Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

drhansAvatar border
TS
drhans
I Am Not Happy
I am not Happy (Awake)...

Hari sudah menjelang tengah malam, ketika Aon tiba di rumah. Suara hujan deras disertai geledek tak dapat mengalahkan ributnya suara knalpot motor Vespa-nya. Istri dan anak-anaknya, seperti biasa, sudah tertidur semua.

Pakaiannya yang basah-kuyub diletakkan di tumpukkan baju kotor, lalu disambarnya handuk tuanya yang mulai bolong di sana-sini dan bergegas mandi.
Air dingin di pancuran membuatnya menggigil kedinginan.

"Ahh, aku sudah tua. Dahulu, tak pernah menggigil kedinginan di kala mandi, sekarang, baru sebentar saja tersiram air dingin, boyok-ku terasa linu. Ahh!" Aon mengeluh dalam hati.

Cepat-cepat dibilasnya tubuh dan segera memakai pakaian tidur. Biasanya, sehabis pulang kerja di tengah malam, setelah bebersih dan mandi, ia segera tertidur, tetapi malam itu, ia merasa lapar, maka Aon turun ke bawah dan mencari sesuatu yang bisa dimakan.

Dibukanya lemari makan, kosong tak terisi sedikitpun makanan. Dibukanya lemari penyimpanan makanan, dengan harapan ia dapat menemukan sebungkus mie instan atau biskuit, wafer coklat atau apapun yang dapat mengganjal perutnya, ternyata lemari penyimpanan-pun kosong sama sekali.

Dibukanya lemari es, semoga kali ini ada potongan kue yang tersisa atau buah-buah potong, lagi-lagi harapannya tak terwujud. Lemari es hanya berisi air dingin dalam botol, sayur-sayuran segar dan daging mentah.

Sebenarnya, kalau mau, ia dapat memasak sayur-mayur dan daging yang tersedia, juga bisa menanak nasi, tetapi semuanya membutuhkan waktu dan merepotkannya, maka akhirnya Aon hanya meminum dua gelas air putih dan kembali ke ranjang.

Dia berharap, kali ini dapat cepat terlelap. Belakangan ini, ia kadang-kadang mulai mengalami kesulitan tidur.

***

Aon, pria berusia sekitar 50 tahun, seorang pekerja keras. Setiap waktunya diisi dengan bekerja.

Dari pagi sampai menjelang tengah malam, ia bekerja. Dari Senin sampai Minggu, ia bekerja. Hari libur atau hari raya-pun, ia bekerja.

Sepanjang tahun, ia bekerja. Tak pernah absen (kecuali sakit, yang sangat jarang terjadi). Selama puluhan tahun. Baginya, hidup adalah bekerja.

Bila orang lain masuk ke kantor jam 8 pagi, Aon masuk jam 6 pagi. Bila perlu, lebih pagi. Bila orang pulang kantor jam 6 sore, Aon pulang kerja jam 11 atau 12 malam. Bila perlu, ia lebih malam lagi.

Pepatah Tionghoa kuno dipegangnya sebagai pedoman sepanjang masa, pepatah itu berbunyi (dalam terjemahan bebas), "Bangunlah lebih pagi agar rejeki tak dipatok ayam."

Juga ada pepatah lain yang berbunyi, "Mau mendapatkan hasil lebih, bekerjalah lebih giat."

Berbagai macam pepatah itu terus dipraktekkannya dalam kehidupan nyata selama puluhan tahun dan hasilnya tak pernah mengecewakannya.

Tanpa orang banyak tahu, kekayaan yang berhasil dikumpulkan Aon jauh melebihi dugaan banyak orang. Dan setiap hari terus bertambah, bukan lagi secara linear tetapi berlipat secara kuadratikal.

Hebatnya lagi, penampilan Aon sangat-sangat sederhana. Keperluan dan pengeluaran pribadinya sangatlah minim. Tidak setahun sekali ia berbelanja pakaian atau yang lainnya, bahkan kendaraan satu-satunya untuk mobilitas pribadinya hanya Vespa butut yang telah menemaninya selama puluhan tahun.

Menurutnya, ia bukan pelit, tetapi memakai barang sesuai asas manfaat. Selama barang itu masih berguna dan dapat dipergunakan, mengapa harus dipensiunkan dan diganti yang baru.

Aon selalu mengemukakan alasan tersebut setiap ditanya. Istrinya-pun tak berani mempertanyakan prinsip Aon tersebut, sehingga sang istri atau anak-anaknya tak pernah membelikan Aon sesuatu, kalau tak diminta langsung oleh Aon.

Untuk diri pribadi, Aon boleh dibilang sangat irit, tetapi tidak demikian untuk anak-istrinya.

Aon memberikan uang belanja dan keperluan sehari-hari keluarganya jauh sangat berkecukupan, bahkan berlebihan mungkin.

Ia tak pernah menolak permintaan tambahan sang istri atau anak-anaknya, bila diperlukan, dengan memberikan tambahan di luar biaya rutin yang diberikan dan tak pernah mempertanyakan atau meminta pertanggung-jawaban bagaimana dana yang diberikannya digunakan oleh keluarganya.

Baginya, inilah salah satu kompensasi yang bisa diberikannya karena ia tak bisa membagikan waktunya untuk keluarga.

Entah sang istri dan anak-anaknya mengerti atau tidak maksudnya, tetapi 'kesepakatan' ini telah berlangsung belasan, bahkan puluhan tahun.

Bagi Aon, pemenuhan kebutuhan fisik keluarganya cukuplah. Jangan meminta lebih dari itu. Toh, ia bekerja keras juga demi keluarganya.

Nanti, pada saatnya, ia akan mengurangi porsi kerjanya dan memberikan sisa waktunya untuk keluarga. Tetapi, itu nanti, sekarang belum waktunya.

***

Aon adalah seorang phlegmatis sejati. Ia sangat pendiam. Baginya, sekedar berbicara, hanya menghabiskan waktunya yang berharga. Lebih baik bekerja daripada berbicara.

Aon juga seorang perfeksionis sejati. Baginya, semua pekerjaan harus dilakukan tuntas dengan hasil sempurna.

Itu sebabnya, ia lebih senang mengerjakan segala sesuatunya seorang diri, karena ia tahu bila ia sendiri yang mengerjakan, hasil akhirnya akan sesuai dengan keinginannya.

Bila orang lain yang mengerjakan, hasilnya takkan bisa sama seperti yang ia kehendaki. Tetapi, di kacamata orang lain, Aon dianggap tak bisa mempercayai orang lain dan tak bisa bekerja sama dengan orang lain.

Ia dianggap sebagai mahluk anti-sosial. Bahkan keluarganya-pun beranggapan seperti itu. Aon adalah aliens di keluarganya. Istri dan anak-anaknya merasa asing dengan dirinya. Mereka hampir tak mengenal siapa Aon itu sejatinya.

Satu-satunya yang mereka merasa kenal dan menjadi bagian dari Aon adalah uangnya. Selebihnya, tauk ah, gelap.

Aon seorang yang gaptek (gagap teknologi). Satu-satunya alat komunikasi yang dipunyai hanya sebuah handphone jaman baheula. Handphone dengan fungsi hanya untuk menelepon atau menerima telepon. Tak ada fitur lain.

Anak-anaknya (secara tak langsung) dan teman-temannya (yang sedikit jumlahnya) pernah menyinggung dia agar mengganti handphone-nya dengan model yang lebih baru, yang lebih banyak fitur tambahannya, tetapi seperti dugaan semua orang, Aon menjawab, untuk apa ia mengganti handphone-nya, toh masih berfungsi sebagaimana mestinya.

Sebenarnya, ada kalanya Aon kepingin mengganti handphone-nya juga dengan model lebih baru, tetapi ia merasa tak dapat menggunakan fitur-fitur tambahan yang ada di handphone baru itu dan tak ada yang mengajarinya, sehingga keinginan tinggal sekedar keinginan.

Akibat handphone-nya hanya berfungsi untuk menelepon saja, Aon hampir tidak pernah berkomunikasi dengan istri dan anaknya. Alasannya apalagi, selain sibuk bekerja dan bicara seperlunya.

Maka hubungan dengan keluarganya menjadi sangat jauh. Aon tak pernah tahu perkembangan keseharian keluarganya, pertumbuhan anak-anaknya. Dan yang lebih parah lagi, Aon takut anak-anaknya tak mengenal dirinya lagi karena hampir tak pernah bertemu dengan dirinya.

Ia memang selalu mampir ke kamar anak-anaknya saat sebelum berangkat kerja atau sehabis pulang ke rumah, tetapi semua anaknya sudah tertidur kala itu.

Istrinya-pun, entah sejak kapan, Aon sudah tak ingat lagi, juga belum bangun ketika ia berangkat kerja dan telah tertidur saat ia kembali.

Seingat dia, dahulu, di awal-awal tahun pernikahan, sang istri masih setia menungguinya pulang dan membantunya bersiap kerja di pagi hari.

Aon bertanya-tanya, apakah istri dan anak-anaknya masih peduli kepadanya? Ataukah, ia masih peduli dengan keluarganya?

***

Entah mengapa, hari itu, Aon merasa setiap kejadian terasa berbeda dengan hari-hari lainnya.

Contohnya, saat ia berhenti di persimpangan jalan karena lampu merah. Sudah menjadi rutinitas bahwa di sana selalu banyak pengemis, penjual koran, anak-anak peminta-minta, pengamen dan lain-lain orang yang mencoba mendapat rezeki di perempatan lampu merah.

Biasanya, ia cuek bebek saja. Ia hanya berkonsentrasi, bersiap saat lampu merah berubah nyalanya menjadi hijau. Kejadian yang lain, tak pernah dihiraukannya.

Namun hari itu, mengapa ia bisa merasa aneh dan cemburu ketika melihat orang-orang itu, tua dan muda, berkumpul di tepi jalan dan bersenda-gurau gembira.

Atau saat tadi ia berhenti di warung bakso untuk sekedar menangsal perut, mengapa ia merasa jengah dan kesal ketika melihat sebuah keluarga, ayah-ibu dan 2 anaknya, terlihat begitu mengasihi dan saling berbagi porsi makanan yang sederhana itu?

Atau saat, office boy-nya, tanpa diminta, menyuguhkan segelas minuman ringan dan setoples rengginang (oleh-oleh pulang kampung) ke hadapannya sambil tersenyum malu-malu. Mengapa ia merasa trenyuh dan berterima-kasih?

Mengapa?

Mengapa ia lalu teringat istri dan anak-anaknya?

Kapan terakhir, ia pernah merasa gembira bersama mereka?

Kapan terakhir, ia sekedar bercakap dan bergabung bersama mereka?

Oh, Tuhan!

Kapan terakhir aku berdoa?

***

Malam itu, sebelum tidur, Aon baru mulai berdoa lagi kepada Tuhan-nya.

"Sudah berapa lama, aku tak berdoa? Ah, maafkanlah aku, Tuhan-ku. Maafkanlah aku, anak-istriku. Aku tidak bahagia. Selama ini aku bekerja untuk apa, untuk siapa? Ah, Tuhan-ku, tolong aku. Aku tak dapat berkata banyak. Kepada Engkau atau kepada keluargaku. Tetapi, aku akan belajar. Tuhan, tolong bantu aku. Tolong bantu keluargaku. Aku akan belajar berubah. Tolong aku, Tuhan. Terima kasih Tuhan. Dalam nama-Mu, kubersyukur dan kuserahkan semuanya. "

Lama kemudian, Aon tak kunjung tidur juga....

Salam semua. Be happy. Gbu.
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
299
0
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan