powertitanAvatar border
TS
powertitan
Seperti Fiksi, Seperti Mimpi
Kami memanggilnya Nardi, aslinya ia bernama Ignasius Sunardi. Usianya sekitar tiga tahun di bawahku. Ia kukenal saat (untuk pertama kali), aku ngekos atas ajakan seorang sahabat dekat di kampus. Kos di wilayah Pramukasari, Jakarta Pusat. Tempat kos-kosan yang terbilang besar, terdiri dari dua bangunan yang terpisah, bertingkat, cukup bagus untuk ukuran dekade 80-an.
Pemilik kos-kosan itu Bu Santoso, wanita menjelang 50-an tahun, kepsek di sebuah SD dan suaminya pejabat menengah Bank Lippo. Rumahnya hanya belasan meter dari kos-kosan.

Mungkin ada 30-an penghuni kedua rumah kos itu, pria dan wanita, umumnya mahasiswa dan karyawan--ada pula suami istri tanpa anak. Beragam suku dan pemeluk agama penyewa kos-kosan itu; yang unik, di blok yang kusewa dengan kawan dekatku itu, suasana  akrab macam "paguyuban Nusantara." Satu sama lain dekat dan macam kerabat, di tengah perbedaan.
Ada seorang yang paling muda dan kami perlakukan macam adik,  Nardi itu. Ia pegawai baru di BDN, bank BUMN yang kemudian dimerger ke Bank Mandiri. Orangnya pemalu, namun sesungguhnya ramah dan tulus berteman, selain suka guyon, selalu ringan urunan membeli makanan minuman untuk dinikmati bersama. Penampilannya rapi, bergaya anakmuda, logat bicaranya medok khas Jateng.

Ia memang dari sebuah kota kecil di Jateng, tak jauh dari Solo dan Yogja. Ayahnya seorang perajin batik tulis, kualitasnya bagus dan peminatnya kaum berduit. Tamat SMA ia merantau ke Jakarta, melamar BDN dan diterima, kemudian dia kuliah malam di sebuah akademi.
Sekali lagi, dia ramah dan punya itikad baik maka banyak yang menyayanginya (para warga kos-kosan Bu Santoso). Ia selalu mengaku "wong desa" yang nekat merantau hanya bermodalkan ijazah SMA; tetapi kepercayaan dirinya kuat, tak malu mengakui kondisi orangtuanya yang "cuma" pembatik.

Saat itu, para pria penghuni kos suka ngobrol, ngeriung, bercanda dan juga nyanyi-nyanyi diiringi gitar kala malam Minggu. Kadang ke bioskop dan ke diskotik rame-rame dan bagi yang punya pacar, join setelah selesai "wakuncar" di lokasi yang telah disebut sebelumnya (HP belum ada saat itu, juga wartel).

Nardi si "anak bontot" selalu ikut, kecuali dia tugas kerja ke luar kota. Anak ini dasarnya cerdas, mudah mempelajari hal baru, maka di tempatnya kerja, dia ditempatkan di bidang teknologi perbankan yang masa itu mulai mengalami "evolusi transaksi." Bahasa sekarang, IT. ATM mulai dikenalkan dan ikutlah dia sibuk karena bertugas di bagian teknologi.

Karir Nardi cepat menanjak, sering dia mengikuti pelatihan dari kantornya. Tiap Minggu rajin misa di sebuah gereja Katolik di Rawamangun, aku dengan teman-teman Protestan (bermacam suku), kadang beribadah di GPIB Paulus, Menteng, lebih sering ibadah sore.
Nardi yang telah kuanggap adik itu jarang ngomong, namun kalo nyeletuk bikin ngakak. Ia seperti (alm) Basuki di mataku, eks salah satu bintang kelompok komedi legendaris dari Solo, Srimulat. Cerdas, kritis, disampaikan dengan "gaya orang Jawa" yang tumbuh dalam tradisi perwayangan dan suka dagelan khas masyarakat Jateng.

Aku termasuk yang bahagia tiap menggodai Nardi; dia akan malu-malu namun tak terduga, balasannya membuatku terbahak-bahak, sementara dia kalem saja. Kadang dia bertandang ke kamarku, memutar lagu-lagu dari tapedeck dan ratusan kaset koleksiku. Ia kadang membuka halaman buku-buku yang kususun di rak kayu.

Sering dia polos menanyakan anu itu (termasuk mengenai suku Batak), persis kayak cara adik ke abangnya. Musik-musik yang kugemari kemudian dia sukai, sering beli kaset grup rock lalu memperlihatkan ke aku.

"Aku jadi suka Van Halen dan Gun N Roses karena Kak Sunan," ujarnya seraya memperlihatkan koleksinya. (Di kampus, kami para senior sering dipanggil para junior, Kak. Para kawan junior itu sering ke tempat kosku, belajar, mereka memanggilku Kak selain Bang).
Penghuni kos itu dominan pria, semua di atas usia Nardi. Ia pun jadi "adik bersama" dan agaknya dia nikmati. Tetapi, kami sering pula menggoda dan menjahilinya, pernah malah kami tinggalkan dia (tengah malam) di kawasan praktik para waria di Taman Lawang, pinggiran Menteng--seusai berputar-putar menghabiskan akhir pekan. Seketika dia "diserbu" para waria, membuatnya panik, sementara aku dan tiga teman menyaksikan dari jauh sambil ngakak. Saat kami jemput, dia berkeringat, wajahnya ketakutan, namun celotehnya membuat kami tertawa sampai mulut mau robek rasanya.

Tak sampai dua tahun aku ngekos, kembali ke rumah lama (rumah satu kakakku) di Condet karena aku sakit dan cukup parah; pola makan yang tak jelas, gaya hidup yang mirip gipsy, nyari duit dengan cara memberi bimbingan belajar ke mahasiswa-mahasiswa yang membutuhkan, sering begadang, suatu malam membuat tubuhku tumbang.
Tetapi aku tetap datang ke Pramukasari, bercengkerama dengan kawan-kawan, termasuk Nardi.  Bertahun-tahun kemudian, tempat itu sesekali kujambangi dan kadang nginap di kamar kawan dekatku, bukan di kamar Nardi karena pagi sekali dia sudah bangun dan bersiap kerja, sementara aku tidak mau jadi gangguan baginya.

Kian tahun, aku kian jarang ke Pramukasari (apalagi setelah menikah), perlahan teman-teman kos pun berkimpoian dan pindah hunian (beli rumah di pinggiran kota melalui KPR). Namun sejak era handphone, komunikasi kami kembali terjalin.

Kadang, aku dan Nardi bersapa, menanyakan kabar istri anak, dan sebagainya. Karirnya semakin menanjak di Bank Mandiri, namun dia tetap Nardi yang semula kukenal. Ramah, suka nyeletuk dan itu berisi guyon. Kerap kami bercakap diselingi Bahasa Jawa.
"Kowe wis sugih ya, Di.
Hebat rek."
"Sugih apa?"
"Duitmu akeh. Posisimu makin  bagus di Mandiri."
"Halah, apalah awak ini dibanding Bang Sunan."
"Mulai...mulai deh sok merendah. Aku bukan mau minjem duitmu, cuma senang aja melihat perjalananmu di ibukota yang konon kejam itu. Tapi awas ya Di, jangan sampe kudengar kau selingkuh- selingkuh mentang-mentang udah makmur."
"Selingkuh karo sopo sih, Bang? Lagipula, siapalah yang mau sama diriku yang cuma karyawan, bukan pemilik perusahaan."
"Tampang dan posisimu potensil berselingkuh, jangan coba-coba."
"Bisa apa Bang kalo kucoba?"
"Bisa ketagihaaaaan!"

Dia pun lantas ngakak, lalu janjian ketemu--yang sayangnya tak mudah kami wujudkan; macam orang super sibuk.
Tetapi, dia tetap ingat menyampaikan Selamat Natal & Tahun Baru, Selamat Paskah, juga tiap hari ultahku tiba. Pengakuannya, selalu mengikuti postinganku di Facebook, dan dia memang tipe pegguna pasif.

Sekitar dua tahun lalu, aku ada urusan dengan sebuah kantor cabang Bank Mandiri (kasus fraud). Beberapa kali rapat dengan beberapa karyawan bank terbesar itu. Suatu kali, aku berkata, ada teman yang  kuanggap adik orang lama di bank tersebut, di bagian IT.

"Siapa Pak?" tanya seorang pegawai bank itu.
"Sunardi."
"Pak Sunardi orang IT?"
"Iya."
"Lah, bapak tidak tahu, Pak Sunardi meninggaldunia tahun lalu?"
"Apa?"
"Pak Nardi mengalami kecelakaan saat tur dengan komunitas motor trail di pedesaan Lampung. Meninggal di tempat."

Nardi lantas kutelepon, namun tak ada bunyi sambung. Kukirim pesan melalui WA, hanya satu contreng.  Kubuka Facebook, kucari namanya. (Nama akunnya dia improvisasi).  Postingan terakhir, dia dan istri menghadiri wisuda putrinya (anak tertua) di UGM, Yogja. Kuperlihatkan seraya bertanya ke pegawai Bank Mandiri itu. Dia mengangguk.

Sampai beberapa hari Nardi kukontak karena tak percaya, tak jua ada balasan.
Sungguh seperti cerita fiksi, atau adegan dalam mimpi. Nardi telah pergi untuk selamanya, begitu saja dia tinggalkan dunia ini.  Sampai sekarang, sosoknya kadang menyelinap di benakku.***
* Catatan ini (sebagaimana catatanku tentang beberapa kawan yang telah tiada) merupakan tanda kesetiaanku, tak akan pernah kulupakan orang-orang yang pernah dekat dengan aku, wujud penghormatanku.


Penulisan oleh powertitan
Karya.Original
NoCopyright
Cerpen Tentang Kehidupan, Pandangan, dan Pengalaman Pribadi.
Diubah oleh powertitan 26-05-2022 09:41
0
475
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan