnya. Kita cuma perlu ngasih pelayanan, tiap hari bakalan dikasih uang jajan di luar uang kontrak. Dari keempat suami kontrak aku, ya baru yang tadi agak lumayan. Yang pertama malah udah aki-aki.” Suya berucap dengan serius.

“Aku tahu dunia kayak gini juga dari Suya. Berkat dia aku bisa ngelunasin utang keluarga. Terus nabung buat beli tanah, nyicil rumah. Kerjaan gampang, kayak istri biasa. Malah kita gak perlu beberes rumah, gak perlu repot juga mikirin bakalan punya anak.” Lidia ikut mendukung argumen Suya.

Aku terdiam sejenak. Berpikir tentang Mas Irsan yang beberapa bulan ini tidak bisa beraktivitas seperti biasa karena kecelakaan yang ia alami. Ada yang salah di bagian syaraf. Membuat bagian dari pinggang ke bawah tidak bisa bergerak sama sekali. Ia harus selalu diterapi agar bisa pulih seperti sedia kala. Namun, aku terkendala di biaya.

Bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan, membuatku tidak bisa mencukupi semua kebutuhan. Apalagi biaya terapi yang cukup mahal.

“Aku gak bisa ninggalin Mas Irsan dalam kondisi kayak gitu.” Aku berucap dengan lemah, meskipun penawaran itu cukup menggiurkan. Aku ingin uangnya, agar bisa membawa suamiku berobat ke tempat yang lebih bagus. Aku ingin ia lekas pulih dan bisa beraktifitas seperti biasanya.

“Kamu gak perlu pisah sama suamimu. Cukup kamu nyari pengasuh buat ngurus dia. Kamu cuma perlu sedikit berbohong. Atur saja kebohongan dengan ngaku kamu ada urusan kerja ke luar kota untuk beberapa bulan.”

“Tapi, surat cerainya? Bukankah nikah lagi butuh surat cerai?” Aku bertanya seraya mengerutkan kening.

Lidia dan Suya tertawa secara bersamaan. Seolah ucapanku barusan begitu menggelitik bagi mereka.

“Kamu mau ngapain pakai surat cerai? Aku yang udah kimpoi empat kali aja gak pernah megang buku nikah.” Suya berucap seraya terbahak.

“Lalu?” Aku semakin bingung dibuatnya.

“Nina, Nina, kamu ini polos sekali.” Lidia ikut menertawakan.

“Yang penting ada akad saja sudah cukup.”

“Tapi akad butuh surat-surat.”

“Enggak, gak butuh sama sekali. Akadnya di bawah tangan. Gak perlu ke KUA.” Suya menegaskan.

Aku kembali diam. Mencoba untuk mengambil keputusan. Jika memang ini yang terbaik, mungkin aku bisa mencoba. Kapan lagi bisa mendapatkan uang banyak tanpa harus susah payah bekerja.

“Apa aku boleh sambil bekerja?” Aku kembali bertanya. Akan lebih menguntungkan jika sambil bekerja, sebab pemasukan akan semakin bertambah.

“Itu tergantung nasib sih. Kalau dapat suami yang baik, ya kita bakalan diperlakukan dengan baik. Kita minta apa aja bakalan diturutin. Tapi kalau nasib kita buruk, ya kayak suami ketigaku dulu. Perhitungan dan sedikit kasar. Dia gak ngasih uang sama sekali, selain kesepakatan setelah habis masa kontrak. Jadi, ya berdoa saja biar bisa dapat suami sesuai yang kamu mau.” Suya menjelaskan panjang lebar.

Aku manggut-manggut tanda mengerti. Namun, masih ada yang tidak aku pahami. Jika mereka ingin menikah, dan punya materi untuk menafkahi, mengapa harus kimpoi kontrak? Mengapa tidak kimpoi seperti pasangan pengantin pada umumnya?

“Biasanya para pekerja luar yang sedang ada tugas untuk waktu yang lama di sini, banyak yang nyari istri buat kimpoi kontrak selama mereka di sini. Biar gak jajan sembarangan. Biasanya juga mereka udah punya istri, jadi mainnya harus rapi biar kamu gak ketahuan sama istri sahnya.” Lidia menambahkan. Menjawab semua pertanyaan yang sedari tadi mengukung pikiran.

“Yang tadi bukannya lokal?” Aku menatap Suya.

“Iya. Jarang dapat yang lokal dan lumayan tampan kayak yang tadi. Kalau bisa, aku malah mau perpanjang masa kontrak.” Suya mengiyakan.

Aku semakin penasaran untuk mencoba. Bukan untuk mencari kesenangan, tapi demi mencari uang banyak dalam waktu singkat. Jika Mas Irsan telah pulih seperti sebelumnya, aku akan kembali setia padanya. Yang terpenting sekarang ia harus dibawa terapi ke tempat yang lebih bagus lagi.

“Aku mau.” Akhirnya aku setuju untuk mengikuti saran mereka.

“Bagus.” Suya memuji.

“Lusa aku bakalan balik ke Bali, nanti aku usahain nyari calon suami kontrak buat kamu sebelum aku benar-benar balik. Soalnya tugas suamiku di sini bakalan selesai lusa nanti. Nah itu salah satu untungnya, bisa keliling Indonesia.” Lidia tampak semangat dalam berucap.

“Gak jarang diajak ke luar negeri kalau mereka ada tugas untuk beberapa hari ke sana.” Suya menambahkan. “Entar aku hubungin kenalan yang mau nyari istri tapi masih punya suami. Kadang ada lelaki yang gak masalahin itu.” Suya ikut memberikan janji.

Aku menarik napas dalam, berharap Mas Irsan akan paham jika ia tahu masalah ini nanti. Sebab, aku melakukan ini semua demi kesembuhan dirinya.
rinandyaAvatar border
mmuji1575Avatar border
spay21Avatar border
spay21 dan 10 lainnya memberi reputasi
9
2.6K
10
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan