akudimana14Avatar border
TS
akudimana14
NOVEL: AKULAH MAYSAROH (BILAH 02)
BEL istirahat tanda pelajaran dihentikan selama lima belas menit akhirnya berbunyi juga. Semua siswa bersorak menyambut kebebasannya. Begitulah tiap-tiap bel panjang berbunyi tiga kali berturut-turut diikuti suara guru piket dari pengeras suara memanggil para ketua kelas untuk melaporkan absensi kelas hari ini di meja piket.
Maysaroh dan Gleztia pun tak luput dari rasa ceria itu, namun keduanya tidak sampai mengeluarkan suara yang berlebihan untuk mengekspresikan keceriaan mereka, mereka hanya bersikap wajar. Istirahat, ya, istirahat tak perlu pakai teriak segala.
Keduanya keluar dari ruangan kelas sambil membawa bekal dan menuju tempat yang biasa mereka tongkrongi setiap istirahat, di bawah pohon akasia di pojok selatan sekolah. Tempat yang jarang dikunjungi anak-anak.
“May, ada kabar gembira buat kamu dari papa, papa siap nerima kamu menjadi pegawai di kantornya.” kata Gleztia setelah tiba di tempat yang dituju.
“Yang benar, Gle?” tanya Maysaroh tak mampu menyembunyikan kebahagiannya. Matanya berkaca-kaca ketika mendengar berita itu, reflex ia menutup mulutnya dan sesaat kemudian berhambur ke pelukan Gleztia.
“Masa aku bohong, sih ama kamu. Kamu kan pernah bilang, bohong itu dosa.” jawab Gleztia mendekap Maysaroh sahabatnya. Ia ikut bahagia melihat kebahagiaan sahabatnya. Sesaat kemudian pelukan keduanya merenggang. “…tapi, papa nanya, kamu mau ditempatin di mana? Pilih keuangan, pemasaran atau yang laen?”
“Gle, di tempatin di mana pun aku siap, bahkan jika Om menempatin aku di gudang sekalipun aku juga gak bakal nolak, asal aku bisa kerja. Kasihan abah dan umi udah setua itu masih saja membanting tulang untuk menghidupi keluarga. Semestinya mereka yang dengan keadaan mereka mulai sakit-sakitan udah lebih banyak beristirahat. Jadi untuk itu, aku gak pilih mau kerja apaan, asal aku bisa bantu meringankan beban abah dan umi, itu aja, Gle.” balas Maysaroh.
“Tapi aku gak setuju kamu kerja di gudang. Kamu apa-apaan, sih? Di gudang itu tempat nongkrongnya para sopir truk, nanti kamu bakal setiap hari digodain, dicolek-colek, atau bahkan dilecehkan. Pokoknya aku gak setuju kalau kamu ditempatin di gudang. Lagian papa aku bukan orang bodoh, May. Papa rugi, dong, kalau orang sebrilliant kamu di tempatin di gudang. Kapan majunya perusahaan?” balas Gleztia membuka bekalnya.
“Ya, aku kan cuman ngantongi ijazah SMA, mana mungkin kerja di kantor. Orang bijak bilang gini Semakin tinggi kualifikasi pendidikan seseorang akan semakin tinggi pula penghargaan kerja untuknya. Buat aku kerja apapun nggak apa-apa. Yang mesti aku sadari, Gle, nyari kerja di Jakarta itu gak segampang yang dikira. Jadi, kalo Om hanya mampu mempekerjakan aku di gudang, aku gak mungkin nolak. Masalah sopir-sopir itu, jadikan saja sebagai pengukur keimanan aku pada Allah. Sanggupkah aku?” kata Maysaroh sambil membuka bekalnya pula.
“Kalau kamu masih ngomongin soal gudang, tak jitak nih kepala kamu.” kata Gleztia menghentikan suapannya. “Gini, kamu dengar baik-baik, bentar lagi Kak Gatan selesai di Amrik, sekitar dua atau tiga bulan lagi dia diwisuda dan papa minta dia break dulu dua sampai tiga tahun untuk menghendel perusahaan. Setelah berhasil, baru dia berangkat lagi menyelesaikan S3-nya. Kalau Gleztia, sahabat kamu yang imut ini gak bisa jadiin kamu sebagai sekretarisnya, jangan panggil aku Gleztia. Oke!”
“Gak ngarep, kali!” balas Maysaroh menggoda Gleztia. “Lagian belum tentu Kak Gatan setuju!”
“Jadi, kamu mau ngetes aku, nih? Kamu liat aja ntar, jangan-jangan dia yang malah ngarep dan nyuruh aku ngebujuk kamu jadi sekretarisnya.” balas Gleztia. “Kamu juga perlu tau, kalau Kak Gatan itu care banget ama kamu, kalau bukan di Amrik, dia udah pulang pengen ketemu ama kamu. Pernah dia mau pulang, tapi untunglah waktu itu mereka ada acara di kampusnya.”
“Gak segitunya kali, Gle. Jangan berlebihan.” kata Maysaroh menatap Gleztia.
“Kalau dia setuju, gak papa kan, May?” balas Gleztia menatap Maysaroh.
“Ma kasih, Gle. Aku gak tau gimana caranya aku dan keluarga aku ngebalas kebaikan kamu. Udah terlalu banyak, Gle.”
“May, untuk kali ini kamu jangan pikirkan hal itu. Suatu saat kamu pasti tau gimana caranya.”
“Maksud kamu, Gle?”
“Eh, jangan negatif thinking dulu. aku gak punya niat macam-macam ama kamu. Maksud aku, kamu balas semua itu dengan tanpa terpaksa, tapi aku tau kamu bakal ikhlas. Pastinya, gak bakal menggadaikan keimanan kamu.”
Maysaroh mengernyitkan keningnya. Ia tak bisa mengerti arah tujuan dari perkataan Gleztia.
“Udah, May! Kamu gak usah terlalu mikirin itu dulu.” kata Gleztia. “Mmm…, gimana cerpen kamu? Udah rampung?”
“Hampir, tapi anehnya, kali ini aku semangat banget dengan cerpen satu ini, lho. Gak tau napa.”
“Mungkin aja kamu lagi senang, bahagia atau gimana, gitu.”
“Mungkin juga, ya. Dari keberhasilan kamu ngeyakinin Om untuk ngasih aku kerjaan, betapa tidak, Gle, aku bakal bisa bantu abah dan umi untuk ngeringanin beban mereka.” balas Maysaroh. “Satu lagi, Gle, sepertinya aku bakal gabung dengan sebuah milis kepenulisan.”
“Hmm, aku setuju itu, May. Keputusan kamu ini sangat tepat. Intinya, tulisan kamu bakal terarah, bakal punya taste, kek iklan di tv. Banyak, lho, penulis yang ingin hebat menempuh jalan itu. Memang kedengarannya agak liciklah, tapi kembali ke jati diri karyanya juga.” kata Gleztia. “Cuma, yang aku sayangkan itu, kalau mau masuk milis kepenulisan juga, kenapa gak dari dulu-dulu, May. Coba aja kalau kamu mulai kepikiran sejak SMP, mungkin semua udah berubah.”
“Udahlah! Semuanya udah ada yang atur.”
“Iya, sih. Kita hanya berusaha.” lanjut Gleztia. “Ngomong-ngomong, apa nama milis kepenulisan yang bakal kamu masuki?”
“Milis Gelanggang Dunia Anak Muda. Aku tertarik dengan programnya yang lumayan bagus. Temanya bernafaskan Islam, jadi aku bisa sambil dakwah lewat tulisan aku.” jawab Maysaroh. “Gimana, kalau kita nanti langsung ke sana?”
“Boleh! Kalau aku, sih, oke-oke aja. Kadang aku pengen ngajak kamu refreshing barang dua tiga jam keliling-keliling, tapi aku takut nyita waktu kamu, sementara semenit pun sangat berharga bagimu. Buatmu waktu itu benar-benar uang, karena dengan itulah sampai sekarang kamu bisa bertahan hampir selesai SMA.” balas Gleztia. “Mm…, gimana hubungan kamu ama Dewa?”
“Ah, laki-laki picik itu. Aku benci padanya. Aku tau dia gak tulus dan ingin menghinaku yang miskin ini. Meliat mukanya aja aku muak, mentang-mentang bokapnya kaya, pejabat dan entahlah, Gle. Apapun yang ia lakukan untuk membuktikan cintanya ke aku, aku gak bakal terima cintanya, terlebih dia telah ngina kamu. Aku benci semua orang yang mempermasalahkan masalah ketuhanan seseorang. Bukankah di negeri ini kita diberi kebebasan uantuk menentukan apa yang terbaik bagi kita selama tidak mengganggu ketenangan orang menjalankan agamanya. Sementara bagiku, kamu udah jadi motivasi bagi aku untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya.”
“May, maafin aku. Gara-gara aku, banyak cowok yang mundur untuk jadi pacar kamu.”
“Gle, kok kamu jadi lebay gitu. Udahlah kamu gak usah pikirin hal itu. Belum tentu juga mereka tulus dan jadi suami aku kelak, tapi persahabatan kita akan kita pertahankan sampai anak cucu kita. Keyakinan dan aqidah kita boleh gak sama dan gak sejalan, karena bukan itu ukuran sebuah persahabatan. Bagi aku, sahabat itu adalah orang yang mengatakan aku salah ketika aku memang salah. Malah sikap mereka yang tidak menerima paham kamu membuat aku berpikir seribu kali sebelum menerima cinta mereka. Ngaku orang beragama, orang baik-baik, tapi kok hatinya picik begitu, yang benar aja?”
It’s OK! I like it. Aku kagum ama pemikiran kamu yang sebenarnya melebihi eksistensimu sebagai seorang siswi SMA. Pantas semua orang kagum dengan hasil tulisan kamu. Di sekolah ini, kamulah satu-satunya yang bisa nerima siapa aku adanya. Makasih, May. Mungkin, kalau kamu gak ada, entah bagaimana aku di sini.”
Pembicaraan keduanya akhirnya terhenti ketika bel tanda istirahat usai, berbunyi. Kaduanya segera bergegas masuk ke ruangan kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.
Sementara dari kejauhan, seorang laki-laki tak luput memperhatikan keduanya. Sejak masuk ke sekolah itu, ia begitu tertarik pada keduanya, terlebih pada gadis berkerudung itu. Ketika ia melihat senyum gadis berkerudung itu, secercah kedamaian merasuki sanubarinya.
“Kamu liatin apa, Ar?” tanya sebuah suara di belakangnya.
“Ng…, nggak! Nggak lagi liatin apa-apa.” balasnya. Arifin cepat berpaling sambil kembali menghisap rokok yang terselip di jarinya.
“Mmm, aku tau, pasti kamu lagi liatin dua cewek cantik itu, kan?” tebak temannya. “Kenapa? Naksir? Ternyata selera kamu tinggi juga. Naksir yang mana, nih? Yang pake kerudung atau yang satunya?”
“Apa-apaan, sih?”
“Ga usah munafiklah, Ar. Aku bisa ngerti, kok! Dari cara kamu mandang mereka keliatan optimis banget, seolah ada sebuah harapan yang tumbuh dalam dada kamu. Kalau kamu suka ama, May, gadis yang pake kerudung, kamu harus terima cewek yang satunya lagi. Kalau nggak, siap-siap aja ditolak.”
“Maksud kamu? Mesti macarin dua-duanya?” tanya Arifin.
“Hei, nafsu banget, kamu. Kalau gitu, sih siapa yang gak antri. Enak sama kamu, dong. Maksud aku, mereka gak bakal bisa dipisahkan. Udah banyak yang nyoba ngedekati Maysaroh dan bahkan ada yang udah nembak dia, tapi ditolak karena berusaha misahin Maysaroh dari Gleztia. Si Dewa, orangnya. Satu lagi ada alumni sini namanya Hafidz.”
“Emang Gle itu siapa, sampai mereka gak suka?”
“Gle itu seorang yang lahir dari keluarga berpaham Atheis. Intinya, kalau kamu fine-fine aja ama pahamnya Gle, kamu silakan dekati mereka.”
“Kalau Atheis, emang napa?”
“Ya, nurut aku emang gak papa. Cuma, kebanyakan orang yang berusaha mendekati May aja yang kelewat fanatik. Emang, sih, May itu orangnya taat beragama dan banyak yang gak ngerti, kok orang yang gak bertuhan bisa dekat dan sejalan dengan orang yang mengutamakan keberadaan Tuhan.” terang temanya. “Masuk, yuk!”
Arifin mengikuti  temannya dari belakang. Hatinya sedikit lega mendengar keterangan temannya yang agak lumayan tentang gadis yang sedang meraja di benaknya. Berkali-kali ia mengucapkan nama May dalam hatinya, dengan perasaan optimis.

0
106
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan