- Beranda
- Komunitas
- Story
- Komunitas Cerpen Cerbung Kaskus
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL


TS
Berita.hemahsud
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL
Subscribe sebelum baca ya. Tap love dan rate bintang lima jangan lupa. Thanks.
Usai solat magrib kembali aku mencoba menghubungi Mas Arya, tetapi hasilnya masih sama, ponselnya tak bisa dihubungi. Malah sekarang dalam keadaan mati.
"Gimana, sudah bisa dihubungi papanya Via?" tanya Wisnu sembari menggendong Via yang terlihat kuyu dan mengantuk, sebab hari ini terpaksa tidak tidur siang karena ikut menghadiri acara reuni ini.
Gadis kecilku itu terlihat nyaman. Menyandarkan kepalanya di bahu Wisnu sambil memeluk tubuh lelaki itu dengan tenang.
Sama sepertiku, aku tahu Via juga merasa nyaman bersama Wisnu. Itu bisa terlihat dari pancaran wajah dan mata gadis kecilku itu.
Via memang tak pandai berbohong. Saat bersama papanya sendiri, gadis itu justru terlihat tak sepenuhnya merasa nyaman seperti saat ini.
Sebagai anak, tentu saja Via punya naluri untuk ingin berdekatan dan diperhatikan terus oleh sang papa, tapi sayang, Mas Arya justru seringkali memarahinya dan merasa risih serta menolak keinginan putrinya, itu sebabnya Via pun seolah mulai kehilangan rasa kedekatan bersama Mas Arya, lebih-lebih setelah Mas Arya menikah lagi dan menetapkan jatah hari giliran seperti ini yang membuatnya tak selalu ada di rumah.
"Belum, Nu. Gak tau juga kenapa, gak biasanya Mas Arya begini," ucapku lirih.
"Ya, udah. Kuantar aja ya? Kasian Via sudah ngantuk begini?" ujar Wisnu pada akhirnya.
Aku mengangguk, terpaksa. Ya, hari sudah malam dan Via juga sudah mulai terlelap dalam gendongan Wisnu. Gadis kecil itu terlihat sudah kecapekan, pasti perlu tempat tidur yang nyaman.
Wisnu menggendong Via menuju mobil lalu membaringkan di kursi tengah sedangkan aku mengikuti dari belakang lalu duduk di jok depan, di samping Wisnu.
Setengah jam kemudian mobil pun sampai di kontrakanku.
Rumah terlihat gelap karena memang lampu bagian luar rumah lupa aku hidupkan saat pergi tadi.
Bergegas aku turun dari mobil dan berjalan cepat menuju kontrakan hendak membuka pintu rumah.
Namun, aku terlonjak kaget saat hendak memasukkan anak kunci, seseorang menegurku dengan keras.
"Ana? Kamu baru pulang? Sama siapa?"
Itu suara Mas Arya!
Dari pantulan lampu mobil Wisnu yang masih menyala bisa kulihat penampakan sosok lelaki itu yang rupanya sudah menunggu di depan teras.
Ah, pantas saja dia tidak jadi menjemputku, rupanya dia ada di sini. Tapi kenapa lampu rumah dibiarkan tak menyala dan dia juga berada di luar begini?
"Mas? Kamu di sini rupanya? Dianter Wisnu, teman sekolahku dulu. Tadi katanya Mas mau jemput, kok ditunggu-tunggu gak jadi datang? Dihubungi juga gak bisa? Telpon mas kenapa? Habis batere?" tanyaku ingin tahu.
Mas Arya terdengar menghela nafas.
"Gak bisa jemput soalnya minyak mobil habis! Wisnu siapa? Oh ya, Via mana?" tanya Mas Arya beruntun lalu mengarahkan pandangannya ke arah mobil Wisnu bertepatan saat sosok lelaki itu mendekat sembari menggendong Via yang tidur dalam dekapannya.
"Wisnu temanku, Mas. Dia dokter sekaligus pemilik rumah sakit Berkah. Salaman dulu ya." ucapku padanya.
Aku kemudian buru-buru masuk ke dalam rumah untuk menyalakan lampu setelah pintu berhasil dibuka dan buru-buru pula kembali ke teras.
Saat keluar, kulihat Wisnu sudah ada di teras dan terlihat Mas Arya sedang berusaha mengambil Via dari gendongan lelaki itu.
"Sini, anakku!" seru Mas Arya dengan nada keras dan terdengar kurang bersahabat. Entah kenapa.
Wisnu menurut, memberikan Via pada Mas Arya tanpa banyak bicara.
Aku mengambil alih suasana.
"Mas, ini Wisnu, teman sekolahku dulu. Wisnu, ini Mas Arya, papanya Via," ujarku pada dua lelaki itu sembari memberi kode pada Mas Arya untuk berkenalan tetapi suamiku itu justru terlihat enggan.
"Gak bisa salaman. Susah. Oh ya, saya Arya, suaminya Ana. Terimakasih sudah nganterin pulang istri dan anak saya ya. Oh ya, hari sudah malam. Saya ke dalam dulu, mau nidurkan anak dan istirahat. Permisi. Terimakasih untuk tumpangannya." Lalu tanpa basa-basi dan terlihat tak ramah, Mas Arya ngeloyor masuk ke dalam rumah meninggalkanku dan Wisnu begitu saja.
Atas reaksi Mas Arya itu, Wisnu terlihat terkejut dan tak menyangka akan sambutan itu tetapi dengan cepat ia berusaha mengusir rasa heran yang tercetak jelas di wajahnya tadi.
"Oke, Ana, aku pulang dulu ya. Jangan sungkan-sungkan mampir ke rumah atau ke tempat praktek ya, kalau ada keperluan. Salam buat Arya, aku pulang dulu," ujarnya tenang dan dewasa.
Aku memaksa senyum untuk mengusir rasa tak enak akibat sambutan Mas Arya yang di luar dugaan itu lalu mengangguk.
"Makasih banyak ya Wisnu untuk undangan dan untuk bantuannya nganterin sampe ke rumah. Maaf, kalau Mas Arya begitu, mungkin dia kecapekan. Insyaallah nanti kalau ada apa-apa, bolehlah aku mampir ke rumah sakit. Sekali lagi makasih ya bantuannya," ujarku dengan nada tak enak.
Mendengar ucapanku, Wisnu hanya tersenyum.
"Gak papa, An. Ya udah, aku pulang dulu ya. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Kuikuti hingga sosok atletis lelaki itu menghilang dalam mobilnya lalu segera ke masuk dalam rumah usai Wisnu pergi.
Namun, lagi-lagi aku dibuat terkejut saat melihat Mas Arya ternyata sudah ada di balik pintu masuk. Tanpa Via yang mungkin sudah ia baringkan di kamarnya.
"Hmm, kelihatannya kamu akrab sekali dengan laki-laki itu! Siapa sebenarnya dia dan ada hubungan apa di antara kalian berdua, heh?" Nada suara Mas Arya terlihat tegang dan tak enak didengar.
Aku tak menjawab, memilih masuk ke dalam kamar. Hendak mandi, ganti pakaian dan istirahat.
Namun, Mas Arya justru membuntuti dengan ekspresi tak sabar.
"Ana, kamu dengar gak mas nanya apa? Siapa laki-laki tadi? Dan ada hubungan apa kalian berdua? Kenapa aku melihat kamu dan dia seolah sudah kenal lama? Ingat ya, An, aku gak suka dan gak akan mentolerir pengkhianatan sekecil apapun! Aku gak akan ... !"
"Cukup! Kamu bilang gak akan mentolerir pengkhianatan sekecil apapun? Terus yang kamu lakukan dengan perempuan bin*l bernama Maya itu apa? Bukan pengkhianatan namanya? Ngaca Mas, kamu bukan hanya sudah berkhianat, bukan hanya selingkuh, tapi justru sudah menikah lagi. Sedangkan aku cuma diantar pulang, itu juga karena kamu gak jadi jemput aku tadi, terus dengan pedenya kamu bilang gak akan mentolerir pengkhianatan sekecil apapun? Enteng sekali kamu bicara! Memangnya kalau kamu selingkuh, aku gak boleh gitu? Tapi maaf ya, aku memang gak pernah tertarik untuk selingkuh atau berkhianat seperti kamu. Aku tahu dosa. Lebih baik aku minta cerai baik-baik atau ngajuin sendiri ke pengadilan agama daripada bikin dosa seperti yang kamu lakukan sebelum kamu nikahi gadis itu. Jadi tolong jangan ceramahi aku soal kesetiaan ataupun pengkhianatan karena aku gak seperti kamu yang gak mikir dosa dan gak punya rasa malu!" sahutku tak kalah keras.
Rasa jengkel yang selama ini terpendam dalam hati menjadi bangkit meluap mendengar perkataan dan tuduhan Mas Arya soal Wisnu.
Jujur kuakui, sebagai wanita normal, tentu saja aku lebih menyukai profil Wisnu yang kelihatan sangat bertanggung jawab dan penuh perlindungan terhadap kaum perempuan yang lemah, beda dengan Mas Arya yang justru kebalikannya. Sangat jauh dari kata tanggung jawab dan kekanak-kanakan. Sudah dibantu istri sepanjang pernikahan, tapi bukannya bersyukur malah berkhianat seperti ini.
Tapi tentu saja tidak lantas membuatku membenarkan pengkhianatan. Bagaimanapun menariknya sosok Wisnu di mataku, aku tetaplah istri seorang Arya yang masih sah dan dosa jika menurutkan perkataan hati untuk berpaling pada lelaki lain, seberapa pun menariknya lelaki itu.
"Oke kalau gitu! Kamu bilang gak akan selingkuh dan gak akan berkhianat. Pegang kata-katamu ini, kalau sampai aku lihat kamu ada hubungan dengan laki-laki tadi, aku gak segan-segan bikin perhitungan ya, An. Dengar itu!"
Mendengar perkataan Mas Arya, aku hanya mengulum senyum. Mungkin ia tak tahu jika aku bukanlah perempuan lemah yang bisa digertak dan ditakut-takuti seperti ini.
Aku manusia merdeka yang tahu hukum dan aturan undang-undang. Pernikahan itu dibangun di atas kesepakatan ke dua belah pihak. Jika salah satu pihak saja tidak lagi sepakat, maka mengakhiri pernikahan bukanlah suatu dosa ataupun terlarang baik dalam agama atau pun peraturan peundang-undangan.
Maka saat aku tak lagi memiliki rasa pada Mas Arya dan menganggap sudah saatnya membuat keputusan akan ke mana rumah tangga kami setelah berbagai hal terjadi dalam biduk kecil kami ini, aku tahu aku tak berbuat dosa dan tak melanggar aturan perundang-undang tentang perkimpoian jika memilih berpisah.
Sekali lagi aku tahu hak dan kewajibanku sebagai istri dan akan kupertahankan hal itu sampai kapanpun tanpa seorang pun bisa mengatur atau mengintimidasinya.
Cerbung
Gaya modern
Subscribe sebelum baca ya. Tap love dan rate bintang lima jangan lupa. Thanks.
Usai solat magrib kembali aku mencoba menghubungi Mas Arya, tetapi hasilnya masih sama, ponselnya tak bisa dihubungi. Malah sekarang dalam keadaan mati.
"Gimana, sudah bisa dihubungi papanya Via?" tanya Wisnu sembari menggendong Via yang terlihat kuyu dan mengantuk, sebab hari ini terpaksa tidak tidur siang karena ikut menghadiri acara reuni ini.
Gadis kecilku itu terlihat nyaman. Menyandarkan kepalanya di bahu Wisnu sambil memeluk tubuh lelaki itu dengan tenang.
Sama sepertiku, aku tahu Via juga merasa nyaman bersama Wisnu. Itu bisa terlihat dari pancaran wajah dan mata gadis kecilku itu.
Via memang tak pandai berbohong. Saat bersama papanya sendiri, gadis itu justru terlihat tak sepenuhnya merasa nyaman seperti saat ini.
Sebagai anak, tentu saja Via punya naluri untuk ingin berdekatan dan diperhatikan terus oleh sang papa, tapi sayang, Mas Arya justru seringkali memarahinya dan merasa risih serta menolak keinginan putrinya, itu sebabnya Via pun seolah mulai kehilangan rasa kedekatan bersama Mas Arya, lebih-lebih setelah Mas Arya menikah lagi dan menetapkan jatah hari giliran seperti ini yang membuatnya tak selalu ada di rumah.
"Belum, Nu. Gak tau juga kenapa, gak biasanya Mas Arya begini," ucapku lirih.
"Ya, udah. Kuantar aja ya? Kasian Via sudah ngantuk begini?" ujar Wisnu pada akhirnya.
Aku mengangguk, terpaksa. Ya, hari sudah malam dan Via juga sudah mulai terlelap dalam gendongan Wisnu. Gadis kecil itu terlihat sudah kecapekan, pasti perlu tempat tidur yang nyaman.
Wisnu menggendong Via menuju mobil lalu membaringkan di kursi tengah sedangkan aku mengikuti dari belakang lalu duduk di jok depan, di samping Wisnu.
Setengah jam kemudian mobil pun sampai di kontrakanku.
Rumah terlihat gelap karena memang lampu bagian luar rumah lupa aku hidupkan saat pergi tadi.
Bergegas aku turun dari mobil dan berjalan cepat menuju kontrakan hendak membuka pintu rumah.
Namun, aku terlonjak kaget saat hendak memasukkan anak kunci, seseorang menegurku dengan keras.
"Ana? Kamu baru pulang? Sama siapa?"
Itu suara Mas Arya!
Dari pantulan lampu mobil Wisnu yang masih menyala bisa kulihat penampakan sosok lelaki itu yang rupanya sudah menunggu di depan teras.
Ah, pantas saja dia tidak jadi menjemputku, rupanya dia ada di sini. Tapi kenapa lampu rumah dibiarkan tak menyala dan dia juga berada di luar begini?
"Mas? Kamu di sini rupanya? Dianter Wisnu, teman sekolahku dulu. Tadi katanya Mas mau jemput, kok ditunggu-tunggu gak jadi datang? Dihubungi juga gak bisa? Telpon mas kenapa? Habis batere?" tanyaku ingin tahu.
Mas Arya terdengar menghela nafas.
"Gak bisa jemput soalnya minyak mobil habis! Wisnu siapa? Oh ya, Via mana?" tanya Mas Arya beruntun lalu mengarahkan pandangannya ke arah mobil Wisnu bertepatan saat sosok lelaki itu mendekat sembari menggendong Via yang tidur dalam dekapannya.
"Wisnu temanku, Mas. Dia dokter sekaligus pemilik rumah sakit Berkah. Salaman dulu ya." ucapku padanya.
Aku kemudian buru-buru masuk ke dalam rumah untuk menyalakan lampu setelah pintu berhasil dibuka dan buru-buru pula kembali ke teras.
Saat keluar, kulihat Wisnu sudah ada di teras dan terlihat Mas Arya sedang berusaha mengambil Via dari gendongan lelaki itu.
"Sini, anakku!" seru Mas Arya dengan nada keras dan terdengar kurang bersahabat. Entah kenapa.
Wisnu menurut, memberikan Via pada Mas Arya tanpa banyak bicara.
Aku mengambil alih suasana.
"Mas, ini Wisnu, teman sekolahku dulu. Wisnu, ini Mas Arya, papanya Via," ujarku pada dua lelaki itu sembari memberi kode pada Mas Arya untuk berkenalan tetapi suamiku itu justru terlihat enggan.
"Gak bisa salaman. Susah. Oh ya, saya Arya, suaminya Ana. Terimakasih sudah nganterin pulang istri dan anak saya ya. Oh ya, hari sudah malam. Saya ke dalam dulu, mau nidurkan anak dan istirahat. Permisi. Terimakasih untuk tumpangannya." Lalu tanpa basa-basi dan terlihat tak ramah, Mas Arya ngeloyor masuk ke dalam rumah meninggalkanku dan Wisnu begitu saja.
Atas reaksi Mas Arya itu, Wisnu terlihat terkejut dan tak menyangka akan sambutan itu tetapi dengan cepat ia berusaha mengusir rasa heran yang tercetak jelas di wajahnya tadi.
"Oke, Ana, aku pulang dulu ya. Jangan sungkan-sungkan mampir ke rumah atau ke tempat praktek ya, kalau ada keperluan. Salam buat Arya, aku pulang dulu," ujarnya tenang dan dewasa.
Aku memaksa senyum untuk mengusir rasa tak enak akibat sambutan Mas Arya yang di luar dugaan itu lalu mengangguk.
"Makasih banyak ya Wisnu untuk undangan dan untuk bantuannya nganterin sampe ke rumah. Maaf, kalau Mas Arya begitu, mungkin dia kecapekan. Insyaallah nanti kalau ada apa-apa, bolehlah aku mampir ke rumah sakit. Sekali lagi makasih ya bantuannya," ujarku dengan nada tak enak.
Mendengar ucapanku, Wisnu hanya tersenyum.
"Gak papa, An. Ya udah, aku pulang dulu ya. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Kuikuti hingga sosok atletis lelaki itu menghilang dalam mobilnya lalu segera ke masuk dalam rumah usai Wisnu pergi.
Namun, lagi-lagi aku dibuat terkejut saat melihat Mas Arya ternyata sudah ada di balik pintu masuk. Tanpa Via yang mungkin sudah ia baringkan di kamarnya.
"Hmm, kelihatannya kamu akrab sekali dengan laki-laki itu! Siapa sebenarnya dia dan ada hubungan apa di antara kalian berdua, heh?" Nada suara Mas Arya terlihat tegang dan tak enak didengar.
Aku tak menjawab, memilih masuk ke dalam kamar. Hendak mandi, ganti pakaian dan istirahat.
Namun, Mas Arya justru membuntuti dengan ekspresi tak sabar.
"Ana, kamu dengar gak mas nanya apa? Siapa laki-laki tadi? Dan ada hubungan apa kalian berdua? Kenapa aku melihat kamu dan dia seolah sudah kenal lama? Ingat ya, An, aku gak suka dan gak akan mentolerir pengkhianatan sekecil apapun! Aku gak akan ... !"
"Cukup! Kamu bilang gak akan mentolerir pengkhianatan sekecil apapun? Terus yang kamu lakukan dengan perempuan bin*l bernama Maya itu apa? Bukan pengkhianatan namanya? Ngaca Mas, kamu bukan hanya sudah berkhianat, bukan hanya selingkuh, tapi justru sudah menikah lagi. Sedangkan aku cuma diantar pulang, itu juga karena kamu gak jadi jemput aku tadi, terus dengan pedenya kamu bilang gak akan mentolerir pengkhianatan sekecil apapun? Enteng sekali kamu bicara! Memangnya kalau kamu selingkuh, aku gak boleh gitu? Tapi maaf ya, aku memang gak pernah tertarik untuk selingkuh atau berkhianat seperti kamu. Aku tahu dosa. Lebih baik aku minta cerai baik-baik atau ngajuin sendiri ke pengadilan agama daripada bikin dosa seperti yang kamu lakukan sebelum kamu nikahi gadis itu. Jadi tolong jangan ceramahi aku soal kesetiaan ataupun pengkhianatan karena aku gak seperti kamu yang gak mikir dosa dan gak punya rasa malu!" sahutku tak kalah keras.
Rasa jengkel yang selama ini terpendam dalam hati menjadi bangkit meluap mendengar perkataan dan tuduhan Mas Arya soal Wisnu.
Jujur kuakui, sebagai wanita normal, tentu saja aku lebih menyukai profil Wisnu yang kelihatan sangat bertanggung jawab dan penuh perlindungan terhadap kaum perempuan yang lemah, beda dengan Mas Arya yang justru kebalikannya. Sangat jauh dari kata tanggung jawab dan kekanak-kanakan. Sudah dibantu istri sepanjang pernikahan, tapi bukannya bersyukur malah berkhianat seperti ini.
Tapi tentu saja tidak lantas membuatku membenarkan pengkhianatan. Bagaimanapun menariknya sosok Wisnu di mataku, aku tetaplah istri seorang Arya yang masih sah dan dosa jika menurutkan perkataan hati untuk berpaling pada lelaki lain, seberapa pun menariknya lelaki itu.
"Oke kalau gitu! Kamu bilang gak akan selingkuh dan gak akan berkhianat. Pegang kata-katamu ini, kalau sampai aku lihat kamu ada hubungan dengan laki-laki tadi, aku gak segan-segan bikin perhitungan ya, An. Dengar itu!"
Mendengar perkataan Mas Arya, aku hanya mengulum senyum. Mungkin ia tak tahu jika aku bukanlah perempuan lemah yang bisa digertak dan ditakut-takuti seperti ini.
Aku manusia merdeka yang tahu hukum dan aturan undang-undang. Pernikahan itu dibangun di atas kesepakatan ke dua belah pihak. Jika salah satu pihak saja tidak lagi sepakat, maka mengakhiri pernikahan bukanlah suatu dosa ataupun terlarang baik dalam agama atau pun peraturan peundang-undangan.
Maka saat aku tak lagi memiliki rasa pada Mas Arya dan menganggap sudah saatnya membuat keputusan akan ke mana rumah tangga kami setelah berbagai hal terjadi dalam biduk kecil kami ini, aku tahu aku tak berbuat dosa dan tak melanggar aturan perundang-undang tentang perkimpoian jika memilih berpisah.
Sekali lagi aku tahu hak dan kewajibanku sebagai istri dan akan kupertahankan hal itu sampai kapanpun tanpa seorang pun bisa mengatur atau mengintimidasinya.
Cerbung
Gaya modern
0
580
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan