Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

salikersAvatar border
TS
salikers
Petualangan Ng Edan (Pasrah Tawakkal pada Allah) part 6
“Assalamualaikum mas…” sapa pemuda kurus di sebelahku.

“Waalaikum salam….” jawabku acuh, karena masih tenggelam menulis lafad Alloh di kalbuku.

“Maaf mas, mengganggu….” katanya.

“Tak apa-apa, wong tempat duduk ini disediakan untuk penumpang.” kataku tak acuh.

“Bukan itu mas, maksudku mas kan yang gila di setasiun Bojonegoro? Sebab tadi saya tanya para pedagang asong, kalau yang selama ini jadi orang gila di setasiun itu mas.” kata lelaki ceking itu, dan membuatku terperanjat.

“Ada apa sampean mencari saya?” tanyaku heran.

“Anu mas, biar saya ceritakan saja diri saya, saya dari keluarga berbagai macam agama, di keluarga saya ada yang Hindu, Budha, Kristen, dan saya bingung mau milih agama apa? Saya pernah mencoba berbagai agama, selain Islam, tapi saya tak pernah merasa sreg dan cocok, nurani saya mengatakan semua tak benar, nah seminggu yang lalu saya ke salah satu kyai di Kediri minta petunjuk, lhoh kok dia malah menyuruhku minta petunjuk pada orang gila yang masih muda, berambut gondrong yang ada di setasiun Bojonegoro, kemaren saya sudah datang di setasiun tapi orang gila yang dicirikan oleh kyai Kediri itu tidak ada di setasiun Bojonegoro, lalu saya malamnya menginap di seorang kenalan, lalu tadi pagi saya datang lagi ke setasiun, saya cari-cari, juga tak ada, lalu saya tanya pada penjual asongan ciri-ciri orang gila yang ada di setasiun, pasti mereka pernah melihat, lalu mereka pada menunjukkan mas, yang saat itu tengah duduk di bangku, saya ragu, sebab mas tak seperti orang gila, maaf, pakaian, tubuh, juga tampang bersih, jadi saya ragu, lalu mas naik kereta jurusan Surabaya, ya daripada pencarian saya tak mendapatkan hasil, maka saya samperin aja mas, dan inilah yang terjadi.”

“Siapa namamu?” tanyaku.

“Saya, Arifin mas, dari Jombang. ” jawabnya.

“Lalu apa yang kau inginkan dariku?”

“Aku minta petunjuk dari mas, apa yang harusnya ku lakukan?” katanya, sementara kereta mulai jalan.

“Kau sudah mendapat hidayah dari Alloh, memeluk agama Islam, adalah hidayah yang lebih mahal dari nyawa, karena apa gunanya amaliyah segunung, kalau tidak muslim, maka tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali kebaikan di dunia, di akhirat hanya menerima rentetan siksa demi siksa tanpa ujung dan perhentian, maka jika kamu bisa menjadi Islam, sungguh suatu karunia yang tiada terkira, di suatu daerah aku pernah melihat anak kecil seorang anak keluarga Kristen, tapi aneh walau anak itu baru berumur 10 tahun, dia telah masuk Islam, tanpa ada yang mengajak, waktu ulang tahun yang diminta ke orang tuanya apa? Peci, baju taqwa, dan sajadah, lalu dia ikut jamaah di masjid, orang tuanya tau itu kemudian marah, dia dipukul sampai babak belur, disiksa, tapi tetap saja dia ke masjid, nah itulah hidayah dari Alloh,”

“Aku jadi merinding mas, lalu apa yang harus ku lakukan mas…?”

“Pergilah ke kyai Maimun Zubair, Sarang Rembang, ceritakan keadaanmu, dan mintalah diIslamkan.”

“Prak… bug… prak..!” tiba-tiba terjadi ribut dalam kereta, tepat di depanku dua preman berantem, dan terjadi pergumulan yang seru, karena entah merebutkan apa, nampak pemuda yang satu sudah benjol wajahnya karena dipukul, para penumpang menjerit, tiba-tiba pemuda yang benjol mencabut pisau dan dihujamkan ke pemuda musuhnya, sepersekian detik aku tak sadar begitu saja melompat, tanganku menangkis pisau, hingga pisau mental, dan otomatis aku di tengah jadi sasaran pukulan kedua preman yang telah gelap mata, kedua tanganku ku bentang menangkis kedua pergelangan dua pemuda itu, “krak..!” Kedua pemuda itu mengaduh dan mundur memegangi pergelangan masing-masing, keduanya menatapku, heran dan ada pandangan takut, padahal bodi keduanya besar jauh di atasku,

“Kalau bikin ribut dalam kereta, ku lempar kalian keluar…!” bentakku.

“Enggak mas…! Enggak.,” jawab mereka berdua mundur-mundur, dan sebentar datang kondektur menenangkan suasana, dan aku pun duduk di tempat dudukku semula.

“Wah mas berani, aku sudah takut kalau sampai ada yang terluka,” kata Arifin.

“Ah tak apa-apa, cuma anak berandalan.” kataku tenang.

“Lalu bagaimana mas, tentang saya?”

“Iya kamu pergi aja ke pesantren Sarang Rembang.” kataku menerangkan agak keras, karena suara rem kereta yang berderit keras, dan kereta perlahan berhenti di setasiun Babat.

“Aku turun sini aja.” kataku pada Arifin.

“Lho ndak ke Surabaya to mas?” tanya arifin.

“Enggak” jawabku sambil lalu berdesakan dengan para penumpang yang mau naik kereta.

Setelah turun kereta, aku pun mencari warung untuk sarapan pagi, ku masuk sebuah warung dan memesan pecel khas Lamongan, makan dan sambil memandang orang yang lalu lalang.

Seharian tak ada aktifitas yang ku lakukan, kecuali diam di mushola setasiun menjalankan wirid sampai tertidur, lalu sholat dzuhur dan wirid lagi, tenggelam di dasar suara hati.

Malam itu, sekitar pukul 3 dini hari, aku tidur sendiri di musholla setasiun, tiba-tiba serasa ada yang membangunkanku. Aku terperanjat dan bangun, tengak tengok tak ada siapa-siapa, aku heran, lalu siapa yang membangunkanku? Aku bangkit dan keluar dari mushola, di luar segera angin dingin berhembus, menebar bau minyak pelumas roda kereta yang tercecer, suasana teramat hening, tak ada seorangpun berkeliaran, ku berjalan ke salah satu kursi tunggu, duduk dan mengeluarkan rokok Djarum dan menyalakan dengan korek.

Belum sampai lima menit aku duduk di kursi tunggu, kereta barang tiba dari Surabaya, suara rodanya beradu dengan rel menjerit Cumiakkan telinga, kereta berhenti perlahan, beberapa penumpang gelap melompat dari sambungan gerbong, turun, aku tetap santai menikmati hisapan demi hisapan rokok.

Tiga penumpang, yang turun dari sambungan gerbong ternyata pemuda-pemuda, dan ketiganya menghampiriku, dan aku kaget, ternyata salah satunya adalah pemuda yang kemarin siang ku tangkis pisaunya,

“Benar ini orangnya.” kata pemuda yang kemarin ku tangkis pisaunya.

“Wiiit… wiiiet..!” pemuda yang lain bersiul nyaring.

Dan dari setiap gerbong melompat pemuda, dan banyak sekali, dan membuatku tergetar juga, mungkin sebanyak 20 orang atau bahkan lebih, dan kilauan pedang di setiap genggaman mereka.

“Apa mau kalian?” kataku berdiri dari kursi, dan menikmati sedotan terakhir dari puntung rokok yang ku pegang. Ah mati aku, tentu mereka akan mengeroyokku, aku membayangkan tubuhku dicacah pedang dan dibiarkan tergeletak dirubung lalat, dan kemudian dibungkus tikar, lalu tercatat di surat kabar, seorang gelandangan dibunuh di setasiun, dan ayah ibuku menangisi kematianku, ah betapa pendeknya usia, berdesir darahku, suara jantungku bledag bledug tak karuan, aku manusia biasa, yang tak tau kapan akan mati, dan akan mati yang bagaimana?

Ah benar-benar membuat keberanianku kuncup, terbang atau entah kemana?

Aku jadi ingat waktu jadi ketua gank dan dikeroyok 20 orang, dulu aku nekat, tapi sekarang, hidup dengan iman begitu nikmat dan mengasikkan, andai disuruh memilih mati yang bagaimana? Aku lebih memilih mati dalam keadaan sholat, tidak mati dikeroyok, tapi apa dayaku, aku coba tenang dan membangkitkan tenaga yang selama ini mengeram di pusarku, walau ku lihat sudah tidak keburu, karena kulihat semua orang telah merangsek maju, memburu menikam dan membacok tubuhku, aku hanya sempat mengucap takbir, melompat maju, membuat perlawanan sekenanya….

Berkelit kesana sini dan melepas bogem, sekenanya, tanpa memilih mana dan siapa yang kupukul, yang jelas perlawanan karena ditimbulkan dalam kepanikan, tapi hatiku yang telah tiap hari ku gantungkan padaNya tak lupa berdoa, “Wahai Dzat, wahai Kekasih…, apakah kau biarkan aku teraniaya mati di sini? Engkau yang lebih kuasa dari segala sesuatu….”

Mungkin baru 2 orang yang kupukul, dan dalam kengerian dan kepengecutanku aku memukul dengan mata terpejam teramat rapat.

Suasana sepi, aku belum membuka mata, apakah aku telah mati? Membuka mata ku rasa lebih menakutkan.

Tanganku masih mengepal gemetar, mata masih terpejam, suara kereta api barang telah tak ada, bau minyak rem, terbawa desir angin, apakah aku yang telah mati dan beginikah rasanya, tapi kenapa tak kurasakan sakit sama sekali, sakitnya nyawa dibetot dari badan, nyawa yang dibetot dan karena telah terikat dengan urat-urat maka akan menyisakan sakit di sekujur badan, karena urat-urat semua akan putus, dan rasa sakitnya akan sampai kiamat masih terasakan, setidaknya begitu yang kubaca tentang ruh dari kitab kitab kuning,

Tapi ini aku tak merasakan sakit sama sekali, perlahan ku buka mataku sebelah, memicing, sebab begitu takutnya aku andai menyaksikan kenyataan yang pahit, yaitu aku telah mati.

Ah aku masih berdiri, dan tak ada orang lain yang berdiri kecuali aku, lalu kemana semua penyerangku?

Aku heran ku lihat semua terkapar, bukan hanya 3 langkah di depanku aja, tapi ada juga yang kelihatannya baru mau berlari ke arahku juga nyungsep tak bergerak, perlahan ku teliti satu persatu, semua pingsan.

Heran? Jelas aku heran, dalam angan anganku yang terkapar harusnya aku, mengapa malah para pengeroyokku? Sambil ku seret tubuh pemuda-pemuda yang pada pingsan itu dan kukumpulkan menjauhi rel kereta, takut kalau ada kereta yang lewat, dan terlindas, aku memikirkan siapa orang yang telah membantuku, menundukkan semua pengeroyokku? Tapi andai manusia dan punya ilmu yang teramat tinggi, dan bisa bergerak demikian cepat, tentu aku masih merasa kehadirannya, tapi ini kehadirannya tidak kurasakan, ah entahlah mungkin pertolongan Alloh, membuat pingsan orang satu negara aja bisa, apalagi cuma beberapa gelintir orang, biarlah semua jadi misteri.

Ku kumpulkan beraneka macam senjata yang akan dibuat menyerangku, ada pisau, golok, pedang, pentungan, semua ku buang ke tempat sampah di pojok setasiun.

Lalu aku mengambil air wudhu dan melakukan sholat malam, terdengar sayup adzan pertama, dari masjid Muhamadiyyah.

Aku wirid sambil menunggu saat memasuki waktu subuh. Dua hari aku masih di setasiun Babat. Dan malam berikutnya, mungkin musim kemarau, udara terasa panas, sehingga aku duduk sendiri, mencari udara yang agak tak terasa gersang di perasaan, malam telah menunjukkan jam 2 dini hari, sambil memutar tasbih, aku duduk di kursi peron, kulihat seorang wanita tua tidur mendengkur di pojok dekat pintu, menunggu dagangan pecel, yang akan dijual besok hari, ah kejamnya dunia, bagaimana orang setua itu masih menanggung kepahitan hidup, kadang anak-anaknya, menunggu di rumah, untuk meminta uang dengan marah-marah, lalu dibuat hura-hura, aku ingat tetanggaku si ZUHDI yang selalu mengejar-ngejar orang tuanya dengan parang hanya untuk minta uang buat mabuk-mabukan, salah siapa sebenarnya, kegetiran hidup dirasakan hampir seluruh lapisan bawah, rakyat negeri ini?

Jerit rakyat, tindihan keluarga, keadilan yang diputar balikkan, seperti mengikuti tangan penguasa kemana mengarahkan, ah entahlah, terlalu rumit, kenyataan dan terlalu pahit untuk dirasakan, moga-moga aja mereka masuk surga, walau di dunia tak dapat kebahagiaan, setidaknya di akhirat masih ada harapan, ku teruskan wiridku, sambil kaki selonjoran di kursi, malam mulai membawa angin segar angin pagi… , udara sejuk, mengalir menghembus tubuhku.

Kulihat seorang pemuda berjalan kearahku dari depan setasiun, aku menengok, ketika langkah kakinya terdengar di telingaku, kemudian dia duduk di kursi, dari dua kursi yang ku duduki, mungkin umur pemuda itu dua tahun lebih tua dariku, wajahnya mengguratkan keresahan hati, duduknya serba tak tenang, setidaknya di penglihatanku, saat malam makin mendesirkan kesunyian yang rindu akan suara, geseran tubuh pemuda itu terdengar jelas, seperti mengganggu ketentraman, dan konsentrasi wiridku, tiba-tiba dia berjalan ke arahku, dan berdiri di depanku.

“Sendiri mas?” tanyanya sekedar basa basi, atau ngomong sembarangan dari pada tidak ada yang diomong,

“Iya, ” jawabku singkat, tanpa nada suara yang meledak.

“Apa ndak kuwatir mas sendirian?” tanyanya lagi.

“Kuwatir kenapa?” aku balik bertanya.

“Ya kalau-kalau dirampok orang.”

“Apa yang harus dirampok dariku? La uang seripis aja ndak punya.” jawabku dengan tertawa, walau tidak tertawa getir.

“Nginap aja di tempatku…!” katanya, dengan nada yang aku mencium, entah apa terasa di telingaku, kurang berkenan,

“Ah ndak lah, aku biasa tidur di sini, kemaren juga tidur di sini….”

“Nggak mas, di tempatku juga ndak ada orang, jadi kalau mau, nginap dan tidur sepuasnya juga gak ada yang akan menyalahkan…”

Setelah dibujuk-bujuk akhirnya akupun mau, kami berjalan menyelusuri lorong-lorong dekat pasar Babat, dan dalam perjalanan pun kami saling ngobrol, dan ku kenal, pemuda itu bernama Hendra.

Rumah Hendra tak terlalu besar, walau tidak bisa dikatakan kecil, cat rumah juga sudah banyak yang terkelupas, ada kesan rumah yang tak terurus, atau orangnya yang malas ngurus, segala macam pakaian tergantung, dan menumpuk di sana-sini, yah mungkin Hendra ini, terlalu malas, setidaknya seukuran orang yang tak punya istri, aku disuruh duduk di kursi, yang teramat apek, mungkin lebih nyaman di setasiun, aku pun mendudukkan pantat di kursi, yang busanya udah pada bolong, mungkin dimakan tikus yang nyari makan sudah tidak ada yang lain, jadi busa juga dimakan, mungkin dibayangkan sebagai roti, ah apakah tikus juga berhayal seperti manusia?

Hendra keluar dari kamar, dan mengajakku masuk, “Ayo mas masuk, maaf, kamarnya berantakan banget.” ah ndak usah dia bilang berantakan, aku juga sudah tau.

Ah kamarnya juga gelap sekali, lampu bohlamp, cuma 5 watt, dan sudah banyak dihinggapi sarang laba-laba, benar-benar tak ada nyamannya sama sekali, mestinya kalau tau begini aku tadi tidak mau untuk diajak ke rumahnya, kulihat tape recorder dan amplier terletak begitu saja di tanah, dekil, dan kelihatan jarang disentuh, atau yang bersih cuma pencetan playnya, entahlah aku seperti merasakan suntuk yang teramat sangat, kok kerasan Hendra tinggal di rumah, dan kamar yang seperti ini…., “Ayo tidur, atau mau ngobrol aja?” katanya mengagetkanku.

Aku tak menjawab, tapi langsung merebahkan diri, ke atas kasur, yang tak berkapuk lagi, mungkin telah teramat tipis, setipis triplek…, rasanya makin penat aja, tapi ke relakan urat-uratku, yang sebetulnya tak pegal…, Hendra pun ikut naik ke atas ranjang, sehingga aku yang mepet ke tembok.

Tiba-tiba tangan Hendra memelukku, aku menepiskan,

“Apa-apaan sih Ndra…!” kataku agak jengkel dan risih.

“Ah masak nggak ngerti..” kata Hendra sambil tangannya berusaha didekapkan ke arahku. Ah dah gila ini orang, kembali kutepiskan tangannya,

“Ayolah mas, kita kan sama-sama dewasa, masak mas ndak ngerti….” katanya dengan nada merajuk.

“Sialan kamu jangan macem-macem..” kataku jijik.

“Apakah aku harus main paksa…?” kata Hendra dengan tangannya cepat memelukku, tapi tangan itu segera ku tangkap pergelangan tangannya, dan untung dulu pernah tau ilmu gunting, yang melatihnya dengan menjepit besi sampai gepeng, begitu tangan Hendra dalam genggamanku, rapal pun ku ucap, Hendra menjerit,

“Aduuuh sakit masss…!”

“Jika aku ingin mematahkan tanganmu, sama mudahnya mematahkan roti kering…” kataku bukan sekedar mengancam, dan mempererat cengkeraman, sehingga Hendra menjerit kencang.

“Apa mau ku patahkan?” tanyaku, sementara Hendra telah memelintir, melintirkan tubuh menahan sakit yang teramat sangat.

“Ampuuun-ampuun mas…, tobat…!” katanya, matanya mulai basah, entah karena rasa sakit yang di rasakan atau karena memang dia menyesali dengan apa yang telah diperbuat, dan Hendra pun benar-benar menangis…., akupun melepaskan cengkeraman tanganku, di pergelangan tangannya, ku lihat pergelangan tangan Hendra membiru,

“Maafkan aku… masss…. aku ndak tau kalau mas orang isi…”

“Memang kalau aku tidak berisi, kamu akan berbuat sekehendak hatimu?”

“Aku ndak berani mas,.. maafkan..” suaranya disela isak tangisnya.

“Aku jadi begini juga karena ada sebabnya mas…, bukan karena kelainan, tapi lebih karena kekecewaan….”

“Apa maksudmu?” tanyaku yang mulai mengendap kemarahanku.

“Udah nangisnya…!” bentakku karena melihatnya sesenggukan menangis.

“Kamu itu lelaki, masak menangis.” Hendra terdiam, dan menghapus air matanya…

“Aku orang yang malang mas…” katanya.

“Malang bagaimana… apa kamu kejatuhan bom yang mau dijatuhkan di Irak sana…, kulihat tubuhmu juga masih utuh, ya kalau kamu kejatuhan bom, berarti kamu masih termasuk orang yang selamat, karena seluruh tubuhmu ndak terluka,” jengekku.

“Mas jangan bercanda..” kata Hendra.

“Bercanda gimana? Kan katamu kamu ini orang yang malang, la malang aja, tubuh kamu masih utuh, sehat wal afiat tak kurang suatu apa… gimana aku tak heran, yang malang sebelah mana?”

“Yang malang hatiku mas…”

“Wah kalau yang malang hatimu, itu pasti karena polah tingkahmu sendiri, dan tak siapnya kamu menghadapi kenyataan.”

“Ndra…! setiap orang itu mempunyai kadar rasa yang sama, rasa sakit, rasa senang, duka, kecewa, enak nikmat, pahit getir, semua mempunyai kadar yang sama, semua diberi keadilan untuk mengecap rasa itu, tergantung kita sendiri menyikapi, dan membuat ukuran kadar dalam peluapannya, ada orang mau disuntik dokter, semua pasti merasakan yang sama, jarum nusuk kulit, tapi ada yang cuma njengkit kaget, ada juga yang teriak, bahkan ada juga belum kena jarum udah teriak-teriak, jadi tergantung bagaimana, menyikapinya, semua kembali pada diri masing-masing.”

Hendra cuma mantuk-mantuk, tak tau paham apa enggak dengan keteranganku, wong aku yang menerangkan sendiri aja bingung apa lagi yang mendengar, ya dari pada tidak memberi solusi, lebih baik ngasih solusi, setidaknya untuk pengalih perhatian.

“Sebenarnya masalah apa yang kamu hadapi?” tanyaku menyelidik.

Hendra menarik napas panjang lalu berkata, “Gini mas, aku pernah mencintai wanita, selama ini dia yang selalu aku idam-idamkan, selama ini dia yang selalu dalam angan dan pikiranku, selalu aku pikirkan, siang malam…”

“Trus bagaimana?” kataku tak sabar, mendengar kata muluk berbumbu tumpahan perasaan.

“Ya itu mas … aku mencintai dia, menyayangi dia, bahkan sering memberinya hadiah-hadiah, karena sayangku padanya.” kata Hendra makin muluk-muluk.

“Iya apa kamu udah nyampaikan atau ngutarakan cintamu padanya?” kataku tak sabaran.

“Itulah mas…”

“Itulah gimana maksudmu?”

“Dah beberapa tahun itu pengutaraan cinta ku tunggu-tunggu, sampai ada waktu yang cocok…”

“Ah njlimet amat, masak ngutarakan cinta pakai waktu yang cocok? Jangan-jangan pakai hitungan Jawa, pakai hitungan weton, kenapa gak langsung diutarakan…?”

“Ya itu mas susah nyari waktu yang pas…”

“La kenapa gak pakai surat? Jadi waktu pengutaraannya gak usah banyak waktu plintat-plintut, tulis to the point I LOVE YOU, kan udah, kenapa repot?”

“Ya tak taulah mas, yang jelas saya nunggu setahun sampai bisa mengutarakannya.”

“Lalu bagaimana?”

“Ya saya utarakan… mas..”

“Iya kelanjutannya bagaimana, maksudmu, kamu ditrima atau ditolak?”

“Aku ditolak mas…” jawab Hendra lemes, aku cuma ketawa.

“Kenapa ketawa mas?” tanya Hendra.
bukhoriganAvatar border
viensiAvatar border
viensi dan bukhorigan memberi reputasi
2
1.8K
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan