Kaskus

News

Lockdown666Avatar border
TS
Lockdown666
“Seperti Wuhan Lagi”, Warga Shanghai Memprotes Sensor China
“Seperti Wuhan Lagi”, Warga Shanghai Memprotes Sensor China

SHANGHAI, KOMPAS.com - April menjadi bulan yang berat bagi sebagian besar penduduk Shanghai, ketika wabah Covid-19 yang disebabkan oleh varian Omicron melanda kota terbesar di China, dan jutaan orang dikurung di rumah mereka. Dalam situasi menakutkan yang menggemakan kembali penguncian Wuhan pada 2020, setelah virus pertama kali muncul, permintaan bantuan yang putus asa tidak terdengar atau padam saat pihak berwenang berkomitmen membasmi virus di bawah strategi 'nol Covid' China.

Sama seperti orang-orang di Wuhan, Penduduk Shanghai menggunakan media sosial untuk menunjukkan kemarahan dan kekecewaan mereka pada wabah dan tanggapan keras pihak berwenang. Warga kota finansial China itu mempertanyakan pendekatan yang telah mengganggu pasokan makanan, memisahkan keluarga, dan menempatkan sumber daya medis pada kondisi tegang.


Saat sebagian besar dunia mencoba hidup dengan virus, warga Shanghai beralih menggunakan jurnal, video, audio, catatan WeChat, dan unggahan Weibo untuk melampiaskan rasa frustrasi mereka dan bertanya apakah kurungan tanpa akhir itu masuk akal. Tetapi di negara di mana wacana publik dan media sosial dikontrol secara ketat, pemerintah China kembali mengaktifkan kontrol pada aliran informasi keluar dari Shanghai, seperti yang terjadi di Wuhan. Namun kali ini, pemerintah China menghadapi perlawanan yang lebih kreatif dari pada sebelumnya.

Para pekerja membongkar persediaan termasuk kotak masker di Shanghai pada Minggu (10/4/2022). Shanghai kota terbesar di China akan segera mencabut lockdown di lingkungan yang melaporkan tidak ada kasus positif dalam 14 hari setelah putaran pengujian Covid-19.

Suara yang dihilangkan


Dilansir dari Al Jazeera pada Sabtu (30/4/2022) sebagian besar informasi yang dihapus oleh sensor berbicara tentang keputusasaan yang menyelimuti Shanghai, termasuk banyak permintaan bantuan dari warga. Ada pasien dialisis yang memohon untuk dirawat di rumah sakit, keluarga kehabisan makanan, dan pasien kanker yang kembali dari kemoterapi namun tak bisa masuk ke rumahnya karena lockdown. Satu unggahan, yang segera dihapus, memberikan gambaran sekilas tentang bahaya yang dihadapi oleh orang-orang dengan bawaaan yang meninggal karena tes Covid-19 mereka tidak negatif, sehingga mereka ditolak masuk rumah sakit.

Dalam artikel lain yang berjudul “Meminta Bantuan,” seorang netizen yang menuntut pemerintah lebih memperhatikan pasokan makanan. “Di kota dengan 25 juta penduduk, bahkan jika kebutuhan dasar 99 persen dari mereka terpenuhi, masih akan ada 250.000 orang yang kebutuhannya tidak tercukupi”. Hari berikutnya itu telah menghilang dari internet.

Rasa putus asa dan kemarahan merajalela ketika sensor dengan panik terus menghapus unggahan dan artikel yang dikhawatirkan menimbulkan ancaman bagi “stabilitas” yang sangat dijaga oleh Partai Komunis China (PKC) yang berkuasa. “Tujuan utama penyensoran PKC adalah untuk mencegah aksi kolektif skala besar,” kata Zachary Steinert-Threlkeld, seorang profesor di University of California – Los Angeles (UCLA) yang mempelajari gerakan protes dan sensor online kepada Al Jazeera. Menurutnya sensor itu kontraproduktif jika orang berpikir tujuannya adalah untuk mencegah penyebaran ketidakpuasan tentang penguncian. Tetapi, sensor menjadi produktif jika berhasil mencegah individu yang marah mengoordinasikan tindakan protes di luar rumah mereka.

Perlawanan kuat warga Shanghai


Dalam upaya untuk mengecoh pihak berwenang, beberapa mencoba mengunggah ulang artikel atau komentar yang dihapus menggunakan metode yang berbeda. Warga akan mengunggah gambar cermin dari foto asli atau menerjemahkan artikel ke dalam bahasa Inggris untuk berbagi pesan berani di media sosial. “Bangkit, mereka yang tidak ingin menjadi budak” – kalimat pembuka lagu kebangsaan China– beredar di Weibo, Twitter versi China. Tapi nampaknya itu tiba-tiba menjadi kalimat yang terlalu berani di media sosial China, sehingga topik itu dihapus. “Saya ingin mengatakan kepada mereka yang bertanggung jawab atas penyensoran: rezim yang Anda dukung adalah sampah, pekerjaan yang Anda lakukan adalah sampah, pekerjaan yang Anda lakukan dihina oleh semua orang, setiap unggahan yang Anda hapus adalah peluru yang kamu tembak ke arah dirimu sendiri,” tulis seorang pengguna di Weibo.

Unggahan itu segera dibagikan secara luas, sebuah kesaksian atas kemarahan yang memuncak di Shanghai.

“Rasanya seperti Wuhan lagi, dan saya masih berjuang untuk memahami mengapa sensor menghapus unggahan yang pada dasarnya hanya beirisi permintaan bantuan dari orang-orang,” Billy, seorang warga Shanghai yang meminta untuk menggunakan nama samaran, mengatakan kepada Al Jazeera. "Semua ini tidak masuk akal." Namun para ahli mengatakan masuk akal bagi pemerintah China, yang bermaksuhd untuk mencegah munculnya segala jenis gerakan massa yang berpotensi mengancam kekuasaannya. “Ini telah terjadi berkali-kali sebelumnya: ada kegemparan publik dan sensor bergerak untuk mencoba menghapus kritik, dan kemudian orang-orang marah tentang sensor,” Wang Yaqiu, peneliti senior China di Human Rights Watch, mengatakan kepada Al Jazeera . “Tetapi jika Anda melihat sejarah, tidak ada kegemparan publik yang berubah menjadi protes substantif. “Untuk saat ini orang-orang marah, tetapi kemudian seiring waktu, ketika sensor menjadi lebih ketat, pemerintah kemudian dapat meredam keributan itu,” tambahnya.

Dipicu oleh rasa frustrasi mereka pada kegagalan nyata otoritas kota dalam menjaga pasokan makanan dan komitmen pemerintah untuk strategi 'nol Covid', penduduk Shanghai terbukti sangat vokal. “Orang Shanghai menyadari bahwa negara-negara lain telah mengadopsi pendekatan yang lebih longgar terhadap Covid, terutama pada 2022, dan mungkin merasa ada opsi kebijakan yang lebih ringan yang tersedia untuk PKC,” tambah Steinert-Threlkeld. hanghai juga merupakan kota paling internasional di China dan rumah bagi beberapa orang paling berpendidikan di negara itu. Sejumlah besar orang asing dan gerombolan influencer media sosial juga bermukim di kota itu. “Orang-orang ini lebih cenderung membuat suara mereka didengar, dan mereka juga memiliki sarana untuk melakukannya,” kata Wang.

https://www.kompas.com/global/read/2...r-china?page=1
0
500
8
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan