- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Partai Islam Bermunculan, Bagaimana Nasib Mereka di Pemilu 2024?
TS
Novena.Lizi
Partai Islam Bermunculan, Bagaimana Nasib Mereka di Pemilu 2024?
Partai Islam Bermunculan, Bagaimana Nasib Mereka di Pemilu 2024?
Senin 30 Mei 2022 | 09:52
Majalah Matan Edisi Juni 2022. Partai Islam Bermunculan, Bagaimana Nasib Mereka di Pemilu 2024? (Istimewa/PWMU.CO)
Partai Islam Bermunculan, Bagaimana Nasib Mereka di Pemilu 2024? Liputan Miftahul Ilmi, wartawan majalah Matan
PWMU.CO – Meski pemilihan umum baru akan digelar tahun 2024, namun suhu politik di Tanah Air sudah mulai memanas. Utamanya berkaitan wacana pemilihan presiden yang menyertai pemilihan anggota legislatif dan DPD.
Berbagai jajak pendapat dan survai dilakukan beberapa lembaga dengan hasil yang cukup variatif. Lalu bagaimana nasib partai-partai politik Islam?
Dalam lima kali pemilu pascareformasi tak beranjak dari perolehan papan tengah rerata 4 hingga 7 persen. Jika diagregasikan perolehan partai-partai itu tak lebih dari 30 persen. Sudah demikian, belakangan muncul partai-partai Islam baru yang diperkirakan akan saling ‘memangsa’ pemilih partai Islam lama. Berebut kue yang relatif kecil?
Menurut Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti, keberadaan dan kemunculan partai politik Islam baru memang dijamin oleh UUD 1945 dan UU Partai Politik sebagai bagian dari kebebasan menyatakan pendapat dan berkumpul.
“Kalau soal peluang memang tergantung pada apa yang terjadi di lapangan. Secara teoritik kalau jumlah partai semakin banyak, maka sebaran pemilih akan semakin terdistribusi secara luas. Dan akhirnya akan berpengaruh pada perolehan suara bagi partai politik yang sudah beberapa ikut Pemilu maupun yang baru berdiri sekarang ini,” jelasnya usai menghadiri acara halalbihalal PWM Jatim, Selasa (10/5/2022).
Fragmentasi dan Konvergensi Politik Baru
Mu’ti mengatakan, ada pengalaman pada pemilu-pemilu sebelumnya beberapa partai Islam baru dan lama yang tidak lolos ke Senayan. Fakta ini menunjukkan bahwa peluang partai Islam untuk menang memang kecil. Terlebih lagi beberapa tokoh yang mendirikan partai baru sebelumnya juga aktif di partai lama, seperti Amien Rais di Partai Ummat dan Fahri Hamzah cs di Partai Gelora. Beberapa pendiri Partai Masyumi yang sebelumnya juga di PBB.
“Dengan begitu pemilih pendukung tokoh akan berpindah pilihan mengikuti partai baru tokoh itu. Yang terjadi kemudian adalah fragmentasi politik yang makin luas dan merupakan tantangan tersendiri bagi masa depan umat Islam,” ujarnya.
Guru Besar Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menambahkan, dalam konteks keberadaan parpol dengan pengambilan kebijakan strategis negara tentu parpol yang pemilihnya besar dan memiliki kursi banyak di legislatif pasti lebih menentukan, terutama dalam pengambilan keputusan perundangan, penentuan jabatan-jabatan penting kenegaraan, dan penentuan presiden-wakil presiden.
Dengan banyaknya parpol Islam sekarang ini, lanjut pria asli Kudus itu, belum bisa dipastikan jumlah pemilih akan bertambah. Ibarat orang memancing ikan di kolam yang sama, pemancing semakin banyak. Kans mendapat ikan semakin kecil.
Meskipun sekarang tidak terlalu relevan melihat partai politik Islam dan partai politik non-Islam karena sudah terjadi konvergensi politik. Partai-partai yang sebelumnya dianggap partai sekular ternyata didukung oleh banyak tokoh Islam. Itu sudah diprediksi Kuntowidjojo pada tahun 1990-an. Maknanya, sudah tidak lagi relevan bicara partai Islam dan partai sekular.
“Jadi yang terdistribusi itu pemilih suara Muslim. Regulasi politiknya memang senantiasa terbuka dan bagian dari demokrasi. Kita tak bisa membatasi atau melarang. Konsekuensinya partai terlalu besar segmentasinya, maka untuk pengambilan keputusan semakin kecil atau rumit,” paparnya.
Mengapa kue pemilih Islam yang kecil itu ternyata masih saja diperebutkan tokoh-tokoh Islam dengan mendirikan partai baru? Mu’ti menyatakan, pihaknya mendengar di antara mereka ada yang merasa tidak terakomodasi di partai lama atau ada kekecewaan. Tapi ada juga yang merasa bahwa perjuangan melalui jalur kultural diyakini tidak cukup efektif dan memakan waktu lama. Jadi alasannya ada yang bersifat ideologis, ada yang personal, dan ada juga yang praktis.
Mayoritas tapi Keok
Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik LIPI Prof Siti Zuhro menyampaikan, dari pemilu tahun 1955 sampai 2019, perolehan suara partai berbasis Islam selalu mengalami penurunan. Bertolak belakang dengan jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas Islam.
Hal itu menunjukkan bahwa antarpartai Islam yang satu dengan yang lainnya tidak pandai bersinergi. Elite-elitenya masih berpikir ego sektoral.
“Kita ini mayoritas, tapi tokoh Islamnya keok. Partai-partai Islam tidak berpikir visioner bagaimana saling bergantian memimpin. Ditambah lagi caleg-calegnya tidak cukup kompetitif dibandingkan partai non Islam. Artinya ketika dirinya mendapuk Islam, itu kan harus betul-betul berintegritas. Tapi yang ada malah korupsi. Mereka tidak menunjukkan nuansa Islamnya,” kata dia
Meski terus mengalami penurunan suara dari tahun ke tahun, namun kini justru semakin banyak lahir partai Islam baru. Seperti Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI), Masyumi, Gelora, Ummat, dan Pelita. Menurut Siti Zuhro, kemunculan fenomena ini tidak terlepas dari sejumlah friksi yang ada di partai-partai Islam.
“Misalnya, Partai Gelora itu kan friksi PKS, mengalami keterbelahan. Lalu Partai Ummat yang merupakan friksi dari PAN. Selain adanya friksi, terbentuknya partai Islam baru juga dilatarbelakangi pada ketidakpuasan terhadap kepemimpinan rezim saat ini. Sehingga berpikiran bahwa harus punya partai sendiri untuk berkuasa,” terangnya.
Agar bisa menjadi kuat, Siti Zuhro mengusulkan partai-partai berbasis Islam melakukan evaluasi kritis terhadap internal organisasi. Koreksi itu harus dilakukan secara komprehensif, supaya hadir solusi-solusi yang mampu menjadikan partai Islam menjadi lebih baik.
“Mengapa mayoritas Muslim kok tidak memilih partai Islam? Apakah sistemnya yang salah? Kader-kadernya tidak mumpuni? Pertanyaan-pertanyaa ini harus bisa dijawab. Sehingga tidak terjadi chaos lagi antarpartai Islam di pemilu mendatang. Antarpemimpin elite partai Islam perlu menunjukkan nuansa amar makruf nahi mungkar. Menunjukkan nuansa rahmatan lil alamin. Nuansa ukhuwah islamiyahnya,” paparnya.
Misalnya, sambung dia, antara Pak Amien Rais, Bang Din Syamsuddin dengan Ketua PDRI dan Masyumi bisa bergandengan, itu kan sejuk banget. “Selama masih ego sektoral, selama itu pula sinergi tidak terjadi. Lalu apa yang dipamerkan? Hal-hal yang bersifat Islami akhirnya hanya akan menjadi normatif dan tekstual. Keislaman hanya menjadi motto atau slogan doang,” tuturnya.
https://pwmu.co/242193/05/30/partai-...pemilu-2024/2/
Senin 30 Mei 2022 | 09:52
Majalah Matan Edisi Juni 2022. Partai Islam Bermunculan, Bagaimana Nasib Mereka di Pemilu 2024? (Istimewa/PWMU.CO)Partai Islam Bermunculan, Bagaimana Nasib Mereka di Pemilu 2024? Liputan Miftahul Ilmi, wartawan majalah Matan
PWMU.CO – Meski pemilihan umum baru akan digelar tahun 2024, namun suhu politik di Tanah Air sudah mulai memanas. Utamanya berkaitan wacana pemilihan presiden yang menyertai pemilihan anggota legislatif dan DPD.
Berbagai jajak pendapat dan survai dilakukan beberapa lembaga dengan hasil yang cukup variatif. Lalu bagaimana nasib partai-partai politik Islam?
Dalam lima kali pemilu pascareformasi tak beranjak dari perolehan papan tengah rerata 4 hingga 7 persen. Jika diagregasikan perolehan partai-partai itu tak lebih dari 30 persen. Sudah demikian, belakangan muncul partai-partai Islam baru yang diperkirakan akan saling ‘memangsa’ pemilih partai Islam lama. Berebut kue yang relatif kecil?
Menurut Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti, keberadaan dan kemunculan partai politik Islam baru memang dijamin oleh UUD 1945 dan UU Partai Politik sebagai bagian dari kebebasan menyatakan pendapat dan berkumpul.
“Kalau soal peluang memang tergantung pada apa yang terjadi di lapangan. Secara teoritik kalau jumlah partai semakin banyak, maka sebaran pemilih akan semakin terdistribusi secara luas. Dan akhirnya akan berpengaruh pada perolehan suara bagi partai politik yang sudah beberapa ikut Pemilu maupun yang baru berdiri sekarang ini,” jelasnya usai menghadiri acara halalbihalal PWM Jatim, Selasa (10/5/2022).
Fragmentasi dan Konvergensi Politik Baru
Mu’ti mengatakan, ada pengalaman pada pemilu-pemilu sebelumnya beberapa partai Islam baru dan lama yang tidak lolos ke Senayan. Fakta ini menunjukkan bahwa peluang partai Islam untuk menang memang kecil. Terlebih lagi beberapa tokoh yang mendirikan partai baru sebelumnya juga aktif di partai lama, seperti Amien Rais di Partai Ummat dan Fahri Hamzah cs di Partai Gelora. Beberapa pendiri Partai Masyumi yang sebelumnya juga di PBB.
“Dengan begitu pemilih pendukung tokoh akan berpindah pilihan mengikuti partai baru tokoh itu. Yang terjadi kemudian adalah fragmentasi politik yang makin luas dan merupakan tantangan tersendiri bagi masa depan umat Islam,” ujarnya.
Guru Besar Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menambahkan, dalam konteks keberadaan parpol dengan pengambilan kebijakan strategis negara tentu parpol yang pemilihnya besar dan memiliki kursi banyak di legislatif pasti lebih menentukan, terutama dalam pengambilan keputusan perundangan, penentuan jabatan-jabatan penting kenegaraan, dan penentuan presiden-wakil presiden.
Dengan banyaknya parpol Islam sekarang ini, lanjut pria asli Kudus itu, belum bisa dipastikan jumlah pemilih akan bertambah. Ibarat orang memancing ikan di kolam yang sama, pemancing semakin banyak. Kans mendapat ikan semakin kecil.
Meskipun sekarang tidak terlalu relevan melihat partai politik Islam dan partai politik non-Islam karena sudah terjadi konvergensi politik. Partai-partai yang sebelumnya dianggap partai sekular ternyata didukung oleh banyak tokoh Islam. Itu sudah diprediksi Kuntowidjojo pada tahun 1990-an. Maknanya, sudah tidak lagi relevan bicara partai Islam dan partai sekular.
“Jadi yang terdistribusi itu pemilih suara Muslim. Regulasi politiknya memang senantiasa terbuka dan bagian dari demokrasi. Kita tak bisa membatasi atau melarang. Konsekuensinya partai terlalu besar segmentasinya, maka untuk pengambilan keputusan semakin kecil atau rumit,” paparnya.
Mengapa kue pemilih Islam yang kecil itu ternyata masih saja diperebutkan tokoh-tokoh Islam dengan mendirikan partai baru? Mu’ti menyatakan, pihaknya mendengar di antara mereka ada yang merasa tidak terakomodasi di partai lama atau ada kekecewaan. Tapi ada juga yang merasa bahwa perjuangan melalui jalur kultural diyakini tidak cukup efektif dan memakan waktu lama. Jadi alasannya ada yang bersifat ideologis, ada yang personal, dan ada juga yang praktis.
Mayoritas tapi Keok
Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik LIPI Prof Siti Zuhro menyampaikan, dari pemilu tahun 1955 sampai 2019, perolehan suara partai berbasis Islam selalu mengalami penurunan. Bertolak belakang dengan jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas Islam.
Hal itu menunjukkan bahwa antarpartai Islam yang satu dengan yang lainnya tidak pandai bersinergi. Elite-elitenya masih berpikir ego sektoral.
“Kita ini mayoritas, tapi tokoh Islamnya keok. Partai-partai Islam tidak berpikir visioner bagaimana saling bergantian memimpin. Ditambah lagi caleg-calegnya tidak cukup kompetitif dibandingkan partai non Islam. Artinya ketika dirinya mendapuk Islam, itu kan harus betul-betul berintegritas. Tapi yang ada malah korupsi. Mereka tidak menunjukkan nuansa Islamnya,” kata dia
Meski terus mengalami penurunan suara dari tahun ke tahun, namun kini justru semakin banyak lahir partai Islam baru. Seperti Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI), Masyumi, Gelora, Ummat, dan Pelita. Menurut Siti Zuhro, kemunculan fenomena ini tidak terlepas dari sejumlah friksi yang ada di partai-partai Islam.
“Misalnya, Partai Gelora itu kan friksi PKS, mengalami keterbelahan. Lalu Partai Ummat yang merupakan friksi dari PAN. Selain adanya friksi, terbentuknya partai Islam baru juga dilatarbelakangi pada ketidakpuasan terhadap kepemimpinan rezim saat ini. Sehingga berpikiran bahwa harus punya partai sendiri untuk berkuasa,” terangnya.
Agar bisa menjadi kuat, Siti Zuhro mengusulkan partai-partai berbasis Islam melakukan evaluasi kritis terhadap internal organisasi. Koreksi itu harus dilakukan secara komprehensif, supaya hadir solusi-solusi yang mampu menjadikan partai Islam menjadi lebih baik.
“Mengapa mayoritas Muslim kok tidak memilih partai Islam? Apakah sistemnya yang salah? Kader-kadernya tidak mumpuni? Pertanyaan-pertanyaa ini harus bisa dijawab. Sehingga tidak terjadi chaos lagi antarpartai Islam di pemilu mendatang. Antarpemimpin elite partai Islam perlu menunjukkan nuansa amar makruf nahi mungkar. Menunjukkan nuansa rahmatan lil alamin. Nuansa ukhuwah islamiyahnya,” paparnya.
Misalnya, sambung dia, antara Pak Amien Rais, Bang Din Syamsuddin dengan Ketua PDRI dan Masyumi bisa bergandengan, itu kan sejuk banget. “Selama masih ego sektoral, selama itu pula sinergi tidak terjadi. Lalu apa yang dipamerkan? Hal-hal yang bersifat Islami akhirnya hanya akan menjadi normatif dan tekstual. Keislaman hanya menjadi motto atau slogan doang,” tuturnya.
https://pwmu.co/242193/05/30/partai-...pemilu-2024/2/
gigbuupz dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.2K
8
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan