Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

salikersAvatar border
TS
salikers
Petualangan Ng Edan (Pasrah Tawakkal pada Allah) part 7
“La gimana tak ketawa, la cuma ditolak sekali aja udah lemes, mutung, prustasi, hidup itu perjuangan Ndra, la orang bikin anak sampai jadi cewek yang kamu demeni itu aja tak sehari-dua hari, la ditolak sekali, agak jual mahal, agak jinak-jinak merpati, la itu kan sudah sifatnya cewek, la kalau cewek nyeruduk aja, kayaknya kok tak ada seninya, kurang ada nilai lebih, gak ada gregetnya, ya gak?”

“Tapi penolakannya itu langsung telak mas, aku dilarang datang, aku dilarang dekat-dekat dengannya.”

“Woh itu mah wajar,”

“Tapi dia bilang malu mas, kalau aku ada di dekatnya.”

“Ah alasan kan boleh aja dibuat, mau alasan malu-mau alasan kamu bau… ckikikik…, la wong alasan kok diributkan, dia mau bikin alasan apa aja, kalau kamu gigih, ku kira juga dia akan takluk.” kataku memberi semangat, sebenarnya maksudku, hanya menarik kembali Hendra dari jalan yang salah, jalan kepada penyimpangan sex.

“Lalu apa yang harus ku lakukan mas?”

“Wah itu urusanmu sendiri, tapi kalau kamu mau, aku akan memberimu amalan, supaya cewek itu kau dapatkan, kamu mau?”

“Wah mau-mau mas…, “

“Tapi syaratnya berat Ndra…!” kataku, memancing kesungguhannya.

“Syaratnya apa mas? Apa ngambil tanah dalam kuburan?”

“Wah ndak seberat itu Ndra, malah juga dibilang ini juga berat bagi orang tertentu…”

“Trus apa syaratnya mas?”

“Syaratnya kamu jangan meninggalkan sholat, jangan minum-minuman keras, dan jangan kau pakai perempuan itu barang permainan…, gimana kamu sanggup?”

“Cuma itu aja mas syaratnya?” kata Hendra,

“La kamu sanggup tidak? Kan selama ini sholatmu jarang-jarang…,”

“La kok mas tau?”

“Wah itu mudah ditebak Ndra..!”

“Aku sanggup mas…”

“Bener sanggup?” tanyaku meyakinknnya,

“Sanggup sekali mas…”

“Baiklah, sini aku minta pena ama kertas, biar ku tuliskan amalannya..” kataku yang segera dicarikan oleh Hendra dan tak sampai lima menit dia datang membawa pena dan kertas, dan amalan makhabah pun ku tulis, setelah menyerahkan amalan, dan memberikan pesan cara kerja dan bagaimana pakainya, aku pun minta diri karena hari telah menjelang subuh. Setelah sholat subuh, aku ikut kereta barang ke arah Surabaya.

Jam satu siang sampai di stasiun Pasar Turi, aku tak bingung, walau tak pernah ke Surabaya, yah bagaimana harus bingung, karena bingung adalah hak bagi orang yang punya tujuan, sedang aku tak punya tujuan sama sekali, jadi aku sama sekali tak mencari alasan untuk bingung, aku duduk aja di kursi peron, tak seperti orang linglung, walau tak ada uang serupiah pun di kantongku, aku tak takut, akan dapat makan dari mana, walau aku juga manusia biasa, kalau boleh bilang aku teramat lapar, walau itu tak jadi beban pikiranku, aku tekuni saja berdzikir, tanpa henti dan tanpa bosan, karena hanya Robku saja sandaranku, dan yang aku kenal sekarang ini, aku yakin, kasih sayang-Nya melebihi kasih sayang ibuku, perhatian-Nya melebihi siapa pun di muka bumi ini, aku kemudian berjalan keluar setasiun.., tapi baru keluar dari pintu seorang perempuan memanggilku,

“Mas sini mas…!” panggilnya. Aku segera mendekat, ku lihat dia membawa banyak jualan, yang ditenteng, yang dijinjing, juga yang digendong di punggung, tapi mulai diturunkan, ibu itu mungkin seumur empat puluh tahun.

“Ada apa bu?” tanyaku sambil mendekat, mungkin aku diminta membantu barang bawaannya, pikirku.

Dia membuka makanan dan meramu pecel, dan meletakkan satu paha ayam di bungkusan yang dipegangnya,

“Ini makan…!” katanya menyodorkan sebungkus pecel yang diraciknya,

“Ah ndak bu…” kataku mundur.

“Ndak mau gimana? Udah ini dimakan…!” katanya berdiri dan menyodorkan bungkusan padaku,

“Saya ndak punya uang bu… maaf…” kataku terus terang,

“Yang nyuruh anak ini bayar siapa? Ibu hanya minta anak makan ini…”

“Tapi bu…?” kataku masih belum menerima nasi bungkus pemberiannya.

“Udah ini dimakan dulu.” katanya, yang tak bisa ku tolak, lalu ibu itu mengeluarkan kursi dari dalam keranjang dagangannya dan menyuruhku duduk, dan setelah menyatakan terimakasih, aku pun makan dengan lahap,

“Nambah?” tanyanya sambil menyodorkan segelas teh di dekatku.

“Ah sudah bu…, sudah kenyang sekali,” kataku.

“Ibu bikinin lagi ya…” tawarnya dengan pandangan kasih nan lembut.

“Udah bu.., bener nih, sudah kenyang sekali,” kataku, sambil meminum teh manis, tapi ku lihat ibu itu masih membuat racikan pecel juga, dan membungkusnya dalam kresek, lalu disodorkan padaku,

“Ini, untuk bekal dalam perjalanan…” katanya sambil mengansurkan kresek ke arahku, dan memaksaku menerimanya.

“Kenapa ibu baik padaku?” tanyaku heran.

“Nak… ibu hanya minta kamu mendoakan ibu..,” katanya menatapku dengan serius.

“Mendoakan?” tanyaku heran.

“Ah ibu ini, saya ini dosanya terlalu menumpuk bu, masak disuruh mendoakan? Ya apa diperduli oleh Alloh, lihatlah pakaianku ini bu kotor banget, dekil, kumal, jarang mandi,” kataku sambil menunjukkan pakaian yang kupakai.

“Kalau begitu, kamu tak mu ya mendoakan ibu..?” katanya sambil air matanya mulai menetes…

“Oh.., mau… mau, bu, mau..” kataku gelagapaan melihat ibu itu mulai menangis,

“Iya.., iya bu.., kan ku dokan, ibu minta didoakan supaya apa?” tanyaku cepat-cepat supaya dia tak keburu menangis,

“Ya ibu minta didoakan supaya mati khusnul kotimah.” katanya sambil mengusap air matanya dengan selendang, untuk menggendong jualan.

“Baik ibu yang mengamini ya…, biar aku yang berdoa,” kataku, kemudian mulai berdoa, aku tak perduli setiap orang yang lewat menatap aneh padaku, memang sejak pertama, aku tak pernah perduli dengan orang lain, selesai berdoa, ibu itu menggenggam tanganku, dan mengucapkan terimakasih, aku juga mengucapkan terimakasih, dan pamit untuk melanjutkan perjalanan, kemudian meneruskan mengayunkan kaki tanpa arah dan tujuan pasti, karena memang aku tak mau disibukkan oleh arah, tak mau dirisaukan oleh tujuan, aku hanya ingin mengenal gerak gerik Alloh dalam membimbingku, menuju pencarian tanpa berkesudahan, melatih cinta dan tak menduakannya, melatih tawakaal, dan meresapi sunyinya bercumbu dengan kesunyian denganNya sendiri, walau dalam keramaian, tenggelam dalam samudra kepasrahan, tanpa ingin ditolong oleh siapa saja, kecuali oleh rengkuhan kasihNya, tanpa embel-embel balas budi.

Melangkah, melangkah, dan melangkah, Surabaya begitu luas, aku kadang menyeberang, kadang berhenti di tepi jalan, tak terasa sandal jepit yang selama ini menemaniku telah tembus, sehingga telapak kakiku berdarah, karena sering tergores aspal panas jalan, juga mungkin tersandung batu, sehingga tak ku pikir dan pehatikan, itu ku ketahui, ketika sandalku telah putus, sehingga ku buang, aku kaget, oh Alloh maafkan aku, kalau hatiku sekejap melupakanMu karena tersita oleh rasa sakit di kakiku, setelah sandal ku buang aku pun berjalan lagi, tak ku perdulikan sudah lecet di kaki.

Aku sampai di Tunjungan Plaza, di tahun 1994 Plaza Tunjungan mungkin yang terkenal di Surabaya, setidaknya itu menurut pandanganku, aku duduk aja di sekitar plaza, kalau malam kadang nongkrong dengan para pelukis jalanan, yang menggelar lukisan di sekitar plaza, kalau hari telah larut malam, aku pun tidur di emperan toko, menggeletak aja tanpa perduli apa-apa, untuk makan aku kadang mengorek tempat sampah, ada saja yang ku temukan, entah nasi bungkus, entah roti berjamur, sekedar untuk mengganjal perut, lalu kalau untuk sholat aku cari musholla atau masjid di sekitar, itu sampai beberapa hari, sampai suatu siang aku jalan, tanpa satu tujuan, dan sampai di jembatan merah, plazanya baru dibikin, lalu ada truk berhenti, aku pun naik, dalam pikirku, tak tau aku akan di bawa ke mana, yang penting truk ini berhenti, maka aku turun, lalu aku tiduran dalam truk, sampai terbangun dan truk pun sudah berhenti, aku turun, masih dengan kaki terlanjang, hari telah beranjak malam, aku berjalan, setelah melihat tulisan yang terpampang di depan toko, maka aku pun tau kalau aku ada di daerah Sidoharjo, aku pun berjalan, sampai kakiku menendang sesuatu, karena gelap aku teliti, ternyata sebuah sandal, sandal carvil, lumayan bagus untuk menjadi ganjalan kakiku yang telah lecet.

Aku cepat-cepat mencari pasangan sandal, karena yang ku temukan tinggal satu, ku cari kesana ke mari, karena gelap lumayan susah juga, walau akhirnya ku temukan, dan ternyata sudah putus jepitannya, lalu aku pun punya inisiatif untuk menusuk bawah jepitan dengan paku, setelah mencari paku dan menusuk belakang jepitan dengan palu dari batu, sandal pun bisa dipakai, kelihatannya lumayan masih baru, mungkin dibuang orangnya karena putus talinya saja, lumayanlah, sehingga luka di kakiku yang lecet tak sakit lagi karena terkena kerikil, ku lanjutkan perjalanan, sampai juga aku di depan plaza, Sidoharjo, aku duduk, sebenarnya mau sholat tapi tak tau di mana ada masjid, aku nggelosor aja di depan plaza, yang sudah tutup karena sudah malam sekali, tanpa sadar, karena teramat lelahnya aku pun tertidur, sampai terdengar suara adzan subuh, dan aku teramat heran, karena adzan subuh terdengar dekat sekali, lalu aku menuju arah suara adzan, dan masjid ternyata cuma di belakang plaza saja, aku pun segera masuk masjid, dan mengkodho sholat yang ku tinggal, dan mengikuti jamaah subuh, selesai sholat aku pun keluar masjid dan nongkrong aja di pinggir jalan, sambil wirid dan melihat orang yang lalu lalang, kelaparan perutku aku isi dengan air yang tadi ku bawa dari masjid, dan itu setidaknya sudah menipu nafsu makan cacing yang ada dalam perutku, dan tidak berontak lagi.

Hari jum’at, ah sampai tidak berpikir kalau ini hari jum’at, orang berbondong-bondong ke masjid, aku pun melangkah dengan pelan ke masjid, pertama yang ku lakukan adalah mengisi perut dengan air sebanyak-banyaknya, lalu wudhu dan masuk masjid, melakukan sholat tahiyatul majid, lalu duduk di pojok, aku tak mau mengganggu orang lain, yah pakaian yang kumal, gelandangan sholat di masjid, tentu banyak orang yang memandang dengan pandangan mengucilkan, dan sedikit ada unsur hina, di setiap percikan mata mereka, bahkan di hati mereka, tapi aku mencoba tenggelam dalam dzikir, setelah sholat jum’at, dan melakukan dzikir sebentar, lalu aku keluar masjid, memakai sandal dan melangkah pergi, tapi tiba-tiba, sebuah tangan menarik baju belakangku, dan aku di seret begitu saja,

“Pencuri sandal…!” bentak orang yang menyeretku, ke kantor pengurus masjid, ku lihat orang itu tinggi dan berkumis tebal garang, dia menyeretku, terus ke dalam kantor, dan di dalam ada beberapa orang, aku segera dibanting ke lantai, terduduk,

“Kau maling sandal hina…!” bentaknya lagi.

“Ah…, sampean salah…” kataku, tenang.

“Salah bagaimana, sudah jelas-jelas mencuri sandal.” bentaknya.

“Ayo ngaku…!” aku diam saja. Dan tiba-tiba orang itu menarik sabuk yang dipakai, dan wuuut sabuk dihantamkan ke punggungku. aku hanya memejamkan mata, ketika sabuk itu mengenai punggungku, dan tanpa mengeluh, karena entah kenapa aku tak merasakan sakit, tapi itu malah membuat orang yang menyeretku itu makin beringas mencambukiku.

Karena tidak merasakan sakit, aku ya tetap diam saja, cuma suara cambuk ikat pinggang yang terus menghujaniku, bak-buk, bak-buk, “Sudah-sudah…!” teriak orang yang ada di ruangan itu, sementara orang yang ikut jum’atan pun sudah pada berdatangan memenuhi kaca, menatapku, juga dari pintu, dan segala lubang yang ada, aku seperti pencuri yang dinistakan.

“Ayo ngaku kau telah mencuri sandal.” kata orang yang memukuliku.

“La saya tidak nyuri sandal, gimana mau ngaku nyuri sandal.” kataku masih dengan tatapan heran.

“Benar, kamu tidak nyuri sandal?” tanya salah satu orang yang ada di dalam kantor itu.

“Tidak..!” kataku mantap.

“Gembel…, mau mungkir, kalau sandal yang kau pakai itu bukan sandal curian, apa ada gembel sandalnya bagus…?!” bentak orang yang memukuliku.

“Ini sandalku sendiri…” kataku.

“Puih, gembel hina… mau dihajar lagi?!” bentak orang yang memukuliku.

“Sudah-sudah…,” kata orang setengah baya yang tadi menyela,

“Benar kamu tidak mencuri sandal?”

“Tidak…!” jawabku.

“Apa buktinya kalau sandal itu sandalmu sendiri?” tanya orang setengah baya itu. Aku sebentar berpikir, lalu ku ingat,

“Sandal ini bawahnya japit ku kasih paku, karena sudah putus.” kataku mantap. Lalu orang yang memukuliku, menarik kedua sandal yang ku pakai, dan memandang dengan kecewa, karena apa yang ku katakan benar adanya. Dia menunjukkan sandal pada orang setengah baya itu,

“Makanya jangan nuduh sembarangan.” kata orang setengah baya itu,

“Kalau begini…, untung tidak sampai luka parah..” kata orang setengah baya itu menggerutu, sementra orang yang memukuliku, nampak serba salah, sandal kemudian diangsurkan padaku lagi.

“Heh… heh ada apa ini?” seorang pemuda tiba-tiba mendesak kerumunan di pintu dan masuk ke kantor masjid tempatku dipukuli, seorang pemuda yang seumuran denganku, berkulit kuning dan berwajah tenang, “Ada apa?” tanyanya lagi.

“Ini salah nangkap maling…” kata orang setengah baya yang melarang aku dipukuli terus, sambil tangannya menunjuk padaku, dan pemuda itupun memandangku.

“Maling gimana, ini temanku, kenapa dibilang maling?!” kata pemuda yang baru masuk, dengan nada marah, lalu menggelandangku berdiri.

“Ini temanku, kenapa dibilang maling?” tanyanya lagi, karena tak ada yang menjawab.

“Iya kami salah sangka, maaf…!” kata orang yang memukuliku.

“Maaf gimana? Mbok kalau ada masalah jangan langsung main pukul,” kata pemuda yang menyerobot masuk, yang terus terang aku pun tak kenal sama sekali, aku tetap diam saja, dan tak memperdulikan pembicaraan mereka, memang aku sendiri kadang merasa aneh, semakin ditimpa musibah, maka aku akan semakin tenang, pasrah, atau mungkin kalau dibilang tak terlalu, aku makin ngantuk, kalau tertimpa musibah, hati langsung terisi dengan Alloh jadi ketenangan teramat dalam, sampai rasanya mata jadi ngantuk.

Aku makin tak konsen dengan perdebatan mereka, sampai aku digeret oleh pemuda sebayaku, dan diajak jalan ke dalam Matahari plaza, aku nurut saja… lalu diajak duduk di etalase toko sepatu.

“Mana yang sakit?” tanyanya.

“Nggak ada yang sakit.” jawabku.

“Ah masak, coba lihat punggungmu?” katanya langsung ke belakangku dan membuka kaos kumal yang ku pakai.

“Heran, kok ndak luka sama sekali? Padahal ku lihat kamu dipukuli sampai ancur-ancuran.” katanya selesai melihat punggungku.

“Ndak tau ya, aku sendiri juga heran, kok ndak ada yang sakit, juga waktu dipukul ndak sakit.” kataku menimpali.

“Wah aneh juga, padahal baru seminggu yang lalu juga ada yang ditangkap, dituduh nyuri sendal, lalu dipukuli sampai hidung dan mulutnya berdarah, dan wajahnya bengep, njerit-njerit ndak karuan.” katanya menerangkan.

“Masak?” tanyaku heran.

“Iya, emang itu orang yang jaga masjid paling suka mukuli orang, udah nggak kehitung yang dipukuli.” katanya menjelaskan lagi. Lalu datang seorang lagi mendekat.

“Ada apa Ed?” tanya lelaki yang datang, orangnya juga seumuranku, kulitnya hitam.

“Ini tadi dipukuli penjaga masjid.”

“Wah…, salah apa?” tanya lelaki itu.

“Dituduh nyuri sandal.”

“Wah pasti lukanya parah…” kata pemuda yang baru datang yang ku tau bernama Ikhrom,

“Malah ndak luka sama sekali..” jawab pemuda yang bernama Edi yang menolongku. Mereka berdua ramai membicarakanku, aku tetap diam sampai Edi bertanya padaku.

“Kamu tinggal di mana?”

“Aku?” tanyaku lagi.

“Iya.., tinggal di mana?” ulang Edi menanyakan pertanyaannya.

“Wah aku ndak punya tempat tinggal.” jawabku enteng.

“La trus kalau tidur di mana?” tanyanya lagi.

“Ya di mana aja…,” jawabku masih enteng.

“Di mana aja gimana?” tanya Ikhrom nimbrung. Ya aku juga tak heran bila mendengar pertanyaan orang yang biasa tidur di rumah dengan kasur empuk, dan menyalakan musik pengantar tidur, aku tak menyalahkan mereka, yang pasti merasa aneh dengan orang-orang yang biasa tidur sembarangan, mungkin bayangan mereka andai digigit ular gimana? Andai dirampok orang gimana? Atau mungkin barang pertanyaan yang teramat sepele, wah kalau digigit nyamuk apa bisa tidur, tapi selama ini aku juga tidur-tidur aja, apa mungkin nyamuknya udah pada kenal, atau mungkin darahku yang pahit, karena makan dari tempat sampah.

“Ya kadang di jalan, di emperan toko, kadang di musolla, atau bahkan kadang tidur di kuburan…” jawabku sambil melirik mereka, dan menyalakan rokok Djisamsoe yang disodorkan padaku oleh Edi.

“Wah berani sekali.” desah Ikhrom. Sementara Edi masih terbelalak.

“Yang bener, di kuburan?” tanya Edi dengan nada heran dan kaget,

“Emangnya kenapa?” tanyaku.

“Apa ndak boleh?” sambungku.

“Ya bukan begitu, maksudku berani sekali, apa pernah didatangi pocong..?” tanya Edi.

“Pocong? Ya mungkin aja pernah, tapi kali aja pocongnya ngeliat aku ndak punya uang jadi ndak ditakut-takuti, mungkin dia malas nakuti aku, ya mungkin bauku lebih parah dari mereka, la mereka mau nyumpal hidung, tangannya diikat, jadi mending jangan mendekat..” jawabku asal aja. Yang tiap kata ngawurku pun makin membuat hubungan pertemanan kami pun makin akrab, dan selama itu aku tetap di tempat penjualan sepatu tempat Edi bekerja, tentunya dengan pandangan orang yang lewat di koridor merasa aneh padaku, tapi aku cuek aja, toh pandangan mengucilkan dan menghinakan tak sekali dua kali ku terima.
mnjdlbhbaiklgAvatar border
viensiAvatar border
galuhtaruna321Avatar border
galuhtaruna321 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
947
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan