Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

drhansAvatar border
TS
drhans
Ibu
IBU

Udara malam bulan Desember tahun itu begitu menggigit. Sejak tadi sore serpihan salju putih turun menutupi sebagian jalan di salah satu gang terpadat penduduk di daerah Pudong utara, distrik Shanghai yang tengah dikembangkan.

********

"Han, bangun. Kita harus pergi sekarang juga," ibu membangunkanku di tengah malam buta. Aku yang masih terkantuk-kantuk, enggan membuka mata.

"Han, ayo! Kita tak punya waktu lagi. Bangunlah! Cuci mukamu dan kenakan jaket. Ibu sudah menyiapkan sarapan untukmu."

Entah sudah ke berapa kali dalam tiga bulan terakhir, kami berpindah-pindah tempat. Kali ini, kami hanya bertahan sepuluh hari di kamar kos nyonya Hong. Semua ini akibat kami dikejar-kejar oleh para penagih hutang. Hutang yang diwariskan oleh almarhum ayahku.

Sebenarnya, sampai aku berusia tujuh tahun, kehidupan keluarga kecilku cukup bahagia. Kami bertiga menetap di sebuah rumah milik kami sendiri.

Walau tak besar, rumah kami memiliki kebun kecil yang indah. Seingatku, aku sering memutari halaman depan rumah dan kebun kecil kami dengan sepeda.

Ayah terkadang duduk di beranda sambil membaca koran dan sesekali mengawasiku dan ibu biasanya berdiri di belakang kursi ayah, memijiti pundak ayah. Sayangnya, kenangan indah ini tak berlangsung lama.

Ayahku tak pandai berdagang. Itu yang dikatakan ibu. Beliau terlalu baik. Itu sebabnya ia sering ditipu oleh teman-teman kongsinya. Tetapi, ayah tak pernah marah kepada mereka, malahan ia tertipu lagi dan lagi.

Terakhir kali tertipu, ayah habis-habisan. Semua harta yang dimiliki amblas dibawa oleh rekan bisnisnya bahkan ayah terjerat hutang yang cukup besar kepada rentenir.

Kali ini, ayahku marah, tetapi semua sudah terlambat. Harta bahkan nyawanya tak dapat kembali. Ayah meninggal karena serangan jantung dan mewariskan hutang yang terus beranak-pinak kepada ibu.

Ibuku, seorang ibu rumah tangga yang tak tahu apa-apa, mendadak kehilangan semuanya. Suami, harta bahkan rumah yang ditinggalinya. Belum cukup, setelah beberapa waktu, ibu terus dikejar-kejar oleh para penagih hutang.

Ibuku seorang yang berprinsip. Ia berjanji akan melunasi semua hutangnya. Ia akan mencicil semampunya.

Ibu mulai mencari pekerjaan. Pekerjaan halal apapun yang dapat menghasilkan uang dan menghidupi keluarganya. Terkadang, ibu mengambil beberapa pekerjaan sekaligus demi mengejar setoran. Tetapi semua usaha ibu belum cukup.

Hutang kepada rentenir, bukannya berkurang tetapi semakin bertambah besar, padahal ibu sudah berusaha mencicil semampunya. Bunga mencekik yang diberikan oleh rentenir sudah beranak melebihi pokoknya. Ibu tetap mencicil, mencicil sekuat tenaga.

Ibuku yang dahulu cantik, muda dan selalu tersenyum, sekarang berubah menjadi jauh lebih tua, jauh lebih kurus dan setiap tersenyum, yang nampak malahan wajah penuh kesedihan dan kelelahan. Tetapi, ibu tetap berusaha mengurusku sebaik mungkin dan tetap mencicil semampunya.

Ibu baru merasa terpukul dan ketakutan ketika para penagih hutang semakin gencar menagih dan mulai mengancam. Ibu tak takut bila hanya dirinya yang diancam atau sesekali dipukul, tetapi ibu tak sanggup lagi ketika ancaman beralih kepadaku. Putra satu-satunya dan harta miliknya yang tersisa.

Ibu melawan. Melawan dengan cara berpindah-pindah tempat. Ibu masih terus mencicil dengan cara mengirimkan bayaran via jasa pengirim. Herannya para penagih selalu dapat menemukan tempat terakhir kami tinggal dan ibu semakin tertekan, walau tak menunjukkannya di depanku.

Akhirnya, ibuku melakukan tindakan tak terduga. Tetapi, ia sudah mempersiapkan semuanya untukku. Ibu membeli polis asuransi jiwa dan keselamatan atas nama dirinya dalam jumlah cukup besar dan polis asuransi pertanggungan anak atas namaku.

Setelah polis berlaku, ibu mendatangi markas rentenir setelah menitipkan aku ke salah seorang kerabatnya. Ia melabrak markas itu dan bermaksud mengadu nyawa dengan si rentenir.

Akibatnya, keduanya baik si rentenir maupun ibuku menderita luka parah. Ibuku harus dirawat di rumah sakit cukup lama. Kata dokter, ibu mengalami cedera tulang leher dan tulang belakang. Juga beberapa cedera lainnya, tetapi aku, si anak kecil, kurang mengerti apa yang diterangkan oleh dokter.

Selama masa perawatan di rumah sakit, ibu juga menjalani masa persidangan. Pihak rentenir mengadukan ibu melakukan penyerangan yang mengakibatkan luka fisik dan bertambah menjadi pembunuhan ketika si rentenir meninggal.

Menurut orang-orang, sidang peradilan ibuku berlangsung berat sebelah. Ibu yang tak mampu menyewa pengacara, akhirnya kalah dalam persidangan dan dijatuhi hukuman kurungan seumur hidup.

Sejak itu, aku jarang bertemu dengan ibu lagi. Aku dibesarkan oleh salah seorang kerabat ibu dengan dana perwalian yang didapat dari polis asuransi diriku dan dirinya. Pelan-pelan aku mulai melupakan sosok ibuku.

Kerabat yang mengurusku baru memberitahu mengenai ibuku sesaat menjelang ajalnya. Aku baru tersadarkan bahwa aku masih memiliki seorang ibu. Ibu yang berada dalam tahanan dan sakit. Aku berkunjung beberapa kali ke rumah tahanan dan ibu sepertinya sangat senang dengan kehadiranku.

Suatu ketika, aku membawa pacarku menemui ibu. Ibuku sangat senang, tetapi pacarku tidak. Hubunganku berlanjut ke jenjang pernikahan.

Ibuku sangat senang, istriku belakangan mengakui bahwa ia malu memiliki mertua wanita dalam tahanan. Setengah memohon, ia memintaku agar tak berkunjung lagi ke rumah tahanan.

Terakhir kali aku berkunjung ke lapas, aku menceritakan semua keberatan istriku dan ibu memaklumi. Ia memintaku untuk tak datang berkunjung lagi dan hidup berbahagia dengan keluargaku. Ibu akan terus mendoakanku dari jauh.

Tahun demi tahun berlalu ...

Perayaan hari raya imlek tak lama lagi dirayakan. Keluarga besarku tengah sibuk menyiapkan perayaan. Biasanya kami, anak-cucu semua berkumpul merayakan di rumahku.

Sungguh suatu kebahagiaan bagiku, di usia yang sudah menjelang 60 tahun, dapat merayakan bersama seluruh anggota keluarga.

Saat itu, gawaiku berbunyi. Ada telepon dari lapas. Aku tercekat. Dari lapas, benar dari lapas. Apakah terjadi sesuatu dengan ibuku? Ibuku yang terlupakan. Apakah beliau meninggal?

Dengan perasaan khawatir, aku mengangkat telepon. "Halo. Ya betul, saya Han. Apa? Ibuku mendapat remisi dan pengampunan? Dibebaskan? Kapan? Baik ... baik, saya segera ke sana."

Ibu dibebaskan hari ini. Dengan tubuh masih bergetar, aku berteriak memanggil isteri dan anak-anakku.

"Ling, ibu dibebaskan hari ini. Ayo kita jemput."

Isteriku nampak terkejut sesaat, tetapi tak lama kemudian ia berkata, "Baiklah. Ayo anak-anak, kita jemput nenekmu."

Puji Tuhan. Isteriku mau menerima ibu mertuanya setelah sekian tahun.

Kami beramai-ramai pergi beriringan dengan beberapa kendaraan pergi menjemput ibu.

Di depan pintu lapas, nampak duduk seorang ibu tua di atas kursi roda, ditunggui oleh seorang petugas lapas. Ibu itu nampak selalu tersenyum. Ibu itu, ibuku.

"Bu, ini aku, Han. Ini Ling dan anak-anakku. Ayo kita pulang." Ibuku hanya tersenyum.

Petugas lapas yang menemani, berbisik kepadaku. "Pak, Oma menderita penyakit Alzheimer dan kelumpuhan pada saraf tulang belakang sejak beberapa tahun terakhir. Ia mungkin tak mengenali lagi semua orang. Biasanya orang yang sakit dan terkena Alzheimer, wajahnya tanpa ekspresi, tetapi Oma selalu tersenyum. Nampaknya ia merasa bahagia memiliki keluarga yang mengasihinya."

Aku terdiam. Kulirik istriku, ia juga terdiam. Aku tahu ia terharu, matanya nampak berkaca-kaca. Aku ingin menangis, tetapi kutahan. Dalam hatiku, berulang kali aku meminta maaf kepada ibu.

Setelah hening sejenak, aku berkata," Ayo kita pulang bu. Anak-cucu-cicitmu sudah kangen semua." Ibuku hanya tersenyum.

Matahari senja berwarna kemerahan menandakan berakhirnya hari di penghujung tahun ...

Salam semua. Be happy. Gbu.
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
272
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan